MASIH TENTANGMU- Keputusan Deandra "Tumben kamu pakai kemeja merah jambu," seloroh Bu Hawa saat melihat putranya yang baru datang duduk di ruang tamu."Antik yang minta, Ma."Bu Hawa tersenyum lebar. Seumur-umur Gama belum pernah memakai hem warna cerah. Apalagi warna merah muda. Namun malam ini dia sanggup melakukan hal itu demi putrinya. Bisa menepis ego yang mendominasi hidupnya selama ini."Mama titip ini buat Antik." Bu Hawa memberikan kado pada Gama. Kotak yang telah dibungkus rapi dengan kertas kado warna merah jambu bergambar kuda poni."Bawa juga kue ini. Tadi mama pesan ke toko kue langganan mama." Bu Hawa menggeser kotak berisi kue tart yang ada foto Antika di permukaannya. Sang cucu pasti suka dengan kue yang didominasi warna merah jambu, warna kesukaan Antika. Juga warna kesukaan anak-anak perempuan pada umumnya.Sebelum berangkat ke rumah Dea, Gama memang mampir terlebih dulu ke rumah sang mama. Tadi Bu Hawa menelepon mau titip kado buat Antika."Meluluhkan hati yang p
Dari arah dalam muncul Dea yang mengenakan dress bercorak kembang-kembang warna soft pink. Rambutnya dibiarkan terurai. Mereka saling pandang dan membuat dada Gama kembali bergetar. Andai malam ini ia ditolak, akan kembali merasakan patah hati yang teramat hebat. Waktu bercerai dulu, masih bercampur dengan rasa marah dan kecewa. Namun kali ini, yang ada hanya rasa nestapa."Masuk, Mas!" Dea mempersilakan."Sayang, kado dari siapa ini?" tanya Gama ketika melihat kado yang ada di meja ruang tamu. Berbungkus kertas kado warna merah muda juga. Namun ada hiasan pita yang mempermanisnya."Dari Om Dokter, Pa," jawab Antika.Seketika Gama memandang ke arah Dea. Yang dipandang terlihat tidak berdosa. Lelaki itu menghampiri dan berdiri tepat di sebelah Deandra."Dari mana dia tahu Antik berulang tahun?" tanya Gama lirih. Dia tidak ingin menunggu nanti untuk bertanya. "Aku yang ngasih tahu," jawab Dea. Rona wajah Gama seketika berubah. Ia lupa pesan mamanya tadi. Ah, mamanya tadi hanya berpesa
MASIH TENTANGMU- Sebuah Janji"Halo, Pa." Gama menjawab telepon dari papanya. Dadanya selalu saja berdebar setiap kali ia mendapatkan telepon dari keluarga. Cemas jika yang diterimanya adalah kabar buruk tentang Mbah Kakungnya yang sekarang masih terbaring di rumah sakit.Dokter Angkasa belum mengizinkan untuk pulang. Sebab kondisinya belum stabil. Namun selama Gama beberapa kali ke rumah sakit, dia belum pernah bertemu lagi dengan dokter itu."Kamu sudah pulang?" "Belum, Pa.""Ada masalah?""Nggak ada.""Bagaimana Dea?""Alhamdulillah, dia mau ngasih kesempatan kedua," jawab Gama seraya memandang pada Deandra."Syukurlah. Tapi hati-hati dengan Alita. Mereka masih kerja satu kantor, kan? Apa Dea resign saja.""Nanti akan kami bicarakan, Pa.""Perempuan itu berbahaya, Ga. Rumahmu sedang diawasi. Ada lelaki yang sering mondar-mandir di jalan depan rumah. Tadi Gandi yang cerita. Anak buahnya beberapa kali lihat lelaki yang sama di sana.""Aku tahu. Aku sudah lihat rekaman CCTV-nya. Pa
Dulu sampai empat bulan lamanya, dia dan Alita bisa menutupi hubungan dari Dea. Gama yakin, sekarang ini dia juga bisa menyembunyikan hubungannya dengan Dea dari Alita.Hanya saja dulu Dea memang tidak mencari tahu tentangnya. Berbeda dengan Alita yang sengaja memata-matai dirinya."Kata istriku, Alita kemarin malam makan di kafe bersama sepupunya.""Masih sering ke sini?""Mungkin tujuannya bukan hanya makan. Pasti ada hal lain yang ingin ia ketahui. Tapi aku sudah pesan ke Melati, kalau tidak perlu mendekati bahkan sampai bicara panjang lebar dengan Alita.""Papa dan mamanya Lita masih di sini?""Mamanya saja yang masih tinggal. Papanya sudah kembali ke Surabaya.""Sebenarnya rumit juga kalau kita melaporkan ancamannya Lita. Sebab dia sekarang diam tanpa tindakan. Yang bekerja hanya orang-orang suruhannya saja.""Gampang, kalau dia mulai bertindak macem-macem. Ancam balik saja. Bilang kita bisa melaporkannya ke pihak berwajib. Kayaknya dia akan mengamuk setelah tahu kamu rujuk denga
MASIH TENTANGMU- RujukLangit cerah sore itu. Awan putih bak gumpalan kapas berarak di langit yang biru bersih. Pemandangan yang langka disaat musim penghujan begini. Hampir sebulan tiap sore pasti hujan, meski hanya sebentar."Han, aku temui dokter Angkasa sebentar." Dea menepuk bahu sahabatnya saat mereka sampai parkiran mobil."Dea, kamu harus ingat kamu siapa sekarang ini. Jangan sampai Gama tahu terus ngamuk sama kamu." Dengan suara lirih, Hani mengingatkan sahabatnya."Aku nggak enak saja sama dokter Angkasa. Dia udah nungguin sejak tadi.""Tapi nggak usah lama-lama. Kasihan kalau dia masih berharap padamu, sedangkan kamu sudah memutuskan untuk kembali pada Gama.""Aku ngerti." Dea mengangguk. Hubungan yang terancam itu memang tidak bisa diceritakan pada siapapun. Untuk memberitahu dokter Angkasa juga tidak mungkin. Khawatir kalau bocor ke orang lain. Akhirnya sampai juga ke Alita. Sebab gadis itu tengah gencar-gencarnya sibuk mencari tahu.Tadi siang Gama mengirimkan pesan. Le
[Maaf, Dok. Terima kasih untuk buket bunga dan bingkisannya. Tapi sebagai seorang teman, ini terlalu istimewa untuk saya.]Dipandangnya deretan kata-kata yang dikirim Deandra. [Nggak apa-apa. Antik bilang suka cokelat. Jadi aku belikan cokelat untuk kalian berdua.] Terkirim. Tidak lama sebuah balasan singkat terbaca olehnya.[Terima kasih, Dok.][Sama-sama, Dea.]Setelah membalas pesan, Dokter Angkasa menyimpan kembali ponselnya, kemudian menyalakan mesin mobil dan meninggalkan halaman klinik. Sementara Dea yang duduk di ranjangnya masih termenung menatap layar ponsel. Dia tidak boleh memberikan harapan. Tapi bagaimana ia akan menjelaskan. Menjabarkan semuanya juga jelas tidak mungkin. Jika diberitahu sekilas kalau dia rujuk dengan Gama, khawatir juga jika sampai pada Alita. Bukankah gadis itu juga sering mengantarkan neneknya ke rumah sakit untuk check up kesehatan.Suara ketukan di pintu kamar membuat Dea beranjak untuk membukanya. Mbak Sri sudah berdiri di sana. "Mbak Dea, disuru
MASIH TENTANGMU- NervousKeluarga Pak Dedy bernapas lega setelah melihat kendaraan siapa yang memasuki halaman rumahnya. Mempelai lelaki yang tengah ditunggu dan membuat mereka khawatir telah sampai meski terlambat. Bukan takut Gama akan melarikan diri, jelas itu tidak mungkin. Sekalipun dulu Gama seperti apa, tapi laki-laki itu tidak mungkin bertindak sepengecut itu.Mereka hanya cemas jika diam-diam Alita telah tahu semuanya dan menggagalkan acara.Tangan Dea berkeringat meski AC di ruang tamu menyala. Nervous. Padahal ini bukan pernikahan yang pertama kalinya. Menikah pun masih dengan pria yang sama. Bahkan mereka juga sering bertemu dan mengajak anak jalan bersama. Namun pagi ini tidak bisa dipungkiri, degup jantungnya tak berpacu seperti biasa.Gemuruh makin menderu saat ia bersitatap dengan pria tegap yang memakai jas warna hitam dan kemeja warna biru muda sebagai dalamannya, muncul di pintu. Gama juga terkesima menatap Dea yang sangat cantik pagi itu. Di mata Gama, Dea tidak b
"Aku sudah memikirkan tentang hal itu. Tapi sekolahannya Antik sangat ketat. Kalau bukan family yang menjemput, nggak akan diizinkan masuk. Setiap jam pulang sekolah, papa mertua sudah standby di sana. Kalau pulang awal selalu ada pemberitahuan lewat WAG.""O, syukurlah. Tapi mesti hati-hati.""Jujur saja, aku lebih khawatir pada Dea. Tapi kalau Dea tiba-tiba berhenti kerja malah membuatnya curiga.""Terus mau sampai kapan kamu sembunyikan? Apa kalian tetap tinggal berasingan? Padahal kamu dan Dea udah jadi suami istri.""Dua atau tiga minggu lagi kami baru bisa isbat nikah di KUA. Semua surat-surat dan pendaftaran baru bisa diajukan hari Selasa nanti. Senin ini masih cuti bersama. Untuk sementara kami tetap menjalani aktivitas seperti biasa. Yang penting aku udah nikahin Dea.""Takut diserobot sama dokter itu?"Gama tersenyum. Jelas saja iya. Dokter itu merupakan rival yang tidak boleh dianggap enteng. Namun Gama meminta kakak iparnya, Astrid, agar menyimpan rahasia ini dulu. Jangan
Paginya, Alita berkemas-kemas dibantu oleh Naufal. Sesekali mereka saling pandang dan melempar senyum. Rambut Alita terurai sebawah bahu dan masih setengah basah."Akhir pekan ini, kita lihat rumah di Grand Permata," kata Naufal menghampiri istrinya dan membantu mengunci travel bag."Kamu sudah tahu Grand Permata, kan?""Iya, aku pernah lewat sana.""Kamu suka nggak tempat itu?""Suka.""Ada juga di Singosari Residen. Tapi kejauhan kalau ke kantor. Di sana pemandangannya juga menarik. Bagaimana?""Aku ngikut saja. Mana yang terbaik buat kita.""Oke. Nanti kita lihat dua-duanya. Jadi kamu bisa membuat pilihan. Kalau di Singosari Residen memang lebih tenang tempatnya. Adem karena di kelilingi perbukitan. Cuman agak jauh dari kantor. Sebelum mendapatkan rumah, kita tinggal di kosanku sambil cari kontrakan rumah untuk sementara.""Ya." Alita tersenyum. Kemudian mengecek laci, memperhatikan gantungan baju, dan masuk ke kamar mandi untuk memastikan tidak ada barang mereka yang tertinggal.T
MASIH TENTANGMU- Hidup BaruJam dua ketika tamu sudah mulai senggang. Alita menghampiri Dea dan Melati yang duduk ngobrol, terpisah dari rombongan Pak Norman."Makasih banget kalian menyempatkan datang dari Jogja ke Surabaya," ucapnya sambil duduk di kursi depan dua wanita itu. Agak susah duduk karena memakai jarik yang sangat sempit. Makanya Dea membantu memegangi tangan Alita agar tidak terjengkang."Sama-sama," jawab Dea dan Melati hampir bersamaan."Setelah ini kamu dan suamimu tinggal di Malang?" tanya Melati."Iya. Kami berdua kerja di sana.""Kamu sudah lama pulang ke Surabaya?" tanya Melati lagi Dijawab anggukan kepala oleh Alita. Melati malah tidak tahu banyak tentang Alita, semenjak pakdhenya Alita masuk penjara. Apalagi setelah putus pertunangan dari Gama, Alita tidak pernah lagi datang ke kafenya. Dea sendiri tidak pernah membahas pertemuannya dengan Alita pada siapa-siapa. Kecuali pada sang suami, itu pun baru seminggu yang lalu. "Bentar aku mau ke toilet," pamit Melat
Jogjakarta, dua minggu kemudian."Undangan dari siapa, Mas?" Dea meraih undangan yang baru diletakkan oleh Gama di hadapannya. Dia membaca nama yang tertera. Tidak ada foto calon pengantin dalam undangan itu."Dari Alita?" Dea kaget. "Ya. Saga yang ngasih tadi. Seminggu lagi Lita nikah di Surabaya. Kata Saga, Naufal itu teman kuliah mereka dulu.""Calonnya dari Surabaya juga?"Gama mengangguk, tapi dia heran melihat wajah sang istri tampak bingung dan berulang kali memperhatikan undangan mewah kombinasi warna putih dan kuning keemasan di tangannya. "Sayang, kenapa?"Dea meletakkan undangan di atas meja riasnya."Mas, waktu aku hamil delapan bulan dan tinggal di apartemen. Sebenarnya aku bertemu dengan Alita yang tinggal di apartemen itu juga."Ganti Gama yang terkejut. "Beneran?"Dea mengangguk."Kenapa nggak cerita sama mas?""Karena Mas pasti langsung mengajakku pindah dan nggak boleh lagi bertemu dengan Lita. Waktu itu dia sudah berubah baik. Dia minta maaf padaku sambil nangis.
MASIH TENTANGMU- The Wedding Pagi yang cerah, suasana yang indah. Rumah Pak Handoyo begitu meriah. Senyum suami istri itu sangat sumringah. Menyambut tamu dari keluarga Naufal dan dari beberapa kerabat mereka sendiri yang di undang ke rumah. Tak ada yang ditutupi lagi kalau pernikahan Alita dengan Tony sudah selesai empat bulan yang lalu.Mereka mengerti dan tidak pernah bertanya secara detail.Tentang keguguran itu pun kerabat tidak ada yang tahu. ART saja yang tahu, tapi mereka juga tutup mulut. Tidak ada yang jadi 'lambe turah'. Sebab sadar karena di sana hanya bekerja dan digaji tidak murah. Pak Handoyo dan Bu Lany juga sangat baik sebagai majikan.Alita memakai gamis warna khaki dengan hiasan bordir di bagian kerah dan kancing depan. Memakai jilbab polos warna senada. Naufal memakai kemeja warna abu-abu. Acara dadakan yang membuat mereka tidak sempat menyelaraskan outfit untuk lamaran. Juga tidak ada backdrop. Namun tidak mengurangi kegembiraan hari itu.Orang tua Alita dan ke
Pagi-pagi sekali Gama bersama keluarganya sudah sampai di rumah Pak Norman. Ia juga sudah check out dari vila. Pagi ini bersama keluarga kecil Saga, mereka akan kembali ke Jogja. Liburan telah selesai dan besok waktunya kembali ke kantor.Pak Norman menciumi bocah-bocah satu per satu. Alangkah bahagianya. Di hari tua bisa memiliki cucu sebanyak itu. Termasuk anak-anak Gama direngkuh tak ubahnya seperti cucu sendiri. Gama adalah bagian dari Ariani. Perempuan yang memiliki tempat tersendiri di hatinya.Bu Rista dan Kartini juga menyempatkan menggendong si kembar yang sangat lucu. Juga si bayi Akhandra yang mencuri perhatiannya. Tiga hari ini menjadi momen yang sangat indah. Mereka berkumpul bersama dan membuat rumah besarnya sangat ramai."Kami pamit, Om, Tante." Gama mencium tangan Pak Norman dan Bu Rista. Diikuti oleh Dea. Juga berpamitan pada Akbar dan Tini.Saga dan Melati melakukan hal yang sama. Hingga mereka berpisah di halaman rumah. Dua mobil meninggalkan pekarangan disertai la
MASIH TENTANGMU- Janji yang Ditepati"Itu Saga." Naufal melihat teman lamanya."Iya. Tapi kita pergi saja." Alita berbalik dan melangkah cepat. Naufal pun menjajari langkahnya. Mereka menuruni eskalator dan Alita tak lagi menoleh ke belakang.Bukan hal mudah bertemu mereka lagi. Mungkin menjauh juga tidak mempengaruhi apapun. Dirinya bukan siapa-siapa dan bisa jadi sudah dilupakan. Justru kalau tiba-tiba ia muncul, mungkin akan merusak suasana. Sebab di sana pun juga ada Akbar bersama istrinya. Mereka sedang bahagia menikmati kebersamaan.Rupanya Gama juga membawa istri dan anaknya menyambut pergantian tahun di Malang. Keluarga Saga tinggal di Lawang. Mungkin mereka tadi tengah jalan-jalan. Kenapa bumi ini terasa sempit."Kita keluar saja dari Trans*art kalau gitu." Naufal memutuskan karena melihat Alita yang tidak nyaman dan terlihat cemas.Ia bisa memahaminya. Tentu bertemu mereka lagi adalah sesuatu yang tidak mudah setelah banyak peristiwa tertoreh dalam hubungan mereka."Kita m
Naufal dan Alita lantas makan tanpa percakapan. Makan dengan cepat agar sampai pantai tidak kesiangan. Butuh waktu dua jam untuk sampai di Balaikambang.Alita yang menghindari banyak orang dalam waktu empat bulan ini. Namun terasa nyaman saat bepergian bersama Naufal. Sebenarnya dialah teman laki-laki yang bisa diajak ngobrol enak sejak dulu. Sosok yang bisa dipercaya. Saking percayanya sampai mereka melakukan one night stand.Bromo. Sebenarnya di bulan Desember dan awal Januari begini, Bromo sedang indah-indahnya. Savana dengan rerumputan yang menghijau karena terguyur hujan, setelah kekeringan selama musim kemarau. Mereka melanjutkan perjalanan tanpa banyak percakapan. Sesekali mengulas apa yang dilihatnya di sepanjang perjalanan. Tentunya pemandangan yang menyejukkan mata.Dua jam kemudian mereka sudah menyusuri pantai dengan pesona pasir putih dan pemandangan air laut yang kebiruan. Suasana teduh karena mendung memayungi angkasa, meski hari sudah siang.Tahun baru, pengunjung mem
MASIH TENTANGMU- 71 Serius Alita belum bisa tidur meski sudah jam sebelas malam. Sebentar lagi pergantian tahun. Sejam lagi sudah tahun yang berbeda. Namun kehidupannya masih tetap sama.Ia ingat Naufal. Tidak mengira saja, ia bertemu lagi dengan Naufal di kota ini.Memang bisa saja mereka bertemu, karena sama-sama berasal dari Surabaya. Namun statusnya yang masih single membuat Alita seakan tak percaya. Apa sekali saja dia tidak pernah pacaran?Dan kata-kata Naufal tadi masih diingatnya. Laki-laki itu merasa sangat bersalah terhadap apa yang telah mereka lakukan dulu. Tidak hanya merasa bersalah, tapi juga ingin bertanggungjawab. Bertanggungjawab seperti apa? Hendak menikahinya? Padahal dirinya terlalu kotor. Memang Naufal yang pertama kali mengambil segalanya. Tapi bukan alasan itu yang membuat Alita tetap sendiri sampai saat ini. Naufal belum tahu sejahat apa dirinya selama sebelas tahun.Wanita melamun lalu menoleh saat ponselnya di nakas berpendar. Siapa yang menelpon malam-ma
Alita tersenyum getir. Naufal tidak tahu apa-apa tentang dirinya. Memang di biodata itu tertulis belum menikah, padahal dirinya sudah janda. Sebab mau mengganti identitas, dia tidak punya akta perceraian."Kamu sudah menikah? Aku khawatir kalau sedang jalan sama suami orang." Alita memberanikan diri untuk bertanya.Naufal dengan cepat menggeleng. "Nggak usah khawatir. Kamu duduk dengan laki-laki yang masih jomblo." Senyum mengakhiri ucapannya.Di usia tiga puluh empat tahun, Naufal juga masih belum menikah? Dia bukan lelaki kurang pergaulan, bukan pria buruk rupa, karirnya juga mentereng. Tapi belum menikah."Kenapa belum nikah?" Alita mulai enjoy. Dulu pun mereka adalah sahabat yang sangat akrab dan biasa ngobrol tentang apapun."Kamu juga belum menikah? Kenapa?"Alita tersenyum getir."Karena perbuatanku waktu itu?" tanya Naufal dengan wajah sendu. Ada sesal dan rasa bersalah tampak di sana. Meski harus membongkar kisah lama, tapi ia mesti mengutarakannya. Sebab ia menyesalinya hing