Siti syok mendapati muntahan darah dari mulut Candra ke mukanya. Dia mendadak mematung diserang kengerian yang teramat sangat. Dia melihat mata Candra berubah jadi merah nyalang. Nyalinya menciut. Dia kembali melihat perubahan ekspresi Candra yang melihatnya dengan ganas ingin menerkam. Dia bisa bergerak ketika Candra menggeram siap menyerang. Namun, karena terlalu panik bukannya masuk ke mobil, dia justru berlari ke dalam gang permukiman.Ketakutan membuatnya tidak mendengar suara mobil Pak Rudi yang menjauh. Dia hanya mendapati suara tapak kaki Candra yang berlari mengejarnya serta teriaknnya sendiri meminta pertolongan warga. Sekeras apa pun dia meminta bantuan, tidak ada satu pun warga yang berniat menolongnya. Beberapa warga memang mendengar suaranya, tetapi mereka tetap memilih mengunci rapat pintu rumah. Masyarakat setempat sudah kompak bersembunyi dalam rumah dan hanya berkomunikasi di grup WhatsApp RT. Teriakan Siti semakin membuat warga waspada dan yakin untuk tetap bertah
Pak Rudi mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi. Dia panik. Kedua tangannya agak gemetar memegang kemudi. Dia tidak menyangka kalau Candra menjadi zombi. Dia juga yakin Siti telah dibunuh oleh Candra dan menjadi zombi. Diam-diam dia menenangkan diri dan bersyukur. Kalau saja perubahan Candra menjadi zombi berada di dalam mobil, barangkali dia dan semuanya telah mati dan menjadi mayat hidup. Untung saja Candra muntah di luar mobil. Untung saja dia juga mau menepikan mobil, bersabar sejenak dari menempuh tujuan demi keselamatan. Dia pun merasa keadaan berpihak padanya.Dalam diam pula Pak Rudi sekilas melirik Lena di sebelah kirinya. Tak sanggup rasanya jika dia kehilangan anaknya itu. Dia juga tidak bisa membayangkan jika tadi menjadi zombi dan harus membunuh Lena. Atau justru Lena yang menjadi zombi dan harus membunuhnya. Kalau sampai itu terjadi, tentu penyesalan begitu terasa karena dia menyetujui mengajak Candra. Kini batinnya berusaha tenang meski dia sadar harus tetap waspad
Permukiman yang diserang Candra dan Siti kini menjelma sarang zombi. Perempuan dan laki-laki dari beragam usia banyak yang telah menjadi zombi dan menyerang warga lainnya. Keadaan itu terus berulang sehingga jumlah zombi bertambah banyak. Orang-orang yang selamat dari serangan para zombi bukan hanya bertahan dan bersembunyi di rumah, tetapi mereka meminta pertolongan pada siapa saja melalui telepon dan media sosial. Berita mengenai permukiman itu akhirnya cepat menyebar. Dari satu RT ke RT yang lain, dari satu RW ke RW yang lainnya, dan dari satu desa ke desa lainnya. Semua orang makin waspada dan bersiap untuk memblokade jalan menuju permukiman mereka.Dengan air liur bercampur darah menetes di sela-sela bibir, Candra menggeram siap terus menyerang. Dia bergerak tiada henti. Tidak terasa lelah. Dia sangat bersemangat mengejar mangsanya. Dia sudah membunuh lebih dari dua puluh orang, dan orang-orang yang dibunuhnya itu telah menjadi zombi dan membunuh banyak orang lainnya. Sementara
Pak Idrus menghentikan mobilnya karena diadang tiga Patriot. Bu Fani dan Dini mendadak tegang mendapati jalan di depannya diblokade dan dijaga banyak Patriot bersenjata lengkap.“Tenang, jangan takut. Justru kehadiran para Patriot menegaskan kita udah ada di tempat yang aman,” kata Pak Idrus berupaya menentramkan kegusaran istri dan anaknya.Bu Fani dan Dini tidak menjawab. Kantuk mereka tiba-tiba hilang digantikan kewaswasan. Kendati mendengar ucapan Pak Idrus barusan, tetap saja mereka kesulitan mendamaikan perasaan.Seorang Patriot meminta Pak Idrus mematikan mesin mobil dan keluar. Dia didampingi dua Patriot yang lantas mengawasi Bu Fani dan Dini, termasuk Pak RT, Pak Jaki, dan Irma yang berada di bak belakang.Patriot itu menanyakan hal yang sama seperti yang dia tanyakan sebelumnya kepada Pak Rudi. Jawaban Pak Idrus juga kurang lebih sama, bahwa permukimannya sudah tidak bisa digunakan untuk tempat bertahan dan bersembunyi. Pak Idrus menjelaskan, terlalu berisiko jika tetap
Kiman meringkuk di atas meja dalam kamar jenazah. Dia berhasil tidur meski sesekali terbangun. Keadaan itu akibat dirinya sadar bahwa keadaan masih berbahaya. Sebenarnya dia ingin tetap terjaga, tetapi kantuk dan lelah menyerangnya, sehingga dia tak kuasa tetap terjaga. Akhirnya sejak dua jam lalu memutuskan beristirahat di atas meja karena berbaring di lantai tentu saja kedinginan.Tiba-tiba Kiman tersentak dari tidurnya karena mendengar suara gaduh. Dia langsung duduk karena terkejut bukan main. Dia mengusap wajah dengan batin bertanya-tanya. Dia meyakinkan diri, bahwa saat ini tengah mendengar suara langkah kaki. Dia bahkan bisa meyakinkan bahwa itu adalah suara sepatu TNI atau polisi yang berlari di koridor rumah sakit. Dia lantas turun dari meja.Itu pasti para Patriot yang udah berhasil masuk ke rumah sakit, tandas batin Kiman dengan hati diletupi kebahagiaan. Mereka akan nyelamatin gue, sambung batinnya. Meksi begitu, Kiman tetap melangkah hati-hati menuju pintu kaca. Dia
Pak Sapto memarkirkan motornya di depan rumah kontrakan. Dia mengucapkan salam, tetapi tidak ada yang menjawab. Dia masuk ke ruang depan dan tidak mendapati siapa pun. Di ruang tengah yang dijadikan kamar pun tidak ada orang. Dia ke ruang belakang, di mana dapur kecil berselebahan kamar mandi yang juga tidak ada anak dan istrinya. Dia yang baru pulang mengojek merasa lapar. Dibukanya tudung saji. Dia tidak mendapati makanan sedikit pun. Ditelannya ludah dengan kecewa.Dia masuk ke kamar mandi. Dicucinya muka yang kotor dan berminyak. Dia kemudian mendengar suara Wati dan Bu Erna—istrinya—di ruang tengah. Dia lantas menyeka air di mukanya seraya menghampiri mereka. “Pada dari mana?” tanyanya yang berdiri di dekat Bu Erna.Alih-alih Bu Erna menjawab, justru Wati yang lebih dulu menyahut, “Dari rumah nenek, Pak.”Pak Sapto mendadak kesal. Ini bukan kali pertama Bu Erna mengajak Wati ke rumah mertuanya itu. Dia yakin Bu Erna bukan hanya main atau bertamu biasa, pastinya istrinya itu m
Jam lima pagi Pak Sapto sudah keluar mengojek. Dia hanya minum teh manis hangat buatan sendiri. Dia tidak mau meminta Bu Erna yang sedang mencuci pakaian di kamar mandi membuat sarapan untuknya. Pertama, memang tidak ada stok makanan. Hanya ada beras tinggal satu liter. Tidak ada nasi sisa semalam. Tidak ada bumbu penyedap. Tidak ada cabai, bawang, dan bumbu dapur lainnya. Kedua, dia tidak mau membuat Bu Erna marah lagi dengan hanya meminta dibuatkan minuman hangat. Daripada pagi yang masih lumayan dingin ini menjadi panas, dia memilih pergi bahkan tanpa pamitan. Semalam juga dia tidur di lantai ruang depan. Dibiarkannya Wati dan Bu Erna tidur di kasur di ruang tengah.Dia sengaja berusaha keluar rumah sepagi mungkin untuk mendapatkan penumpang yang mau berangkat kerja. Meski dia tahu dan sudah merasakan persaingan yang berat melawan ojek daring, tetap saja mau tak mau keadaan itu terus dilalui. Dia tidak dapat berpikir hal lain selain mengojek. Dia tidak punya keahlian lain. Mungki
Semakin hari Pak Sapto kian merasa tertekan. Dia tidak bercerita pada Bu Erna kalau uang yang didapat ojek sebenarnya sedikit. Kebanyakan dia dapat dari mengutang sana-sini. Berhari-hari dia berusaha gali lubang tutup lubang menyoal utangnya itu. Namun, lubangnya kian dalam dan membesar, sementara tutupnya justru mengecil. Penghasilannya tidak bisa mencukupi kebutuhannya, terutama untuk anak dan istrinya.Akan tetapi, Pak Sapto terus berupaya terlihat baik-baik saja di depan Bu Erna dan Wati. Dia bersikap seolah tidak sedang mengalami masalah besar bernama utang. Sementara Bu Erna hanya tahu utang-utangnya di warung Bu Yuni bisa terus dibayar dari uang yang diberikan Pak Sapto. Bu Erna tidak tahu uang diberikan Pak Sapto adalah hasil dari utang suaminya itu kepada beberapa orang.Jam lima sore itu Pak Sapto pulang dan langsung duduk di lantai ruang depan. Dia sudah berusaha mencari pengguna ojek pangkalan, tetapi hasilnya tidak seperti harapan. Seharian cuma dapat dua orang yang mi