Kurang sedikit lagi, jarum jam akan menunjukkan tepat pukul 8 pagi. Sekarang ini, Adam dan Janu sudah hampir terlambat ke sekolah. Namun, Ibu Marni selaku nenek tampak tidak memiliki pengertian sama sekali. Tatkala dia melihat Zoya yang sedang buru-buru mempersiapkan keperluan sekolah kedua putranya, wanita paruh baya itu masih menyuruh menantunya untuk membersihkan meja makan sebelum berangkat. Karena tidak memiliki celah untuk berargumen, Zoya mengerjakan semuanya dengan kecepatan seribu tangan. Untungnya Adam dan Janu tidak rewel, dan banyak tingkah. Namun, justru inilah yang membuat hati Zoya teriris ngilu. Tatkala melihat anak-anaknya yang berubah menjadi lebih dan lebih pendiam. Tiba-tiba bayangan penuh kasih sayang Mas Agung menelusup dalam benak Zoya tanpa bisa dihindari. Dia entah bagaimana merindukan mendiang suaminya itu. Sekalipun gaji Mas Agung tidak banyak, dan meskipun saat itu dia juga menjalani hidup layaknya pembantu di rumah ini, tetapi hidupnya masih lebih ba
Byur, Zoya dibuat gelagapan oleh hantaman di wajah dari jus jeruk dalam gelas yang ada di atas mejanya. Dia baru saja akan membuka mulutnya untuk memaki siapapun orang yang bertindak kurang ajar padanya. Namun, semua kata yang hampir terlempar dari tenggorokannya langsung kembali tertelan ke perut. "M ... Mbak Arum?" lirih Zoya dengan suara tercekat. Spontan dia bangkit dari kursi yang sedang diduduki. Jantungnya tak terelakkan menghentak dengan keras. 'Ah, sial!" makinya dalam hati. "Sayang!" sapa Fadli yang juga turut bangkit dari kursinya. "Ini semua salah paham!" pungkasnya sembari berusaha meraih lengan wanita bernama lengkap Arumi Adiguna itu. Akan tetapi, tangannya langsung ditepis dengan kasar oleh sang istri. Arum sendiri terus menatap nyalang pada Zoya yang hanya bisa tertunduk, tidak berani memandang tepat ke arahnya. Dia yang sejak tadi berusaha menahan amarah yang menggelegak dalam dada dibuat kesal oleh penampakan sok polos wanita di depannya. Bagi Arum saat ini,
"Mas, apa sih istimewanya wanita ini?" tanya Arum dengan gamang. Pertanyaan lirihnya menggema di antara suara bisik-bisik pelanggan yang sedang menunjuk ke arah mereka. "Sayang ... " Fadli mulai menggeram dengan tidak puas. Kenapa hari ini istrinya begitu susah diatur? "Mas Agung, terus Jaya, sekarang kamu. Tiga orang pria dalam keluargaku diincar oleh wanita ini. Apa sih yang sudah diberikan wanita ini sama kalian. Kok bisa-bisanya kalian semua kepincut begini?" tanya Arum dengan serius. Dia benar-benar penasaran ingin mengetahui jawabannya. "Sayang, ini semua gak seperti yang kamu pikir!" desis Fadli dari balik gigi yang terkatup rapat. Dia mulai merasa geram dengan semua ini.Arum mendengus keras. "Lalu menurutmu, melihat kamu sama wanita murahan ini bertemu diam-diam di tempat yang begitu jauh dari rumah begini. Bagaimana seharusnya aku berpikir?" tantang Arum pada sang suami yang tampak begitu keras menahan diri agar bisa tetap sabar. "Sayang ... " lidah Fadli kelu. Dia ti
Jaya duduk melamun di pojok cafe sembari menunggu pesanannya datang. Hari ini dia tidak langsung kembali ke rumah begitu pulang dari kantor. Dia terlebih dahulu mampir di salah satu cafe yang tak jauh dari perusahaan tempatnya bekerja. Melalui jendela besar di samping kirinya, Jaya menatap lalu-lalang kendaraan yang melintas di jalan yang berada tepat di depan cafe ini. Kepalanya sibuk menerawang memikirkan hari-hari yang telah lalu. Sejak menikah dengan wanita yang sudah begitu dia idam-idamkan sejak lama, kehidupan yang dia jalani justru kian kacau. Tidak ada lagi ketenangan batin yang bisa dia rasakan, yang ada kepalanya terasa ingin pecah dari hari ke hari. Belum reda euforia orang-orang yang senang menikmati gosip liar tentang dia dan keluarganya, kini kabar bahwa sang istri kembali bertemu diam-diam dengan iparnya kembali merebak. Sebuah video viral di sosial media yang sedang menyorot sang kakak sedang menampar istrinya di tengah keramaian cafe kembali menjadi topik panas
Jaya menanggapi dengan kepala mengangguk pelan. "Kamu sudah punya bukti?" tanyanya dengan santai. "Hah?""Apa Mas Fadli sudah mengantongi bukti kalau Fiona adalah dalang dibalik perampokan itu?" tanya Jaya mengalihkan fokusnya pada kakak iparnya itu. " ... ""Lalu bagaimana dengan debt collector itu juga? Apa itu juga ulah mbak Fiona?" tanya Aruna akhirnya ikut angkat suara. Dia juga mulai turut kesal dengan semua masalah yang telah menimpa keluarganya akhir-akhir ini. Masalah terbaru yang terjadi siang tadi antara kakak dan iparnya di tengah cafe yang banyak pengunjungnya itu telah membuatnya turut dirong-rong serangkaian tanya oleh orang-orang yang mengenal dia dan keluarganya." ... "Ibu Marni yang duduk di sofa tunggal ruang keluarga itu hanya menonton obrolan yang terjadi antara anak-anak dan menantunya sembari memijit kepalanya yang rasanya ingin pecah. Belakangan ini, dia belum juga sempat mencecap hari-hari damai seperti sebelumnya."Kalau Mbak Fiona pelakunya, untuk apa s
Hari berganti, dan matahari masih terbit dari ufuk timur seperti biasanya. Zoya yang semalaman tidak bisa tidur dengan nyenyak kini matanya dihiasi lingkaran hitam. Semangatnya untuk menjalani hari pun hanyut entah kemana. Sebelum ibu mertuanya menggedor kamarnya untuk mencari masalah, Zoya telah lebih dulu menyeret tubuhnya dengan enggan menuju kamar mandi. Rutinitas ngebabu hariannya sudah menunggu untuk diselesaikan. Belum lagi dia juga memiliki misi penting untuk dilakukan hari ini. "Mas," sapa Zoya ketika melihat sosok suaminya menuruni tangga menuju meja makan. Akan tetapi, seperti yang sudah Zoya duga di dalam hatinya, Mas Jaya hanya terus berjalan lurus tanpa memberi lirikan sedikitpun pada eksistensinya. Seorang pria yang pernah mengaku amat mencintainya, menyimpan rasa sekian lama pada dirinya, kini bersikap begitu acuh tak acuh padanya. Bisakah cinta yang pernah diikrarkan dengan begitu menggebu-gebu menguap begitu saja? Seperti cinta itu memang tidak pernah ada!Hati Z
Fiona yang kemarin menonton perseteruan antara Mbak Arum dan Mbak Zoya yang sedang viral sekarang merasakan hatinya riang gembira. Dia yang sudah merasa menang memutuskan untuk semakin menyenangkan diri dengan cara berbelanja. "Jambret!""Jambret!"Fiona yang sedang asyik menatap pakaian-pakaian menawan dari kaca luar toko menoleh spontan pada sumber suara yang terdengar samar-samar di tengah keramaian Mall. Selayaknya naluri manusia, dia turut meregangkan lehernya karena ingin tahu apa yang sedang terjadi. "Tolong tangkap dia!" suara terputus seorang wanita terdengar semakin jelas. Sosok pria bertubuh tambun yang sedang berlari dengan susah payah itu pun perlahan muncul di bidang penglihatan Fiona. Bagaikan banteng seruduk, pria itu menyingkirkan orang-orang yang menghalangi jalannya hingga beberapa orang yang tak siap bahkan sampai jatuh terjerembab. Caci maki pun tak terhindarkan datang silih berganti. Sampai akhirnya pria itu tiba di depan Fiona. Dari nafas pria itu yang ter
Fiona memandang pria tambun yang terlihat dekil di depannya ini dengan alis sedikit mengernyit. Sorot matanya beberapa kali naik-turun pada pria yang tampaknya belum mandi untuk entah berapa hari ini. "Bisa diulangi?" pinta Fiona karena takut bahwa dia baru saja salah dengar. "Selama kamu bersedia memberikan uang 500 juta, aku akan memberitahumu rahasia besarnya si Zoya. Aku tahu kamu pasti membencinya 'kan?" pria itu benar-benar mengulang perkataannya. Sudut bibir Fiona berkedut mendengar sejumlah fantastis yang dia dengar. "500 juta? Huh!" Fiona lantas mendengus meremehkan. "Apakah rahasia yang kamu maksud sepadan dengan jumlah yang kamu minta?" tanya Fiona sanksi. Seringai licik segera terbentuk di wajah pria itu. "Tentu saja sepadan. Jika ibu mertuamu itu tahu mengenai hal ini, pasti akan terjadi kegemparan!" lirih pria itu dengan sombongnya. Fiona mengangguk pelan. "Hmm~~ "Paman Rusdi itu mulai terlihat agak gusar ketika melihat kepala Fiona naik-turun dengan lambat. "Aku
1 bulan kemudian, Kasus yang menimpa Mas Fadli dan Mbak Zoya akhirnya dilimpahkan ke pengadilan. Dikarenakan bukti itu datangnya dari Fiona, mau tidak mau dia tetap harus hadir sebagai saksi di pengadilan. Ketika hal itu terjadi, dia bisa melihat dengan jelas wajah terkejut keluarga mantan suaminya. "Fiona!" seru mereka dengan terkejut. Walau begitu, Fiona memilih sikap acuh tak acuh. Dia mengikuti seluruh rangkaian persidangan dengan khidmat. Dia juga menjawab pertanyaan dari Jaksa penuntut umum dengan jujur tanpa ada yang dia sembunyikan. "Jadi ini semua ulah kamu? Harusnya dari awal aku membunuhmu!" raung Zoya dengan marah yang membuat dirinya mendapat peringatan dari hakim. Melihat Fiona duduk di kursi saksi membuat Zoya menggeram penuh amarah. Jika pengungkapan bukti sabotase mobil Mas Agung ini diserahkan oleh Paman Rusdi, mungkin Zoya tidak akan semarah ini. Tapi yang melakukannya adalah musuh bebuyutannya. Orang yang sudah Zoya cap sebagai penyebab atas setiap kemalangan
"Jaya! Mas Fadli, Jay!"Ketika Jaya tiba di rumah, hal pertama yang menyambutnya adalah raungan sang kakak yang baru saja sadar dari pingsannya. "Mbak, tenang! Coba ceritakan ada apa?" tanya Jaya berusaha untuk bersikap tenang meski hatinya sendiri sudah gundah gulana. "Mas Fadli, Jay! Mas Fadli!" pekik Mbak Arum dengan histeris. Air mata terus merebak membanjiri pipinya. "Mbak, jelaskan pelan-pelan apa yang terjadi?" tanya Jaya dengan penuh kesabaran. "Mas Fadli ditangkap polisi!" ungkap Arum dari sela-sela sengguk tangisnya. "APA?!" pekik Ibu Marni dengan keras hingga memenuhi ruangan. "Tadi siapa orang yang menghubungi Mbak?" tanya Jaya masih dengan nada tenang meskipun hatinya sudah hancur berantakan. "Namanya Chandra. Pengacara Mas Fadli. Katanya sekarang dia ada di kantor polisi untuk menemani Mas Fadli diinterogasi," jawab Arum dengan tergugu. "Kalau begitu, ayo kita ke kantor polisi," ajak Jaya sembari beranjak dari sofa yang dia duduki. "Ayo! Ayo!" timpal Ibu Marni d
Fadli yang berangkat ke kantor ketika jarum jam hampir menunjukkan pukul 11 pagi tiba-tiba dihadang oleh beberapa rekan kerjanya. Wajah kaku mereka membuat Fadli tiba-tiba merasakan firasat buruk di hatinya. Pikirannya bahkan langsung tertuju pada Zoya, dan ancamannya. Apalagi ketika mengetahui bahwa Jaya ternyata tidak berhasil membujuk Fiona untuk mencabut tuntutannya. 'Jangan bilang si Zoya sudah mengatakan tentang hal itu pada polisi!' gumam Fadli dengan panik. "Ada apa ini?" tanya Fadli pura-pura tidak merasakan keanehan dari mereka. Akan tetapi, dia perlahan mulai mengambil ancang-ancang untuk melarikan diri. Sayangnya, sebelum Fadli sempat melaksanakan niatnya itu, dia telah lebih dulu dibekuk oleh rekan-rekan sejawatnya. "Sialan! Apa yang kalian lakukan?" maki Fadli dengan berang. Kini tangannya bahkan sudah diborgal yang terasa menginjak harga dirinya. Tanpa menghiraukan protesan dari Fadli, seorang polisi yang menangani kasus Fiona sebelumnya terus menyeret Fadli menuju
Di kediaman Adiguna, "Loh, Fadli? Kamu tidak berangkat kerja?" tanya Ibu Marni ketika melihat menantunya justru duduk dengan khidmat di sofa ruang keluarga. Seperti yang dikatakan Jaya kemarin, dia berpura-pura untuk tidak tahu menahu perihal yang katanya rahasia menantunya ini. Toh, semuanya juga belum terbukti kebenarannya. Bagaimana jika Zoya berbohong? Pun jikalau yang dikatakan Zoya itu benar, mereka bisa mengambil tindakan nanti. Tidak perlu terburu-buru. "Ini sudah jam setengah sembilan loh!" tambah Ibu Marni memperingatkan. "Fadli mau nanya dulu sama Ibu, apa Jaya berhasil membujuk Fiona untuk mencabut tuntutannya?" tanya Fadli penuh harap. "Huh! Dia tidak mau mencabut tuntutannya!" balas Ibu Marni seraya mendengus sinis. " ... "Tanpa sadar, geraham Fadli bergemeretak dengan tidak puas. Sayang sekali dia tidak berdaya! "Buk! Fadli mau bertemu dengan Ibu Mastah dulu, boleh?" tanya Fadli meminta izin. Alis Ibu Marni berkedut pelan. "Bertemu Ibu Mastah? Buat apa?" tanya
Pagi-pagi sekali. Jarum jam bahkan masih menunjukkan pukul setengah tujuh pagi, tapi paman Rusdi sudah menunggu di depan perusahaan tempat Fiona bekerja. Gelagatnya yang mencurigakan membuat seorang satpam perusahaan yang bertugas pagi ini terus menatapnya dengan curiga. "Permisi, Pak!" tegur Paman Rusdi dengan malu-malu. "Ada apa?" tanya satpam itu sedikit ketus. Wajahnya bahkan memberengut jijik. Aroma yang menguar dari tubuh pria gelandangan itu membuatnya ingin segera mengakhiri interaksi ini. "Di dalam sini ada karyawan yang namanya Fiona Larasati 'kan?" tanya paman Rusdi. Gelagatnya yang menurut sang satpam sudah mencurigakan sejak awal, membuat satpam yang bertugas itu semakin mengerutkan kening. Dia tidak mungkin tidak mengenal orang yang disebutkan oleh pria ini. Pasalnya, nama yang disebutkan itu sudah sangat terkenal di perusahaan. Selain karena kedekatannya dengan sang bos perusahaan. Wanita ini juga sering viral lantaran masalah keluarganya. Dan kabar terbaru yang ke
Ibu Mastah bergegas kembali ke kamarnya untuk mencoba menghubungi sang adik kandung melalui nomor yang hanya mereka ketahui sendiri. Tadinya dia berniat mengunjungi ruang keluarga untuk menanyakan tentang kabar putrinya yang tidak juga pulang hingga semalam ini. Siapa yang menduga dia justru mendengar obrolan penting itu. "Halo," sapa Ibu Mastah dengan antusias begitu sambungan telepon mulai terhubung. [Huh! Sekarang kamu baru menghubungiku?!]Ibu Mastah harus menjauhkan ponsel butut di tangannya dari sisi telinga karena kerasnya suara bentakan sang adik dari seberang sana. "Tidak ada waktu untuk menjelaskan! Aku dengar dari Jaya dan ibunya kalau kamu memiliki bukti pembunuhan yang dilakukan oleh Fadli. Apa benar?" tanya Ibu Mastah. Rentetan kalimat panjang ini diutarakan dalam satu tarikan nafas tergesa. [ ... ]"Halo, Rusdi?" panggil Ibu Mastah karena sang adik tidak membalas perkataannya. [Jadi mereka sudah tahu!] "Apa?" tanya Ibu Mastah. [Kak, Zoya ada dimana?]Ibu Mastah m
Bumi telah diselimuti kegelapan ketika Fiona terbangun dari tidur lelapnya. Hanya lampu dari nakas yang menyala buram yang menerangi kamar sederhana itu. Fiona tidak langsung beranjak dari tempatnya. Kepalanya masih linglung mencoba untuk mengingat apa yang telah terjadi. Akan tetapi, suara yang datang dari luar kamarnya membuat Fiona tidak bisa berbaring lebih lama lagi. Dia perlahan beranjak dari ranjang empuknya, dan menyeret langkahnya untuk keluar dari kamar. "Fiona tidak akan menarik tuntutannya!"Sayup-sayup kalimat itulah yang menyambut Fiona ketika dia membuka pintu kamar. "Fiona sedang tidur!" "Gor," sapa Fiona lirih dengan suara serak khas bangun tidurnya. Igor yang sedang menelepon menyeret pandangannya ke arah sosok Fiona kemudian tersenyum teduh. "Pokoknya Fiona tidak akan menarik tuntutannya!" seru Igor untuk yang terakhir kalinya sebelum kemudian memutuskan sambungan telepon. "Kamu sudah bangun? Bagaimana keadaan kamu?" tanya Igor seraya beranjak dari sofa yang
"Gak perlu! Ayo pulang!" tolak Ibu Marni dengan tegas. "Jangan dengarkan omong kosongnya!" lanjut Ibu Marni dengan penuh amarah. Dia lalu meraih tangan Jaya dan hendak menyeretnya untuk pergi meninggalkan sang menantu yang terlihat tidak lebih dari orang gila saat ini. "Huh! Anda yang paling tahu apakah yang aku ucapkan ini hanya omong kosong belaka atau tidak!" dengus Zoya santai. " ... "Sambil mendumel dengan suara rendah, Ibu Marni terus melangkah menjauh dari Zoya. "Mas, jika kamu tidak segera membebaskan aku sekarang juga. Aku jamin keluarga kamu tidak akan pernah menemukan ketenangan lagi!" ujar Zoya memberi peringatan. Langkah kaki Jaya spontan berhenti mendengar nada ancaman yang disampaikan oleh Zoya dengan begitu tenang ini. Jaya yakin bahwa siapapun itu orangnya, apabila menghadapi kondisi terpojok pasti akan melakukan apa saja untuk menyelamatkan diri. Jaya tidak ingin menganggap remeh ancaman sang istri ini. "Kamu pasti mikir kalau aku sama Mas Fadli saling naksir
Pasca insiden penculikan ini, Igor tak sekalipun meninggalkan sisi Fiona. Di tidak mau hal buruk ini terjadi lagi untuk yang kesekian kalinya pada sang wanita terkasih. "Aku baik-baik saja kok, Gor. Kamu bisa pulang," ujar Fiona begitu mereka tiba di apartemen Fiona setelah kembali dari rumah sakit. "Mulai sekarang, aku akan tinggal di sini!" putus Igor penuh tekad. "Hah?""Aku khawatir hal yang sama seperti ini akan terulang kembali," pungkas Igor. Dia masih memiliki bayang-bayang ketidakberdayaan di dalam benaknya. Kalau sampai dia datang terlambat, apa yang akan terjadi pada Fiona? Hanya dengan membayangkannya saja sudah membuat Igor merasa tidak sanggup! Dan sebenarnya, Fiona juga sedikit dihantui perasaan ketakutan akibat dari pengalaman yang menimpanya kali ini. Namun, posisinya dalam hubungan dengan Igor agak tidak menguntungkan untuk mereka bersama. Belum lagi, dia juga sudah berjanji pada ibunda Igor bahwa hubungan mereka tidak akan sampai pada tahap yang lebih serius t