"Tante Kinan, apa kabar?" sapa Atikah antusias, mengabaikan kehadiran Fiona, juga Igor yang ada di meja yang sama. "Baik, kamu sendiri apa kabar?" tanya Tante Kinanti dengan tidak kalah antusiasnya. "Baik, Tan!" jawab Atikah dengan senyum lebarnya. "Yuk gabung sama kita!" pungkas Tante Kinanti yang membuat sudut mata Fiona berkedut tak terima."Ma!" tegur Igor memperingatkan. "Gak usah, Tan. Aku juga lagi sama teman!" tolak Atikah sambil menunjuk pada Sheila dan juga Zoya. "Duh, sayang sekali," ujar Tante Kinanti dengan nada sesal. "Aku ke meja sana dulu, Tan!" pamit Atikah menunjuk meja yang sudah ditempati Zoya dan juga Sheila. "Oke. Kapan-kapan kita hangout bareng lagi," ujar Tante Kinanti melepas kepergian Atikah dengan nada tidak rela. "Kamu apa-apaan sih!" tegur Tante Kinanti pada putranya. "Igor lagi memperkenalkan Fiona sama Mama. Menurut Mama etis gak mengajak orang lain bergabung?" tanya Igor menimpali. "Atikah bukan orang lain. Dia... ""Dia orang lain, Ma!" poton
Zoya baru kembali dari pertemuannya dengan Atikah, dan juga Sheila ketika dia melihat sosok pria tambun mengintip di balik tembok rumah mertuanya. Zoya yang merasa akrab dengan sosok ini perlahan berjalan mendekat. Ternyata benar dugaannya, bahwa orang itu adalah Paman Rusdi. Dengan gigi bergemeretak marah, Zoya menahan semua emosi dalam dadanya. "Apa yang kamu lakukan di sini?!" sentak Zoya dengan kasar dari arah belakang pria itu. Paman Rusdi sontak berbalik karena terkejut. Sebelum kemudian kelegaan berkilat di matanya saat yang dia lihat adalah sosok keponakannya. "Kamu ngagetin aja!" balas Paman Rusdi. "Ngapain kamu di sini?" tanya Zoya sekali lagi dengan berang. Sambil berkacak pinggang, Zoya memperhatikan pria lusuh di depannya. Pakaiannya yang dekil, wajahnya yang kusam dan ditutupi kumis serta brewok tak terawat. Lalu rambutnya yang awut-awutan tidak pernah disisir, mana gondrong lagi. Ditambah dengan semerbak aroma tak menyenangkan. Keseluruhan penampilan pamannya ini
Setelah memarkirkan mobilnya dengan rapi di garasi rumah, Jaya keluar dari mobil dengan dahi berkerut samar. Dia merasa semakin tidak puas ketika melihat tindak tanduk istrinya itu. "Kamu bicara dengan siapa barusan?" tanya Jaya sambil menatap keluar rumah dengan curiga. " ... ""Em ... itu ... itu ... " Zoya langsung tergagap panik. Untuk sesaat, dia tidak berani menatap lurus ke arah mata sang suami. Dia bahkan tanpa sadar meremas ujung pakaiannya seraya berpikir. "Itu pengemis!" jawabnya kemudian. Alis Jaya terangkat tinggi. "Benarkah?" tanya Jaya tidak percaya. Gelagat wanita yang masih berstatus sebagai istrinya ini terlalu jelas menunjukkan bahwa ada sesuatu yang dia sembunyikan. "Iya! Tadi dia ngintip-ngintip mencurigakan di rumah ini. Jadi aku mau mengusirnya!" ujar Zoya setengah berbohong. "Oh~" dengung Jaya acuh tak acuh. "Mas, kok jam segini kamu sudah pulang?" tanya Zoya basa-basi. Tidak biasanya suaminya ini pulang di kala jam makan siang seperti ini. "Ada yang
Fiona yang baru saja kembali ke apartemen sederhananya setelah bertemu dengan ibunda Igor, langsung jatuh melunglai di atas satu-satunya sofa panjang di ruang tamu itu. Bukannya mengurangi beban hati dan pikirannya, pertemuan ini justru membuat kepala Fiona berdenyut kian pusing. "Ah~" Fiona mengeluarkan desahan panjang sambil menutup kedua mata dengan menggunakan lengan kirinya. Dering ponsel yang berasal dari Igor sengaja dia abaikan. Bukan merajuk, dia hanya sedang membutuhkan waktu untuk menenangkan diri dari hari yang melelahkan ini. Fiona hampir saja jatuh tertidur, tapi dering telepon asing mengejutkannya. Dengan ogah-ogahan, Fiona merogoh tasnya untuk mencari telepon genggam yang terselip di dalam sana. "Siapa sih!" dumelnya. Fiona sedang tidak ingin berbicara dengan siapapun saat ini. Fiona memang sengaja memberikan nada dering khusus untuk masing-masing orang terdekatnya. Dia melakukan ini tanpa maksud khusus, hanya sebagai penanda saja. Dan alangkah terkejutnya Fiona
Keesokan harinya, Fiona memarkir mobil Ayla bututnya di tempat parkir perusahaan sambil sesekali menguap. Karena beban pikiran yang menghantuinya, benar saja dia tidak bisa terlelap barang sekejap mata semalam. "Aku butuh kopi," racau Fiona sambil melangkah keluar dari mobilnya. Baru saja satu langkah dia ambil menjauh dari tempat parkir, sosok yang dikenalnya tiba-tiba menghalangi langkahnya. "Loh, Mas. Kamu ngapain di sini?" tanya Fiona dengan kening berkerut samar. "Mau ketemu kamu!" balas sosok pria itu. "Aku? Pagi-pagi begini? Ada apa?" tanya Fiona sambil melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Nanti siang saja bagaimana? Aku sudah terlambat!" pungkas Fiona. Namun, pria itu justru membekap mulut dan hidung Fiona. Dalam kondisi tidak siap, Fiona tentu saja langsung menghirup obat bius yang digunakan untuk membekap hidungnya. Setelah melakukan sedikit pemberontakan, kegelapan tak lama mulai menguasainya. * * *Igor yang baru saja tiba di kantor melirik pad
Bola mata Fiona bergerak-gerak di balik kelopaknya sebelum kemudian terbuka dengan lambat. Untuk sepersekian detik lamanya, Fiona merasa terdistorsi. "Aku dimana?" tanyanya dengan spontan. Fiona baru saja ingin menyentuh kepalanya yang berdenging pusing, tapi kemudian dia menyadari bahwa kedua pergelangan tangannya ternyata diikat di belakang punggung. Sambil menahan rasa sakit di kepala, Fiona mencoba untuk mengingat apa yang telah terjadi padanya. "Aduuhhh!" keluh Fiona dengan lirih.Ingatan akan kejadian tiba-tiba di tempat parkir membanjiri kepala Fiona kemudian. "Dia maunya apa sih?" dumel Fiona tidak puas. Cukup lama dia berusaha bertahan hingga rasa pusing itu surut sedikit demi sedikit. Barulah saat itu Fiona mulai mencoba mengedarkan pandangannya ke segala arah. Saat ini, dia sedang berada di dalam mobil orang yang sudah dia kenal. Namun, dia tidak tahu ada di daerah mana dia berada sekarang. Di depan mobil yang terparkir ini, hanya ada bangunan terbengkalai dengan tana
Bermodalkan rekaman CCTV yang menunjukkan bahwa Fiona sedang dibekap, lalu dibawa dalam kondisi pingsan menuju sebuah mobil lain, Igor langsung mendatangi kantor polisi bersama dengan Freya. Dia sedang berusaha untuk melakukan upaya penyelamatan terhadap Fiona. Untungnya, pihak kepolisian bersedia mengusut langsung aduannya. Akan tetapi, setelah dilakukan pelacakan nomor telepon, mereka menemukan posisi terakhir Fiona ada di perusahaannya. Tanpa lebih banyak berbasa-basi, bersama dengan dua orang anggota polisi, Igor langsung membawa mobilnya melesat menuju kediaman keluarga Adiguna. Dok dok dok! Igor menggedor pintu rumah itu dengan keras. Ketidaksabaran terdengar jelas dari ketukan kerasnya pada daun pintu berwarna coklat itu. "Iya! Iya! Sabar!" suara seorang wanita terdengar datang dari dalam rumah. Tak lama kemudian, sosok wanita berusia sekitar 30 tahunan menggunakan daster lusuh dengan rambut digelung santai, muncul di bidang pengelihat semua orang. "Dimana Jaya!" sambar
Sementara itu di sisi lain, "Kamu benar-benar tidak memiliki campur tangan terhadap apa yang terjadi dalam rumah tanggaku, dan Zoya?" tanya Jaya sekali lagi. "Tidak!" Fiona menjawab dengan tegas. "Mas, baik aku ataupun kamu berhak mendapatkan kesempatan kedua. Tapi kesempatan kedua kamu, tidak mungkin kamu dapatkan dari aku. Pun jika kesempatan kedua kamu juga tidak kamu dapat dari Mbak Zoya. Pasti akan ada yang lain. Jangan bersikap impulsif seperti ini yang hanya akan mendatangkan kerugian buat kamu!" pungkas Fiona panjang lebar. Dia sengaja menggeser topik untuk menarik mantan suaminya ini menjauh dari kecurigaan atas segala kekacauan dalam rumah tangga pria ini dan Zoya. "Ayolah, Mas. Perjalanan hidup kita masih panjang!" ujar Fiona lagi. Dia tidak menunjukkan tanda menyerah untuk membujuk sang mantan suami agar bersedia secara sukarela melepaskannya. "Haaahhh~" Jaya menghembuskan nafas panjang seraya menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi kemudi. "Kamu memang ada b
1 bulan kemudian, Kasus yang menimpa Mas Fadli dan Mbak Zoya akhirnya dilimpahkan ke pengadilan. Dikarenakan bukti itu datangnya dari Fiona, mau tidak mau dia tetap harus hadir sebagai saksi di pengadilan. Ketika hal itu terjadi, dia bisa melihat dengan jelas wajah terkejut keluarga mantan suaminya. "Fiona!" seru mereka dengan terkejut. Walau begitu, Fiona memilih sikap acuh tak acuh. Dia mengikuti seluruh rangkaian persidangan dengan khidmat. Dia juga menjawab pertanyaan dari Jaksa penuntut umum dengan jujur tanpa ada yang dia sembunyikan. "Jadi ini semua ulah kamu? Harusnya dari awal aku membunuhmu!" raung Zoya dengan marah yang membuat dirinya mendapat peringatan dari hakim. Melihat Fiona duduk di kursi saksi membuat Zoya menggeram penuh amarah. Jika pengungkapan bukti sabotase mobil Mas Agung ini diserahkan oleh Paman Rusdi, mungkin Zoya tidak akan semarah ini. Tapi yang melakukannya adalah musuh bebuyutannya. Orang yang sudah Zoya cap sebagai penyebab atas setiap kemalangan
"Jaya! Mas Fadli, Jay!"Ketika Jaya tiba di rumah, hal pertama yang menyambutnya adalah raungan sang kakak yang baru saja sadar dari pingsannya. "Mbak, tenang! Coba ceritakan ada apa?" tanya Jaya berusaha untuk bersikap tenang meski hatinya sendiri sudah gundah gulana. "Mas Fadli, Jay! Mas Fadli!" pekik Mbak Arum dengan histeris. Air mata terus merebak membanjiri pipinya. "Mbak, jelaskan pelan-pelan apa yang terjadi?" tanya Jaya dengan penuh kesabaran. "Mas Fadli ditangkap polisi!" ungkap Arum dari sela-sela sengguk tangisnya. "APA?!" pekik Ibu Marni dengan keras hingga memenuhi ruangan. "Tadi siapa orang yang menghubungi Mbak?" tanya Jaya masih dengan nada tenang meskipun hatinya sudah hancur berantakan. "Namanya Chandra. Pengacara Mas Fadli. Katanya sekarang dia ada di kantor polisi untuk menemani Mas Fadli diinterogasi," jawab Arum dengan tergugu. "Kalau begitu, ayo kita ke kantor polisi," ajak Jaya sembari beranjak dari sofa yang dia duduki. "Ayo! Ayo!" timpal Ibu Marni d
Fadli yang berangkat ke kantor ketika jarum jam hampir menunjukkan pukul 11 pagi tiba-tiba dihadang oleh beberapa rekan kerjanya. Wajah kaku mereka membuat Fadli tiba-tiba merasakan firasat buruk di hatinya. Pikirannya bahkan langsung tertuju pada Zoya, dan ancamannya. Apalagi ketika mengetahui bahwa Jaya ternyata tidak berhasil membujuk Fiona untuk mencabut tuntutannya. 'Jangan bilang si Zoya sudah mengatakan tentang hal itu pada polisi!' gumam Fadli dengan panik. "Ada apa ini?" tanya Fadli pura-pura tidak merasakan keanehan dari mereka. Akan tetapi, dia perlahan mulai mengambil ancang-ancang untuk melarikan diri. Sayangnya, sebelum Fadli sempat melaksanakan niatnya itu, dia telah lebih dulu dibekuk oleh rekan-rekan sejawatnya. "Sialan! Apa yang kalian lakukan?" maki Fadli dengan berang. Kini tangannya bahkan sudah diborgal yang terasa menginjak harga dirinya. Tanpa menghiraukan protesan dari Fadli, seorang polisi yang menangani kasus Fiona sebelumnya terus menyeret Fadli menuju
Di kediaman Adiguna, "Loh, Fadli? Kamu tidak berangkat kerja?" tanya Ibu Marni ketika melihat menantunya justru duduk dengan khidmat di sofa ruang keluarga. Seperti yang dikatakan Jaya kemarin, dia berpura-pura untuk tidak tahu menahu perihal yang katanya rahasia menantunya ini. Toh, semuanya juga belum terbukti kebenarannya. Bagaimana jika Zoya berbohong? Pun jikalau yang dikatakan Zoya itu benar, mereka bisa mengambil tindakan nanti. Tidak perlu terburu-buru. "Ini sudah jam setengah sembilan loh!" tambah Ibu Marni memperingatkan. "Fadli mau nanya dulu sama Ibu, apa Jaya berhasil membujuk Fiona untuk mencabut tuntutannya?" tanya Fadli penuh harap. "Huh! Dia tidak mau mencabut tuntutannya!" balas Ibu Marni seraya mendengus sinis. " ... "Tanpa sadar, geraham Fadli bergemeretak dengan tidak puas. Sayang sekali dia tidak berdaya! "Buk! Fadli mau bertemu dengan Ibu Mastah dulu, boleh?" tanya Fadli meminta izin. Alis Ibu Marni berkedut pelan. "Bertemu Ibu Mastah? Buat apa?" tanya
Pagi-pagi sekali. Jarum jam bahkan masih menunjukkan pukul setengah tujuh pagi, tapi paman Rusdi sudah menunggu di depan perusahaan tempat Fiona bekerja. Gelagatnya yang mencurigakan membuat seorang satpam perusahaan yang bertugas pagi ini terus menatapnya dengan curiga. "Permisi, Pak!" tegur Paman Rusdi dengan malu-malu. "Ada apa?" tanya satpam itu sedikit ketus. Wajahnya bahkan memberengut jijik. Aroma yang menguar dari tubuh pria gelandangan itu membuatnya ingin segera mengakhiri interaksi ini. "Di dalam sini ada karyawan yang namanya Fiona Larasati 'kan?" tanya paman Rusdi. Gelagatnya yang menurut sang satpam sudah mencurigakan sejak awal, membuat satpam yang bertugas itu semakin mengerutkan kening. Dia tidak mungkin tidak mengenal orang yang disebutkan oleh pria ini. Pasalnya, nama yang disebutkan itu sudah sangat terkenal di perusahaan. Selain karena kedekatannya dengan sang bos perusahaan. Wanita ini juga sering viral lantaran masalah keluarganya. Dan kabar terbaru yang ke
Ibu Mastah bergegas kembali ke kamarnya untuk mencoba menghubungi sang adik kandung melalui nomor yang hanya mereka ketahui sendiri. Tadinya dia berniat mengunjungi ruang keluarga untuk menanyakan tentang kabar putrinya yang tidak juga pulang hingga semalam ini. Siapa yang menduga dia justru mendengar obrolan penting itu. "Halo," sapa Ibu Mastah dengan antusias begitu sambungan telepon mulai terhubung. [Huh! Sekarang kamu baru menghubungiku?!]Ibu Mastah harus menjauhkan ponsel butut di tangannya dari sisi telinga karena kerasnya suara bentakan sang adik dari seberang sana. "Tidak ada waktu untuk menjelaskan! Aku dengar dari Jaya dan ibunya kalau kamu memiliki bukti pembunuhan yang dilakukan oleh Fadli. Apa benar?" tanya Ibu Mastah. Rentetan kalimat panjang ini diutarakan dalam satu tarikan nafas tergesa. [ ... ]"Halo, Rusdi?" panggil Ibu Mastah karena sang adik tidak membalas perkataannya. [Jadi mereka sudah tahu!] "Apa?" tanya Ibu Mastah. [Kak, Zoya ada dimana?]Ibu Mastah m
Bumi telah diselimuti kegelapan ketika Fiona terbangun dari tidur lelapnya. Hanya lampu dari nakas yang menyala buram yang menerangi kamar sederhana itu. Fiona tidak langsung beranjak dari tempatnya. Kepalanya masih linglung mencoba untuk mengingat apa yang telah terjadi. Akan tetapi, suara yang datang dari luar kamarnya membuat Fiona tidak bisa berbaring lebih lama lagi. Dia perlahan beranjak dari ranjang empuknya, dan menyeret langkahnya untuk keluar dari kamar. "Fiona tidak akan menarik tuntutannya!"Sayup-sayup kalimat itulah yang menyambut Fiona ketika dia membuka pintu kamar. "Fiona sedang tidur!" "Gor," sapa Fiona lirih dengan suara serak khas bangun tidurnya. Igor yang sedang menelepon menyeret pandangannya ke arah sosok Fiona kemudian tersenyum teduh. "Pokoknya Fiona tidak akan menarik tuntutannya!" seru Igor untuk yang terakhir kalinya sebelum kemudian memutuskan sambungan telepon. "Kamu sudah bangun? Bagaimana keadaan kamu?" tanya Igor seraya beranjak dari sofa yang
"Gak perlu! Ayo pulang!" tolak Ibu Marni dengan tegas. "Jangan dengarkan omong kosongnya!" lanjut Ibu Marni dengan penuh amarah. Dia lalu meraih tangan Jaya dan hendak menyeretnya untuk pergi meninggalkan sang menantu yang terlihat tidak lebih dari orang gila saat ini. "Huh! Anda yang paling tahu apakah yang aku ucapkan ini hanya omong kosong belaka atau tidak!" dengus Zoya santai. " ... "Sambil mendumel dengan suara rendah, Ibu Marni terus melangkah menjauh dari Zoya. "Mas, jika kamu tidak segera membebaskan aku sekarang juga. Aku jamin keluarga kamu tidak akan pernah menemukan ketenangan lagi!" ujar Zoya memberi peringatan. Langkah kaki Jaya spontan berhenti mendengar nada ancaman yang disampaikan oleh Zoya dengan begitu tenang ini. Jaya yakin bahwa siapapun itu orangnya, apabila menghadapi kondisi terpojok pasti akan melakukan apa saja untuk menyelamatkan diri. Jaya tidak ingin menganggap remeh ancaman sang istri ini. "Kamu pasti mikir kalau aku sama Mas Fadli saling naksir
Pasca insiden penculikan ini, Igor tak sekalipun meninggalkan sisi Fiona. Di tidak mau hal buruk ini terjadi lagi untuk yang kesekian kalinya pada sang wanita terkasih. "Aku baik-baik saja kok, Gor. Kamu bisa pulang," ujar Fiona begitu mereka tiba di apartemen Fiona setelah kembali dari rumah sakit. "Mulai sekarang, aku akan tinggal di sini!" putus Igor penuh tekad. "Hah?""Aku khawatir hal yang sama seperti ini akan terulang kembali," pungkas Igor. Dia masih memiliki bayang-bayang ketidakberdayaan di dalam benaknya. Kalau sampai dia datang terlambat, apa yang akan terjadi pada Fiona? Hanya dengan membayangkannya saja sudah membuat Igor merasa tidak sanggup! Dan sebenarnya, Fiona juga sedikit dihantui perasaan ketakutan akibat dari pengalaman yang menimpanya kali ini. Namun, posisinya dalam hubungan dengan Igor agak tidak menguntungkan untuk mereka bersama. Belum lagi, dia juga sudah berjanji pada ibunda Igor bahwa hubungan mereka tidak akan sampai pada tahap yang lebih serius t