Semua musibah datang karena kesalahan mereka sendiri. Nurlaila memahami dan menerima konsekuensi dari pilihan hidup mereka. Akan ada orang-orang yang terpaksa mereka sakiti demi memenuhi persyaratan pesugihan itu. Tetapi, tak pernah terlintas sama sekali dalam pikirannya kalau akan ada darah yang tumpah, terlebih Suroso sendiri korbannya. Nurlaila kembali kepada Mbah Wursito untuk menanyakan hal itu.
“Kalau begitu, siapa yang sudah membunuh suami saya, Mbah?” Nurlaila bertanya beberapa saat setelah Mbah Wursita menuntaskan hasratnya.
Listrik di kediaman Mbah Wursita masih padam, hujan masih turun, meski kilat dan guntur tidak lagi terdengar mereka. Ruangan di mana mereka berada saat itu hanya diterangi samar-samar oleh semburat cahaya dari kaca jendela yang tidak bertirai.
Mbah Wursita menyalakan lilin, kemudian membawanya ke antara mereka berdua. Kerut keriput di wajahnya terlihat mengerikan oleh cahaya lilin yang bersinar dari bawah dagunya.
“Suamimu dibunuh oleh kekuatan tak kasat mata.” Bibir Mbah Wursita bergetar saat bicara.
Kontan wajah Nurlaila memucat. “S-siapa?” tanya lagi.
Mbah Wursita tidak langsung menjawab, dan saat itu juga, bukan hanya bibirnya yang gemetar, tetapi seluruh badannya juga bergetar hebat. Api lilin yang tadinya tenang menjadi bergoyang-goyang seakan-akan ada angin di sekitarnya, padahal tidak. Suara-suara tidak jelas keluar dari bibir Mbah Wursita. Ada berbagai macam suara berbeda yang mustahil jika hanya bersumber dari satu orang saja.
Nurlaila bergeming, menunggu dengan tegang. Dia bisa melihat dan tahu, kalau pada saat itu ada makhluk lain yang sedang merasuki tubuh Mbah Wursita. Makhluknya tidak hanya satu, tetapi banyak, berganti-ganti keluar dan masuk. Nurlaila bisa mendengar mereka semua berebut bicara kepadanya memakai bahasa dan logat yang berbeda-beda. Ada yang suaranya nyaring seperti bocah kecil, atau melengking seperti nenek-nenek, atau berat dan dalam, dan ada lebih banyak lagi suara yang hanya menyerupai suara hewan meraung, mengaum, mencicit.
Setelah lama kemudian, kepala Mbah Wursita mendadak terkulai, lalu perlahan tegak kembali, lurus menghadap Nurlaila. Nurlaila terkesiap. Bola mata Mbah Wursita berubah putih seluruhnya.
“Seseorang dari masa lalu datang untuk balas dendam. Darah dibayar darah. Nyawa dibayar nyawa. Dia tidak akan berhenti sampai semuanya habis. Sampai jiwanya terpuaskan!” Mbah Wursita menjawab pertanyaan Nurlaila dengan suara yang tenang, teratur, dan jernih.
Itu jelas bukan suara asli Mbah Wursita, melainkan makhluk lain, entah apa, yang akhirnya berhasil menguasai raga Mbah Wursita.
Nurlaila mengerahkan seluruh keberaniannya untuk bertanya lagi, “Siapa namanya? Laki-laki atau perempuan?”
“Tanpa raga, hanya ruh. Ruh yang penuh dengan amarah. Tak ada tempat untuk sembunyi. Tak ada pintu yang tak bisa dia buka. Dia akan menemukanmu!”
Seketika Nurlaila merasakan udara di sekitarnya menipis. Dadanya turun naik, napasnya ngos-ngosan, kepalanya pening. Itu bukan jawaban yang ingin dia dengar. Nurlaila menjerit.
“Lari! Lari atau kau mati!” Mbah Wursita masih dengan suara makhluk lain berteriak. Telunjuknya mengacung lurus ke arah Nurlaila.
Nurlaila semakin histeris, dengan sempoyongan dia berusaha berdiri, kemudian lari secepatnya dari tempat itu. Karno yang menunggu di luar, kaget melihat majikannya keluar dari dalam rumah sambil terus menjerit-jerit seperti habis melihat hantu. Karno tidak tahu kalau apa yang dilihat Nurlaila lebih menakutkan dari hantu atau jin mana pun; dia telah melihat kematiannya sendiri.
“Bu, ada apa?” Karno bertanya sambil buru-buru membukakan pintu mobil bagian belakang untuk Nurlaila.
“Cepat! Kita harus pergi dari sini! Pulang, No, pulang sekarang juga!” bentak Nurlaila panik.
“Ba-baik, Bu.” Karno tergesa-gesa masuk ke mobil, ke balik kemudi.
Mobil pun melaju kencang. Hujan turun seakan-akan mengejar mereka. Kilat dan guntur bergemuruh sekali lagi. Karno tidak menurunkan kecepatan mobil sampai mereka berada di jalan raya beraspal yang lengang.
“No, kamu ngapain? Kok, jadi malah melambat?” tegur Nurlaila galak.
“Hujan deras, Bu, agak terbatas jarak pandang saya. Pelan-pelan saja, ya?” Karno memberi alasan.
“Bodoh, kamu! Tancap gas, No! Ngebut! Aku ingin cepat sampai di rumah,” perintah Nurlaila.
Dari jendela kaca mobil, Nulaila memandang sekelilingnya dengan liar. Dia menangkap sekelebatan bayangan hitam mengejar mereka, ada banyak sosok-sosok tak jelas yang melesat dari arah belakang mobil, beberapa di antara penampakan itu mendahului laju kendaraan. Nurlalila bisa merasakan hawa dingin aneh yang berbeda dari embusan pendingin mobil saat bayangan-bayangan hitam itu lewat di sisi kaca jendela mobil. Padahal jendelanya tertutup rapat dan situasi di luar gelap, tetapi dia yakin apa yang dilihat mata batinnya itu bukanlah sekadar ilusi.
Nurlaila menjerit-jerit.
“Bu, ada apa? Ada apa?” Karno bertanya panik.
Karno mengintip dari kaca spion dalam mobil, melihat apakah majikan perempuannya itu baik-baik saja Tetapi Nurlaila terlihat sebaliknya, dia menjerit ketakutan dan badannya kejang-kejang.
“Astagfirullah! Ibu kenapa?” Karno berinisiatif untuk meminggirkan kendaran dan berhenti.
“Jalan, No! Siapa bilang kamu boleh berhenti?” Nurlaila membentak Karno sementara tubuhnya masih mengejang kaku dan matanya melotot mengerikan. “Cepat, No! Mereka datang semakin banyak.”
“Siapa yang datang, Bu?” Karno celingukan, tetapi tidak melihat apa-apa. Jalan raya yang dilaluinya itu sepi, bahkan tak terlihat satu kendaraan pun. Hanya rinai hujan yang semakin deras yang tampak oleh Karno.
“Mereka datang hendak membunuhku, No. Tolong selamatkan aku!” Nurlaila tiba-tiba menarik kerah baju Karno dari belakang sehingga Karno nyaris tercekik.
“Ba-baik, Bu!” Karno berusaha melepaskan diri dari cengkraman Nurlaila, kemudian tancap gas seperti perintah majikannya itu.
Mobil melaju dengan kecepatan penuh, menuruni jalanan berkelok-kelok. Nulaila yang duduk di bangku belakang meracau tidak jelas membuat Karno semakin panik.
“Mereka sudah dekat, No, sudah dekat!”
“Siapa?”
Karno melirik ke belakang sesaat, tetapi waktu yang hanya beberapa detik itu lebih dari cukup untuk membuatnya hilang kendali atas mobil yang dikendarainya sehingga menabrak pagar pembatas jalanan, lalu berguling masuk ke dalam jurang.
*
Pagi-pagi benar, Hendi menerima panggilan telepon. Dia cepat-cepat mengangkatnya. Perasaannya sudah tidak enak sejak semalam, sejak dia mengetahui jika ibunya diam-diam pergi dari rumah dan belum juga kembali.
“Baik, terima kasih atas infonya, saya segera ke sana sekarang,” ujar Hendi melalui ponsel setelah dia mendengar berita kecelakaan Nurlaila dari rumah sakit.
Belum pernah dalam hidupnya, Hendi mengendarai motor secepat saat itu. Dia sampai nekad menerobos beberapa lampu merah hanya supaya bisa segera sampai ke rumah sakit. Dan begitu dia tiba, dia berlari menuju unit gawat darurat, berbicara sebentar kepada petugas di sana, mengonfirmasi identitas dan maksud tujuannya.
Tak lama kemudian, seorang dokter datang menghampirinya.
“Anda keluarga Ibu Nurlaila?” tanya dokter itu.
“Ya, saya anaknya.”
“Silakan lewat sini, ikuti saya, ada jenazah yang harus Anda identifikasikan.”
Hendi mengikuti dokter masuk ke salah satu bilik yang letaknya paling ujung di UGD. Di sana hanya ada satu bed berisi jenazah dengan kain kafan menutupi seluruh tubuhnya dari ujung kaki sampai ujung rambut. “Sebelumnya saya mau tanya, apa Anda punya penyakit jantung?” Ditanya seperti itu, Hendi langsung paham apa artinya, sesuatu yang buruk pasti sedang menantinya. “Enggak, Dok,” jawabnya. Dokter itu mengangguk, lalu membuka kain kafan. Hendi terkesiap. Dia hanya sanggup melihat sekilas sebelum membalikkan tubuhnya. Sang dokter cepat-cepat menutup kembali jenazah itu. Sementara Hendi bergegas keluar dari ruangan dengan wajah pucat. Dia tidak yakin dengan apa yang baru saja dilihatnya. “Apa itu tadi? Manusia atau bukan?” pikir Hendi sambil menahan rasa mual di perut. Jenazah itu nyaris sudah tidak punya lagi dengan apa yang bisa disebut sebagai wajah, atau bagian-bagian darinya. Tidak ada lagi hidung, mata, mulut, yang ada hanya gumpalan daging, seakan-akan malaikat maut sendiri ya
Dengan gerakan yang tidak bisa diikuti mata manusia karena saking cepatnya, belati Kanjeng Ratu terayun ke arah Hendi, kemudian ….Slash!Darah memercik pada dinding dan kasur.Hendi melongo. Sedetik berlalu, barulah dia menyadari apa yang telah terjadi. Pipinya perih. Dia merabanya, kemudian terkejut begitu melihat darah di tangannya.“Apa yang kau lakukan!” teriak Hendi murka.Rasa sakit telah mengubah ketakutan Hendi menjadi luapan amarah. Dia balik melawan, menyerang Kanjeng Ratu berbekal tinju kosong. Tetapi lawannya bukan manusia, Kanjeng Ratu bahkan tidak perlu bergerak untuk menghindar.“Aku suka semangatmu,” ujar Kanjeng Ratu dengan nada mengejek, “tapi perjanjian sudah dibuat, tidak ada lagi yang bisa kamu lakukan selain menuruti perintahku.”“Kau penipu!” Hendi meraung sambil memegangi pipinya yang berdarah-darah.“Suroso telah menumbalkan kehormatan seluruh keluarganya demi harta. Kamu adalah keturunannya langsung, jadi kamulah yang mewarisi perjanjian kita.”“Tidak!” Hend
Hendi tidak bisa melepaskan diri dari bayang-bayang Kanjeng Ratu. Ke mana saja dia berpaling, selalu ada sosoknya, ditambah lagi dengan penampakan-penampakan mengerikan yang kerap dijumpainya di setiap sudut jalan.Kakek tua dengan lubang di perutnya yang sebelumnya selalu mengikuti Hendi, memang segera menyingkir begitu Kanjeng Ratu muncul. Tetapi sosoknya tidak pergi, masih berada dalam jarak pandang Hendi. Tidak hanya si Kakek, Hendi juga melihat sesosok makhluk kerdil dengan puluhan mata di wajahnya memandangnya dari balik semak-semak, juga kuntilanak di pohon asem yang tak jauh dari kantin, ikut menampakkan diri. Dengan santai kuntilanak itu duduk di salah satu dahan sambil bergoyang-goyang, membuat rontok daun-daun kering.“Mereka enggak nyata, mereka enggak nyata,” gumam Hendi berkali-kali dalam hatinya saat dia melangkah menuju parkiran kampus.Tadinya dia bermaksud untuk mengejar Tiara dan menawarinya pulang bersama, tetapi urung dilakukanya. Akhirnya, semuanya seperti yang s
Bab 9. TersesatSementara itu, di dimesi yang lain, Nurlaila membuka mata, merasakan udara di sekitarnya sangat berbeda, begitu tipis dan berat. Nurlaila batuk-batuk, kesulitan untuk bisa bernapas dengan baik, kepalanya pening. Awalnya dia sedikit panik dengan perubahan itu, lalu berusaha untuk menenangkan diri. Dia menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya pelan-pelan. Setelah itu, barulah dia mengamati keadaan di sekitarnya.“Tempat apa ini?” Dahinya mengernyit.Terakhir kali yang dia ingat adalah mobil yang dikendarainya bersama Karno mengalami kecelakaan dan terjun bebas ke dalam jurang. Setelah itu dia tidak tahu apa-apa lagi.“No, Karno, di mana kamu?”Sejauh mata memandang, Nurlaila hanya melihat hamparan tanah tandus tanpa ada tanda-tanda kehidupan sedikit pun. Dia pun berjalan tanpa tujuan, mengikuti ke mana kakinya melangkah.“Karno!” Nurlaila berteriak, tetapi hanya dijawab oleh gaung suaranya sendiri.Sekian lama dia berjalan, Nurlaila merasa masih berada di tempat y
“Hei, perempuan bermata satu!”Mendadak Nurlaila mendengar seseorang bersuara parau memanggilnya dari dalam kepalanya. Dia memiringkan kepalanya, menekan-nekan telinganya, mengira si pemilik suara bisa keluar dari dalam lubang telinganya.“Kamu perempuan konyol, aku ada di sini, sebelah sini, di bawah dekat kakimu,” sahut suara itu lagi.Nurlaila melihat ke bawah dan menemukan seekor ular pendek, gemuk, dengan mata bagai sepasang bintik hitam kecil di kepalanya. Nurlaila berjongkok dan bertanya, “Apa kamu ngomong sama aku?”Ular itu menjulurkan lidahnya yang bercabang, mendesis-desis. Dia berkomunikasi dengan Nurlaila melalui pikiran. “Memang, siapa lagi, heh?” tanyanya balik dengan ketus.“Apa kamu Gendeng?” Entah bagaimana, Nurlaila merasa langsung dapat mengenali sosok hewan itu.“Yang sopan kalau bicara! Jangan langsung memanggilku dengan sebutan nama. Panggil aku Ki Gendeng!” Ular itu berteriak pongah di dalam kepala Nurlaila.“Iya, iya, maafkan aku, Ki Gendeng.”Rasanya sulit ba
Kata-kata Suroso sama sekali tidak dipahami Nurlaila. “Siapa Maya? Cakar hitam apa?” tanyanya berulang-ulang.Bukannya menjawab pertanyaan Nurlaila, Suroso malah tertawa-tawa histeris. Tepat seperti apa yang dibilang Ki Gendeng sebelumnya, Suroso sudah benar-benar kehilangan akalnya.“Pah, ngomong! Jelaskan semuanya!”“Sudah! Percuma kamu mengajak bicara wong edan!” Ki Gendeng mendesis dalam pikiran Nurlaila.Tak mengindahkan Nurlaila, Suroso kembali pada pekerjaannya, menggarap ladang yang ditumbuhi tanaman-tanaman aneh.“Setidaknya suamimu itu beruntung punya keahlian, tidak harus dipaksa jadi pijakan, atau tukang angkat batu.” Ki Gendeng mengomentari.“Aku harus cari tahu, siapa itu perempuan bernama Maya? Apa dia yang sudah bikin celaka suamiku?”“Halah! Paling-paling, itu nama perempuan yang jadi salah satu korban nafsu bejad suamimu,” ujar Ki Gendeng berpendapat.Mata satu Nurlaila membesar, dia mendekatkan lengannya--di mana sosok ular Ki Gendeng melingkar--ke wajahnya, lalu de
Baru sekali itu Hendi naik ke atap gedung rumah sakit berlantai sembilan, tempat ibunya dirawat. Dia menyebrangi pagar pembatas, dan berdiri di tepian atap. Hari sudah gelap, lampu-lampu penerang dinyalakan. Dari tempatnya berdiri Hendi melihat masih ada saja orang-orang yang berlalu lalang di bawah sana. Namun, tidak ada satu pun yang memerhatikan keberadaan Hendi yang tengah berdiri di antara hidup dan mati.“Ayo, lompat, lompat sekarang!”“Tunggu apa lagi?”“Dunia ini brengsek, tinggalkan saja!”Berbagai macam ruh gentayangan mengerubungi Hendi. Seorang wanita dengan kepala hancur, seorang nelayan dengan kulit kelapa terkelupas, seorang pelajar dengan leher hampir putus, dan masih banyak lagi. Semuanya berbisik-bisik, menyeringai, atau hanya terdiam sambil terus memeloti Hendi.“Menjauhlah, pergi sana! Jangan dekati aku, aku capek!” Hendi menggumam.Dalam hatinya dia tidak mau mati. Apalagi dengan cara seperti itu, mati bunuh diri, membiarkan tubuhnya meluncur ke bawah, mematahkan
Hendi terperenyak. Dia sudah kehilangan ayahnya, jika kali itu ganti ibunya yang harus pergi, Hendi merasa dunianya hancur sudah. Karmila yang ada di sisinya menepuk-nepuk bahu Hendi sebagai tanda simpati.Selanjutnya waktu berjalan begitu lambat bagi Hendi. Tangannya berkeringat dingin, cemas menunggu Nurlaila keluar dari ruang operasi. Firasatnya mengatakan ada yang tidak beres dengan terjadinya musibah yang berturut-turut dalam keluarganya. Kapan semuanya itu bermula? Kepala Hendi berpikir keras.Akhirnya pintu ruang operasi dibuka. Beberapa perawat mendorong sebuah brankar keluar.“Itu Mama!” Hendi mendesah lega melihat Nurlaila berbaring di sana dengan satu mata dibalut perban.Seorang dokter mendekat. “Maaf, kami tidak bisa menyelamatkan mata pasien. Sebelah bola matanya rusak parah seperti habis ditusuk benda tajam, jadi terpaksa kami angkat.”“Siapa yang sudah melakukan itu pada Mama? Belum ada satu jam saya pergi, Mama masih baik-baik saja.”Dokter itu menggeleng sedih. “Seti
Nurlaila memicingkan mata, berusaha berkonsentrasi penuh sambil terus mengawasi makhluk raksasa bertubuh setengah kura-kura, setengah ular yang ada di hadapannya itu, mencari-cari di bagian manakah hatinya berada. Sulit untuk bisa menemukan titik lemah si raksasa karena di saat yang bersamaan dia juga harus berkelit menghindari serangan demi serangan yang dilancarkan oleh ular-ular itu.“Hatinya, seperti apa bentuk hatinya?” Nurlaila berteriak kepada Ki Gendeng yang ada di tepian sungai.“Hatinya bersinar paling terang, berwarna hijau. Ada di pangkal lehernya. Lihat dan cari baik-baik!” Ki Gendeng memberi petunjuk. “Cepatlah, waktumu tak banyak. Kita harus segera menyeberangi sungai ini sebelum malam.”Setidaknya Nurlaila tahu apa yang harus dicarinya saat itu. Sambil meliuk dan menghindar, entah bagaimana tetapi di dunia itu tubuhnya terasa lebih ringan dan lincah sehingga bisa bergerak lebih cepat, dia mendekati pangkal leher si monster. Kemudian dalam jarak semeter, akhirnya Nurlai
Panik, Nurlaila melempar rambut manusia yang ada dalam genggamannnya itu. Tetapi gerakan yang mendadak itu membuat keseimbangannya runtuh sehingga membuatnya terpeleset dan masuk lebih dalam ke sungai.Kepala Nurlaila di dalam aliran air yang seperti darah. Matanya yang terbuka sempat melihat apa yang ada di dalam sungai. Dasar sungai yang dikiranya lumpur ternyata adalah timbunan dari jasad-jasad manusia, potongan-potongan tubuh. Dia terbelalak kemudian berusaha secepat mungkin berenang kembali ke permukaan.Namun tumpukan jasad dan potongan-potongan tubuh yang dikiranya mati itu ternyata hidup. Sepotong tangan menangkap kakinya, menariknya lagi ke dalam sungai. Nurlaila berjuang menyelamatkan dirinya. Dia menendang-nendang dengan kekuatan penuh, berusaha menyingkirkan tangan-tangan yang mencengkeram kaki dan tubuhnya.Kepalanya hilang timbul di permukaan sungai. Sekilas dia melihat Ki Gendeng masih ada di daratan, tapi tidak berbuat apa-apa selain memerhatikannya dengan tatapan hera
Batu-batu yang tiba-tiba saja muncul, berlompatan menyerang Nurlaila dan Ki Gendeng.“Tidak! Ada apa ini? Tolong! Aduh! Siapa yang sudah melempari batu? Ah, bukan, bukan! Batu-batu ini bergerak sendiri. Aki!!” teriak Nurlaila sambil berusaha melindungi kepalanya dengan tangan.Ki Gendeng mengangkat tangannya, mulutnya mendengungkan mantra, kemudian sekejap sebuat tongkat kayu berkepala ular muncul dari udara berpindah ke tangannya. Dia lalu menghentakkan tongkat itu ke tanah.“Batu tidak seharusnya berlompatan ke sana kemari. Diam kalian semua, kembalilah ke sifat asal kalian, membatu, tidak bergerak, mati!” Ki Gendeng berseru dengan suara lantang.Duk, duk, duk! Puluhan batu yang tadinya beterbangan langsung jatuh ke tanah seakan-akan memahami perintah Ki Gendeng.Ki Gendeng belum berhenti sampai di sana. Dia mengarahkan lagi tongkatnya ke tumpukan batu besar kecil yang berhasil menyusun barikade di hadapan mereka, penghalang antara mereka dengan sungai ratapan. Kemudian, dengan seka
Berjalan lurus ke timur, menyeberangi sungai ratapan, mendaki bukit raungan, menuruni lembah keputusasaan, itu semua adalah rute yang harus dilewati Nurlaila untuk bisa sampai ke tempat Anggita berada. Ki Gendeng memberitahu semua itu dengan begitu santainya seperti layaknya seorang guide sedang memberi informasi destinasi wisata apa saja yang akan mereka lalui.Nurlaila tahu, nama yang tersemat di semua tempat yang disebutkan Ki Gendeng itu bukanlah sekadar nama saja, melainkan kejadian sesungguhnya. Sungainya benar-benar sungai yang terbentuk dari air mata ratapan para makhluk pendosa, bukitnya benar-benar bukit yang berisik oleh raungan para jiwa yang tersesat, dan lembahnya benar-benar lembah yang berdasarkan keputusasaan, kegagalan, penyesalan. Hanya mereka yang punya jiwa berani dan tulus yang bisa melewati semua itu.“Bagaimana? Benar masih mau lanjut?” tanya Ki Gendeng lagi.Nurlaila mengangguk mantap. “Sudah kadung, Ki.”“Baiklah, ayo kita jalan!”Nurlaila dan Ki Gendeng mela
“Ki, tolong saya.” Nurlaila bersimpuh. “Tolong selamatkan putraku, Hendi. Aku yakin betul kalau dia terjebak di alam jin dan tergoda oleh para lelembut di sana sehingga tidak bisa kembali. Kalau dibiarkan terus seperti itu, aku takut selamanya Hendi akan berada di sana. Raganya tidak akan bisa bertahan terlalu lama tanpa kehadiran jiwanya.”Ki Gendeng manggut-manggut sambil mengelus-elus jenggotnya yang tak kasat mata sebab dagunya sendiri licin tanpa ditumbuhi sehelai bulu cambang. “Kalian ibu-anak, sukanya memang cari masalah saja. Kenapa sih kalian tidak hidup tenang dan baik-baik saja menjalani hidup tanpa harus berurusan dengan makhluk-makhluk dari dunia lain? Makhluk-makhluk yang kalian sendiri tidak pahami. Toh, pada akhirnya justru kalian sendiri yang dimanfaatkan mereka, diperdaya habis-habisan. Tidak akan pernah ada seorang pun manusia yang sungguh-sungguh beruntung jika melakukan transaksi dengan para jin, setan, atau apalah istilah yang kalian sematkan itu.”“Termasuk Aki
Sosok yang berada di depan Nurlaila menyerupai seorang lelaki muda berparas tampan. Lelaki itu berdiri dengan gagah sambil tangannya bersidekap di depan dada.“Ini aku, kamu lupa kepadaku, ya?” tanyanya.Nurlaila memiringkan kepala, bingung. Meski dia yakin dari suaranya, sosok itu adalah Ki Gendeng, tetapi penampakannya amat sangat berbeda. Sejak kapan Ki Gendeng menyerupai manusia?“Aki?” jawab Nurlaila ragu.“Cih, aku sudah mengubah penampilanku sampai seperti ini masih juga kamu sebut aku Aki-aki?” Sosok pemuda itu mendengkus sebal.“Astaga! Benar ini kau, Ki Gendeng? Ganteng benar rupanya kau! Jadi, harus aku panggil apa sekarang? Gendeng, begitu? Tanpa ada sebutan Aki di depannya karena sekarang wujudmu tidak lagi ular tanah pendek gemuk?” Nurlaila cekikikan antara geli dan lega.“Ah, sudahlah lupakan! Panggil aku saja seperti biasanya. Ki Gendeng. Tapi apa lagi yang kamu lakukan di tempat ini, heh? Kamu apa sudah lupa betapa sulitnya aku membantumu untuk bisa keluar dari tempat
Nurlaila memandangi putranya, Hendi, yang berbaring masih dalam keadaan koma di ranjang rumah sakit. Waja Hendi tenang, tanpa riak-riak emosi, seolah-olah sedang tertidur dalam kedamaian, tidak peduli tentang bahaya yang ada di dekatnya, tidak tahu menahu akan semua kematian yang berserak-serak di dekatnya.“Kamu harus bangun, Hendi. Keluarga kita hanya tinggal kamu dan aku, ibumu. Masih kubermimpi suatu hari nanti bisa melihatmu menikah dan beranak cucu. Kamu masih terlalu muda untuk pergi dari dunia ini, ada banyak hal yang belum pernah kamu temui dan rasakan. Kebahagiaan-kebahagiaan hidup yang tidak bisa aku berikan kepadamu. Bangun, putraku. Temani aku di sini, jangan kalah dengan bujukan makhluk apa pun yang menginginkanmu tinggal di sana.” Nurlaila terus berbincang dengan anaknya itu, berharap Hendi bisa mendengar suaranya.Namun yang diajak bicara sama sekali tidak bereaksi, menggerakkan ujung jarinya saja tidak. Mata Hendi masih menutup rapat, bibirnya membisu. Semua omongan N
Jauh di dalam hutan, di gua yang ada di balik air terjun, lokasi keramat di mana Dirga dan Kandita sering melakukan semedi dan ritual, terbaring tubuh Dirga. Matanya terpejam, napasnya tersengal-sengal, keringat dingin terus keluar dari pelipisnya. Dirga berada di sana, beralaskan tanah gua, sendirian menahan sakit.Luka yang didapatnya dari pertarungan dengan Karmila ternyata lumayan serius. Karmila telah tanpa sadar menyerangnya menggunakan tenaga dalamnya. Dirga menerima semua serangan Karmila tanpa ada keinginan sama sekali untuk membalasnya.“Dosaku tak terampuni,” gumam Dirga, “aku pantas untuk mati.”Dirga masih sadar, dia ingat kalau Andaru dan Kandita yang membawanya ke dalam gua.“Untuk sementara waktu kamu sembunyi dulu di sini. Karmila sudah mengetahui semuanya. Dia tahu kalau kamu yang sudah melakukan pembantaian di rumah sakit jiwa itu. Bahkan bukan hanya Karmila yang tahu, tapi juga perempuan itu, Nurlaila.” Kandita berkata kepadanya.“M-maafkan aku. Aku gagal membunuh
Di tempat lain, seseorang juga sudah tersadar dari pingsannya. Karmila bangun dan mendapati kedua orang tuanya berdiri di hadapannya, Kandita dan Andaru, dalam keadaan lengkap, sehat, tanpa ada jejak-jejak penuaan sama sekali apalagi lebam mayat seperti yang pernah Karmila saksikan pada tubuh Andaru waktu terakhir kali mereka bertemu.“Ayah?” Karmila tercengang melihat betapa besar perbedaan penampilan ayahnya itu.Kandita dan Andaru bagai sepasang remaja, muda, belia, penuh vitalitas. Padahal kenyataannya usia mereka sudah sangat tua.“Kamu sudah bangun, Sayang?” Andaru berkata sambil tersenyum.“Apa benar ini kau, Ayah?” Karmila masih tidak dapat memercayai penglihatannya. Bagaimana mungkin hanya dalam semalam Andaru yang tadinya berwujud mengerikan, tak ubahnya bagai mayat hidup, berubah menjadi muda belia, seperti remaja belasan tahun. Dia tampan dan gagah.“Ya, ini benar ayahmu, putriku yang manis.” Andaru merentangkan tangan, berputar, memamerkan kerupawanannya.Pada saat itu, j