Zoya yang tidak tahu-menahu mengenai masalah apa yang sedang menantinya di rumah saat ini dihadapkan pada sekelompok manusia kumuh yang mencegat langkahnya ketika hendak pulang dari pasar. "Nak, tolong kami!"Zoya melemparkan sorot dingin dari sepasang bola matanya. Dia tidak lagi memiliki perasaan pada orang-orang ini. "Beri kami uang, kalau tidak? Aku akan membongkar rahasiamu!" ancam pria busuk yang tak lagi bisa membuat Zoya takut. Tanpa menjawab mereka, Zoya dengan dingin terus melanjutkan perjalanannya. Namun, langkahnya terhenti karena lengannya dicengkram dengan keras oleh seorang wanita yang telah melahirkannya, tapi tega meninggalkannya dengan segudang masalah. "Kamu gak sayang lagi sama ibu?" tanya wanita rapuh yang tampak kumel, dan terlihat menyedihkan itu. Zoya mendengus dingin. "Aku pikir kalian tidak akan pernah muncul di depanku lagi!" sindirnya. "Maafkan ibu, Nak. Ibu terpaksa!" ucap wanita itu dengan nada suara bergetar menahan tangis. "Terpaksa?!" pekik Zoya
Zoya yang kembali ke rumah sang mertua dengan sekantong besar barang belanjaan dibuat terheran-heran oleh tatapan merendahkan beberapa tetangga di sekitar rumah mertuanya.Namun, karena mereka tidak pernah cukup dekat, Zoya sedikit segan untuk bertanya mengenai arti tatapan itu. "Jadi itu yang namanya Zoya?""Ya ampun memalukan banget sih!""Ck ck ck. Gak habis pikir,""Kok bisa ada orang yang tidak tahu diri kayak dia?"Rangkaian percakapan ibu-ibu itu membuat Zoya meremas kantung belanjaannya dengan lebih erat. Tadinya dia hendak menghibur diri dengan menganggap tatapan meremehkan itu ditujukan pada ibunya yang berjalan sedikit di belakang. Tetapi mendengar namanya disebut membuat jantung Zoya berdegup khawatir. 'Ada apa lagi ini?' batinnya frustrasi. Tidak menunggu waktu lama, dia akhirnya menemukan jawabanya. Tepat setelah satu langkah dia memasuki pintu gerbang rumah mertuanya, raungan marah Mbak Arum menyambutnya. "Dasar wanita j*l*ng!""P*la*ur!" Seuntai julukan kasar yang
Sepanjang siang hari ini, Jaya diliputi oleh perasaan tak menentu. Hatinya tercampur aduk oleh perasaan marah, kecewa, dan sesal. Dia ingin segera menemui sang istri untuk menuntut penjelasan. Namun, dia tidak bisa lantaran masih jam kerja. Dia memiliki klien yang harus ditangani, sehingga dia tidak bisa meminta izin untuk pulang. Tetapi, akibat suasana hati yang tak karuan, Jaya masih tidak bisa menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Sehingga dia bahkan mendapat SP 1 karena kinerjanya mulai menurun bulan ini. Tidak hanya sering terlambat datang setelah waktu makan siang berakhir, dia juga sering menghilang tiba-tiba. Tidak heran jika wajahnya menghitam menahan gejolak emosi sepulangnya dari kantor. "Nak~"Jaya yang baru saja keluar dari mobilnya merajut kening hingga kusut ketika melihat seseorang dengan pakaian lusuh yang terlihat seperti pengemis ini ada di rumahnya. "Pengemis tidak diizinkan masuk ke sini. Pergi!" hardiknya pada wanita paruh baya yang terlihat seusia ibunya i
Kepala Zoya jatuh terkulai kala mendengar ucapan sinis sang ibu mertua. Untuk saat ini, dia tidak tahu bagaimana harus membalas kata-kata ini. Dari sudut matanya, dia menyempatkan diri untuk melirik pada Mas Jaya. Namun, wajah suaminya itu terlihat begitu keras seolah tanpa emosi. Bahkan meski dia berkali-kali mengelus perutnya untuk mengingatkan Mas Jaya bahwa ada bayi mereka di dalam rahimnya, pria itu tampak sama sekali tidak terketuk hatinya. "Sayang, ada apa? Kenapa kamu awut-awutan begini?" tanya Mas Fadli saat melihat penampilan berantakan istrinya. " ... " Tidak ada yang langsung menjawab pertanyaan ini. Setiap pasang mata sibuk saling mengamati tindak-tanduk satu sama lain dengan seksama. "Mas, ini apa?" tanya Mbak Arum memecah keheningan yang sempat tercipta. Dia lantas memberikan selebaran yang memperlihatkan bahwa sang suami sedang berpelukan dengan iparnya. Seperti reaksi kebanyakan orang hari ini, sepasang mata Mas Fadli juga terbuka lebar karena terkejut. "Darima
Seperti biasa, matahari masih terbit dari ufuk timur. Zoya dan ibunya yang sedang tidur di kamar belakang yang diperuntukkan untuk pembantu terlonjak bangun karena terkejut. "Keterlaluan!""Semua keterlaluan!""Begini saja saya harus membangunkan kalian!"Suara marah-marah ibu mertua yang menelusup masuk ke dalam indera pendengarannya membuat Zoya hanya bisa mendesah pelan. Kehidupan yang tidak ada habisnya ini membuatnya benar-benar jengkel! Sambil mengikat rambutnya yang acak-acakan, Zoya mengambil langkah sedikit menghentak untuk membuka pintu kamar. "Kamu gak lihat matahari sudah tinggi?!" hardik ibu mertuanya sambil menunjuk ke arah langit yang jelas-jelas masih gelap. "Ada apa, Bu?" tanya Zoya dengan nada masih mengantuk. "Ada apa?!" pekik ibu Marni sembari berkacak pinggang. Matanya juga melotot lebar karena tak habis pikir. "Anak-anak harus berangkat sekolah. Jaya juga harus berangkat kerja. Sebagai seorang ibu dan istri, kamu pikir apa yang harusnya kamu lakukan?!" Zoy
"Pagi, Buk!" sapa Jaya pada ibu yang dia temui di meja makan. "Hm," gumam ibu membalas sapaan putra kesayangannya. "Mbok Tum mana, kok gak kelihatan?" tanya Jaya sambil menyendok sendiri nasi ke atas piringnya. Dia benar-benar mengabaikan Zoya yang masih ingin berperan sebagai istri yang berbakti. "Resign tadi pagi-pagi sekali," jawab ibu Marni. "Kok Ibu izinin? Nyari pembantu sekarang susah loh," tukas Aruna sembari menyuap roti tawar berbalur selai coklatnya. "Kan sudah ada pembantu baru. Lumayan tidak perlu keluar uang lebih untuk menggaji pembantu. Uangnya bisa dipakai untuk keperluan lain," ujar ibu Marni sambil terus menyuap nasi di atas piringnya. "Oh," balas Jaya dan Aruna dengan serentak. Zoya yang mendengar kalimat menyesakkan ini meremas ujung daster yang dia kenakan dengan sekuat tenaga. Posisinya sebagai menantu tidak lagi dianggap. Kini semuanya tidak lagi sama. Tidak ada pula yang mengajaknya bergabung untuk sarapan di meja makan ini. Zoya yang masih berdiri di
Kurang sedikit lagi, jarum jam akan menunjukkan tepat pukul 8 pagi. Sekarang ini, Adam dan Janu sudah hampir terlambat ke sekolah. Namun, Ibu Marni selaku nenek tampak tidak memiliki pengertian sama sekali. Tatkala dia melihat Zoya yang sedang buru-buru mempersiapkan keperluan sekolah kedua putranya, wanita paruh baya itu masih menyuruh menantunya untuk membersihkan meja makan sebelum berangkat. Karena tidak memiliki celah untuk berargumen, Zoya mengerjakan semuanya dengan kecepatan seribu tangan. Untungnya Adam dan Janu tidak rewel, dan banyak tingkah. Namun, justru inilah yang membuat hati Zoya teriris ngilu. Tatkala melihat anak-anaknya yang berubah menjadi lebih dan lebih pendiam. Tiba-tiba bayangan penuh kasih sayang Mas Agung menelusup dalam benak Zoya tanpa bisa dihindari. Dia entah bagaimana merindukan mendiang suaminya itu. Sekalipun gaji Mas Agung tidak banyak, dan meskipun saat itu dia juga menjalani hidup layaknya pembantu di rumah ini, tetapi hidupnya masih lebih ba
Byur, Zoya dibuat gelagapan oleh hantaman di wajah dari jus jeruk dalam gelas yang ada di atas mejanya. Dia baru saja akan membuka mulutnya untuk memaki siapapun orang yang bertindak kurang ajar padanya. Namun, semua kata yang hampir terlempar dari tenggorokannya langsung kembali tertelan ke perut. "M ... Mbak Arum?" lirih Zoya dengan suara tercekat. Spontan dia bangkit dari kursi yang sedang diduduki. Jantungnya tak terelakkan menghentak dengan keras. 'Ah, sial!" makinya dalam hati. "Sayang!" sapa Fadli yang juga turut bangkit dari kursinya. "Ini semua salah paham!" pungkasnya sembari berusaha meraih lengan wanita bernama lengkap Arumi Adiguna itu. Akan tetapi, tangannya langsung ditepis dengan kasar oleh sang istri. Arum sendiri terus menatap nyalang pada Zoya yang hanya bisa tertunduk, tidak berani memandang tepat ke arahnya. Dia yang sejak tadi berusaha menahan amarah yang menggelegak dalam dada dibuat kesal oleh penampakan sok polos wanita di depannya. Bagi Arum saat ini,
1 bulan kemudian, Kasus yang menimpa Mas Fadli dan Mbak Zoya akhirnya dilimpahkan ke pengadilan. Dikarenakan bukti itu datangnya dari Fiona, mau tidak mau dia tetap harus hadir sebagai saksi di pengadilan. Ketika hal itu terjadi, dia bisa melihat dengan jelas wajah terkejut keluarga mantan suaminya. "Fiona!" seru mereka dengan terkejut. Walau begitu, Fiona memilih sikap acuh tak acuh. Dia mengikuti seluruh rangkaian persidangan dengan khidmat. Dia juga menjawab pertanyaan dari Jaksa penuntut umum dengan jujur tanpa ada yang dia sembunyikan. "Jadi ini semua ulah kamu? Harusnya dari awal aku membunuhmu!" raung Zoya dengan marah yang membuat dirinya mendapat peringatan dari hakim. Melihat Fiona duduk di kursi saksi membuat Zoya menggeram penuh amarah. Jika pengungkapan bukti sabotase mobil Mas Agung ini diserahkan oleh Paman Rusdi, mungkin Zoya tidak akan semarah ini. Tapi yang melakukannya adalah musuh bebuyutannya. Orang yang sudah Zoya cap sebagai penyebab atas setiap kemalangan
"Jaya! Mas Fadli, Jay!"Ketika Jaya tiba di rumah, hal pertama yang menyambutnya adalah raungan sang kakak yang baru saja sadar dari pingsannya. "Mbak, tenang! Coba ceritakan ada apa?" tanya Jaya berusaha untuk bersikap tenang meski hatinya sendiri sudah gundah gulana. "Mas Fadli, Jay! Mas Fadli!" pekik Mbak Arum dengan histeris. Air mata terus merebak membanjiri pipinya. "Mbak, jelaskan pelan-pelan apa yang terjadi?" tanya Jaya dengan penuh kesabaran. "Mas Fadli ditangkap polisi!" ungkap Arum dari sela-sela sengguk tangisnya. "APA?!" pekik Ibu Marni dengan keras hingga memenuhi ruangan. "Tadi siapa orang yang menghubungi Mbak?" tanya Jaya masih dengan nada tenang meskipun hatinya sudah hancur berantakan. "Namanya Chandra. Pengacara Mas Fadli. Katanya sekarang dia ada di kantor polisi untuk menemani Mas Fadli diinterogasi," jawab Arum dengan tergugu. "Kalau begitu, ayo kita ke kantor polisi," ajak Jaya sembari beranjak dari sofa yang dia duduki. "Ayo! Ayo!" timpal Ibu Marni d
Fadli yang berangkat ke kantor ketika jarum jam hampir menunjukkan pukul 11 pagi tiba-tiba dihadang oleh beberapa rekan kerjanya. Wajah kaku mereka membuat Fadli tiba-tiba merasakan firasat buruk di hatinya. Pikirannya bahkan langsung tertuju pada Zoya, dan ancamannya. Apalagi ketika mengetahui bahwa Jaya ternyata tidak berhasil membujuk Fiona untuk mencabut tuntutannya. 'Jangan bilang si Zoya sudah mengatakan tentang hal itu pada polisi!' gumam Fadli dengan panik. "Ada apa ini?" tanya Fadli pura-pura tidak merasakan keanehan dari mereka. Akan tetapi, dia perlahan mulai mengambil ancang-ancang untuk melarikan diri. Sayangnya, sebelum Fadli sempat melaksanakan niatnya itu, dia telah lebih dulu dibekuk oleh rekan-rekan sejawatnya. "Sialan! Apa yang kalian lakukan?" maki Fadli dengan berang. Kini tangannya bahkan sudah diborgal yang terasa menginjak harga dirinya. Tanpa menghiraukan protesan dari Fadli, seorang polisi yang menangani kasus Fiona sebelumnya terus menyeret Fadli menuju
Di kediaman Adiguna, "Loh, Fadli? Kamu tidak berangkat kerja?" tanya Ibu Marni ketika melihat menantunya justru duduk dengan khidmat di sofa ruang keluarga. Seperti yang dikatakan Jaya kemarin, dia berpura-pura untuk tidak tahu menahu perihal yang katanya rahasia menantunya ini. Toh, semuanya juga belum terbukti kebenarannya. Bagaimana jika Zoya berbohong? Pun jikalau yang dikatakan Zoya itu benar, mereka bisa mengambil tindakan nanti. Tidak perlu terburu-buru. "Ini sudah jam setengah sembilan loh!" tambah Ibu Marni memperingatkan. "Fadli mau nanya dulu sama Ibu, apa Jaya berhasil membujuk Fiona untuk mencabut tuntutannya?" tanya Fadli penuh harap. "Huh! Dia tidak mau mencabut tuntutannya!" balas Ibu Marni seraya mendengus sinis. " ... "Tanpa sadar, geraham Fadli bergemeretak dengan tidak puas. Sayang sekali dia tidak berdaya! "Buk! Fadli mau bertemu dengan Ibu Mastah dulu, boleh?" tanya Fadli meminta izin. Alis Ibu Marni berkedut pelan. "Bertemu Ibu Mastah? Buat apa?" tanya
Pagi-pagi sekali. Jarum jam bahkan masih menunjukkan pukul setengah tujuh pagi, tapi paman Rusdi sudah menunggu di depan perusahaan tempat Fiona bekerja. Gelagatnya yang mencurigakan membuat seorang satpam perusahaan yang bertugas pagi ini terus menatapnya dengan curiga. "Permisi, Pak!" tegur Paman Rusdi dengan malu-malu. "Ada apa?" tanya satpam itu sedikit ketus. Wajahnya bahkan memberengut jijik. Aroma yang menguar dari tubuh pria gelandangan itu membuatnya ingin segera mengakhiri interaksi ini. "Di dalam sini ada karyawan yang namanya Fiona Larasati 'kan?" tanya paman Rusdi. Gelagatnya yang menurut sang satpam sudah mencurigakan sejak awal, membuat satpam yang bertugas itu semakin mengerutkan kening. Dia tidak mungkin tidak mengenal orang yang disebutkan oleh pria ini. Pasalnya, nama yang disebutkan itu sudah sangat terkenal di perusahaan. Selain karena kedekatannya dengan sang bos perusahaan. Wanita ini juga sering viral lantaran masalah keluarganya. Dan kabar terbaru yang ke
Ibu Mastah bergegas kembali ke kamarnya untuk mencoba menghubungi sang adik kandung melalui nomor yang hanya mereka ketahui sendiri. Tadinya dia berniat mengunjungi ruang keluarga untuk menanyakan tentang kabar putrinya yang tidak juga pulang hingga semalam ini. Siapa yang menduga dia justru mendengar obrolan penting itu. "Halo," sapa Ibu Mastah dengan antusias begitu sambungan telepon mulai terhubung. [Huh! Sekarang kamu baru menghubungiku?!]Ibu Mastah harus menjauhkan ponsel butut di tangannya dari sisi telinga karena kerasnya suara bentakan sang adik dari seberang sana. "Tidak ada waktu untuk menjelaskan! Aku dengar dari Jaya dan ibunya kalau kamu memiliki bukti pembunuhan yang dilakukan oleh Fadli. Apa benar?" tanya Ibu Mastah. Rentetan kalimat panjang ini diutarakan dalam satu tarikan nafas tergesa. [ ... ]"Halo, Rusdi?" panggil Ibu Mastah karena sang adik tidak membalas perkataannya. [Jadi mereka sudah tahu!] "Apa?" tanya Ibu Mastah. [Kak, Zoya ada dimana?]Ibu Mastah m
Bumi telah diselimuti kegelapan ketika Fiona terbangun dari tidur lelapnya. Hanya lampu dari nakas yang menyala buram yang menerangi kamar sederhana itu. Fiona tidak langsung beranjak dari tempatnya. Kepalanya masih linglung mencoba untuk mengingat apa yang telah terjadi. Akan tetapi, suara yang datang dari luar kamarnya membuat Fiona tidak bisa berbaring lebih lama lagi. Dia perlahan beranjak dari ranjang empuknya, dan menyeret langkahnya untuk keluar dari kamar. "Fiona tidak akan menarik tuntutannya!"Sayup-sayup kalimat itulah yang menyambut Fiona ketika dia membuka pintu kamar. "Fiona sedang tidur!" "Gor," sapa Fiona lirih dengan suara serak khas bangun tidurnya. Igor yang sedang menelepon menyeret pandangannya ke arah sosok Fiona kemudian tersenyum teduh. "Pokoknya Fiona tidak akan menarik tuntutannya!" seru Igor untuk yang terakhir kalinya sebelum kemudian memutuskan sambungan telepon. "Kamu sudah bangun? Bagaimana keadaan kamu?" tanya Igor seraya beranjak dari sofa yang
"Gak perlu! Ayo pulang!" tolak Ibu Marni dengan tegas. "Jangan dengarkan omong kosongnya!" lanjut Ibu Marni dengan penuh amarah. Dia lalu meraih tangan Jaya dan hendak menyeretnya untuk pergi meninggalkan sang menantu yang terlihat tidak lebih dari orang gila saat ini. "Huh! Anda yang paling tahu apakah yang aku ucapkan ini hanya omong kosong belaka atau tidak!" dengus Zoya santai. " ... "Sambil mendumel dengan suara rendah, Ibu Marni terus melangkah menjauh dari Zoya. "Mas, jika kamu tidak segera membebaskan aku sekarang juga. Aku jamin keluarga kamu tidak akan pernah menemukan ketenangan lagi!" ujar Zoya memberi peringatan. Langkah kaki Jaya spontan berhenti mendengar nada ancaman yang disampaikan oleh Zoya dengan begitu tenang ini. Jaya yakin bahwa siapapun itu orangnya, apabila menghadapi kondisi terpojok pasti akan melakukan apa saja untuk menyelamatkan diri. Jaya tidak ingin menganggap remeh ancaman sang istri ini. "Kamu pasti mikir kalau aku sama Mas Fadli saling naksir
Pasca insiden penculikan ini, Igor tak sekalipun meninggalkan sisi Fiona. Di tidak mau hal buruk ini terjadi lagi untuk yang kesekian kalinya pada sang wanita terkasih. "Aku baik-baik saja kok, Gor. Kamu bisa pulang," ujar Fiona begitu mereka tiba di apartemen Fiona setelah kembali dari rumah sakit. "Mulai sekarang, aku akan tinggal di sini!" putus Igor penuh tekad. "Hah?""Aku khawatir hal yang sama seperti ini akan terulang kembali," pungkas Igor. Dia masih memiliki bayang-bayang ketidakberdayaan di dalam benaknya. Kalau sampai dia datang terlambat, apa yang akan terjadi pada Fiona? Hanya dengan membayangkannya saja sudah membuat Igor merasa tidak sanggup! Dan sebenarnya, Fiona juga sedikit dihantui perasaan ketakutan akibat dari pengalaman yang menimpanya kali ini. Namun, posisinya dalam hubungan dengan Igor agak tidak menguntungkan untuk mereka bersama. Belum lagi, dia juga sudah berjanji pada ibunda Igor bahwa hubungan mereka tidak akan sampai pada tahap yang lebih serius t