Arkan berdiri, dia menatap sang papa dengan wajah sembabnya. "Dia Uri, putri kecil Papa yang sudah meninggal."
Bagai disambar petir, Bagus melotot terkejut pada anak sulungnya ini. "Apa kamu bilang?"
Arkan mengusap jejak air mata di pipinya. Dengan menyematkan senyuman kecil, Arkan menepuk pelan bahu Bagus. "Kita bicara di ruangan Arkan."
Sekali lagi Bagus melihat istrinya yang masih berpelukan dengan perempuan muda yang dikatakan putrinya itu sebelum mengikuti Arkan menuju ruangannya. Dia begitu penasaran dengan apa yang diucapkan Arkan, bukankah putrinya sudah meninggal belasan tahun lalu? Arkan sendiri yang mengatakan kalau Uri putrinya ikut terbakar dalam mobil itu.
"Jelaskan ucapanmu tadi!" Bagus segera menodong Arkan saat pintu sudah tertutup rapat.
Arkan mendudukan tubuhnya di sopa yang terdapat di ruangannya. "Dia Maria Nurindah, adik Arkan yang kecelakaan belasan tahun lalu. Uri tidak ikut terbakar dalam mobil. Orang yang terbakar dal
Saat Maria sadar, dia sudah ada di ruangan pertama kali dia bangun dari pingsannya yang pertama. Kini semua ingatannya sudah pulih kembali. Dia sekarang mengerti dengan alasan kenapa selama ini dia tidak bisa mengingat masa kecilnya.Dulu dikecelakaan dan dari kecelakaan itu dia amenjadi hilang ingatan. Namun, dia mengetahui alsan dia hilang ingatan dan kenapa dia bisa berada di rumah sang nenek yang selama ini merawatnya.Maria begitu kecewa pada Arkan. Kenapa Arkan harus menyembunyikan jati dirinya dari mamah dan papanya? Kenapa tidak dari awal Arkan jujur?Saat sedang melamun, Maria mendengar pintu terbuka. Dia melihat pintu itu didorong dari luar dan memperlihatkan sang papa."Sudah bangun, Uri?""Sudah," Maria menjawab serak.Bagus mengambil gelas berisi air di atas nakas dan memberikannya pada Maria yang sudah duduk menyender di tepi ranjang. Maria menghabiskan air itu karena memang tenggorokannya terasa kering."Sudah merasa ba
Maria sedikit memiringkan kepalanya. Dia yakin yang datang mencarinya adalah Fiko, Marni, dan Sela. Namun, tentang perkataan mereka yang mengatakan Maria pembunuh, kenapa tidak dapat dimengerti olehnya?Apa saking frustasinya mereka sampai menuduhnya macam-macam? Maria menggelengkan kepala heran. Pantas saja hampir semua orang langsung menatapnya saat tadi dia baru pertama masuk."Maaf Pak Gudy, tapi saya tidak pernah membunuh orang.""Ya, saya mana tahu. Orangnya sudah saya usir kemarin, tapi tidak menutup kemungkinan bakal datang lagi atau bisa jadi mereka akan menemui kamu rumahmu."Gudy menghampiri Maria dan meletakan paper bag di atas meja kerja Maria. "Ini oleh-oleh buat kamu. Tadinya saya mau kasih ini kemarin. Berhubung kamu tidak masuk, jadi saya ksih sekarang.""Ini apa, Pak?" Maria mengambil paper bag itu. Setelah melihat isinya, Maria cukup terkejut karena itu adalah sebuah kalung dengan bandul inisial M."Apa ini tidak berlebiha
Mendengar ucapan Fiko yang kelewat asal ceplos, semua orang serentak menatapnya dengan pandangan berbeda-beda. Terutama Sela yang kini menatap Fiko dengan kobaran api cemburu yang begitu besar.Rasa benci pada Maria begitu tak kendali dalam hatinya. Sela teramat dipenuhi aura suram yang melekat kuat, bahkan Sela tidak tidak ingat kapan tangannya ini melayang menampar pipi Maria."SELA!" Fiko membentak Sela. Dia tidak menyangka perempuan yang dia kenal lembut dan sopan ternyata berani menampar Maria. Fiko jelas kecewa atas sikaf Sela barusan, dia taku Maria menolak kembali ajakannya.Sela menoleh ke arah Fiko yang baru saja membentaknya. Hati yang baru saja retak akibat ajakan Fiko pada Maria, kini semakin hancur akan Fiko yang membentaknya. Sela membuang wajah agar air matanya tidak terlihat oleh siapapun, terutama Maria yang dia anggap saingannya.Maria mengusap pipinya yang panas. Dia ingin membalas perlakuan Sela barusan, tapi tertahan akan Sela yang t
Fiko terdiam kaku begitu Jonthan selesai mengakui ayah dari bayi yang dikandung Sela. Dia terlalu shok hingga semua ini bagaikan mimpi saja. Perlahan Fiko menoleh ke arah Sela yang sudah menangis sesenggukan. Dia tidak percaya, kalau wanita yang dia anggap begitu mencintainya itu sampai melakukan kecurangan dalam pernikahannya.Fiko linglung, hampir saja dia terjatuh apabila tangannya tidak menahan dengan bersandar pada ranjang."Ma-mas, apa yang diucapkannya itu bohong. Mas, gak percaya kan sama dia?" Sela terbata. Dia begitu khawatir Fiko mempercayai semua ucapan Jontahan."Ayolah sayang! Buat apa kamu terus mempertahankan laki-laki menyedihkan seperti dia. Jelas kamu tahu kalau dia hanya memanfaatkanmu saja, masih saja kamu bela-belain." Jonthan berdecak kesal sambil menggelengkan kepala heran."Tutup mulutmu! Kamu berbicara omong kosong." Sela berteriak marah sambil menatap Jonthan dengan tatapan tersinis yang dia punya.Bagai orang gila,
Maria yang hendak memasukan suapan pada mulutnya otomatis terhenti di tengah jalan. Dia menurunkan kembali sendok yang sudah teracung di depan mulutnya. Maria menatap Gudy tepat pada matanya.Gudy berdehem untuk menetralisir kegugupan akibat dipandang selekat itu oleh Maria. Mata coklat Maria seakan menembus jantungnya dan membuat debaran tak beratur dalam dadanya."Dia mantan suamiku.""Mantan?" Gudy mengulang ucapan Maria. Jadi Maria ini seorang janda. Gudy hampir tidak percaya. Pantas saja laki-laki itu dan Maria terlihat seperti punya masa lalu cukup dekat.Dari awal Maria memang tidak pernah berniat menutupi statusnya dari keluarga ini. Alasan dia tidak pernah mengatakannya selama ini, ya simpel karena memang tidak ada yang bertanya kepadanya."Jadi Maria sudah pernah menikah?" Arum yang duduk di samping Maria bertanya kembali."Iya.""Kenapa bercerai?" Arum bertanya penasaran. Jiwa keponya tidak bisa ia tahan."Bun,
"Memangnya kenapa? Apa Pak Gudy mau mencabut kembali ucapan barusan?" Maria balik menantang. Dia kesal sekali. Ada apa sebenarnya dengn hari ini? Kenapa bosnya mendadak melamar?"Mana ada, tidak. Saya bahkan berencana melamar kamu dengan datang langsung pada orang tuamu, makanya sekaramg saya susul kamu untuk nanya alamat rumah baru kamu." Gudy semakin nyolot. Dia makin kesal karena Maria lagi-lagi meragukan lamarannya."Bodo, saya gak mau ngasih tahu. Bapak cari tahu saja sendiri." Maria menjawab judes. Kenapa Gudy malah yerus berbicara sembarangan?"Baik, tapi kalau saya berhasil menemukan alamt rumah kamu, maka saat nanti saya meresmikan lamaran saya, kamu harus mau menerimanya!""Kok Bapak malah ngatur?" Maria menjawab sewot. Entahlah, hari ini Maria begitu berani melawan ucapan bosnya ini."Sudah! Sekarang kamu pulang mau saya antar atau sendiri?""Sendiri, kalau diantar Bapak nanti malah tahu rumah saya di mana." Maria membengkok
Nudy menggilirkan matanya ke sana ke mari mengikuti langkah Gudy yang sudah seperti setrikaan baju. Dia berdecak jengkel karena lehernya mulai pegal teros mendongak dari satu jam yang lalu. Salah dia sendiri memang, sudah tahu Gudy tengah gelisah, tetap saja dia penasaran akan kakaknya itu.Berkali-kali Gudy melihat, lalu menyimpan kembali Handpohn di tangangannya ke dalam saku celana. Helaan napas kasar sudah puluhan kali dia keluarkan. Bukan pusing yang saat ini Gudy rasakan, melainkan dug dug ser jantungnya yang dari tadi berdetak terus.Gudy tidak dapat untuk tidak berpikir, apa dia saja yang mengalami hal seperti ini saat melamar anak orang? Apa orang lain juga mengalami hal sama? Baru kali ini Gudy merasa hidupnya berada di ambang antara hidup dan mati."Kak, lo sudah kaya setrika yang di pakai bok Narsih pakai ngelicin baju. Pusing gue lihat, lo. Perut gue rasanya diaduk, mabok darat gue gara-gara kelamaan melototin lo yang mondar-mandir sana-sini." Nudy
"Apa yang kamu katakan?" Bagus menatap tajam Arkan. Namun, Arkan sama sekali tidak terpengaruh dengan peringatan Bagus, dia kini menatap satu persatu orang-orang yang menatap serempak ke arahnya."Saya tidak mau adik saya menikah dengan dia kalau tidak menyiapkan pelangkah.""Pelangkah apa?" Maria bertanya heran. Kenapa kakaknya ini bertingkah aneh? Setaunya Arkan bukan orang yang suka meminta hal-hal seperti ini.Arkan melipat tangan di depan dada, senyum menyebalkan tersungging di wajah angkuhnya. Dia terkekeh jahat dalam hati. Kalau laki-laki ini ingin mengambil adik kesayangannya, maka dia juga bisa mengambil hal paling berharga milik Gudy."Kak?" Maria memanggil untuk menyadarkan Arkan dari khayalannya.Arkan menatap lembut Maria, kemudian menoleh ke arah Gudy dengan seringaian kurang ajar. "Saya ingin pelangkah berupa mini market milikmu. Entah kenapa, saya merasa ada ketertarikan dengan mini market itu, mungkin jodoh."Gudy berkedip.
Dua bulan kemudianGudy menggeliat merubah posisi tidurnya untuk mencari kenyaman, tapi saat satu tangannya meraba tempat di samping yang selalu menjadi kebiasaan Maria tidur ia tidak dapat menemukan istrinya itu. Gudy langsung membuka matanya, untuk memastikan. Benar saja, Maria tidak ia temukan di mana-mana."Sayang," Gudy memanggil serak.Tidak ada jawaban. Gydy turun dari ranjang, mencari keberadaan istri yang baru ia nikahi dua bulan lalu itu. Kini dirinya dan Maria sudah tinggal di rumah mereka, tidak lagi tinggal bersama orang tua Maria.Drama menjengkelkan dengannya Arkan tidak mau mengijinkan Maria untuk pindah membuat Gudy ingin menggigit habis sosok kakak iparnya itu. Pada akhirnya setelah sang nyonya besar Kinanti menjewer telinga Arkan, barulah ia dapat membawa Maria lepas dari sosok kakak yang selalu memonopoli istri tersayangnya itu.&
Gudy terbelalak begitu bangun di pagi hari. Menengok kanan kirinya, ia tidak menemukan Maria ada di mana-mana. Apa yang terjadi? Apa semalam memang tidak terjadi apa-apa?Gudy menunduk melihat penampilannya sendiri, baju kemeja dan celana bahan yang kemarin ia pakai untuk resepsi pernikahan. Melihat sekeliling, kamarnya masih kamar pengantin.Kemarin Gudy dan Maria melaksanan akad nikah sekaligus resepsi di hotel, jadi saat ini Gudy seharusnya bersama Maria masih ada di hotel untuk malam pertama. 3 hari menginap Gudy rasa itu adalah waktu sebentar sebelum kemudian mereka memutuskan untuk tinggal di mana.Gudy membaringkan kembali tubuhnya, berguling memeluk guling di samping kirinya. Menguyel-nguyel untuk menyalurkan rasa gregetnya. Kenapa bisa semalam ia ketiduran?CklekSaat pintu kamar mandi terbuka, Maria
"Bagaiamana saksi sah?"Seorang penghulu melirik beberapa saksi yang duduk di sisi dan belakang Gudy dengan pandangan penuh penilaian. Bibirnya menyunggingkan senyuman tipis menunggu para saksi mengucapkan kata yang akan merubah Gudy menjadi seorang suami bagi Maria."Sah," serempak para saksi mengucapkan 'sah' setelah saling pandang."Alhamdulillahirobiolalamain," Sang penghulu mengucap hamdalah sambil dilanjutkan dengan doa, begitu pula orang-orang yang hadir menjadi saksi pernikahan, mereka mengangkat tangan untuk ikut berdoa."Sekarang sang mempelai wanita bisa di bawa ke sini," sang penghulu menatap Bagus yang duduk di depan Gudy.Bagus mengangguk, melepaskan jabatan tangannya dengan Gudy. Ia harus menjemput putrinya yang sudah bersuami lagi. Betapa bahagianya ia sekarang karena akhirnya dapat menyaksika
Gudy mengambil air yang tersedia di depannya, menengguk untuk membasahi kerongkongannya yang mendadak kering. Ia melihat kanan kirinya, ada tiga pasang mata yang sedang mengawasinya. Ia menelan ludah, mencoba tersenyum di tengah kekalutan hatinya sendiri."Bagaimana kabar Nak Gudy sekarang?"Gudy mentap Kinanti dengan senyum tak terbaca. "Baik."Kinanti tersenyum, "sekarang Nak Gudy sudah mampir, apa..,""Ya Tante saya sudah siap mendengar jawaban dari lamaran pada Maria." Gudy berkata cepat dan hanya dalam satu tarikan napas. Ia sedikit mendongak dan itu hanya untuk mendapati semua orang menatapnya dengan wajah tercengang.Kinanti yang pertama menyadari kegugupan Gudy, ia tertawa renyah karena merasa terhibur dengan tingkah gugup Gudy. "Padahal Tante hanya mau mengajakmu makan loh.""Ma-makan?" Gu
Gudy mengerjap, tidak menyangka dengan pertanyaan mendadak dari Kinanti. Kalau di tanya begitu, memang Gudy menunggu, tapi kalau jawaban dari Kinanti yang cepat malah hanya berupa penolakan, maaf saja Gudy masih waras untuk memilih nanti saja. "Kalau Tante mau menjawab iya, maka sekarang boleh banget, tapi kalau jawabannya tidak, mohon maaf Tante, nanti saja ya. Moga-moga kalau diundur, jawaban Tante jadi berubah." Gudy tersenyum manis. Senyum dengan tujuan menenangkan diri dari goncangan dahsyat keputusan sang calon ibu mertua. Kinanti tertawa renyah, merasa lucu dengan tingkah dan ucapan pemuda di depannya. "Apa benar begitu?" Gudy mengangguk semangat, "benar Tante." Buru-buru Gudy menambahkan di saat melihat Kinanti hendak membuka mulut. Terlalu parno, Gudy takut kata yang keluar dari mulut Kinanti adalah berupa penolakan. "Maaf sekali Tante karena tidak bisa berlama-lama lagi. Saya ada meeting di perusahaan." "Lagi pula siapa yang ingin kamu berla
"Apa yang kamu katakan?" Bagus menatap tajam Arkan. Namun, Arkan sama sekali tidak terpengaruh dengan peringatan Bagus, dia kini menatap satu persatu orang-orang yang menatap serempak ke arahnya."Saya tidak mau adik saya menikah dengan dia kalau tidak menyiapkan pelangkah.""Pelangkah apa?" Maria bertanya heran. Kenapa kakaknya ini bertingkah aneh? Setaunya Arkan bukan orang yang suka meminta hal-hal seperti ini.Arkan melipat tangan di depan dada, senyum menyebalkan tersungging di wajah angkuhnya. Dia terkekeh jahat dalam hati. Kalau laki-laki ini ingin mengambil adik kesayangannya, maka dia juga bisa mengambil hal paling berharga milik Gudy."Kak?" Maria memanggil untuk menyadarkan Arkan dari khayalannya.Arkan menatap lembut Maria, kemudian menoleh ke arah Gudy dengan seringaian kurang ajar. "Saya ingin pelangkah berupa mini market milikmu. Entah kenapa, saya merasa ada ketertarikan dengan mini market itu, mungkin jodoh."Gudy berkedip.
Nudy menggilirkan matanya ke sana ke mari mengikuti langkah Gudy yang sudah seperti setrikaan baju. Dia berdecak jengkel karena lehernya mulai pegal teros mendongak dari satu jam yang lalu. Salah dia sendiri memang, sudah tahu Gudy tengah gelisah, tetap saja dia penasaran akan kakaknya itu.Berkali-kali Gudy melihat, lalu menyimpan kembali Handpohn di tangangannya ke dalam saku celana. Helaan napas kasar sudah puluhan kali dia keluarkan. Bukan pusing yang saat ini Gudy rasakan, melainkan dug dug ser jantungnya yang dari tadi berdetak terus.Gudy tidak dapat untuk tidak berpikir, apa dia saja yang mengalami hal seperti ini saat melamar anak orang? Apa orang lain juga mengalami hal sama? Baru kali ini Gudy merasa hidupnya berada di ambang antara hidup dan mati."Kak, lo sudah kaya setrika yang di pakai bok Narsih pakai ngelicin baju. Pusing gue lihat, lo. Perut gue rasanya diaduk, mabok darat gue gara-gara kelamaan melototin lo yang mondar-mandir sana-sini." Nudy
"Memangnya kenapa? Apa Pak Gudy mau mencabut kembali ucapan barusan?" Maria balik menantang. Dia kesal sekali. Ada apa sebenarnya dengn hari ini? Kenapa bosnya mendadak melamar?"Mana ada, tidak. Saya bahkan berencana melamar kamu dengan datang langsung pada orang tuamu, makanya sekaramg saya susul kamu untuk nanya alamat rumah baru kamu." Gudy semakin nyolot. Dia makin kesal karena Maria lagi-lagi meragukan lamarannya."Bodo, saya gak mau ngasih tahu. Bapak cari tahu saja sendiri." Maria menjawab judes. Kenapa Gudy malah yerus berbicara sembarangan?"Baik, tapi kalau saya berhasil menemukan alamt rumah kamu, maka saat nanti saya meresmikan lamaran saya, kamu harus mau menerimanya!""Kok Bapak malah ngatur?" Maria menjawab sewot. Entahlah, hari ini Maria begitu berani melawan ucapan bosnya ini."Sudah! Sekarang kamu pulang mau saya antar atau sendiri?""Sendiri, kalau diantar Bapak nanti malah tahu rumah saya di mana." Maria membengkok
Maria yang hendak memasukan suapan pada mulutnya otomatis terhenti di tengah jalan. Dia menurunkan kembali sendok yang sudah teracung di depan mulutnya. Maria menatap Gudy tepat pada matanya.Gudy berdehem untuk menetralisir kegugupan akibat dipandang selekat itu oleh Maria. Mata coklat Maria seakan menembus jantungnya dan membuat debaran tak beratur dalam dadanya."Dia mantan suamiku.""Mantan?" Gudy mengulang ucapan Maria. Jadi Maria ini seorang janda. Gudy hampir tidak percaya. Pantas saja laki-laki itu dan Maria terlihat seperti punya masa lalu cukup dekat.Dari awal Maria memang tidak pernah berniat menutupi statusnya dari keluarga ini. Alasan dia tidak pernah mengatakannya selama ini, ya simpel karena memang tidak ada yang bertanya kepadanya."Jadi Maria sudah pernah menikah?" Arum yang duduk di samping Maria bertanya kembali."Iya.""Kenapa bercerai?" Arum bertanya penasaran. Jiwa keponya tidak bisa ia tahan."Bun,