Fiona yang kemarin menonton perseteruan antara Mbak Arum dan Mbak Zoya yang sedang viral sekarang merasakan hatinya riang gembira. Dia yang sudah merasa menang memutuskan untuk semakin menyenangkan diri dengan cara berbelanja. "Jambret!""Jambret!"Fiona yang sedang asyik menatap pakaian-pakaian menawan dari kaca luar toko menoleh spontan pada sumber suara yang terdengar samar-samar di tengah keramaian Mall. Selayaknya naluri manusia, dia turut meregangkan lehernya karena ingin tahu apa yang sedang terjadi. "Tolong tangkap dia!" suara terputus seorang wanita terdengar semakin jelas. Sosok pria bertubuh tambun yang sedang berlari dengan susah payah itu pun perlahan muncul di bidang penglihatan Fiona. Bagaikan banteng seruduk, pria itu menyingkirkan orang-orang yang menghalangi jalannya hingga beberapa orang yang tak siap bahkan sampai jatuh terjerembab. Caci maki pun tak terhindarkan datang silih berganti. Sampai akhirnya pria itu tiba di depan Fiona. Dari nafas pria itu yang ter
Fiona memandang pria tambun yang terlihat dekil di depannya ini dengan alis sedikit mengernyit. Sorot matanya beberapa kali naik-turun pada pria yang tampaknya belum mandi untuk entah berapa hari ini. "Bisa diulangi?" pinta Fiona karena takut bahwa dia baru saja salah dengar. "Selama kamu bersedia memberikan uang 500 juta, aku akan memberitahumu rahasia besarnya si Zoya. Aku tahu kamu pasti membencinya 'kan?" pria itu benar-benar mengulang perkataannya. Sudut bibir Fiona berkedut mendengar sejumlah fantastis yang dia dengar. "500 juta? Huh!" Fiona lantas mendengus meremehkan. "Apakah rahasia yang kamu maksud sepadan dengan jumlah yang kamu minta?" tanya Fiona sanksi. Seringai licik segera terbentuk di wajah pria itu. "Tentu saja sepadan. Jika ibu mertuamu itu tahu mengenai hal ini, pasti akan terjadi kegemparan!" lirih pria itu dengan sombongnya. Fiona mengangguk pelan. "Hmm~~ "Paman Rusdi itu mulai terlihat agak gusar ketika melihat kepala Fiona naik-turun dengan lambat. "Aku
Mobil Bentley putih milik Igor berhenti di salah satu cafe yang akhir-akhir ini sering mereka kunjung. Semenjak acara reuni terakhir kali, hubungan mereka tiba-tiba terasa berjarak. Meskipun mereka setiap hari menghabiskan waktu bersama untuk hanya sekedar makan malam di cafe-cafe seperti ini, tapi candaan mereka tidak lagi mengalir seperti sebelumnya. Bagaikan ada tembok tipis tak kasat mata yang menjadi sekat di antara mereka. Awalnya Fiona tidak begitu memperhatikan karena fokusnya waktu itu ada pada sang mantan suami dan selingkuhannya. Kini setelah perasaannya menjadi lebih ringan, baru dia menyadari bahwa interaksi mereka telah berubah menjadi sedikit canggung. Fiona telah tanpa sadar mengambil beberapa jarak dari Igor. Hal ini disebabkan karena celetukan mantan suaminya perihal kemungkinan ada wanita lain yang sudah memiliki komitmen dengan pria ini. "Hadeh, tempat ini lagi. Padahal aku maunya makan masakan kamu," keluh Igor sambil cemberut. Fiona hanya tersenyum simpul. "
Mata Fiona terpejam erat. Suara detak nyaring jarum jam memenuhi kamar yang sepi. Di sebuah ranjang yang empuk, tubuh wanita itu terus berputar bolak-balik tak karuan. "Kamu pasti merasa menjadi wanita paling suci, dan merasa paling tersakiti atas hadirnya Zoya sebagai orang ketiga dalam pernikahan kita, bagaimana dengan sekarang? Bukannya kamu juga menjadi orang ketiga dalam hubungan orang lain?"Ucapan mantan suaminya itu tidak bisa hilang dari pikiran Fiona. Berjam-jam telah berlalu sejak saat itu, tapi kalimat ini masih betah berputar-putar tak mau pergi dari kepalanya.Di tengah kamar yang gelap gulita, Fiona kembali membuka matanya sembari beranjak dari posisi berbaringnya. "Ish. Aku juga gak pernah menganggap diriku suci. Kalau saja kamu tidak membuang-buang waktuku dalam pernikahan itu!" geram Fiona pada kamar yang sunyi. Matanya lantas menyorot penuh kebencian pada dinding di seberangnya. Seolah-olah ada seseorang yang telah membuatnya kesal sedang berdiri di sana. Setela
Hari minggu yang Fiona tunggu akhirnya datang juga. Sejak namanya viral di media sosial, dia tidak pernah lagi bertemu dengan Igor. Meskipun dia mengatakan pada diri sendiri bahwa dia akan mengakhiri hubungan ambigu mereka, tapi ketika Igor menghilang begitu saja, dia sedikit merasa kecewa. "Bener gak ini tempatnya?" tanya Naura memecah lamunan singkat Fiona. "Bener kok!" jawab Fiona sembari menunjukkan pada Naura alamat yang diberikan paman Rusdi padanya semalam. Saat ini, mereka sedang berada di dalam mobil milik Fiona. Mereka tidak langsung turun, tapi memilih untuk mengamati dulu rumah yang tampak terbengkalai seperti sarang hantu ini. Hanya dengan menatap rumah yang penuh dengan tanaman menjalar ini saja sudah membuat Fiona merinding. Hampir satu jam lamanya, mereka terus mengamati rumah yang tampak tak berpenghuni itu. Niatnya, mereka ingin tahu selain paman Rusdi, ada siapa saja yang tinggal di rumah itu. Menit demi menit menunggu, tapi belum ada seorang pun yang terlihat
"Oh sh*t!" Fiona memaki dengan keras. Sebagai seseorang yang telah menjalani seluruh hidupnya dengan baik. Menjalani segala peraturan yang berlaku di masyarakat dengan patuh, satu kata pembun*h terdengar sangat mengejutkan untuknya. Sebelumnya, satu kata ini hanya pernah dia temukan di balik layar ponselnya. Dengan pelaku, dan korban yang sama sekali tidak pernah bersinggungan dengan kehidupannya. Tapi sekarang, apa ini? Inilah sebabnya ada sebuah peribahasa yang mengatakan bahwa keingintahuan membunuh kucing. Karena terkadang ada hal-hal yang lebih baik jika tidak diketahui daripada mengetahuinya. Kasusnya ini adalah salah satu contoh. Dan sudah terlambat bagi Fiona untuk menyesalinya sekarang."Aku serius. Aku benar-benar memiliki buktinya!" paman Rusdi menyela lamunan mereka bertiga dengan ucapan meyakinkannya. "Dimana buktinya?" tanya Max mengambil alih keseluruhan situasi karena Fiona, dan Naura telah kehilangan kata-kata mereka. "Gimana? Mengejutkan bukan? Kira-kira berapa
Berkebalikan dengan Fiona yang saat ini sedang dirundung perasaan rumit, Zoya di sisi lain sedang diliputi perasaan bahagia yang tiada tara karena telah berhasil membuat nama Fiona turut jelek. "Rasain! Emang enak dirujak massa!" maki Zoya di depan layar ponselnya. Dia baru saja selesai membaca kembali komentar tak sedap yang orang-orang layangkan untuk mantan istri suaminya itu. "Sok suci sih, padahal ternyata kita sama aja. Suka ngintip apa yang menjadi milik orang lain!" Zoya masih bermonolog sendiri. Tidak sampai ponsel di genggamannya berdering nyaring. Memunculkan sebaris nama pada layar. Senyum Zoya kembali mekar ketika melihat nama si penelepon. "Halo," balasnya dengan segera. [Ayo bertemu,] Seseorang dari seberang sana berkata dengan to the point. "Oke. Dimana?" tanya Zoya singkat. [Nanti aku kirimkan alamatnya,]"Sip," jawab Zoya. Klik, Sambungan telepon langsung diputus oleh pihak lain begitu dia selesai mengutarakan niatnya. Zoya sendiri tidak merasa tersinggung
Zoya berbaring miring di ranjang rumah sakit. Di dalam kamar yang sepi, dia hanya bisa termangu untuk waktu yang lama. Entah sudah berapa jam berlalu sejak dia menghubungi Mas Jaya, mengabarkan mengenai dirinya yang mengalami kecelakaan. Tapi apa? Hingga kini malam menjelang, sosok suaminya itu belum juga terlihat datang mengunjunginya. Air mata Zoya sudah menetes dari sudut matanya. Sesak di dada tidak bisa lagi dia tahan. Kehidupannya yang sudah sulit akan semakin sulit dengan sikap acuh tak acuh sang suami. "Istri kamu itu ya, sehari gak ngerepotin kita kayaknya gak bisa deh!" dumelan khas ibu mertuanya terdengar dari belakang punggung Zoya yang kebetulan sedang membelakangi pintu masuk. Sebelum berbalik untuk menghadapi keluarga suaminya itu, Zoya terlebih dulu menghapus kristal bening di sudut matanya. Dia juga beranjak dari posisi berbaringnya sambil menahan perih pada lutut, dan lengannya yang terluka. Bahkan tanpa dia perlu repot berpura-pura dalam tindakannya. Wajahnya y
1 bulan kemudian, Kasus yang menimpa Mas Fadli dan Mbak Zoya akhirnya dilimpahkan ke pengadilan. Dikarenakan bukti itu datangnya dari Fiona, mau tidak mau dia tetap harus hadir sebagai saksi di pengadilan. Ketika hal itu terjadi, dia bisa melihat dengan jelas wajah terkejut keluarga mantan suaminya. "Fiona!" seru mereka dengan terkejut. Walau begitu, Fiona memilih sikap acuh tak acuh. Dia mengikuti seluruh rangkaian persidangan dengan khidmat. Dia juga menjawab pertanyaan dari Jaksa penuntut umum dengan jujur tanpa ada yang dia sembunyikan. "Jadi ini semua ulah kamu? Harusnya dari awal aku membunuhmu!" raung Zoya dengan marah yang membuat dirinya mendapat peringatan dari hakim. Melihat Fiona duduk di kursi saksi membuat Zoya menggeram penuh amarah. Jika pengungkapan bukti sabotase mobil Mas Agung ini diserahkan oleh Paman Rusdi, mungkin Zoya tidak akan semarah ini. Tapi yang melakukannya adalah musuh bebuyutannya. Orang yang sudah Zoya cap sebagai penyebab atas setiap kemalangan
"Jaya! Mas Fadli, Jay!"Ketika Jaya tiba di rumah, hal pertama yang menyambutnya adalah raungan sang kakak yang baru saja sadar dari pingsannya. "Mbak, tenang! Coba ceritakan ada apa?" tanya Jaya berusaha untuk bersikap tenang meski hatinya sendiri sudah gundah gulana. "Mas Fadli, Jay! Mas Fadli!" pekik Mbak Arum dengan histeris. Air mata terus merebak membanjiri pipinya. "Mbak, jelaskan pelan-pelan apa yang terjadi?" tanya Jaya dengan penuh kesabaran. "Mas Fadli ditangkap polisi!" ungkap Arum dari sela-sela sengguk tangisnya. "APA?!" pekik Ibu Marni dengan keras hingga memenuhi ruangan. "Tadi siapa orang yang menghubungi Mbak?" tanya Jaya masih dengan nada tenang meskipun hatinya sudah hancur berantakan. "Namanya Chandra. Pengacara Mas Fadli. Katanya sekarang dia ada di kantor polisi untuk menemani Mas Fadli diinterogasi," jawab Arum dengan tergugu. "Kalau begitu, ayo kita ke kantor polisi," ajak Jaya sembari beranjak dari sofa yang dia duduki. "Ayo! Ayo!" timpal Ibu Marni d
Fadli yang berangkat ke kantor ketika jarum jam hampir menunjukkan pukul 11 pagi tiba-tiba dihadang oleh beberapa rekan kerjanya. Wajah kaku mereka membuat Fadli tiba-tiba merasakan firasat buruk di hatinya. Pikirannya bahkan langsung tertuju pada Zoya, dan ancamannya. Apalagi ketika mengetahui bahwa Jaya ternyata tidak berhasil membujuk Fiona untuk mencabut tuntutannya. 'Jangan bilang si Zoya sudah mengatakan tentang hal itu pada polisi!' gumam Fadli dengan panik. "Ada apa ini?" tanya Fadli pura-pura tidak merasakan keanehan dari mereka. Akan tetapi, dia perlahan mulai mengambil ancang-ancang untuk melarikan diri. Sayangnya, sebelum Fadli sempat melaksanakan niatnya itu, dia telah lebih dulu dibekuk oleh rekan-rekan sejawatnya. "Sialan! Apa yang kalian lakukan?" maki Fadli dengan berang. Kini tangannya bahkan sudah diborgal yang terasa menginjak harga dirinya. Tanpa menghiraukan protesan dari Fadli, seorang polisi yang menangani kasus Fiona sebelumnya terus menyeret Fadli menuju
Di kediaman Adiguna, "Loh, Fadli? Kamu tidak berangkat kerja?" tanya Ibu Marni ketika melihat menantunya justru duduk dengan khidmat di sofa ruang keluarga. Seperti yang dikatakan Jaya kemarin, dia berpura-pura untuk tidak tahu menahu perihal yang katanya rahasia menantunya ini. Toh, semuanya juga belum terbukti kebenarannya. Bagaimana jika Zoya berbohong? Pun jikalau yang dikatakan Zoya itu benar, mereka bisa mengambil tindakan nanti. Tidak perlu terburu-buru. "Ini sudah jam setengah sembilan loh!" tambah Ibu Marni memperingatkan. "Fadli mau nanya dulu sama Ibu, apa Jaya berhasil membujuk Fiona untuk mencabut tuntutannya?" tanya Fadli penuh harap. "Huh! Dia tidak mau mencabut tuntutannya!" balas Ibu Marni seraya mendengus sinis. " ... "Tanpa sadar, geraham Fadli bergemeretak dengan tidak puas. Sayang sekali dia tidak berdaya! "Buk! Fadli mau bertemu dengan Ibu Mastah dulu, boleh?" tanya Fadli meminta izin. Alis Ibu Marni berkedut pelan. "Bertemu Ibu Mastah? Buat apa?" tanya
Pagi-pagi sekali. Jarum jam bahkan masih menunjukkan pukul setengah tujuh pagi, tapi paman Rusdi sudah menunggu di depan perusahaan tempat Fiona bekerja. Gelagatnya yang mencurigakan membuat seorang satpam perusahaan yang bertugas pagi ini terus menatapnya dengan curiga. "Permisi, Pak!" tegur Paman Rusdi dengan malu-malu. "Ada apa?" tanya satpam itu sedikit ketus. Wajahnya bahkan memberengut jijik. Aroma yang menguar dari tubuh pria gelandangan itu membuatnya ingin segera mengakhiri interaksi ini. "Di dalam sini ada karyawan yang namanya Fiona Larasati 'kan?" tanya paman Rusdi. Gelagatnya yang menurut sang satpam sudah mencurigakan sejak awal, membuat satpam yang bertugas itu semakin mengerutkan kening. Dia tidak mungkin tidak mengenal orang yang disebutkan oleh pria ini. Pasalnya, nama yang disebutkan itu sudah sangat terkenal di perusahaan. Selain karena kedekatannya dengan sang bos perusahaan. Wanita ini juga sering viral lantaran masalah keluarganya. Dan kabar terbaru yang ke
Ibu Mastah bergegas kembali ke kamarnya untuk mencoba menghubungi sang adik kandung melalui nomor yang hanya mereka ketahui sendiri. Tadinya dia berniat mengunjungi ruang keluarga untuk menanyakan tentang kabar putrinya yang tidak juga pulang hingga semalam ini. Siapa yang menduga dia justru mendengar obrolan penting itu. "Halo," sapa Ibu Mastah dengan antusias begitu sambungan telepon mulai terhubung. [Huh! Sekarang kamu baru menghubungiku?!]Ibu Mastah harus menjauhkan ponsel butut di tangannya dari sisi telinga karena kerasnya suara bentakan sang adik dari seberang sana. "Tidak ada waktu untuk menjelaskan! Aku dengar dari Jaya dan ibunya kalau kamu memiliki bukti pembunuhan yang dilakukan oleh Fadli. Apa benar?" tanya Ibu Mastah. Rentetan kalimat panjang ini diutarakan dalam satu tarikan nafas tergesa. [ ... ]"Halo, Rusdi?" panggil Ibu Mastah karena sang adik tidak membalas perkataannya. [Jadi mereka sudah tahu!] "Apa?" tanya Ibu Mastah. [Kak, Zoya ada dimana?]Ibu Mastah m
Bumi telah diselimuti kegelapan ketika Fiona terbangun dari tidur lelapnya. Hanya lampu dari nakas yang menyala buram yang menerangi kamar sederhana itu. Fiona tidak langsung beranjak dari tempatnya. Kepalanya masih linglung mencoba untuk mengingat apa yang telah terjadi. Akan tetapi, suara yang datang dari luar kamarnya membuat Fiona tidak bisa berbaring lebih lama lagi. Dia perlahan beranjak dari ranjang empuknya, dan menyeret langkahnya untuk keluar dari kamar. "Fiona tidak akan menarik tuntutannya!"Sayup-sayup kalimat itulah yang menyambut Fiona ketika dia membuka pintu kamar. "Fiona sedang tidur!" "Gor," sapa Fiona lirih dengan suara serak khas bangun tidurnya. Igor yang sedang menelepon menyeret pandangannya ke arah sosok Fiona kemudian tersenyum teduh. "Pokoknya Fiona tidak akan menarik tuntutannya!" seru Igor untuk yang terakhir kalinya sebelum kemudian memutuskan sambungan telepon. "Kamu sudah bangun? Bagaimana keadaan kamu?" tanya Igor seraya beranjak dari sofa yang
"Gak perlu! Ayo pulang!" tolak Ibu Marni dengan tegas. "Jangan dengarkan omong kosongnya!" lanjut Ibu Marni dengan penuh amarah. Dia lalu meraih tangan Jaya dan hendak menyeretnya untuk pergi meninggalkan sang menantu yang terlihat tidak lebih dari orang gila saat ini. "Huh! Anda yang paling tahu apakah yang aku ucapkan ini hanya omong kosong belaka atau tidak!" dengus Zoya santai. " ... "Sambil mendumel dengan suara rendah, Ibu Marni terus melangkah menjauh dari Zoya. "Mas, jika kamu tidak segera membebaskan aku sekarang juga. Aku jamin keluarga kamu tidak akan pernah menemukan ketenangan lagi!" ujar Zoya memberi peringatan. Langkah kaki Jaya spontan berhenti mendengar nada ancaman yang disampaikan oleh Zoya dengan begitu tenang ini. Jaya yakin bahwa siapapun itu orangnya, apabila menghadapi kondisi terpojok pasti akan melakukan apa saja untuk menyelamatkan diri. Jaya tidak ingin menganggap remeh ancaman sang istri ini. "Kamu pasti mikir kalau aku sama Mas Fadli saling naksir
Pasca insiden penculikan ini, Igor tak sekalipun meninggalkan sisi Fiona. Di tidak mau hal buruk ini terjadi lagi untuk yang kesekian kalinya pada sang wanita terkasih. "Aku baik-baik saja kok, Gor. Kamu bisa pulang," ujar Fiona begitu mereka tiba di apartemen Fiona setelah kembali dari rumah sakit. "Mulai sekarang, aku akan tinggal di sini!" putus Igor penuh tekad. "Hah?""Aku khawatir hal yang sama seperti ini akan terulang kembali," pungkas Igor. Dia masih memiliki bayang-bayang ketidakberdayaan di dalam benaknya. Kalau sampai dia datang terlambat, apa yang akan terjadi pada Fiona? Hanya dengan membayangkannya saja sudah membuat Igor merasa tidak sanggup! Dan sebenarnya, Fiona juga sedikit dihantui perasaan ketakutan akibat dari pengalaman yang menimpanya kali ini. Namun, posisinya dalam hubungan dengan Igor agak tidak menguntungkan untuk mereka bersama. Belum lagi, dia juga sudah berjanji pada ibunda Igor bahwa hubungan mereka tidak akan sampai pada tahap yang lebih serius t