Zoya berbaring miring di ranjang rumah sakit. Di dalam kamar yang sepi, dia hanya bisa termangu untuk waktu yang lama. Entah sudah berapa jam berlalu sejak dia menghubungi Mas Jaya, mengabarkan mengenai dirinya yang mengalami kecelakaan. Tapi apa? Hingga kini malam menjelang, sosok suaminya itu belum juga terlihat datang mengunjunginya. Air mata Zoya sudah menetes dari sudut matanya. Sesak di dada tidak bisa lagi dia tahan. Kehidupannya yang sudah sulit akan semakin sulit dengan sikap acuh tak acuh sang suami. "Istri kamu itu ya, sehari gak ngerepotin kita kayaknya gak bisa deh!" dumelan khas ibu mertuanya terdengar dari belakang punggung Zoya yang kebetulan sedang membelakangi pintu masuk. Sebelum berbalik untuk menghadapi keluarga suaminya itu, Zoya terlebih dulu menghapus kristal bening di sudut matanya. Dia juga beranjak dari posisi berbaringnya sambil menahan perih pada lutut, dan lengannya yang terluka. Bahkan tanpa dia perlu repot berpura-pura dalam tindakannya. Wajahnya y
"Katakan saja!" desak Jaya tak sabar. Sheila mengembalikan tatapannya pada Jaya yang sedang menunggu dengan alis berkerut dalam. "Aku turut berduka cita ya," ucap Sheila dengan sorot mata perihatin. Alis Jaya kemudian terangkat semakin tinggi. Sementara Zoya mendengus samar, melihat keluwesan akting wanita bernama Sheila ini, dia tidak bisa untuk tidak merasa takjub. Bahkan dia sendiri pun tertipu. Pertemuan pertama mereka bermula saat Zoya tidak sengaja menabrak wanita ini tepat di luar ruangan dokter Risa. Dia yang ketika itu sedang dilanda kebingungan, dan ketakutan tiba-tiba diajak berkonspirasi melawan Fiona oleh orang yang sama sekali tidak dia kenal. Karena dia sungguh sedang membutuhkan bantuan, belum lagi mereka memiliki musuh yang sama, Zoya menerima uluran tangan wanita ini tanpa banyak pikir panjang. Bahkan hingga sekarang, dia tidak tahu dendam apa yang dimiliki wanita ini pada Fiona. Namun, satu hal yang pasti. Wanita ini benar-benar mengerikan. Jika tadi dia terdor
Fiona menelusuri koridor menuju arah apartemennya dengan langkah gontai seperti zombie. Hari ini jarum jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tapi dia belum juga bisa mengusir perasaan tertekan karena telah mengetahui rahasia orang lain. Tidak seperti Naura dan Max yang bisa langsung melupakan apa yang mereka lihat, dia justru terjerat sejak berjam-jam lalu. Tidak peduli bagaimana Naura mencoba menghiburnya, dan memintanya untuk mengabaikan urusan keluarga mantan suaminya itu, tetap saja Fiona tidak bisa. Karena bagaimanapun, ada seseorang yang meninggal sebab ketidakadilan. "Fiona bodoh!" maki Fiona pada dirinya sendiri. Dia bahkan harus memukul kepalanya dengan harapan apa yang sudah dilihat, dan didengar hari ini akan hilang begitu saja dari kepalanya. Tentu saja dia juga tahu bahwa hal itu tidak mungkin terjadi. Setelah menarik nafas panjang, dan menghembuskannya pelan, Fiona mulai membuka pintu apartemennya. Begitu dia tiba di dalam, dia hampir dibuat mati berdiri. Dia
Igor yang sudah berhasil menata hatinya yang sempat kecewa, memilih untuk tidak buru-buru menuntut jawaban. Dia malah dengan santai menoyor jidat Fiona. "Dasar plin-plan," ujar Igor yang hanya dibalas cengiran oleh Fiona. Fiona lantas menggaruk puncak hidungnya dengan kikuk. "Aku tidak plin-plan. Cuma aku butuh waktu untuk menyiapkan hati aja," kilah Fiona dengan malu. "Che, alasan doang," dengus Igor. Fiona hanya mengendikkan bahu. "Ngomong-ngomong, kamu dari mana aja seharian ini? Aku udah nunggu di sini dari habis maghrib," keluh Igor. Pikiran Fiona yang sempat sedikit teralihkan dari ingatan akan rahasia Mbak Zoya, kini kembali memasuki benaknya. Helaan nafas keras kembali lolos dari hidungnya. Dalam suasana yang sedikit suram ini, suara perut Fiona tiba-tiba bergemuruh dengan tidak tahu malu. Kepala Fiona yang semula tertunduk kini terangkat pelan. Dari sepasang netra hitamnya, Fiona melirik Igor dengan malu. Ini semua gara-gara rahasia laknat itu, dia sampai tidak berseler
Hari demi hari berganti, Setiap kali Jaya memikirkan masalah yang telah menimpanya belakangan ini, penyesalan di hatinya semakin membengkak. Rasa cintanya yang pernah ada untuk Zoya pun sudah menguap, hilang tak bersisa. Setelah mengetahui kondisinya sendiri yang mandul, hati Jaya semakin dingin. Harga dirinya terkoyak. Dia tidak bisa memberitahu ibunya, terlebih lagi dia tidak bisa menggunakan alasan ini untuk memutuskan hubungan dengan Zoya. Pada akhirnya, ketika dia tahu bahwa wanita yang pernah amat dia cintai membohonginya, dia tidak bisa melakukan apa-apa. Dia hanya membiarkan saja wanita itu dengan dramanya. Di malam yang sunyi ini, Jaya tidak bisa berhenti memikirkan mantan istrinya itu. Jika saja mereka masih bersama, hidupnya tidak akan kacau. Dia masih bisa menikmati hari-harinya. Dia juga tidak perlu merasa terbebani dengan fakta 'mandul' yang kini menjadi nama tengahnya. Jika saja Fiona masih di sisinya, dia masih memiliki seseorang untuk dijadikan kambing hitam atas t
Rahang Fiona hampir saja jatuh dari tempatnya ketika mendengar ajakan untuk kembali membina rumah tangga ini. Dia dibuat tak habis pikir dengan pola pikir mantan suaminya ini yang sebelumnya begitu percaya diri mengucap kata cerai padanya. "Tidak! Terima kasih!" Fiona berucap dengan dingin. Memang dia wanita apaan? Dibuang saat tak diinginkan, dipungut saat dibutuhkan? Dia pasti sudah gila jika menyetujui permintaan tak masuk akal ini. "Fi, aku menyesal. Tolong kasih aku kesempatan kedua!" Jaya dan tampang memohonnya yang langka tidak membuat Fiona tersentuh sama sekali. "Jangan menjadi tidak masuk akal deh, Mas. Setelah semua yang kamu lakukan sama aku, kamu masih ingin kembali? Gak ada pintu!" tolak Fiona dengan tegas. "Fi, aku mohon kasih aku kesempatan kedua. Kali ini aku tidak akan menyia-nyiakannya. Aku tidak akan pernah mendua lagi," tangan Mas Jaya berusaha untuk meraih pergelangan tangan Fiona yang tergantung di kedua sisi tubuhnya. "Sekali enggak! Tetap enggak, Mas!" t
Seperti malam-malam sebelumnya. Pulang kerja, Fiona akan menghabiskan waktu makan malamnya bersama Igor. Baru sekejap hatinya merasa tenang karena berhasil menepis rasa bersalah untuk Mas Agung, sekarang mantan suaminya kembali menanamkan sumber overthinking baru baginya. "Kamu kenapa bengong aja dari tadi?" tanya Igor menginterupsi gerakan tangan Fiona yang sibuk mnegaduk makanan di atas piringnya. "Haaahhh!" desahan panjang Fiona lolos dari bibirnya. Fiona lantas menatap mata Igor dengan ragu-ragu. Dia berpikir haruskah dia menghitung setiap bulir nasi yang ada di atas piringnya sebelum membuat keputusan untuk memberi tahu Igor tentang provokasi Jaya? Fiona benar-benar dilanda dilema. Akan tetapi, memutuskan pura-pura tidak tahu pun sama tidak menyenangkannya. Tidak pernah puas memanglah julukan yang paling pantas disematkan pada manusia. Sebelumnya, dia pernah mengatakan bahwa dia belum ingin berkomitmen. Dia takut akan mengalami kegagalan yang sama seperti sebelumnya. Tapi, s
Setiap tiga menit sekali, Fiona tidak henti-hentinya melirik pada jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Hari ini dia ada janji temu dengan Igor dan ibunya. Tadinya Fiona berpikir bahwa hari ketika dia akan menemui orang tuanya Igor masih nanti-nanti. Siapa sangka, pria itu justru membuat gagasan untuk mempertemukan mereka tepat di keesokan harinya. Wacana pertemuan hari ini membuat Fiona tidak bisa tidur sepanjang malam. Dia bahkan sengaja datang 30 menit lebih cepat dari waktu janjian. Tujuannya karena dia tidak ingin memberikan kesan negatif pada orang tua Igor nantinya.Tik tik tik, Detak jarum jam yang melingkar pada pergelangan tangannya bisa Fiona dengar dengan jelas. Hal ini menandakan bahwa waktu terus bergerak maju. Satu menit, Dua menit, Tiga menit, Waktu berlalu terasa sangat lama. Sudah tidak terhitung berapa kali Fiona melirik ke arah pintu masuk cafe dengan risau. Seiring berjalannya waktu, dia juga mulai tidak bisa duduk tenang di kursinya. Jantungny
1 bulan kemudian, Kasus yang menimpa Mas Fadli dan Mbak Zoya akhirnya dilimpahkan ke pengadilan. Dikarenakan bukti itu datangnya dari Fiona, mau tidak mau dia tetap harus hadir sebagai saksi di pengadilan. Ketika hal itu terjadi, dia bisa melihat dengan jelas wajah terkejut keluarga mantan suaminya. "Fiona!" seru mereka dengan terkejut. Walau begitu, Fiona memilih sikap acuh tak acuh. Dia mengikuti seluruh rangkaian persidangan dengan khidmat. Dia juga menjawab pertanyaan dari Jaksa penuntut umum dengan jujur tanpa ada yang dia sembunyikan. "Jadi ini semua ulah kamu? Harusnya dari awal aku membunuhmu!" raung Zoya dengan marah yang membuat dirinya mendapat peringatan dari hakim. Melihat Fiona duduk di kursi saksi membuat Zoya menggeram penuh amarah. Jika pengungkapan bukti sabotase mobil Mas Agung ini diserahkan oleh Paman Rusdi, mungkin Zoya tidak akan semarah ini. Tapi yang melakukannya adalah musuh bebuyutannya. Orang yang sudah Zoya cap sebagai penyebab atas setiap kemalangan
"Jaya! Mas Fadli, Jay!"Ketika Jaya tiba di rumah, hal pertama yang menyambutnya adalah raungan sang kakak yang baru saja sadar dari pingsannya. "Mbak, tenang! Coba ceritakan ada apa?" tanya Jaya berusaha untuk bersikap tenang meski hatinya sendiri sudah gundah gulana. "Mas Fadli, Jay! Mas Fadli!" pekik Mbak Arum dengan histeris. Air mata terus merebak membanjiri pipinya. "Mbak, jelaskan pelan-pelan apa yang terjadi?" tanya Jaya dengan penuh kesabaran. "Mas Fadli ditangkap polisi!" ungkap Arum dari sela-sela sengguk tangisnya. "APA?!" pekik Ibu Marni dengan keras hingga memenuhi ruangan. "Tadi siapa orang yang menghubungi Mbak?" tanya Jaya masih dengan nada tenang meskipun hatinya sudah hancur berantakan. "Namanya Chandra. Pengacara Mas Fadli. Katanya sekarang dia ada di kantor polisi untuk menemani Mas Fadli diinterogasi," jawab Arum dengan tergugu. "Kalau begitu, ayo kita ke kantor polisi," ajak Jaya sembari beranjak dari sofa yang dia duduki. "Ayo! Ayo!" timpal Ibu Marni d
Fadli yang berangkat ke kantor ketika jarum jam hampir menunjukkan pukul 11 pagi tiba-tiba dihadang oleh beberapa rekan kerjanya. Wajah kaku mereka membuat Fadli tiba-tiba merasakan firasat buruk di hatinya. Pikirannya bahkan langsung tertuju pada Zoya, dan ancamannya. Apalagi ketika mengetahui bahwa Jaya ternyata tidak berhasil membujuk Fiona untuk mencabut tuntutannya. 'Jangan bilang si Zoya sudah mengatakan tentang hal itu pada polisi!' gumam Fadli dengan panik. "Ada apa ini?" tanya Fadli pura-pura tidak merasakan keanehan dari mereka. Akan tetapi, dia perlahan mulai mengambil ancang-ancang untuk melarikan diri. Sayangnya, sebelum Fadli sempat melaksanakan niatnya itu, dia telah lebih dulu dibekuk oleh rekan-rekan sejawatnya. "Sialan! Apa yang kalian lakukan?" maki Fadli dengan berang. Kini tangannya bahkan sudah diborgal yang terasa menginjak harga dirinya. Tanpa menghiraukan protesan dari Fadli, seorang polisi yang menangani kasus Fiona sebelumnya terus menyeret Fadli menuju
Di kediaman Adiguna, "Loh, Fadli? Kamu tidak berangkat kerja?" tanya Ibu Marni ketika melihat menantunya justru duduk dengan khidmat di sofa ruang keluarga. Seperti yang dikatakan Jaya kemarin, dia berpura-pura untuk tidak tahu menahu perihal yang katanya rahasia menantunya ini. Toh, semuanya juga belum terbukti kebenarannya. Bagaimana jika Zoya berbohong? Pun jikalau yang dikatakan Zoya itu benar, mereka bisa mengambil tindakan nanti. Tidak perlu terburu-buru. "Ini sudah jam setengah sembilan loh!" tambah Ibu Marni memperingatkan. "Fadli mau nanya dulu sama Ibu, apa Jaya berhasil membujuk Fiona untuk mencabut tuntutannya?" tanya Fadli penuh harap. "Huh! Dia tidak mau mencabut tuntutannya!" balas Ibu Marni seraya mendengus sinis. " ... "Tanpa sadar, geraham Fadli bergemeretak dengan tidak puas. Sayang sekali dia tidak berdaya! "Buk! Fadli mau bertemu dengan Ibu Mastah dulu, boleh?" tanya Fadli meminta izin. Alis Ibu Marni berkedut pelan. "Bertemu Ibu Mastah? Buat apa?" tanya
Pagi-pagi sekali. Jarum jam bahkan masih menunjukkan pukul setengah tujuh pagi, tapi paman Rusdi sudah menunggu di depan perusahaan tempat Fiona bekerja. Gelagatnya yang mencurigakan membuat seorang satpam perusahaan yang bertugas pagi ini terus menatapnya dengan curiga. "Permisi, Pak!" tegur Paman Rusdi dengan malu-malu. "Ada apa?" tanya satpam itu sedikit ketus. Wajahnya bahkan memberengut jijik. Aroma yang menguar dari tubuh pria gelandangan itu membuatnya ingin segera mengakhiri interaksi ini. "Di dalam sini ada karyawan yang namanya Fiona Larasati 'kan?" tanya paman Rusdi. Gelagatnya yang menurut sang satpam sudah mencurigakan sejak awal, membuat satpam yang bertugas itu semakin mengerutkan kening. Dia tidak mungkin tidak mengenal orang yang disebutkan oleh pria ini. Pasalnya, nama yang disebutkan itu sudah sangat terkenal di perusahaan. Selain karena kedekatannya dengan sang bos perusahaan. Wanita ini juga sering viral lantaran masalah keluarganya. Dan kabar terbaru yang ke
Ibu Mastah bergegas kembali ke kamarnya untuk mencoba menghubungi sang adik kandung melalui nomor yang hanya mereka ketahui sendiri. Tadinya dia berniat mengunjungi ruang keluarga untuk menanyakan tentang kabar putrinya yang tidak juga pulang hingga semalam ini. Siapa yang menduga dia justru mendengar obrolan penting itu. "Halo," sapa Ibu Mastah dengan antusias begitu sambungan telepon mulai terhubung. [Huh! Sekarang kamu baru menghubungiku?!]Ibu Mastah harus menjauhkan ponsel butut di tangannya dari sisi telinga karena kerasnya suara bentakan sang adik dari seberang sana. "Tidak ada waktu untuk menjelaskan! Aku dengar dari Jaya dan ibunya kalau kamu memiliki bukti pembunuhan yang dilakukan oleh Fadli. Apa benar?" tanya Ibu Mastah. Rentetan kalimat panjang ini diutarakan dalam satu tarikan nafas tergesa. [ ... ]"Halo, Rusdi?" panggil Ibu Mastah karena sang adik tidak membalas perkataannya. [Jadi mereka sudah tahu!] "Apa?" tanya Ibu Mastah. [Kak, Zoya ada dimana?]Ibu Mastah m
Bumi telah diselimuti kegelapan ketika Fiona terbangun dari tidur lelapnya. Hanya lampu dari nakas yang menyala buram yang menerangi kamar sederhana itu. Fiona tidak langsung beranjak dari tempatnya. Kepalanya masih linglung mencoba untuk mengingat apa yang telah terjadi. Akan tetapi, suara yang datang dari luar kamarnya membuat Fiona tidak bisa berbaring lebih lama lagi. Dia perlahan beranjak dari ranjang empuknya, dan menyeret langkahnya untuk keluar dari kamar. "Fiona tidak akan menarik tuntutannya!"Sayup-sayup kalimat itulah yang menyambut Fiona ketika dia membuka pintu kamar. "Fiona sedang tidur!" "Gor," sapa Fiona lirih dengan suara serak khas bangun tidurnya. Igor yang sedang menelepon menyeret pandangannya ke arah sosok Fiona kemudian tersenyum teduh. "Pokoknya Fiona tidak akan menarik tuntutannya!" seru Igor untuk yang terakhir kalinya sebelum kemudian memutuskan sambungan telepon. "Kamu sudah bangun? Bagaimana keadaan kamu?" tanya Igor seraya beranjak dari sofa yang
"Gak perlu! Ayo pulang!" tolak Ibu Marni dengan tegas. "Jangan dengarkan omong kosongnya!" lanjut Ibu Marni dengan penuh amarah. Dia lalu meraih tangan Jaya dan hendak menyeretnya untuk pergi meninggalkan sang menantu yang terlihat tidak lebih dari orang gila saat ini. "Huh! Anda yang paling tahu apakah yang aku ucapkan ini hanya omong kosong belaka atau tidak!" dengus Zoya santai. " ... "Sambil mendumel dengan suara rendah, Ibu Marni terus melangkah menjauh dari Zoya. "Mas, jika kamu tidak segera membebaskan aku sekarang juga. Aku jamin keluarga kamu tidak akan pernah menemukan ketenangan lagi!" ujar Zoya memberi peringatan. Langkah kaki Jaya spontan berhenti mendengar nada ancaman yang disampaikan oleh Zoya dengan begitu tenang ini. Jaya yakin bahwa siapapun itu orangnya, apabila menghadapi kondisi terpojok pasti akan melakukan apa saja untuk menyelamatkan diri. Jaya tidak ingin menganggap remeh ancaman sang istri ini. "Kamu pasti mikir kalau aku sama Mas Fadli saling naksir
Pasca insiden penculikan ini, Igor tak sekalipun meninggalkan sisi Fiona. Di tidak mau hal buruk ini terjadi lagi untuk yang kesekian kalinya pada sang wanita terkasih. "Aku baik-baik saja kok, Gor. Kamu bisa pulang," ujar Fiona begitu mereka tiba di apartemen Fiona setelah kembali dari rumah sakit. "Mulai sekarang, aku akan tinggal di sini!" putus Igor penuh tekad. "Hah?""Aku khawatir hal yang sama seperti ini akan terulang kembali," pungkas Igor. Dia masih memiliki bayang-bayang ketidakberdayaan di dalam benaknya. Kalau sampai dia datang terlambat, apa yang akan terjadi pada Fiona? Hanya dengan membayangkannya saja sudah membuat Igor merasa tidak sanggup! Dan sebenarnya, Fiona juga sedikit dihantui perasaan ketakutan akibat dari pengalaman yang menimpanya kali ini. Namun, posisinya dalam hubungan dengan Igor agak tidak menguntungkan untuk mereka bersama. Belum lagi, dia juga sudah berjanji pada ibunda Igor bahwa hubungan mereka tidak akan sampai pada tahap yang lebih serius t