“Mas, udah tidur?” Aku membaca pesan itu di HP suamiku dari kontak yang diberi nama Siska. Mas Dani sudah terlelap. Sepulang kerja, ia langsung merebahkan tubuh di kasur. Mungkin kelelahan.
Pikiranku dipenuhi pertanyaan, siapa Siska? Untuk apa ia mengirim pesan malam-malam begini? Kalau membahas urusan kantor, itu bisa didiskusikan esok hari. Tidak perlu mengganggu jam istirahat orang lain. Aku mencoba scroll-up pesan-pesan itu. Lancang sekali wanita ini, ia sering kali spam walau beberapa kali tidak ditanggapi oleh suamiku. Juga, ada beberapa voice note yang ia kirimkan. Aku memutar, suaranya terdengar bergelayut manja. Menjijikan sekali! Masih men-scroll lagi. Sebuah pesan yang membuat aku ingin berkata kasar. “Mas, bisa aku pinjam uang? Anakku mau bayar buku sekolah.” Dia kira siapa? Seenaknya saja pinjam uang kepada suami orang. Ingin sekali menghilangkan semua prasangka, tetapi dilihat dari gaya bahasanya sudah menunjukkan etika tidak baik. Pikiranku dibawa melayang ke mana-mana. Aku hanya takut, sifat iba suamiku membuatnya luluh. Sehingga dengan mudah terbuai bujuk rayu wanita itu. Kenapa Mas Dani tidak pernah bercerita perihal ini? Walau balasan suamiku terlihat cuek, tetap saja ada perasaan khawatir menghantui. Karena masih penasaran, kuputuskan membuka foto yang dijadikan sebagai display picture. Siska? Aku mengingat-ingat sosok itu. Wajahnya seperti tidak asing. Ah, aku ingat. Ini bukan rekan kerja Mas Dani, melainkan tetangga komplek. Seorang janda beranak satu. Ini berbahaya.Aku tidak pernah melarang Mas Dani berbuat baik. Dia memang biasa membantu seseorang yang membutuhkan. Dia boleh saja memberi uang, tetapi harus kepada orang yang tepat.“Belum. Ada apa?” Aku sengaja membalas pesan Siska karena penasaran apa yang ingin ia katakan.“Besok bisa ketemu nggak?”Dia mengajak bertemu? Maunya apa wanita ini?“Mau apa?”“Ada sesuatu yang mau aku bicarain.”Sepertinya memang ada yang tidak beres. Jangan-jangan, Siska mau berniat jahat, ingin mengambil Mas Dani dariku. Itu tidak boleh terjadi!“Bicara di sini saja.”“Nggak bisa, Mas. Ini penting.”Aku segera memutar otak. Aku harus berbuat sesuatu, jika tidak, dia pasti akan menebar virus. Wanita ini pandai sekali bersandiwara. Siska selalu bersikap baik saat sedang bertemu denganku. menyapa dengan keramah-tamahannya. Ternyata, di belakang, ia sedang berusaha menggoda suamiku.“Ketemu di mana?”“Di Kafe Cendana.”“Jam berapa?”“Jam lima sore. Sekalian nunggu kamu pulang kerja. Gimana?” Wanita itu pasti sedang berbunga-bunga karena mendapat tanggapan dari suamiku. Ia tidak tahu saja sedang berurusan dengan siapa. Ditambah, pesannya yang selalu disisipkan emotikon senyum sok manis. Yang lebih parah, ia juga menyisipkan emotikon hati. “Oke. Oiya, langsung ketemu di sana aja, ya. Besok jangan hubungi aku, kalau aku belum hubungin kamu dulu. Karena istriku bilang, dia mau pinjem HP-ku.” Aku sengaja mengirim pesan itu, karena, jika tidak, besok dia pasti akan menghubungi suamiku sebelum berangkat ke tempat yang telah dijanjikan. “Siap.” Sebelum kuhapus riwayat chat itu, aku men-screenshote terlebih dahulu. Hasil tangkapan layar segera kukirim ke nomor pribadiku. Tak lupa voice note Siska juga kuteruskan ke W******p-ku. Setelah semua beres, baru kuhapus. Jangan sampai meninggalkan jejak. Belum saatnya Mas Dani tahu. Harus kuselidiki lebih jauh, niat apa yang akan Siska lakukan.❤❤❤ Pagi hari, aku melayani suami seperti biasa. Tidak kuceritakan perihal chat semalam. “Semalem, kamu keliatan capek banget, Mas?” “Iya. Kerjaan di kantor banyak banget. Jadi, pulang kantor langsung tepar.” “Nanti sore, kita jalan, yuk, Mas,” ajakku sambil mengambilkan nasi beserta lauk-pauknya. “Jalan ke mana?” “Nongkrong gitu di kafe.” “Kafe mana?” “Cendana.” “Yaudah. Tapi, nunggu aku pulang kerja, ya.” “Iya, Mas. Gimana kalau kita langsung ketemu di sana? Kan, deket kantormu itu.” “Terus, kamu?” “Nanti aku ngojek online aja.” “Yaudah.” Mas Dani berangkat kerja. Aku menyiapkan keperluannya seperti biasa. Mengantarkan sampai depan rumah. Lalu, menyalami penuh takzim. Tak akan kubiarkan Siska dan Mas Dani bertemu hanya berdua saja. Aku harus turut bersama mereka. Sesaat teringat, aku mempunyai kontak Bu Nur—Ibu Siska. Kebetulan, kami sering satu majelis. Kemarin juga baru saja bertemu, membahas seragam ibu-ibu pengajian. “Bu Nur, gimana? Udah dapet model gamisnya?” Sengaja kukirim pesan itu, sebatas basa-basi, karena ada tujuan lain yang sebenarnya ingin kusampaikan. Di usianya yang sudah agak berumur, Bu Nur masih terlihat cantik. Mungkin, karena ia pandai merawat diri. Juga, penampilannya yang elegan. Walau gamis dan kerudung sederhana yang ia kenakan, tapi akan selalu terlihat cantik di tubuhnya. Bu Nur pandai memadu-madankan busana. Tak heran, ia dipercaya mencarikan model gamis untuk seragam. Beberapa tahun berinteraksi dengan Bu Nur, aku dapat melihat kalau kepribadiannya baik. Heran saja, kenapa memiliki anak seperti Siska. Siska memang tidak pernah turut bersama kami. Mungkin, ia tidak suka dengan acara-acara majelis seperti yang sering ibunya ikuti. “Udah ada beberapa. Bingung, nih, mau pilih yang mana. Kayanya, kita harus diskusiin lagi.” “Oiya. Gimana kalau kita ketemu buat diskusiin itu?” “Boleh, tuh, di mana?” “Kayanya bosen, ya, ngobrol di rumah terus. Gimana kalau sekali-kali di kafe? Sekalian jalan-jalan?” “Boleh juga. Lama nggak ke luar, nih.” Aku yakin Bu Nur menyetujui. Walau sudah tua, tapi jiwa mudanya masih membara. Dia pasti tidak keberatan kuajak ke kafe. “Yaudah, Di kafe Cendana jam lima, ya, Bu.” “Oke, deh.” “Oiya, Bu. Gimana kalau ngajak suami sekalian? Nanti biar jadi double date gitu.” Tak lupa kuimbuhkan emotikon tawa di pesan itu. “Eh, beneran nggak papa? Emang para suami nggak terganggu bahas kaya gitu?” “Enggak apa-apa. Suami kita, kan baik, Bu. He-he.” “Iya, sih. Suamiku pasti nggak masalah.” “Tujuan utamanya, kan merefresh otak, ya, Bu.” “Yaudah. Nanti ketemu di sana, ya.”❤❤❤ Aku sudah berada di tempat yang dijanjikan Siska. Kulihat, wanita itu telah berada di sana. Ia duduk membelakangiku. Jadi tak perlu khawatir, dia pasti tidak akan menyadari keberadaanku. Sekarang, tinggal menunggu Mas Dani dan orang tua Siska datang. Sebentar lagi, suamiku akan datang. Ia baru saja mengabari melalui W******p. Katanya, sedang berada di perjalanan. Begitu pula Bu Nur, ia juga baru saja mengabari jika sebentar lagi sampai. Tidak disangka, suamiku dan Bu Nur datang bersamaan. Mereka terlihat berbincang dari arah pintu. Drama dimulai, Siska! “Kalian, kok bisa barengan?” “Iya. Tadi ketemu di parkiran.” Aku segera membawa mereka menuju meja Siska. Orang tua Siska terlihat terkejut. Apalagi Siska. Dia tampak keheranan, karena ada orang tuanya di sini. “Hallo ... Siska,” sapaku dengan senyum semanis mungkin.Bersambung ....“Kamu, kok di sini?” tanya Bu Nur yang keheranan karena mendapati anaknya berada di tempat yang sama.“Maaf, Bu Nur, Pak Hadi ... saya nggak cerita dulu kalau ngajak Siska sekalian. Nggak apa-apa, kan, Bu? Itung-itung pertemuan dua keluarga. He-he.” Aku menjawab pertanyaan Bu Nur. Sementara, Siska masih terdiam di kursinya.“Tau gitu, kan bisa berangkat bareng. Tadi bilangnya mau ada urusan. Ternyata urusannya sama-sama di sini.” Pak Hadi menambahkan.“Yaudah. Kita pindah sana, yuk!” Aku menunjuk meja panjang di tengah. Siska pandai sekali mengambil posisi. Seolah semua telah terencana secara matang. Ia memilih meja bundar dengan dua kursi saling berhadapan. Meja itu terletak di pojok ruang, dekat jendela. Jadi, bisa terlihat jelas lalu lalang kendaraan. Ditambah, vas dengan bunga berwarna merah menggenapi meja. Aku benar-benar yakin, Siska telah merencanakan sebuah pertemuan romantis.Aku mempersilakan duduk. Memanggil pelayan untuk meminta daftar menu. Pak Hadi dan Bu Nur tampak
Pagi ini, aku beserta suami sudah bersiap dengan kaos dan celana training. Setiap hari Minggu memang selalu diadakan bersih-bersih. Selain menjaga lingkungan, kegiatan ini juga sebagai ajang bersilaturahmi bersama tetangga. Selesai bersih-bersih, kami akan makan bersama. Walau tergolong hidup di kota. Namun, gotong-royong masih tertanam kuat.Di lokasi, tampak warga telah berkumpul dengan membawa peralatan kebersihan masing-masing. Mas Dani segera bergabung bersama grup bapak-bapak. Sementara, aku berkumpul dengan ibu-ibu yang terlihat sedang sibuk menyiapkan makanan di teras rumah Pak RT. Keramaian mewarnai perkumpulan mereka. Entah apa yang sedang dibahas. Namun, mereka terihat saling menyahut. Sesekali terdengar tawa terbahak.“Rame bener.”“Eh, Mbak Ana, sini!” sapa salah satu warga.Ada yang aneh pada pemandangan kali ini. Wanita yang baru kemarin berseteru denganku, ternyata berada di tempat yang sama. Tidak biasa Siska turut terjun bersama warga melaksanakan kegiatan mingg
“Mas, maaf, ya. Aku nggak bilang dulu kalau ada Siska juga kemarin.” Aku sibuk menyiapkan baju ganti untuk suamiku. Mas Dani duduk di sofa sambil melepas sepatu. Juga beberapa atribut yang masih melekat di badannya. Jas, dasi dan jam tangan. “Iya, nggak apa-apa. Sikap kamu kaya aneh kemarin itu.” “Kamu tau, kenapa aku melakukan ini?” Mas Dani menggeleng. Aku mengambil smartphone dan langsung membuka galeri untuk mencari hasil tangkapan layar itu. Setelah ketemu, baru kuperlihatkan kepada suamiku. Dia mengamati, membaca satu per satu pesan. “Aku, kok nggak tau kalau Siska chat, Dek?” “Iya. Aku hapus. Maaf, ya, lancang buka HP-mu.” “Enggak apa-apa. Aku juga nggak ngerti kenapa sikap Siska kaya gitu. Aneh rasanya.” Aku mendekat. Duduk tepat di samping suamiku. “Mas, kamu tau kenapa Siska begitu?” “Kenapa?” “Karena dia suka kamu.” “Masa, sih, Dek?” “Iya, Mas.” “Padahal, sikapku biasa aja.” “Gimana ceritanya Siska bisa dapetin nomor kamu? Kita, kan tau, dia itu jarang bersosia
Aku menghela napas panjang setelah kepergian dua wanita itu. Sikap Ibu sudah menjadi makanan sehari-hari. Tak heran jika aku semakin kebal dengan perlakuannya yang seringkali menujukkan ketidaksukaan terhadapku.Mas Dani baru selesai mandi. Ia mengucek-ucek rambutnya yang masih basah dengan handuk.“Barusan ada siapa, Dek? Ibu, ya?”“Iya, Mas.”“Mana? Udah pulang?”“Udah.”“Kok sebentar? Ngapain emang?”“Nggak tau juga mau apa.”“Ngasih makanan itu, ya? Kok tumben?”Mas Dani pasti melihat makanan dari Siska yang aku letakkan begitu saja di dapur.“Bukan. Itu bukan dari Ibu.”“Lah, kamu yang masak, Dek? Kok kilat banget.”“Itu dari Siska.”“Siska?”“Iya. Cari gara-gara mulu ya, wanita itu.”Mas Dani meletakkan handuk basah begitu saja di sofa. Aku hanya geleng-geleng kepala. Sudah sering kuberi tahu untuk meletakkan handuk basah di tempat yang semestinya, tetapi tetap saja pesan itu tak diindahkan.Dengan sukarela, kupindahkan handuk tersebut di gantungan yang telah disediakan. Setelah
Aku menghela napas panjang setelah kepergian dua wanita itu. Sikap Ibu sudah menjadi makanan sehari-hari. Tak heran jika aku semakin kebal dengan perlakuannya yang seringkali menujukkan ketidaksukaan terhadapku.Mas Dani baru selesai mandi. Ia mengucek-ucek rambutnya yang masih basah dengan handuk.“Barusan ada siapa, Dek? Ibu, ya?”“Iya, Mas.”“Mana? Udah pulang?”“Udah.”“Kok sebentar? Ngapain emang?”“Nggak tau juga mau apa.”“Ngasih makanan itu, ya? Kok tumben?”Mas Dani pasti melihat makanan dari Siska yang aku letakkan begitu saja di dapur.“Bukan. Itu bukan dari Ibu.”“Lah, kamu yang masak, Dek? Kok kilat banget.”“Itu dari Siska.”“Siska?”“Iya. Cari gara-gara mulu ya, wanita itu.”Mas Dani meletakkan handuk basah begitu saja di sofa. Aku hanya geleng-geleng kepala. Sudah sering kuberi tahu untuk meletakkan handuk basah di tempat yang semestinya, tetapi tetap saja pesan itu tak diindahkan.Dengan sukarela, kupindahkan handuk tersebut di gantungan yang telah disediakan. Setelah
“Mas, maaf, ya. Aku nggak bilang dulu kalau ada Siska juga kemarin.” Aku sibuk menyiapkan baju ganti untuk suamiku. Mas Dani duduk di sofa sambil melepas sepatu. Juga beberapa atribut yang masih melekat di badannya. Jas, dasi dan jam tangan. “Iya, nggak apa-apa. Sikap kamu kaya aneh kemarin itu.” “Kamu tau, kenapa aku melakukan ini?” Mas Dani menggeleng. Aku mengambil smartphone dan langsung membuka galeri untuk mencari hasil tangkapan layar itu. Setelah ketemu, baru kuperlihatkan kepada suamiku. Dia mengamati, membaca satu per satu pesan. “Aku, kok nggak tau kalau Siska chat, Dek?” “Iya. Aku hapus. Maaf, ya, lancang buka HP-mu.” “Enggak apa-apa. Aku juga nggak ngerti kenapa sikap Siska kaya gitu. Aneh rasanya.” Aku mendekat. Duduk tepat di samping suamiku. “Mas, kamu tau kenapa Siska begitu?” “Kenapa?” “Karena dia suka kamu.” “Masa, sih, Dek?” “Iya, Mas.” “Padahal, sikapku biasa aja.” “Gimana ceritanya Siska bisa dapetin nomor kamu? Kita, kan tau, dia itu jarang bersosia
Pagi ini, aku beserta suami sudah bersiap dengan kaos dan celana training. Setiap hari Minggu memang selalu diadakan bersih-bersih. Selain menjaga lingkungan, kegiatan ini juga sebagai ajang bersilaturahmi bersama tetangga. Selesai bersih-bersih, kami akan makan bersama. Walau tergolong hidup di kota. Namun, gotong-royong masih tertanam kuat.Di lokasi, tampak warga telah berkumpul dengan membawa peralatan kebersihan masing-masing. Mas Dani segera bergabung bersama grup bapak-bapak. Sementara, aku berkumpul dengan ibu-ibu yang terlihat sedang sibuk menyiapkan makanan di teras rumah Pak RT. Keramaian mewarnai perkumpulan mereka. Entah apa yang sedang dibahas. Namun, mereka terihat saling menyahut. Sesekali terdengar tawa terbahak.“Rame bener.”“Eh, Mbak Ana, sini!” sapa salah satu warga.Ada yang aneh pada pemandangan kali ini. Wanita yang baru kemarin berseteru denganku, ternyata berada di tempat yang sama. Tidak biasa Siska turut terjun bersama warga melaksanakan kegiatan mingg
“Kamu, kok di sini?” tanya Bu Nur yang keheranan karena mendapati anaknya berada di tempat yang sama.“Maaf, Bu Nur, Pak Hadi ... saya nggak cerita dulu kalau ngajak Siska sekalian. Nggak apa-apa, kan, Bu? Itung-itung pertemuan dua keluarga. He-he.” Aku menjawab pertanyaan Bu Nur. Sementara, Siska masih terdiam di kursinya.“Tau gitu, kan bisa berangkat bareng. Tadi bilangnya mau ada urusan. Ternyata urusannya sama-sama di sini.” Pak Hadi menambahkan.“Yaudah. Kita pindah sana, yuk!” Aku menunjuk meja panjang di tengah. Siska pandai sekali mengambil posisi. Seolah semua telah terencana secara matang. Ia memilih meja bundar dengan dua kursi saling berhadapan. Meja itu terletak di pojok ruang, dekat jendela. Jadi, bisa terlihat jelas lalu lalang kendaraan. Ditambah, vas dengan bunga berwarna merah menggenapi meja. Aku benar-benar yakin, Siska telah merencanakan sebuah pertemuan romantis.Aku mempersilakan duduk. Memanggil pelayan untuk meminta daftar menu. Pak Hadi dan Bu Nur tampak
“Mas, udah tidur?” Aku membaca pesan itu di HP suamiku dari kontak yang diberi nama Siska. Mas Dani sudah terlelap. Sepulang kerja, ia langsung merebahkan tubuh di kasur. Mungkin kelelahan.Pikiranku dipenuhi pertanyaan, siapa Siska? Untuk apa ia mengirim pesan malam-malam begini? Kalau membahas urusan kantor, itu bisa didiskusikan esok hari. Tidak perlu mengganggu jam istirahat orang lain.Aku mencoba scroll-up pesan-pesan itu. Lancang sekali wanita ini, ia sering kali spam walau beberapa kali tidak ditanggapi oleh suamiku. Juga, ada beberapa voice note yang ia kirimkan. Aku memutar, suaranya terdengar bergelayut manja. Menjijikan sekali! Masih men-scroll lagi. Sebuah pesan yang membuat aku ingin berkata kasar. “Mas, bisa aku pinjam uang? Anakku mau bayar buku sekolah.”Dia kira siapa? Seenaknya saja pinjam uang kepada suami orang. Ingin sekali menghilangkan semua prasangka, tetapi dilihat dari gaya bahasanya sudah menunjukkan etika tidak baik. Pikiranku dibawa melayang ke mana