"Bu! Ibu!" Aruna kembali ke rumah sambil berteriak memanggil ibunya. Dia yang jadwal kuliahnya sedang kosong, pagi-pagi sekali memutuskan untuk membeli sarapan bubur ayam di ujung gang, depan kompleks rumahnya. Sekembalinya, dia dikejutkan oleh sebuah selebaran yang tertempel di tiang listrik depan rumah. Aruna yang sebelumnya tidak pernah tertarik untuk mengamati tempelan-tempelan yang ada di tiang listrik, karena berpikir bahwa itu tidak lebih dari iklan jasa sedot WC atau iklan jasa mobil pindahan, kini dia dibuat penasaran. Pasalnya, selebaran itu ditempelkan dengan begitu masif di sepanjang dinding rumahnya sampai rumah tetangga di sekitarnya. Untuk memenuhi rasa penasarannya, Aruna melepas salah satu selebaran yang ditempel tidak terlalu lekat. Akan tetapi, alangkah terkejutnya dia saat melihat isi dari selebaran itu. Bola matanya bahkan hampir lepas dari rongga mata. Begitu tersadar dari keterpanaan, dia lantas bergegas ke dalam rumah untuk memanggil ibunya. "Bu, ibu!" pang
Zoya yang tidak tahu-menahu mengenai masalah apa yang sedang menantinya di rumah saat ini dihadapkan pada sekelompok manusia kumuh yang mencegat langkahnya ketika hendak pulang dari pasar. "Nak, tolong kami!"Zoya melemparkan sorot dingin dari sepasang bola matanya. Dia tidak lagi memiliki perasaan pada orang-orang ini. "Beri kami uang, kalau tidak? Aku akan membongkar rahasiamu!" ancam pria busuk yang tak lagi bisa membuat Zoya takut. Tanpa menjawab mereka, Zoya dengan dingin terus melanjutkan perjalanannya. Namun, langkahnya terhenti karena lengannya dicengkram dengan keras oleh seorang wanita yang telah melahirkannya, tapi tega meninggalkannya dengan segudang masalah. "Kamu gak sayang lagi sama ibu?" tanya wanita rapuh yang tampak kumel, dan terlihat menyedihkan itu. Zoya mendengus dingin. "Aku pikir kalian tidak akan pernah muncul di depanku lagi!" sindirnya. "Maafkan ibu, Nak. Ibu terpaksa!" ucap wanita itu dengan nada suara bergetar menahan tangis. "Terpaksa?!" pekik Zoya
Zoya yang kembali ke rumah sang mertua dengan sekantong besar barang belanjaan dibuat terheran-heran oleh tatapan merendahkan beberapa tetangga di sekitar rumah mertuanya.Namun, karena mereka tidak pernah cukup dekat, Zoya sedikit segan untuk bertanya mengenai arti tatapan itu. "Jadi itu yang namanya Zoya?""Ya ampun memalukan banget sih!""Ck ck ck. Gak habis pikir,""Kok bisa ada orang yang tidak tahu diri kayak dia?"Rangkaian percakapan ibu-ibu itu membuat Zoya meremas kantung belanjaannya dengan lebih erat. Tadinya dia hendak menghibur diri dengan menganggap tatapan meremehkan itu ditujukan pada ibunya yang berjalan sedikit di belakang. Tetapi mendengar namanya disebut membuat jantung Zoya berdegup khawatir. 'Ada apa lagi ini?' batinnya frustrasi. Tidak menunggu waktu lama, dia akhirnya menemukan jawabanya. Tepat setelah satu langkah dia memasuki pintu gerbang rumah mertuanya, raungan marah Mbak Arum menyambutnya. "Dasar wanita j*l*ng!""P*la*ur!" Seuntai julukan kasar yang
Sepanjang siang hari ini, Jaya diliputi oleh perasaan tak menentu. Hatinya tercampur aduk oleh perasaan marah, kecewa, dan sesal. Dia ingin segera menemui sang istri untuk menuntut penjelasan. Namun, dia tidak bisa lantaran masih jam kerja. Dia memiliki klien yang harus ditangani, sehingga dia tidak bisa meminta izin untuk pulang. Tetapi, akibat suasana hati yang tak karuan, Jaya masih tidak bisa menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Sehingga dia bahkan mendapat SP 1 karena kinerjanya mulai menurun bulan ini. Tidak hanya sering terlambat datang setelah waktu makan siang berakhir, dia juga sering menghilang tiba-tiba. Tidak heran jika wajahnya menghitam menahan gejolak emosi sepulangnya dari kantor. "Nak~"Jaya yang baru saja keluar dari mobilnya merajut kening hingga kusut ketika melihat seseorang dengan pakaian lusuh yang terlihat seperti pengemis ini ada di rumahnya. "Pengemis tidak diizinkan masuk ke sini. Pergi!" hardiknya pada wanita paruh baya yang terlihat seusia ibunya i
Kepala Zoya jatuh terkulai kala mendengar ucapan sinis sang ibu mertua. Untuk saat ini, dia tidak tahu bagaimana harus membalas kata-kata ini. Dari sudut matanya, dia menyempatkan diri untuk melirik pada Mas Jaya. Namun, wajah suaminya itu terlihat begitu keras seolah tanpa emosi. Bahkan meski dia berkali-kali mengelus perutnya untuk mengingatkan Mas Jaya bahwa ada bayi mereka di dalam rahimnya, pria itu tampak sama sekali tidak terketuk hatinya. "Sayang, ada apa? Kenapa kamu awut-awutan begini?" tanya Mas Fadli saat melihat penampilan berantakan istrinya. " ... " Tidak ada yang langsung menjawab pertanyaan ini. Setiap pasang mata sibuk saling mengamati tindak-tanduk satu sama lain dengan seksama. "Mas, ini apa?" tanya Mbak Arum memecah keheningan yang sempat tercipta. Dia lantas memberikan selebaran yang memperlihatkan bahwa sang suami sedang berpelukan dengan iparnya. Seperti reaksi kebanyakan orang hari ini, sepasang mata Mas Fadli juga terbuka lebar karena terkejut. "Darima
Seperti biasa, matahari masih terbit dari ufuk timur. Zoya dan ibunya yang sedang tidur di kamar belakang yang diperuntukkan untuk pembantu terlonjak bangun karena terkejut. "Keterlaluan!""Semua keterlaluan!""Begini saja saya harus membangunkan kalian!"Suara marah-marah ibu mertua yang menelusup masuk ke dalam indera pendengarannya membuat Zoya hanya bisa mendesah pelan. Kehidupan yang tidak ada habisnya ini membuatnya benar-benar jengkel! Sambil mengikat rambutnya yang acak-acakan, Zoya mengambil langkah sedikit menghentak untuk membuka pintu kamar. "Kamu gak lihat matahari sudah tinggi?!" hardik ibu mertuanya sambil menunjuk ke arah langit yang jelas-jelas masih gelap. "Ada apa, Bu?" tanya Zoya dengan nada masih mengantuk. "Ada apa?!" pekik ibu Marni sembari berkacak pinggang. Matanya juga melotot lebar karena tak habis pikir. "Anak-anak harus berangkat sekolah. Jaya juga harus berangkat kerja. Sebagai seorang ibu dan istri, kamu pikir apa yang harusnya kamu lakukan?!" Zoy
"Pagi, Buk!" sapa Jaya pada ibu yang dia temui di meja makan. "Hm," gumam ibu membalas sapaan putra kesayangannya. "Mbok Tum mana, kok gak kelihatan?" tanya Jaya sambil menyendok sendiri nasi ke atas piringnya. Dia benar-benar mengabaikan Zoya yang masih ingin berperan sebagai istri yang berbakti. "Resign tadi pagi-pagi sekali," jawab ibu Marni. "Kok Ibu izinin? Nyari pembantu sekarang susah loh," tukas Aruna sembari menyuap roti tawar berbalur selai coklatnya. "Kan sudah ada pembantu baru. Lumayan tidak perlu keluar uang lebih untuk menggaji pembantu. Uangnya bisa dipakai untuk keperluan lain," ujar ibu Marni sambil terus menyuap nasi di atas piringnya. "Oh," balas Jaya dan Aruna dengan serentak. Zoya yang mendengar kalimat menyesakkan ini meremas ujung daster yang dia kenakan dengan sekuat tenaga. Posisinya sebagai menantu tidak lagi dianggap. Kini semuanya tidak lagi sama. Tidak ada pula yang mengajaknya bergabung untuk sarapan di meja makan ini. Zoya yang masih berdiri di
Kurang sedikit lagi, jarum jam akan menunjukkan tepat pukul 8 pagi. Sekarang ini, Adam dan Janu sudah hampir terlambat ke sekolah. Namun, Ibu Marni selaku nenek tampak tidak memiliki pengertian sama sekali. Tatkala dia melihat Zoya yang sedang buru-buru mempersiapkan keperluan sekolah kedua putranya, wanita paruh baya itu masih menyuruh menantunya untuk membersihkan meja makan sebelum berangkat. Karena tidak memiliki celah untuk berargumen, Zoya mengerjakan semuanya dengan kecepatan seribu tangan. Untungnya Adam dan Janu tidak rewel, dan banyak tingkah. Namun, justru inilah yang membuat hati Zoya teriris ngilu. Tatkala melihat anak-anaknya yang berubah menjadi lebih dan lebih pendiam. Tiba-tiba bayangan penuh kasih sayang Mas Agung menelusup dalam benak Zoya tanpa bisa dihindari. Dia entah bagaimana merindukan mendiang suaminya itu. Sekalipun gaji Mas Agung tidak banyak, dan meskipun saat itu dia juga menjalani hidup layaknya pembantu di rumah ini, tetapi hidupnya masih lebih ba