“Mas, udah tidur?” Aku membaca pesan itu di HP suamiku dari kontak yang diberi nama Siska. Mas Dani sudah terlelap. Sepulang kerja, ia langsung merebahkan tubuh di kasur. Mungkin kelelahan.Pikiranku dipenuhi pertanyaan, siapa Siska? Untuk apa ia mengirim pesan malam-malam begini? Kalau membahas urusan kantor, itu bisa didiskusikan esok hari. Tidak perlu mengganggu jam istirahat orang lain.Aku mencoba scroll-up pesan-pesan itu. Lancang sekali wanita ini, ia sering kali spam walau beberapa kali tidak ditanggapi oleh suamiku. Juga, ada beberapa voice note yang ia kirimkan. Aku memutar, suaranya terdengar bergelayut manja. Menjijikan sekali! Masih men-scroll lagi. Sebuah pesan yang membuat aku ingin berkata kasar. “Mas, bisa aku pinjam uang? Anakku mau bayar buku sekolah.”Dia kira siapa? Seenaknya saja pinjam uang kepada suami orang. Ingin sekali menghilangkan semua prasangka, tetapi dilihat dari gaya bahasanya sudah menunjukkan etika tidak baik. Pikiranku dibawa melayang ke mana
“Kamu, kok di sini?” tanya Bu Nur yang keheranan karena mendapati anaknya berada di tempat yang sama.“Maaf, Bu Nur, Pak Hadi ... saya nggak cerita dulu kalau ngajak Siska sekalian. Nggak apa-apa, kan, Bu? Itung-itung pertemuan dua keluarga. He-he.” Aku menjawab pertanyaan Bu Nur. Sementara, Siska masih terdiam di kursinya.“Tau gitu, kan bisa berangkat bareng. Tadi bilangnya mau ada urusan. Ternyata urusannya sama-sama di sini.” Pak Hadi menambahkan.“Yaudah. Kita pindah sana, yuk!” Aku menunjuk meja panjang di tengah. Siska pandai sekali mengambil posisi. Seolah semua telah terencana secara matang. Ia memilih meja bundar dengan dua kursi saling berhadapan. Meja itu terletak di pojok ruang, dekat jendela. Jadi, bisa terlihat jelas lalu lalang kendaraan. Ditambah, vas dengan bunga berwarna merah menggenapi meja. Aku benar-benar yakin, Siska telah merencanakan sebuah pertemuan romantis.Aku mempersilakan duduk. Memanggil pelayan untuk meminta daftar menu. Pak Hadi dan Bu Nur tampak
Pagi ini, aku beserta suami sudah bersiap dengan kaos dan celana training. Setiap hari Minggu memang selalu diadakan bersih-bersih. Selain menjaga lingkungan, kegiatan ini juga sebagai ajang bersilaturahmi bersama tetangga. Selesai bersih-bersih, kami akan makan bersama. Walau tergolong hidup di kota. Namun, gotong-royong masih tertanam kuat.Di lokasi, tampak warga telah berkumpul dengan membawa peralatan kebersihan masing-masing. Mas Dani segera bergabung bersama grup bapak-bapak. Sementara, aku berkumpul dengan ibu-ibu yang terlihat sedang sibuk menyiapkan makanan di teras rumah Pak RT. Keramaian mewarnai perkumpulan mereka. Entah apa yang sedang dibahas. Namun, mereka terihat saling menyahut. Sesekali terdengar tawa terbahak.“Rame bener.”“Eh, Mbak Ana, sini!” sapa salah satu warga.Ada yang aneh pada pemandangan kali ini. Wanita yang baru kemarin berseteru denganku, ternyata berada di tempat yang sama. Tidak biasa Siska turut terjun bersama warga melaksanakan kegiatan mingg
“Mas, maaf, ya. Aku nggak bilang dulu kalau ada Siska juga kemarin.” Aku sibuk menyiapkan baju ganti untuk suamiku. Mas Dani duduk di sofa sambil melepas sepatu. Juga beberapa atribut yang masih melekat di badannya. Jas, dasi dan jam tangan. “Iya, nggak apa-apa. Sikap kamu kaya aneh kemarin itu.” “Kamu tau, kenapa aku melakukan ini?” Mas Dani menggeleng. Aku mengambil smartphone dan langsung membuka galeri untuk mencari hasil tangkapan layar itu. Setelah ketemu, baru kuperlihatkan kepada suamiku. Dia mengamati, membaca satu per satu pesan. “Aku, kok nggak tau kalau Siska chat, Dek?” “Iya. Aku hapus. Maaf, ya, lancang buka HP-mu.” “Enggak apa-apa. Aku juga nggak ngerti kenapa sikap Siska kaya gitu. Aneh rasanya.” Aku mendekat. Duduk tepat di samping suamiku. “Mas, kamu tau kenapa Siska begitu?” “Kenapa?” “Karena dia suka kamu.” “Masa, sih, Dek?” “Iya, Mas.” “Padahal, sikapku biasa aja.” “Gimana ceritanya Siska bisa dapetin nomor kamu? Kita, kan tau, dia itu jarang bersosia
Aku menghela napas panjang setelah kepergian dua wanita itu. Sikap Ibu sudah menjadi makanan sehari-hari. Tak heran jika aku semakin kebal dengan perlakuannya yang seringkali menujukkan ketidaksukaan terhadapku.Mas Dani baru selesai mandi. Ia mengucek-ucek rambutnya yang masih basah dengan handuk.“Barusan ada siapa, Dek? Ibu, ya?”“Iya, Mas.”“Mana? Udah pulang?”“Udah.”“Kok sebentar? Ngapain emang?”“Nggak tau juga mau apa.”“Ngasih makanan itu, ya? Kok tumben?”Mas Dani pasti melihat makanan dari Siska yang aku letakkan begitu saja di dapur.“Bukan. Itu bukan dari Ibu.”“Lah, kamu yang masak, Dek? Kok kilat banget.”“Itu dari Siska.”“Siska?”“Iya. Cari gara-gara mulu ya, wanita itu.”Mas Dani meletakkan handuk basah begitu saja di sofa. Aku hanya geleng-geleng kepala. Sudah sering kuberi tahu untuk meletakkan handuk basah di tempat yang semestinya, tetapi tetap saja pesan itu tak diindahkan.Dengan sukarela, kupindahkan handuk tersebut di gantungan yang telah disediakan. Setelah
“Mas, maaf, ya. Aku nggak bilang dulu kalau ada Siska juga kemarin.” Aku sibuk menyiapkan baju ganti untuk suamiku. Mas Dani duduk di sofa sambil melepas sepatu. Juga beberapa atribut yang masih melekat di badannya. Jas, dasi dan jam tangan. “Iya, nggak apa-apa. Sikap kamu kaya aneh kemarin itu.” “Kamu tau, kenapa aku melakukan ini?” Mas Dani menggeleng. Aku mengambil smartphone dan langsung membuka galeri untuk mencari hasil tangkapan layar itu. Setelah ketemu, baru kuperlihatkan kepada suamiku. Dia mengamati, membaca satu per satu pesan. “Aku, kok nggak tau kalau Siska chat, Dek?” “Iya. Aku hapus. Maaf, ya, lancang buka HP-mu.” “Enggak apa-apa. Aku juga nggak ngerti kenapa sikap Siska kaya gitu. Aneh rasanya.” Aku mendekat. Duduk tepat di samping suamiku. “Mas, kamu tau kenapa Siska begitu?” “Kenapa?” “Karena dia suka kamu.” “Masa, sih, Dek?” “Iya, Mas.” “Padahal, sikapku biasa aja.” “Gimana ceritanya Siska bisa dapetin nomor kamu? Kita, kan tau, dia itu jarang bersosia
Pagi ini, aku beserta suami sudah bersiap dengan kaos dan celana training. Setiap hari Minggu memang selalu diadakan bersih-bersih. Selain menjaga lingkungan, kegiatan ini juga sebagai ajang bersilaturahmi bersama tetangga. Selesai bersih-bersih, kami akan makan bersama. Walau tergolong hidup di kota. Namun, gotong-royong masih tertanam kuat.Di lokasi, tampak warga telah berkumpul dengan membawa peralatan kebersihan masing-masing. Mas Dani segera bergabung bersama grup bapak-bapak. Sementara, aku berkumpul dengan ibu-ibu yang terlihat sedang sibuk menyiapkan makanan di teras rumah Pak RT. Keramaian mewarnai perkumpulan mereka. Entah apa yang sedang dibahas. Namun, mereka terihat saling menyahut. Sesekali terdengar tawa terbahak.“Rame bener.”“Eh, Mbak Ana, sini!” sapa salah satu warga.Ada yang aneh pada pemandangan kali ini. Wanita yang baru kemarin berseteru denganku, ternyata berada di tempat yang sama. Tidak biasa Siska turut terjun bersama warga melaksanakan kegiatan mingg
“Kamu, kok di sini?” tanya Bu Nur yang keheranan karena mendapati anaknya berada di tempat yang sama.“Maaf, Bu Nur, Pak Hadi ... saya nggak cerita dulu kalau ngajak Siska sekalian. Nggak apa-apa, kan, Bu? Itung-itung pertemuan dua keluarga. He-he.” Aku menjawab pertanyaan Bu Nur. Sementara, Siska masih terdiam di kursinya.“Tau gitu, kan bisa berangkat bareng. Tadi bilangnya mau ada urusan. Ternyata urusannya sama-sama di sini.” Pak Hadi menambahkan.“Yaudah. Kita pindah sana, yuk!” Aku menunjuk meja panjang di tengah. Siska pandai sekali mengambil posisi. Seolah semua telah terencana secara matang. Ia memilih meja bundar dengan dua kursi saling berhadapan. Meja itu terletak di pojok ruang, dekat jendela. Jadi, bisa terlihat jelas lalu lalang kendaraan. Ditambah, vas dengan bunga berwarna merah menggenapi meja. Aku benar-benar yakin, Siska telah merencanakan sebuah pertemuan romantis.Aku mempersilakan duduk. Memanggil pelayan untuk meminta daftar menu. Pak Hadi dan Bu Nur tampak
“Mas, udah tidur?” Aku membaca pesan itu di HP suamiku dari kontak yang diberi nama Siska. Mas Dani sudah terlelap. Sepulang kerja, ia langsung merebahkan tubuh di kasur. Mungkin kelelahan.Pikiranku dipenuhi pertanyaan, siapa Siska? Untuk apa ia mengirim pesan malam-malam begini? Kalau membahas urusan kantor, itu bisa didiskusikan esok hari. Tidak perlu mengganggu jam istirahat orang lain.Aku mencoba scroll-up pesan-pesan itu. Lancang sekali wanita ini, ia sering kali spam walau beberapa kali tidak ditanggapi oleh suamiku. Juga, ada beberapa voice note yang ia kirimkan. Aku memutar, suaranya terdengar bergelayut manja. Menjijikan sekali! Masih men-scroll lagi. Sebuah pesan yang membuat aku ingin berkata kasar. “Mas, bisa aku pinjam uang? Anakku mau bayar buku sekolah.”Dia kira siapa? Seenaknya saja pinjam uang kepada suami orang. Ingin sekali menghilangkan semua prasangka, tetapi dilihat dari gaya bahasanya sudah menunjukkan etika tidak baik. Pikiranku dibawa melayang ke mana