Hari demi hari berganti, Setiap kali Jaya memikirkan masalah yang telah menimpanya belakangan ini, penyesalan di hatinya semakin membengkak. Rasa cintanya yang pernah ada untuk Zoya pun sudah menguap, hilang tak bersisa. Setelah mengetahui kondisinya sendiri yang mandul, hati Jaya semakin dingin. Harga dirinya terkoyak. Dia tidak bisa memberitahu ibunya, terlebih lagi dia tidak bisa menggunakan alasan ini untuk memutuskan hubungan dengan Zoya. Pada akhirnya, ketika dia tahu bahwa wanita yang pernah amat dia cintai membohonginya, dia tidak bisa melakukan apa-apa. Dia hanya membiarkan saja wanita itu dengan dramanya. Di malam yang sunyi ini, Jaya tidak bisa berhenti memikirkan mantan istrinya itu. Jika saja mereka masih bersama, hidupnya tidak akan kacau. Dia masih bisa menikmati hari-harinya. Dia juga tidak perlu merasa terbebani dengan fakta 'mandul' yang kini menjadi nama tengahnya. Jika saja Fiona masih di sisinya, dia masih memiliki seseorang untuk dijadikan kambing hitam atas t
Rahang Fiona hampir saja jatuh dari tempatnya ketika mendengar ajakan untuk kembali membina rumah tangga ini. Dia dibuat tak habis pikir dengan pola pikir mantan suaminya ini yang sebelumnya begitu percaya diri mengucap kata cerai padanya. "Tidak! Terima kasih!" Fiona berucap dengan dingin. Memang dia wanita apaan? Dibuang saat tak diinginkan, dipungut saat dibutuhkan? Dia pasti sudah gila jika menyetujui permintaan tak masuk akal ini. "Fi, aku menyesal. Tolong kasih aku kesempatan kedua!" Jaya dan tampang memohonnya yang langka tidak membuat Fiona tersentuh sama sekali. "Jangan menjadi tidak masuk akal deh, Mas. Setelah semua yang kamu lakukan sama aku, kamu masih ingin kembali? Gak ada pintu!" tolak Fiona dengan tegas. "Fi, aku mohon kasih aku kesempatan kedua. Kali ini aku tidak akan menyia-nyiakannya. Aku tidak akan pernah mendua lagi," tangan Mas Jaya berusaha untuk meraih pergelangan tangan Fiona yang tergantung di kedua sisi tubuhnya. "Sekali enggak! Tetap enggak, Mas!" t
Seperti malam-malam sebelumnya. Pulang kerja, Fiona akan menghabiskan waktu makan malamnya bersama Igor. Baru sekejap hatinya merasa tenang karena berhasil menepis rasa bersalah untuk Mas Agung, sekarang mantan suaminya kembali menanamkan sumber overthinking baru baginya. "Kamu kenapa bengong aja dari tadi?" tanya Igor menginterupsi gerakan tangan Fiona yang sibuk mnegaduk makanan di atas piringnya. "Haaahhh!" desahan panjang Fiona lolos dari bibirnya. Fiona lantas menatap mata Igor dengan ragu-ragu. Dia berpikir haruskah dia menghitung setiap bulir nasi yang ada di atas piringnya sebelum membuat keputusan untuk memberi tahu Igor tentang provokasi Jaya? Fiona benar-benar dilanda dilema. Akan tetapi, memutuskan pura-pura tidak tahu pun sama tidak menyenangkannya. Tidak pernah puas memanglah julukan yang paling pantas disematkan pada manusia. Sebelumnya, dia pernah mengatakan bahwa dia belum ingin berkomitmen. Dia takut akan mengalami kegagalan yang sama seperti sebelumnya. Tapi, s
Setiap tiga menit sekali, Fiona tidak henti-hentinya melirik pada jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Hari ini dia ada janji temu dengan Igor dan ibunya. Tadinya Fiona berpikir bahwa hari ketika dia akan menemui orang tuanya Igor masih nanti-nanti. Siapa sangka, pria itu justru membuat gagasan untuk mempertemukan mereka tepat di keesokan harinya. Wacana pertemuan hari ini membuat Fiona tidak bisa tidur sepanjang malam. Dia bahkan sengaja datang 30 menit lebih cepat dari waktu janjian. Tujuannya karena dia tidak ingin memberikan kesan negatif pada orang tua Igor nantinya.Tik tik tik, Detak jarum jam yang melingkar pada pergelangan tangannya bisa Fiona dengar dengan jelas. Hal ini menandakan bahwa waktu terus bergerak maju. Satu menit, Dua menit, Tiga menit, Waktu berlalu terasa sangat lama. Sudah tidak terhitung berapa kali Fiona melirik ke arah pintu masuk cafe dengan risau. Seiring berjalannya waktu, dia juga mulai tidak bisa duduk tenang di kursinya. Jantungny
"Tante Kinan, apa kabar?" sapa Atikah antusias, mengabaikan kehadiran Fiona, juga Igor yang ada di meja yang sama. "Baik, kamu sendiri apa kabar?" tanya Tante Kinanti dengan tidak kalah antusiasnya. "Baik, Tan!" jawab Atikah dengan senyum lebarnya. "Yuk gabung sama kita!" pungkas Tante Kinanti yang membuat sudut mata Fiona berkedut tak terima."Ma!" tegur Igor memperingatkan. "Gak usah, Tan. Aku juga lagi sama teman!" tolak Atikah sambil menunjuk pada Sheila dan juga Zoya. "Duh, sayang sekali," ujar Tante Kinanti dengan nada sesal. "Aku ke meja sana dulu, Tan!" pamit Atikah menunjuk meja yang sudah ditempati Zoya dan juga Sheila. "Oke. Kapan-kapan kita hangout bareng lagi," ujar Tante Kinanti melepas kepergian Atikah dengan nada tidak rela. "Kamu apa-apaan sih!" tegur Tante Kinanti pada putranya. "Igor lagi memperkenalkan Fiona sama Mama. Menurut Mama etis gak mengajak orang lain bergabung?" tanya Igor menimpali. "Atikah bukan orang lain. Dia... ""Dia orang lain, Ma!" poton
Zoya baru kembali dari pertemuannya dengan Atikah, dan juga Sheila ketika dia melihat sosok pria tambun mengintip di balik tembok rumah mertuanya. Zoya yang merasa akrab dengan sosok ini perlahan berjalan mendekat. Ternyata benar dugaannya, bahwa orang itu adalah Paman Rusdi. Dengan gigi bergemeretak marah, Zoya menahan semua emosi dalam dadanya. "Apa yang kamu lakukan di sini?!" sentak Zoya dengan kasar dari arah belakang pria itu. Paman Rusdi sontak berbalik karena terkejut. Sebelum kemudian kelegaan berkilat di matanya saat yang dia lihat adalah sosok keponakannya. "Kamu ngagetin aja!" balas Paman Rusdi. "Ngapain kamu di sini?" tanya Zoya sekali lagi dengan berang. Sambil berkacak pinggang, Zoya memperhatikan pria lusuh di depannya. Pakaiannya yang dekil, wajahnya yang kusam dan ditutupi kumis serta brewok tak terawat. Lalu rambutnya yang awut-awutan tidak pernah disisir, mana gondrong lagi. Ditambah dengan semerbak aroma tak menyenangkan. Keseluruhan penampilan pamannya ini
Setelah memarkirkan mobilnya dengan rapi di garasi rumah, Jaya keluar dari mobil dengan dahi berkerut samar. Dia merasa semakin tidak puas ketika melihat tindak tanduk istrinya itu. "Kamu bicara dengan siapa barusan?" tanya Jaya sambil menatap keluar rumah dengan curiga. " ... ""Em ... itu ... itu ... " Zoya langsung tergagap panik. Untuk sesaat, dia tidak berani menatap lurus ke arah mata sang suami. Dia bahkan tanpa sadar meremas ujung pakaiannya seraya berpikir. "Itu pengemis!" jawabnya kemudian. Alis Jaya terangkat tinggi. "Benarkah?" tanya Jaya tidak percaya. Gelagat wanita yang masih berstatus sebagai istrinya ini terlalu jelas menunjukkan bahwa ada sesuatu yang dia sembunyikan. "Iya! Tadi dia ngintip-ngintip mencurigakan di rumah ini. Jadi aku mau mengusirnya!" ujar Zoya setengah berbohong. "Oh~" dengung Jaya acuh tak acuh. "Mas, kok jam segini kamu sudah pulang?" tanya Zoya basa-basi. Tidak biasanya suaminya ini pulang di kala jam makan siang seperti ini. "Ada yang
Fiona yang baru saja kembali ke apartemen sederhananya setelah bertemu dengan ibunda Igor, langsung jatuh melunglai di atas satu-satunya sofa panjang di ruang tamu itu. Bukannya mengurangi beban hati dan pikirannya, pertemuan ini justru membuat kepala Fiona berdenyut kian pusing. "Ah~" Fiona mengeluarkan desahan panjang sambil menutup kedua mata dengan menggunakan lengan kirinya. Dering ponsel yang berasal dari Igor sengaja dia abaikan. Bukan merajuk, dia hanya sedang membutuhkan waktu untuk menenangkan diri dari hari yang melelahkan ini. Fiona hampir saja jatuh tertidur, tapi dering telepon asing mengejutkannya. Dengan ogah-ogahan, Fiona merogoh tasnya untuk mencari telepon genggam yang terselip di dalam sana. "Siapa sih!" dumelnya. Fiona sedang tidak ingin berbicara dengan siapapun saat ini. Fiona memang sengaja memberikan nada dering khusus untuk masing-masing orang terdekatnya. Dia melakukan ini tanpa maksud khusus, hanya sebagai penanda saja. Dan alangkah terkejutnya Fiona
1 bulan kemudian, Kasus yang menimpa Mas Fadli dan Mbak Zoya akhirnya dilimpahkan ke pengadilan. Dikarenakan bukti itu datangnya dari Fiona, mau tidak mau dia tetap harus hadir sebagai saksi di pengadilan. Ketika hal itu terjadi, dia bisa melihat dengan jelas wajah terkejut keluarga mantan suaminya. "Fiona!" seru mereka dengan terkejut. Walau begitu, Fiona memilih sikap acuh tak acuh. Dia mengikuti seluruh rangkaian persidangan dengan khidmat. Dia juga menjawab pertanyaan dari Jaksa penuntut umum dengan jujur tanpa ada yang dia sembunyikan. "Jadi ini semua ulah kamu? Harusnya dari awal aku membunuhmu!" raung Zoya dengan marah yang membuat dirinya mendapat peringatan dari hakim. Melihat Fiona duduk di kursi saksi membuat Zoya menggeram penuh amarah. Jika pengungkapan bukti sabotase mobil Mas Agung ini diserahkan oleh Paman Rusdi, mungkin Zoya tidak akan semarah ini. Tapi yang melakukannya adalah musuh bebuyutannya. Orang yang sudah Zoya cap sebagai penyebab atas setiap kemalangan
"Jaya! Mas Fadli, Jay!"Ketika Jaya tiba di rumah, hal pertama yang menyambutnya adalah raungan sang kakak yang baru saja sadar dari pingsannya. "Mbak, tenang! Coba ceritakan ada apa?" tanya Jaya berusaha untuk bersikap tenang meski hatinya sendiri sudah gundah gulana. "Mas Fadli, Jay! Mas Fadli!" pekik Mbak Arum dengan histeris. Air mata terus merebak membanjiri pipinya. "Mbak, jelaskan pelan-pelan apa yang terjadi?" tanya Jaya dengan penuh kesabaran. "Mas Fadli ditangkap polisi!" ungkap Arum dari sela-sela sengguk tangisnya. "APA?!" pekik Ibu Marni dengan keras hingga memenuhi ruangan. "Tadi siapa orang yang menghubungi Mbak?" tanya Jaya masih dengan nada tenang meskipun hatinya sudah hancur berantakan. "Namanya Chandra. Pengacara Mas Fadli. Katanya sekarang dia ada di kantor polisi untuk menemani Mas Fadli diinterogasi," jawab Arum dengan tergugu. "Kalau begitu, ayo kita ke kantor polisi," ajak Jaya sembari beranjak dari sofa yang dia duduki. "Ayo! Ayo!" timpal Ibu Marni d
Fadli yang berangkat ke kantor ketika jarum jam hampir menunjukkan pukul 11 pagi tiba-tiba dihadang oleh beberapa rekan kerjanya. Wajah kaku mereka membuat Fadli tiba-tiba merasakan firasat buruk di hatinya. Pikirannya bahkan langsung tertuju pada Zoya, dan ancamannya. Apalagi ketika mengetahui bahwa Jaya ternyata tidak berhasil membujuk Fiona untuk mencabut tuntutannya. 'Jangan bilang si Zoya sudah mengatakan tentang hal itu pada polisi!' gumam Fadli dengan panik. "Ada apa ini?" tanya Fadli pura-pura tidak merasakan keanehan dari mereka. Akan tetapi, dia perlahan mulai mengambil ancang-ancang untuk melarikan diri. Sayangnya, sebelum Fadli sempat melaksanakan niatnya itu, dia telah lebih dulu dibekuk oleh rekan-rekan sejawatnya. "Sialan! Apa yang kalian lakukan?" maki Fadli dengan berang. Kini tangannya bahkan sudah diborgal yang terasa menginjak harga dirinya. Tanpa menghiraukan protesan dari Fadli, seorang polisi yang menangani kasus Fiona sebelumnya terus menyeret Fadli menuju
Di kediaman Adiguna, "Loh, Fadli? Kamu tidak berangkat kerja?" tanya Ibu Marni ketika melihat menantunya justru duduk dengan khidmat di sofa ruang keluarga. Seperti yang dikatakan Jaya kemarin, dia berpura-pura untuk tidak tahu menahu perihal yang katanya rahasia menantunya ini. Toh, semuanya juga belum terbukti kebenarannya. Bagaimana jika Zoya berbohong? Pun jikalau yang dikatakan Zoya itu benar, mereka bisa mengambil tindakan nanti. Tidak perlu terburu-buru. "Ini sudah jam setengah sembilan loh!" tambah Ibu Marni memperingatkan. "Fadli mau nanya dulu sama Ibu, apa Jaya berhasil membujuk Fiona untuk mencabut tuntutannya?" tanya Fadli penuh harap. "Huh! Dia tidak mau mencabut tuntutannya!" balas Ibu Marni seraya mendengus sinis. " ... "Tanpa sadar, geraham Fadli bergemeretak dengan tidak puas. Sayang sekali dia tidak berdaya! "Buk! Fadli mau bertemu dengan Ibu Mastah dulu, boleh?" tanya Fadli meminta izin. Alis Ibu Marni berkedut pelan. "Bertemu Ibu Mastah? Buat apa?" tanya
Pagi-pagi sekali. Jarum jam bahkan masih menunjukkan pukul setengah tujuh pagi, tapi paman Rusdi sudah menunggu di depan perusahaan tempat Fiona bekerja. Gelagatnya yang mencurigakan membuat seorang satpam perusahaan yang bertugas pagi ini terus menatapnya dengan curiga. "Permisi, Pak!" tegur Paman Rusdi dengan malu-malu. "Ada apa?" tanya satpam itu sedikit ketus. Wajahnya bahkan memberengut jijik. Aroma yang menguar dari tubuh pria gelandangan itu membuatnya ingin segera mengakhiri interaksi ini. "Di dalam sini ada karyawan yang namanya Fiona Larasati 'kan?" tanya paman Rusdi. Gelagatnya yang menurut sang satpam sudah mencurigakan sejak awal, membuat satpam yang bertugas itu semakin mengerutkan kening. Dia tidak mungkin tidak mengenal orang yang disebutkan oleh pria ini. Pasalnya, nama yang disebutkan itu sudah sangat terkenal di perusahaan. Selain karena kedekatannya dengan sang bos perusahaan. Wanita ini juga sering viral lantaran masalah keluarganya. Dan kabar terbaru yang ke
Ibu Mastah bergegas kembali ke kamarnya untuk mencoba menghubungi sang adik kandung melalui nomor yang hanya mereka ketahui sendiri. Tadinya dia berniat mengunjungi ruang keluarga untuk menanyakan tentang kabar putrinya yang tidak juga pulang hingga semalam ini. Siapa yang menduga dia justru mendengar obrolan penting itu. "Halo," sapa Ibu Mastah dengan antusias begitu sambungan telepon mulai terhubung. [Huh! Sekarang kamu baru menghubungiku?!]Ibu Mastah harus menjauhkan ponsel butut di tangannya dari sisi telinga karena kerasnya suara bentakan sang adik dari seberang sana. "Tidak ada waktu untuk menjelaskan! Aku dengar dari Jaya dan ibunya kalau kamu memiliki bukti pembunuhan yang dilakukan oleh Fadli. Apa benar?" tanya Ibu Mastah. Rentetan kalimat panjang ini diutarakan dalam satu tarikan nafas tergesa. [ ... ]"Halo, Rusdi?" panggil Ibu Mastah karena sang adik tidak membalas perkataannya. [Jadi mereka sudah tahu!] "Apa?" tanya Ibu Mastah. [Kak, Zoya ada dimana?]Ibu Mastah m
Bumi telah diselimuti kegelapan ketika Fiona terbangun dari tidur lelapnya. Hanya lampu dari nakas yang menyala buram yang menerangi kamar sederhana itu. Fiona tidak langsung beranjak dari tempatnya. Kepalanya masih linglung mencoba untuk mengingat apa yang telah terjadi. Akan tetapi, suara yang datang dari luar kamarnya membuat Fiona tidak bisa berbaring lebih lama lagi. Dia perlahan beranjak dari ranjang empuknya, dan menyeret langkahnya untuk keluar dari kamar. "Fiona tidak akan menarik tuntutannya!"Sayup-sayup kalimat itulah yang menyambut Fiona ketika dia membuka pintu kamar. "Fiona sedang tidur!" "Gor," sapa Fiona lirih dengan suara serak khas bangun tidurnya. Igor yang sedang menelepon menyeret pandangannya ke arah sosok Fiona kemudian tersenyum teduh. "Pokoknya Fiona tidak akan menarik tuntutannya!" seru Igor untuk yang terakhir kalinya sebelum kemudian memutuskan sambungan telepon. "Kamu sudah bangun? Bagaimana keadaan kamu?" tanya Igor seraya beranjak dari sofa yang
"Gak perlu! Ayo pulang!" tolak Ibu Marni dengan tegas. "Jangan dengarkan omong kosongnya!" lanjut Ibu Marni dengan penuh amarah. Dia lalu meraih tangan Jaya dan hendak menyeretnya untuk pergi meninggalkan sang menantu yang terlihat tidak lebih dari orang gila saat ini. "Huh! Anda yang paling tahu apakah yang aku ucapkan ini hanya omong kosong belaka atau tidak!" dengus Zoya santai. " ... "Sambil mendumel dengan suara rendah, Ibu Marni terus melangkah menjauh dari Zoya. "Mas, jika kamu tidak segera membebaskan aku sekarang juga. Aku jamin keluarga kamu tidak akan pernah menemukan ketenangan lagi!" ujar Zoya memberi peringatan. Langkah kaki Jaya spontan berhenti mendengar nada ancaman yang disampaikan oleh Zoya dengan begitu tenang ini. Jaya yakin bahwa siapapun itu orangnya, apabila menghadapi kondisi terpojok pasti akan melakukan apa saja untuk menyelamatkan diri. Jaya tidak ingin menganggap remeh ancaman sang istri ini. "Kamu pasti mikir kalau aku sama Mas Fadli saling naksir
Pasca insiden penculikan ini, Igor tak sekalipun meninggalkan sisi Fiona. Di tidak mau hal buruk ini terjadi lagi untuk yang kesekian kalinya pada sang wanita terkasih. "Aku baik-baik saja kok, Gor. Kamu bisa pulang," ujar Fiona begitu mereka tiba di apartemen Fiona setelah kembali dari rumah sakit. "Mulai sekarang, aku akan tinggal di sini!" putus Igor penuh tekad. "Hah?""Aku khawatir hal yang sama seperti ini akan terulang kembali," pungkas Igor. Dia masih memiliki bayang-bayang ketidakberdayaan di dalam benaknya. Kalau sampai dia datang terlambat, apa yang akan terjadi pada Fiona? Hanya dengan membayangkannya saja sudah membuat Igor merasa tidak sanggup! Dan sebenarnya, Fiona juga sedikit dihantui perasaan ketakutan akibat dari pengalaman yang menimpanya kali ini. Namun, posisinya dalam hubungan dengan Igor agak tidak menguntungkan untuk mereka bersama. Belum lagi, dia juga sudah berjanji pada ibunda Igor bahwa hubungan mereka tidak akan sampai pada tahap yang lebih serius t