Di dunia lain, di mana Nurlaila terperangkap dalam godaan ghaib, Ki Gendeng tengah merepet kepada Nurlaila, “Hei, perempuan gemblung! Kamu, kok, malah main-main? Kamu jadi pulang atau tidak?”Sementara itu, yang diajak bicara seakan-akan tuli, dan malah asyik tertawa-tawa sambil mengejar bocah-bocah di bawah bayangan rimbun pohon.“Sudahlah, Ki, biarkan saja manusia satu itu di sini. Dia bisa membantuku mengurusi para bayi.” Sesosok makhluk lain tiba-tiba saja ikut nimbrung. Sosoknya seperti peri yang cantik, halus, nyaris transparan, melayang turun dari atas pohon, lalu hinggap di sisi Ki Gendeng.Ki Gendeng yang saat itu sudah pindah melingkari salah satu dahan pohon mendesis-desis sebagai bentuk protes. “Belum waktunya dia jadi budakmu di dunia ini. Masih ada yang harus dia kerjakan di dunianya sendiri.”“Kamu terlalu memedulikan manusia yang satu itu, Ki. Apa untungnya buatmu?” tanya peri pohon penasaran.“Aku hanya patuh kepada guruku, si Naga. Dia mengutusku untuk menjadi pendam
“Mama, ini aku.”Nurlaila melihat Hendi ada di hadapannya, dan selama beberapa saat dia tidak bisa mengeluarkan kata-kata selain bicara di dalam kepalanya sendiri. “Ki, apa aku benar sudah kembali?”Ki Gendeng tidak menjawab, bahkan keberadaannya tidak bisa dirasakan Nurlaila. Kepalanya jadi enteng, melompong.“Ki, kamu ada di mana?” Panik, Nurlaila memanggil lagi, kali itu dengan suara keras sembari matanya memandang sekeliling dengan liar.“Mama, ini Hendi, apa Mama ingat aku?” Hendi meraih wajah Nurlaila, memaksanya untuk berpaling hanya kepada dirinya. “Mah, aku anakmu.”Pandangan Nurlaila mengikuti suara Hendi, lalu berhenti pada seraut wajah yang dikenalnya. Dia tesenyum. “Anakku,” ujarnya lirih.Hendi mendesah lega, kemudian memeluk Nurlaila. “Mah, apa matanya masih sakit?”Nurlaila mendengar, tetapi tidak memahami perkataan Hendi seakan-akan putranya itu bicara memakai bahasa asing. Senyum di wajahnya sedikit demi sedikit memudar, pandangan matanya kembali menerawang.“Mah?” H
Permintaan maaf Nurlaila tidak mengubah apa pun, apalagi menghapus dosa-dosa atas perbuatan mereka yang telah membuat perjanjian dengan jin hanya demi harta.“Mendiang Papa sudah kehabisan akal, hanya itu satu-satunya cara untuk bisa lepas dari ancaman para penagih utang. Kalau kami enggak segera bayar, mereka enggak akan segan membakar rumah atau melukai kami. Waktu itu kamu masih kecil, dan sebagai orang tua, kami enggak bisa membiarkan masa depanmu terancam. Tolong, pahamilah, Hendi, ampuni dosa-dosa kami.”Nurlaila ingin bersimpuh di kaki anaknya andaikan dengan berbuat begitu dia bisa meraih simpati Hendi. Tetapi, raut wajah Hendi yang dingin membuatnya takut.“Jangan pakai aku sebagai alasan untuk membenarkan pilihan kalian! Apa Mama tahu berapa harga yang harus kubayar karena kelakuan kalian itu? Makhluk itu ganti mengincarku, Mah! Kini, aku yang harus gantikan Papa untuk memenuhi ritual pesugihan kalian.”“Enggak mungkin! Ini salah.” Nurlaila menggelengkan kepala. Batinnya men
Dahlia kembali ke dalam selnya dengan perasaan tidak keruan. Langkahnya gontai, wajahnya kusut. “Enggak bisa, bukan aku yang salah, aku enggak bunuh siapa-siapa. Aku enggak layak berada di tempat ini!” Dahlia merutuk di dalam hati. “Sialan bandot tua itu! Sudah mati pun masih bikin aku menderita begini! Kenapa dia harus mati dengan cara begitu? Siapa yang membunuhnya? Kurang ajar!”Kapan tepatnya semua kisahnya bermula? Kenapa dia harus berakhir sebagai pesakitan di hotel prodeo? Kenapa dia bahkan sampai terlibat dengan Suroso? Dahlia berusaha merunut semuanya ke belakang.Dan, dia menemukan jawabannya ada dalam sepasang mata seorang pemuda. Bara, laki-laki pendatang di kampungnya. Bara datang dari kota besar, dia tampan, kulitnya putih seperti artis di drama Korea yang dipuja-puja Dahlia. Sikapnya cuek, dingin, tidak seperti pemuda kampung yang selalu suit-suit menggoda setiap kali Dahlia lewat. Tetapi, justru sikap dingin itu yang buat Dahlia penasaran. Dia ingin merebut hati Bara s
Hendi tidak lagi menunda-nunda waktu untuk pergi ke panti asuhan yang disebutkan oleh Dahlia. Di sana dia berhasil bertemu dengan kepala panti, seorang perempuan tua yang masih energik bernama Ibu Tarsih.“Saya Hendi, saya ingin mencari info mengenai keberadaan Dirga, kakaknya Maya.”Ibu Tarsih menjadi gelisah mendengar nama Maya disebut-sebut Hendi. “Maaf, kalau boleh saya tahu, apa hubungan Anda dengan Maya dan Dirga?”“Jujur saja, sebenarnya saya enggak ada hubungan apa-apa dengan mereka, bahkan saya sama sekali enggak kenal mereka, ketemu saja belum pernah.” Hendi menjawab apa adanya, “tapi, almarhum Papa kenal Maya.”“Loh, siapa nama papamu?”“Suroso,” jawab Hendi singkat.Ibu Tarsih tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Wajahnya seketika memerah karena menahan emosi. “Maaf, kami tidak bisa memberikan info sembarangan. Silakan, Anda keluar saja. Anda tidak akan mendapatkan apa-apa dari kami.”Hendi merasa kebingungan dengan perubahan sikap Ibu Tarsih yang mendadak ketus. “Sa
“Apa buktinya?” Dirga menyeringai. “Apa kau bisa buktikan kalau aku yang sudah bunuh ayahmu?”Hendi menatap Dirga geram. Reaksi Dirga bukan seperti orang yang tidak bersalah, malah sebaliknya, Dirga begitu tenang, bahkan menantang. Dalam sorot mata Dirga tidak ada ketakutan, keraguan, apalagi penyesalan, Hendi hanya bisa melihat kebencian yang meletup-letup seperti air mendidih dalam panci.“Aku enggak tahu bagaimana kau bisa melakukannya. Membunuh tanpa terlihat? Diriku yang dulu mungkin akan tertawa. Konyol! Mana ada orang yang bisa ngilang? Tapi, aku telah melihat banyak hal, hal-hal yang seharusnya enggak kulihat, jadi enggak ada yang enggak mungkin, semua bisa saja terjadi. Sama halnya denganmu yang membunuh Papa dengan cara pengecut.” Hendi berkata, sengaja memancing emosi Dirga.Namun, Dirga malah tertawa keras. “Pengecut, katamu? Katakan itu kepada mayat ayahmu! Kau sudah tahu semua kejahatan yang telah dilakukan ayahmu, bukan? Dan, kau masih membelanya?”“Apa pun yang telah d
Anyir darah segera menyambut penghidu Hendi. Dia reflek menutup hidungnya.Petugas polisi yang mendampinginya berkata, “Kematiannya terasa janggal. Tapi, kami bisa pastikan kalau tidak ada seorang pun yang masuk ke dalam sel. Kami tidak menemukan tanda-tanda keberadaan orang lain, bahkan kunci gembok sel korban masih dalam keadaan utuh.”“Ini sama!” pikir Hendi, kematian Dahlia mengingatkannya akan kematian Suroso. “Papa juga dibunuh di dalam kamar yang terkunci dari dalam, sel tempat Dahlia berada juga selalu terkunci. Enggak ada orang lain yang bisa masuk.”“Saya akan membuka pintu selnya, tolong, kuatkan hati Anda. Situasi di dalam sana, sangat mengerikan.” Petugas polisi itu memperingatkan Hendi.Mendengar kata-kata si polisi, membuat Hendi merasakan de javu. Ah, sudah berapa banyak orang pernah mengatakan hal yang sama kepadanya? Pikir Hendi. Dia masih ingat dengan jelas, bagaimana dokter di rumah sakit juga berkata seperti itu saat dia harus mengidentifikasi jenazah sopirnya, Ya
Berbagai perasaan berkecamuk dalam diri Hendi. Dia muak, marah, sedih, kecewa, betapa hidupnya jungkir balik setelah kematian ayahnya, Suroso. Dia tidak pernah membayangkan akan berurusan dengan hal-hal yang ghaib seperti yang saat itu dia alami.Hendi melajukan motornya dengan cepat di atas aspal, sambil berpikir andai semua masalah yang mengimpitnya bisa berlalu secepat dia menarik gas kendaraannya itu.Bik Yanti yang menyambut kepulangannya terkejut melihat luka-luka di wajah Hendi. “Mas Hendi, ya, Allah! Saya panggilkan mantri, ya, Mas?”“Enggak usah! Mama di mana?” tanya Hendi. “Apa Mama baik-baik aja?”“Ya, alhamdulillah, Ibu sudah mau makan sedikit-sedikit, sekarang Ibu ada di kamarnya sendiri. Mas Hendi sudah makan apa belum? Biar Bibik siapkan, ya?” tanya Bik Yanti penuh perhatian.Bik Yanti, wanita berusia setengah abad itu sudah lama bekerja di keluarga Suroso, bahkan dialah yang mengasuh Hendi sejak kecil, sejak Hendi masih SD. Bik Yanti sangat mengenali karakter Hendi yan
Nurlaila memicingkan mata, berusaha berkonsentrasi penuh sambil terus mengawasi makhluk raksasa bertubuh setengah kura-kura, setengah ular yang ada di hadapannya itu, mencari-cari di bagian manakah hatinya berada. Sulit untuk bisa menemukan titik lemah si raksasa karena di saat yang bersamaan dia juga harus berkelit menghindari serangan demi serangan yang dilancarkan oleh ular-ular itu.“Hatinya, seperti apa bentuk hatinya?” Nurlaila berteriak kepada Ki Gendeng yang ada di tepian sungai.“Hatinya bersinar paling terang, berwarna hijau. Ada di pangkal lehernya. Lihat dan cari baik-baik!” Ki Gendeng memberi petunjuk. “Cepatlah, waktumu tak banyak. Kita harus segera menyeberangi sungai ini sebelum malam.”Setidaknya Nurlaila tahu apa yang harus dicarinya saat itu. Sambil meliuk dan menghindar, entah bagaimana tetapi di dunia itu tubuhnya terasa lebih ringan dan lincah sehingga bisa bergerak lebih cepat, dia mendekati pangkal leher si monster. Kemudian dalam jarak semeter, akhirnya Nurlai
Panik, Nurlaila melempar rambut manusia yang ada dalam genggamannnya itu. Tetapi gerakan yang mendadak itu membuat keseimbangannya runtuh sehingga membuatnya terpeleset dan masuk lebih dalam ke sungai.Kepala Nurlaila di dalam aliran air yang seperti darah. Matanya yang terbuka sempat melihat apa yang ada di dalam sungai. Dasar sungai yang dikiranya lumpur ternyata adalah timbunan dari jasad-jasad manusia, potongan-potongan tubuh. Dia terbelalak kemudian berusaha secepat mungkin berenang kembali ke permukaan.Namun tumpukan jasad dan potongan-potongan tubuh yang dikiranya mati itu ternyata hidup. Sepotong tangan menangkap kakinya, menariknya lagi ke dalam sungai. Nurlaila berjuang menyelamatkan dirinya. Dia menendang-nendang dengan kekuatan penuh, berusaha menyingkirkan tangan-tangan yang mencengkeram kaki dan tubuhnya.Kepalanya hilang timbul di permukaan sungai. Sekilas dia melihat Ki Gendeng masih ada di daratan, tapi tidak berbuat apa-apa selain memerhatikannya dengan tatapan hera
Batu-batu yang tiba-tiba saja muncul, berlompatan menyerang Nurlaila dan Ki Gendeng.“Tidak! Ada apa ini? Tolong! Aduh! Siapa yang sudah melempari batu? Ah, bukan, bukan! Batu-batu ini bergerak sendiri. Aki!!” teriak Nurlaila sambil berusaha melindungi kepalanya dengan tangan.Ki Gendeng mengangkat tangannya, mulutnya mendengungkan mantra, kemudian sekejap sebuat tongkat kayu berkepala ular muncul dari udara berpindah ke tangannya. Dia lalu menghentakkan tongkat itu ke tanah.“Batu tidak seharusnya berlompatan ke sana kemari. Diam kalian semua, kembalilah ke sifat asal kalian, membatu, tidak bergerak, mati!” Ki Gendeng berseru dengan suara lantang.Duk, duk, duk! Puluhan batu yang tadinya beterbangan langsung jatuh ke tanah seakan-akan memahami perintah Ki Gendeng.Ki Gendeng belum berhenti sampai di sana. Dia mengarahkan lagi tongkatnya ke tumpukan batu besar kecil yang berhasil menyusun barikade di hadapan mereka, penghalang antara mereka dengan sungai ratapan. Kemudian, dengan seka
Berjalan lurus ke timur, menyeberangi sungai ratapan, mendaki bukit raungan, menuruni lembah keputusasaan, itu semua adalah rute yang harus dilewati Nurlaila untuk bisa sampai ke tempat Anggita berada. Ki Gendeng memberitahu semua itu dengan begitu santainya seperti layaknya seorang guide sedang memberi informasi destinasi wisata apa saja yang akan mereka lalui.Nurlaila tahu, nama yang tersemat di semua tempat yang disebutkan Ki Gendeng itu bukanlah sekadar nama saja, melainkan kejadian sesungguhnya. Sungainya benar-benar sungai yang terbentuk dari air mata ratapan para makhluk pendosa, bukitnya benar-benar bukit yang berisik oleh raungan para jiwa yang tersesat, dan lembahnya benar-benar lembah yang berdasarkan keputusasaan, kegagalan, penyesalan. Hanya mereka yang punya jiwa berani dan tulus yang bisa melewati semua itu.“Bagaimana? Benar masih mau lanjut?” tanya Ki Gendeng lagi.Nurlaila mengangguk mantap. “Sudah kadung, Ki.”“Baiklah, ayo kita jalan!”Nurlaila dan Ki Gendeng mela
“Ki, tolong saya.” Nurlaila bersimpuh. “Tolong selamatkan putraku, Hendi. Aku yakin betul kalau dia terjebak di alam jin dan tergoda oleh para lelembut di sana sehingga tidak bisa kembali. Kalau dibiarkan terus seperti itu, aku takut selamanya Hendi akan berada di sana. Raganya tidak akan bisa bertahan terlalu lama tanpa kehadiran jiwanya.”Ki Gendeng manggut-manggut sambil mengelus-elus jenggotnya yang tak kasat mata sebab dagunya sendiri licin tanpa ditumbuhi sehelai bulu cambang. “Kalian ibu-anak, sukanya memang cari masalah saja. Kenapa sih kalian tidak hidup tenang dan baik-baik saja menjalani hidup tanpa harus berurusan dengan makhluk-makhluk dari dunia lain? Makhluk-makhluk yang kalian sendiri tidak pahami. Toh, pada akhirnya justru kalian sendiri yang dimanfaatkan mereka, diperdaya habis-habisan. Tidak akan pernah ada seorang pun manusia yang sungguh-sungguh beruntung jika melakukan transaksi dengan para jin, setan, atau apalah istilah yang kalian sematkan itu.”“Termasuk Aki
Sosok yang berada di depan Nurlaila menyerupai seorang lelaki muda berparas tampan. Lelaki itu berdiri dengan gagah sambil tangannya bersidekap di depan dada.“Ini aku, kamu lupa kepadaku, ya?” tanyanya.Nurlaila memiringkan kepala, bingung. Meski dia yakin dari suaranya, sosok itu adalah Ki Gendeng, tetapi penampakannya amat sangat berbeda. Sejak kapan Ki Gendeng menyerupai manusia?“Aki?” jawab Nurlaila ragu.“Cih, aku sudah mengubah penampilanku sampai seperti ini masih juga kamu sebut aku Aki-aki?” Sosok pemuda itu mendengkus sebal.“Astaga! Benar ini kau, Ki Gendeng? Ganteng benar rupanya kau! Jadi, harus aku panggil apa sekarang? Gendeng, begitu? Tanpa ada sebutan Aki di depannya karena sekarang wujudmu tidak lagi ular tanah pendek gemuk?” Nurlaila cekikikan antara geli dan lega.“Ah, sudahlah lupakan! Panggil aku saja seperti biasanya. Ki Gendeng. Tapi apa lagi yang kamu lakukan di tempat ini, heh? Kamu apa sudah lupa betapa sulitnya aku membantumu untuk bisa keluar dari tempat
Nurlaila memandangi putranya, Hendi, yang berbaring masih dalam keadaan koma di ranjang rumah sakit. Waja Hendi tenang, tanpa riak-riak emosi, seolah-olah sedang tertidur dalam kedamaian, tidak peduli tentang bahaya yang ada di dekatnya, tidak tahu menahu akan semua kematian yang berserak-serak di dekatnya.“Kamu harus bangun, Hendi. Keluarga kita hanya tinggal kamu dan aku, ibumu. Masih kubermimpi suatu hari nanti bisa melihatmu menikah dan beranak cucu. Kamu masih terlalu muda untuk pergi dari dunia ini, ada banyak hal yang belum pernah kamu temui dan rasakan. Kebahagiaan-kebahagiaan hidup yang tidak bisa aku berikan kepadamu. Bangun, putraku. Temani aku di sini, jangan kalah dengan bujukan makhluk apa pun yang menginginkanmu tinggal di sana.” Nurlaila terus berbincang dengan anaknya itu, berharap Hendi bisa mendengar suaranya.Namun yang diajak bicara sama sekali tidak bereaksi, menggerakkan ujung jarinya saja tidak. Mata Hendi masih menutup rapat, bibirnya membisu. Semua omongan N
Jauh di dalam hutan, di gua yang ada di balik air terjun, lokasi keramat di mana Dirga dan Kandita sering melakukan semedi dan ritual, terbaring tubuh Dirga. Matanya terpejam, napasnya tersengal-sengal, keringat dingin terus keluar dari pelipisnya. Dirga berada di sana, beralaskan tanah gua, sendirian menahan sakit.Luka yang didapatnya dari pertarungan dengan Karmila ternyata lumayan serius. Karmila telah tanpa sadar menyerangnya menggunakan tenaga dalamnya. Dirga menerima semua serangan Karmila tanpa ada keinginan sama sekali untuk membalasnya.“Dosaku tak terampuni,” gumam Dirga, “aku pantas untuk mati.”Dirga masih sadar, dia ingat kalau Andaru dan Kandita yang membawanya ke dalam gua.“Untuk sementara waktu kamu sembunyi dulu di sini. Karmila sudah mengetahui semuanya. Dia tahu kalau kamu yang sudah melakukan pembantaian di rumah sakit jiwa itu. Bahkan bukan hanya Karmila yang tahu, tapi juga perempuan itu, Nurlaila.” Kandita berkata kepadanya.“M-maafkan aku. Aku gagal membunuh
Di tempat lain, seseorang juga sudah tersadar dari pingsannya. Karmila bangun dan mendapati kedua orang tuanya berdiri di hadapannya, Kandita dan Andaru, dalam keadaan lengkap, sehat, tanpa ada jejak-jejak penuaan sama sekali apalagi lebam mayat seperti yang pernah Karmila saksikan pada tubuh Andaru waktu terakhir kali mereka bertemu.“Ayah?” Karmila tercengang melihat betapa besar perbedaan penampilan ayahnya itu.Kandita dan Andaru bagai sepasang remaja, muda, belia, penuh vitalitas. Padahal kenyataannya usia mereka sudah sangat tua.“Kamu sudah bangun, Sayang?” Andaru berkata sambil tersenyum.“Apa benar ini kau, Ayah?” Karmila masih tidak dapat memercayai penglihatannya. Bagaimana mungkin hanya dalam semalam Andaru yang tadinya berwujud mengerikan, tak ubahnya bagai mayat hidup, berubah menjadi muda belia, seperti remaja belasan tahun. Dia tampan dan gagah.“Ya, ini benar ayahmu, putriku yang manis.” Andaru merentangkan tangan, berputar, memamerkan kerupawanannya.Pada saat itu, j