Gudy mengerjap, tidak menyangka dengan pertanyaan mendadak dari Kinanti. Kalau di tanya begitu, memang Gudy menunggu, tapi kalau jawaban dari Kinanti yang cepat malah hanya berupa penolakan, maaf saja Gudy masih waras untuk memilih nanti saja.
"Kalau Tante mau menjawab iya, maka sekarang boleh banget, tapi kalau jawabannya tidak, mohon maaf Tante, nanti saja ya. Moga-moga kalau diundur, jawaban Tante jadi berubah." Gudy tersenyum manis. Senyum dengan tujuan menenangkan diri dari goncangan dahsyat keputusan sang calon ibu mertua.
Kinanti tertawa renyah, merasa lucu dengan tingkah dan ucapan pemuda di depannya. "Apa benar begitu?"
Gudy mengangguk semangat, "benar Tante." Buru-buru Gudy menambahkan di saat melihat Kinanti hendak membuka mulut. Terlalu parno, Gudy takut kata yang keluar dari mulut Kinanti adalah berupa penolakan. "Maaf sekali Tante karena tidak bisa berlama-lama lagi. Saya ada meeting di perusahaan."
"Lagi pula siapa yang ingin kamu berla
Gudy mengambil air yang tersedia di depannya, menengguk untuk membasahi kerongkongannya yang mendadak kering. Ia melihat kanan kirinya, ada tiga pasang mata yang sedang mengawasinya. Ia menelan ludah, mencoba tersenyum di tengah kekalutan hatinya sendiri."Bagaimana kabar Nak Gudy sekarang?"Gudy mentap Kinanti dengan senyum tak terbaca. "Baik."Kinanti tersenyum, "sekarang Nak Gudy sudah mampir, apa..,""Ya Tante saya sudah siap mendengar jawaban dari lamaran pada Maria." Gudy berkata cepat dan hanya dalam satu tarikan napas. Ia sedikit mendongak dan itu hanya untuk mendapati semua orang menatapnya dengan wajah tercengang.Kinanti yang pertama menyadari kegugupan Gudy, ia tertawa renyah karena merasa terhibur dengan tingkah gugup Gudy. "Padahal Tante hanya mau mengajakmu makan loh.""Ma-makan?" Gu
"Bagaiamana saksi sah?"Seorang penghulu melirik beberapa saksi yang duduk di sisi dan belakang Gudy dengan pandangan penuh penilaian. Bibirnya menyunggingkan senyuman tipis menunggu para saksi mengucapkan kata yang akan merubah Gudy menjadi seorang suami bagi Maria."Sah," serempak para saksi mengucapkan 'sah' setelah saling pandang."Alhamdulillahirobiolalamain," Sang penghulu mengucap hamdalah sambil dilanjutkan dengan doa, begitu pula orang-orang yang hadir menjadi saksi pernikahan, mereka mengangkat tangan untuk ikut berdoa."Sekarang sang mempelai wanita bisa di bawa ke sini," sang penghulu menatap Bagus yang duduk di depan Gudy.Bagus mengangguk, melepaskan jabatan tangannya dengan Gudy. Ia harus menjemput putrinya yang sudah bersuami lagi. Betapa bahagianya ia sekarang karena akhirnya dapat menyaksika
Gudy terbelalak begitu bangun di pagi hari. Menengok kanan kirinya, ia tidak menemukan Maria ada di mana-mana. Apa yang terjadi? Apa semalam memang tidak terjadi apa-apa?Gudy menunduk melihat penampilannya sendiri, baju kemeja dan celana bahan yang kemarin ia pakai untuk resepsi pernikahan. Melihat sekeliling, kamarnya masih kamar pengantin.Kemarin Gudy dan Maria melaksanan akad nikah sekaligus resepsi di hotel, jadi saat ini Gudy seharusnya bersama Maria masih ada di hotel untuk malam pertama. 3 hari menginap Gudy rasa itu adalah waktu sebentar sebelum kemudian mereka memutuskan untuk tinggal di mana.Gudy membaringkan kembali tubuhnya, berguling memeluk guling di samping kirinya. Menguyel-nguyel untuk menyalurkan rasa gregetnya. Kenapa bisa semalam ia ketiduran?CklekSaat pintu kamar mandi terbuka, Maria
Dua bulan kemudianGudy menggeliat merubah posisi tidurnya untuk mencari kenyaman, tapi saat satu tangannya meraba tempat di samping yang selalu menjadi kebiasaan Maria tidur ia tidak dapat menemukan istrinya itu. Gudy langsung membuka matanya, untuk memastikan. Benar saja, Maria tidak ia temukan di mana-mana."Sayang," Gudy memanggil serak.Tidak ada jawaban. Gydy turun dari ranjang, mencari keberadaan istri yang baru ia nikahi dua bulan lalu itu. Kini dirinya dan Maria sudah tinggal di rumah mereka, tidak lagi tinggal bersama orang tua Maria.Drama menjengkelkan dengannya Arkan tidak mau mengijinkan Maria untuk pindah membuat Gudy ingin menggigit habis sosok kakak iparnya itu. Pada akhirnya setelah sang nyonya besar Kinanti menjewer telinga Arkan, barulah ia dapat membawa Maria lepas dari sosok kakak yang selalu memonopoli istri tersayangnya itu.&
Maria yang tengah membuat bubur untuk Marni sang mertua terkejut dengan kedatangan Fiko sambil menggandeng tangan seorang perempuan cantik. Tanpa rasa bersalah, Fiko memperkenalkan perempuan di sampingnya sebagai istri barunya kepada Maria. Maria hanya mematung shok tanpa bisa berucap apa-apa sampai perempuan itu mengulurkan tangannya untuk mengajak Maria berjabat tangan."Perkenalkan! Nama aku Sela Anastsya Arindi, istri keduanya Mas Fiko." Sela tersenyum manis kearah Maria. " Kamu pasti Maria, istri pertamanya Mas Fiko."Maria tidak menanggapai perempuan yang mengaku bernama Sela itu membuat Fiko menggeram marah. "Maria! Mana sopan santunmu? Cepat terima uluran tangannya Sela!" Fiko meninggikan suaranya karena merasa Maria malah melamunkan sesuatu dan bukannya dengan cepat menyambut uluran tangan Sela. Fiko tau Maria shock, tapi tidak dengan mengabaikan Sela. Kalau Maria tau tujuannya menikahi Sela, Fiko yakin Maria akan berterima kasih pada dirinya
Maria tersentak ketika mendapati air dingin menyiram kewajahnya. Dia mendongak mendapati Marni yang tersenyum culas memandangnya jijik. Seolah belum puas, Marni kembali melempari Maria dengan gayung yang tadi dia pakai untuk menampung air."Dasar pemalas. Cepat bangun dan siapakan sarapan!" Marni melewati Maria begitu saja. Dengan sengaja Marni tidak menjauhkan roda kursinya yang ada di depan jari tangan Maria sehingga dengan naas menggilasnya.Maria menjerit sakit ketika tangannya tergilas roda. Marni hanya melihatnya sekilas lalu melanjutkan niatnya untuk keluar.Maria mengusap jari tangannya pelan. Ingin marah, tapi dia cukup sadar dengan keberadaan di rumah ini saja orang-orang sudah tak menginginkannya.Dia melihat jam di nakas dan baru menunjukan pukul 04. Pagi. Dia bergegas kekamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Setelah selesai menunaikan ibadah shalat, dia pergi kedapur untuk memasak. Namun, waktu melewati kamarnya yang dulu dia dan Fiko t
"Sebaiknya mulai sekarang kamu harus tau diri!" Sela menyeringai. "Sebelum Fiko membuangmu dengan hina, lebih baik kamu pergi dengan terhormat."Maria menatap datar Sela. "Sepertinya kamu begitu ingin saya pergi?" Maria tidak tau letak salahnya di mana sehingga Sela bisa begitu tidak menyukainya. Harusnya, di sini yang merasakan ketidak sukaan adalah dirinya karena sela telah masuk ke dalam pernikahannya. Walaupun agama memperbolehkannya, tapi itu juga harus sesuai dengan syariat yang telah ditentukan. Dan letak poligami yang Fiko lakukan tentu tidak dapat di benarkan."Tentu!" Sela menyilangkan tangannya di dada dan memandang Maria rendah. "Orang sepertimu hanya bagaikan batu kerikil yang ingin dipungut untuk dijadikan berlian. Harusnya kamu sadar, sekali kerikil tetap kerikil. walau digosok sedemikian rupa pun, nilai jualnya akan tetap sama rendah. Sama sepertimu yang rendahan.""Bicaramu seolah kamu berlian saja. Saya kerikil, na
Di ruang tamu semua orang sudah berkumpul. Ada Marni, Fiko, dan Sela. Maria melirik Marni sekilas yang duduk di kursi roda sebelum berjalan santai sampai berhadapan dengan Fiko."Kamu tau kan di rumah tidak ada makanan. Semua orang kelaparan. Kenapa kamu malah keluar?" Fiko berucap lembut. Bagaimana pun, ini bulan kesalahan penuh Maria. Sela juga istrinya, jadi yang memasak bukan kewajiban Maria seorang.Maria melirik Sela dan menyeringai samar sampai tidak ada yang menyadarinya kecuali Sela. "Tadi pagi aku udah mau masak. Tapi, pas aku buka kulkas, di sana tidak ada bahan apapun yang bisa di masak.""Kenapa gak belanja?" Fiko masih berbicara dengan nada lembut. Fiko tidak ingin mengulangi kesalahannya waktu itu yang sempat membentak Maria.Maria menampilkan wajah tak berdosanya. "Yang pegang uang gajian Mas, kan Sela. Aku kira Sela yang belanja semua kebutuhan rumah. Jadi, mana tau kalau ternyata Sela tidak bisa membagi waktu walau hanya untu
Dua bulan kemudianGudy menggeliat merubah posisi tidurnya untuk mencari kenyaman, tapi saat satu tangannya meraba tempat di samping yang selalu menjadi kebiasaan Maria tidur ia tidak dapat menemukan istrinya itu. Gudy langsung membuka matanya, untuk memastikan. Benar saja, Maria tidak ia temukan di mana-mana."Sayang," Gudy memanggil serak.Tidak ada jawaban. Gydy turun dari ranjang, mencari keberadaan istri yang baru ia nikahi dua bulan lalu itu. Kini dirinya dan Maria sudah tinggal di rumah mereka, tidak lagi tinggal bersama orang tua Maria.Drama menjengkelkan dengannya Arkan tidak mau mengijinkan Maria untuk pindah membuat Gudy ingin menggigit habis sosok kakak iparnya itu. Pada akhirnya setelah sang nyonya besar Kinanti menjewer telinga Arkan, barulah ia dapat membawa Maria lepas dari sosok kakak yang selalu memonopoli istri tersayangnya itu.&
Gudy terbelalak begitu bangun di pagi hari. Menengok kanan kirinya, ia tidak menemukan Maria ada di mana-mana. Apa yang terjadi? Apa semalam memang tidak terjadi apa-apa?Gudy menunduk melihat penampilannya sendiri, baju kemeja dan celana bahan yang kemarin ia pakai untuk resepsi pernikahan. Melihat sekeliling, kamarnya masih kamar pengantin.Kemarin Gudy dan Maria melaksanan akad nikah sekaligus resepsi di hotel, jadi saat ini Gudy seharusnya bersama Maria masih ada di hotel untuk malam pertama. 3 hari menginap Gudy rasa itu adalah waktu sebentar sebelum kemudian mereka memutuskan untuk tinggal di mana.Gudy membaringkan kembali tubuhnya, berguling memeluk guling di samping kirinya. Menguyel-nguyel untuk menyalurkan rasa gregetnya. Kenapa bisa semalam ia ketiduran?CklekSaat pintu kamar mandi terbuka, Maria
"Bagaiamana saksi sah?"Seorang penghulu melirik beberapa saksi yang duduk di sisi dan belakang Gudy dengan pandangan penuh penilaian. Bibirnya menyunggingkan senyuman tipis menunggu para saksi mengucapkan kata yang akan merubah Gudy menjadi seorang suami bagi Maria."Sah," serempak para saksi mengucapkan 'sah' setelah saling pandang."Alhamdulillahirobiolalamain," Sang penghulu mengucap hamdalah sambil dilanjutkan dengan doa, begitu pula orang-orang yang hadir menjadi saksi pernikahan, mereka mengangkat tangan untuk ikut berdoa."Sekarang sang mempelai wanita bisa di bawa ke sini," sang penghulu menatap Bagus yang duduk di depan Gudy.Bagus mengangguk, melepaskan jabatan tangannya dengan Gudy. Ia harus menjemput putrinya yang sudah bersuami lagi. Betapa bahagianya ia sekarang karena akhirnya dapat menyaksika
Gudy mengambil air yang tersedia di depannya, menengguk untuk membasahi kerongkongannya yang mendadak kering. Ia melihat kanan kirinya, ada tiga pasang mata yang sedang mengawasinya. Ia menelan ludah, mencoba tersenyum di tengah kekalutan hatinya sendiri."Bagaimana kabar Nak Gudy sekarang?"Gudy mentap Kinanti dengan senyum tak terbaca. "Baik."Kinanti tersenyum, "sekarang Nak Gudy sudah mampir, apa..,""Ya Tante saya sudah siap mendengar jawaban dari lamaran pada Maria." Gudy berkata cepat dan hanya dalam satu tarikan napas. Ia sedikit mendongak dan itu hanya untuk mendapati semua orang menatapnya dengan wajah tercengang.Kinanti yang pertama menyadari kegugupan Gudy, ia tertawa renyah karena merasa terhibur dengan tingkah gugup Gudy. "Padahal Tante hanya mau mengajakmu makan loh.""Ma-makan?" Gu
Gudy mengerjap, tidak menyangka dengan pertanyaan mendadak dari Kinanti. Kalau di tanya begitu, memang Gudy menunggu, tapi kalau jawaban dari Kinanti yang cepat malah hanya berupa penolakan, maaf saja Gudy masih waras untuk memilih nanti saja. "Kalau Tante mau menjawab iya, maka sekarang boleh banget, tapi kalau jawabannya tidak, mohon maaf Tante, nanti saja ya. Moga-moga kalau diundur, jawaban Tante jadi berubah." Gudy tersenyum manis. Senyum dengan tujuan menenangkan diri dari goncangan dahsyat keputusan sang calon ibu mertua. Kinanti tertawa renyah, merasa lucu dengan tingkah dan ucapan pemuda di depannya. "Apa benar begitu?" Gudy mengangguk semangat, "benar Tante." Buru-buru Gudy menambahkan di saat melihat Kinanti hendak membuka mulut. Terlalu parno, Gudy takut kata yang keluar dari mulut Kinanti adalah berupa penolakan. "Maaf sekali Tante karena tidak bisa berlama-lama lagi. Saya ada meeting di perusahaan." "Lagi pula siapa yang ingin kamu berla
"Apa yang kamu katakan?" Bagus menatap tajam Arkan. Namun, Arkan sama sekali tidak terpengaruh dengan peringatan Bagus, dia kini menatap satu persatu orang-orang yang menatap serempak ke arahnya."Saya tidak mau adik saya menikah dengan dia kalau tidak menyiapkan pelangkah.""Pelangkah apa?" Maria bertanya heran. Kenapa kakaknya ini bertingkah aneh? Setaunya Arkan bukan orang yang suka meminta hal-hal seperti ini.Arkan melipat tangan di depan dada, senyum menyebalkan tersungging di wajah angkuhnya. Dia terkekeh jahat dalam hati. Kalau laki-laki ini ingin mengambil adik kesayangannya, maka dia juga bisa mengambil hal paling berharga milik Gudy."Kak?" Maria memanggil untuk menyadarkan Arkan dari khayalannya.Arkan menatap lembut Maria, kemudian menoleh ke arah Gudy dengan seringaian kurang ajar. "Saya ingin pelangkah berupa mini market milikmu. Entah kenapa, saya merasa ada ketertarikan dengan mini market itu, mungkin jodoh."Gudy berkedip.
Nudy menggilirkan matanya ke sana ke mari mengikuti langkah Gudy yang sudah seperti setrikaan baju. Dia berdecak jengkel karena lehernya mulai pegal teros mendongak dari satu jam yang lalu. Salah dia sendiri memang, sudah tahu Gudy tengah gelisah, tetap saja dia penasaran akan kakaknya itu.Berkali-kali Gudy melihat, lalu menyimpan kembali Handpohn di tangangannya ke dalam saku celana. Helaan napas kasar sudah puluhan kali dia keluarkan. Bukan pusing yang saat ini Gudy rasakan, melainkan dug dug ser jantungnya yang dari tadi berdetak terus.Gudy tidak dapat untuk tidak berpikir, apa dia saja yang mengalami hal seperti ini saat melamar anak orang? Apa orang lain juga mengalami hal sama? Baru kali ini Gudy merasa hidupnya berada di ambang antara hidup dan mati."Kak, lo sudah kaya setrika yang di pakai bok Narsih pakai ngelicin baju. Pusing gue lihat, lo. Perut gue rasanya diaduk, mabok darat gue gara-gara kelamaan melototin lo yang mondar-mandir sana-sini." Nudy
"Memangnya kenapa? Apa Pak Gudy mau mencabut kembali ucapan barusan?" Maria balik menantang. Dia kesal sekali. Ada apa sebenarnya dengn hari ini? Kenapa bosnya mendadak melamar?"Mana ada, tidak. Saya bahkan berencana melamar kamu dengan datang langsung pada orang tuamu, makanya sekaramg saya susul kamu untuk nanya alamat rumah baru kamu." Gudy semakin nyolot. Dia makin kesal karena Maria lagi-lagi meragukan lamarannya."Bodo, saya gak mau ngasih tahu. Bapak cari tahu saja sendiri." Maria menjawab judes. Kenapa Gudy malah yerus berbicara sembarangan?"Baik, tapi kalau saya berhasil menemukan alamt rumah kamu, maka saat nanti saya meresmikan lamaran saya, kamu harus mau menerimanya!""Kok Bapak malah ngatur?" Maria menjawab sewot. Entahlah, hari ini Maria begitu berani melawan ucapan bosnya ini."Sudah! Sekarang kamu pulang mau saya antar atau sendiri?""Sendiri, kalau diantar Bapak nanti malah tahu rumah saya di mana." Maria membengkok
Maria yang hendak memasukan suapan pada mulutnya otomatis terhenti di tengah jalan. Dia menurunkan kembali sendok yang sudah teracung di depan mulutnya. Maria menatap Gudy tepat pada matanya.Gudy berdehem untuk menetralisir kegugupan akibat dipandang selekat itu oleh Maria. Mata coklat Maria seakan menembus jantungnya dan membuat debaran tak beratur dalam dadanya."Dia mantan suamiku.""Mantan?" Gudy mengulang ucapan Maria. Jadi Maria ini seorang janda. Gudy hampir tidak percaya. Pantas saja laki-laki itu dan Maria terlihat seperti punya masa lalu cukup dekat.Dari awal Maria memang tidak pernah berniat menutupi statusnya dari keluarga ini. Alasan dia tidak pernah mengatakannya selama ini, ya simpel karena memang tidak ada yang bertanya kepadanya."Jadi Maria sudah pernah menikah?" Arum yang duduk di samping Maria bertanya kembali."Iya.""Kenapa bercerai?" Arum bertanya penasaran. Jiwa keponya tidak bisa ia tahan."Bun,