MASIH TENTANGMU- Rasa yang Terkoyak Agam tersenyum seraya mengangguk, menjawab sapaan laki-laki itu yang langsung masuk seperti biasanya."Dia sering ke sini?" tanya Gama tak mengalihkan tatapan dari pria tadi."Jarang. Kamu kenal dia?""Nggak. Hanya tahu saja.""Dia dokter bedah jantung yang sangat sibuk. Tapi sesekali datang ke sini walaupun hanya sebentar. Habis praktek biasanya langsung ke mari, meski hanya sejam. Tempat prakteknya nggak jauh dari sini."Gama sudah tahu di mana tempat praktek dokter itu dari profil yang dilihatnya kemarin. Lelaki yang tadi siang mengajak Deandra ketemuan. Lelaki yang membuatnya tidak tenang, bahkan sampai detik di mana malam itu mereka dipertemukan tidak sengaja, hatinya masih berantakan."Dia baik, ramah.""Sudah punya istri?" tanya Gama. Jelas berlagak tidak tahu."Masih single. Tapi lagi naksir seseorang."Gemuruh kembali melanda dada Gama. "Dari mana kamu tahu?""Kami sempat ngobrol belum lama ini. Dia enak diajak bicara. Karena sudah terbia
Jam sebelas malam setelah dokter itu pulang, lima menit setelahnya, Gama pun akhirnya pamit pada Agam."Bro, turunkan egomu. Daripada kamu salah melangkah dan membuatmu menyesal. Kamu sedikit menurunkan ego, nggak akan menghilangkan harga dirimu. Perjuangkan kalau kamu masih menginginkan Dea. Soal Alita, kurasa kamu punya alasan untuk menjauhinya. Tentu kamu lebih penting anak dari calon istri yang nggak bisa menjadi ibu bagi anakmu, kan?" kata Agam sambil menepuk bahu sahabatnya. Mereka memang sangat dekat sejak dulu. Gama tak segan tidur di rumah Agam jika sudah kemalaman. Menghabiskan akhir pekan dengan bermain gitar. Nama keduanya pun hanya dibolak-balik hurufnya saja. Meski keturunan bangsawan, Gama tetap selayaknya remaja dari kalangan biasa. Kadangkala ketiduran di pos ronda setelah selesai nonton balap liar. Ketika pulang kerumah kena omel mamanya. Setelah SMA dia yang mulai mengikuti ajang balapan. Degil, nakal, suka usil. Hal-hal yang tidak luput dari masa remajanya. Sete
MASIH TENTANGMU- Takut Kehilangan Alita belum berangkat saat Gama kembali turun ke lantai bawah. Gadis itu masih duduk di ruang tamu sambil fokus pada layar ponselnya."Kenapa belum berangkat?" tanya Gama seraya mengenakan sepatu yang ada di rak depan pintu utama. Alita mengikuti keluar."Aku menunggumu.""Aku sudah bilang, kamu berangkat duluan saja.""Aku hanya khawatir karena kamu lagi sakit." Alita menghampiri Gama.Namun laki-laki itu tak menanggapi. Ia mengunci pintu dan segera bergegas ke garasi mobil. Membiarkan Alita berjalan kaki keluar pagar, karena mobilnya terparkir di sana. Selain lemas, tubuhnya juga terasa mulai meriang. Tapi Gama harus tetap ke kantor. Banyak pekerjaan untuk persiapan ke Jakarta besok.Dari kaca spion, ia melihat mobil Alita masih mengikuti di belakang. Gama mendengkus pelan. Dia sudah malas berpikir tentang gadis itu. Semakin ke sini, semakin agresif. Dia tidak menyukai perempuan seperti itu, meski berasal dari keluarga yang berada. Bodoh sekali,
Bu Ariana sudah tahu kalau Alita dan Dea sekantor. Juga tahu kalau mereka berteman baik sebelum ini. Namun kerenggangan yang terjadi sekarang, Bu Ariana belum tahu."Bulek nggak habis pikir sama kamu sama Alita. Bisa-bisanya kalian menjalin hubungan sementara Alita itu rekan kerjanya Dea. Memanglah kamu dan Dea sudah nggak ada hubungan apa-apa, cuman rasa empati kalian taruh mana? "Kurang baik apa Dea. Selama ini bertahan sendiri karena masih berharap kalian bisa bersama lagi membesarkan Antik. Dia pergi untuk menyadarkanmu. Tapi kamu saja yang nggak peka, Ga." Omel Bu Ariana saat baru diberitahu kenyataan yang sebenarnya. Beberapa waktu setelah itu, sang bulek mendiamkannya.Saking senangnya mendengar kalau Dea bisa mengantarkan Antik, Gama sampai lupa mau menanyakan ada acara apa malam ini. Tapi bukankah buleknya itu memang sering mengajak makan malam bersama meski tidak ada acara apa-apa. Apalagi sudah lama ia bilang kangen dengan Antik. Semenjak anaknya masuk sekolah dasar, jarang
MASIH TENTANGMU- Pagi Itu "Kamu nggak bisa deketin Dea lagi dengan statusmu sebagai tunangan orang, Ga. Dea juga nggak bakalan mau," kata Bu Ariana saat mereka duduk berdua di teras rumah. Setelah Dea dan Antika pulang."Aku akan menyelesaikan urusanku dengan Alita, Bulek.""Membatalkan pertunangan akan mempermalukan keluargamu di hadapan keluarga Alita di Surabaya sana.""Aku akan menanggungnya sendiri.""Setelah ini semuanya nggak akan mudah, Gama.""Aku tahu.""Nama keluargamu akan dipertaruhkan."Gama mengangguk. Ia tahu konsekuensi itu. Bu Ariana memandang langit malam yang pekat. Sisa air hujan masih menetes dari dedaunan. Mungkin ini pilihan terbaik bagi Gama. Menggagalkan pertunangan lebih baik daripada memutuskan pernikahan. Bisa dibayangkan resikonya seperti apa. Orang tua Alita yang mungkin tidak tahu sifat putrinya, tentu akan shock dan marah pada Gama. Mereka pasti mengira Gama mempermainkan anaknya.Mereka orang berada, bisa membayar orang untuk menuntaskan sakit hati
Dea sibuk menghapus air mata yang mengalir tanpa kompromi. Ini kalimat yang ditunggunya dulu, perjuangan untuk mempertahankan hubungan mereka. Namun Gama tidak melakukan apa-apa. Kenapa Gama baru sekarang mengatakan disaat semuanya serba sulit."Maafkan aku, De. Aku terlalu egois selama ini.""Sampai sekarang pun kamu masih egois, Mas. Sikapmu ini akan melukai hati Alita. Apa dia nggak sesuai dengan keinginanmu, lalu kamu berpaling.""Aku nggak pernah menyimpan perempuan manapun di hatiku selain kamu. Sejak dulu!"Dea tersenyum sinis. "Bagaimana bisa sampai bertunangan jika nggak ada rasa."Gama membeku. Dengan cara apa dia menjelaskan pada Dea agar wanita ini mengerti. Bahwa sebenarnya, hanya Deandra yang ada dalam hidupnya. Kebersamaannya dengan Alita justru makin menyadarkan apa arti Dea baginya.Ponsel Dea kembali berdenting. "Dokter itu yang menghubungimu?" tanya Gama penuh cemburu.Dea membalas pesan, lantas memandang ke arah Gama. "Kita hanya mantan. Dengan siapapun aku dekat,
MASIH TENTANGMU- Rahasia yang Terungkap Gama berdiri di dekat jendela kaca. Menatap hiruk pikuknya kota Jakarta dari ketinggian. Kota yang tidak mengenal jam istirahat. Penuh kesibukan 24 jam. Kemacetan terjadi di segala penjuru karena tingginya mobilitas masyarakat urban di ibu kota. Ini menjadi pemicu timbulnya stres. Bekerja tak kenal waktu.Saat merasakan tubuhnya makin menggigil, Gama menutup gorden lantas berbaring dan menarik selimut tebal warna putih. Giginya sampe gemertak menahan dingin yang serasa tembus ke tulang.Andai mamanya tahu dia sakit tapi tetap berangkat ke Jakarta, pasti ngomel tiada hentinya. Tadi pagi Gama cuman pamitan lewat telepon. Dipikir pasti dirinya baik-baik saja. Bahkan permasalahan yang sekarang ia hadapi, baik papa dan mamanya juga belum tahu. Justru buleknya yang tahu.Bayangan Dea yang menangis tadi pagi sangat mengusiknya. Membuat terluka dan terasa sangat perih hingga tembus ulu hati. Ingin rasa hati memeluknya tadi. Semoga belum terlambat untu
Gama menyeringai tipis mendengar ucapan sepupunya. Bagi Aryo sikap Gama tidak mengejutkan. Dia sudah tahu, sepupunya yang satu ini memang tidak tahu bagaimana caranya bercanda. Tidak seperti kakaknya Gama yang humoris."Mas Gama, nggak mampir ke Bekasi, ke rumah Mas Damar?" "Nanti kalau sempat aku mampir. Mas Damar nggak tahu kalau aku ada di Jakarta sekarang." Gama menyandarkan kepala di jok mobil. Kepalanya masih nyut-nyutan dan dia tadi lupa membawa obat yang dibelikan Aryo tadi malam.Aryo menepikan mobilnya di warung bubur ayam yang berseberangan dengan kantor. Meski aroma bubur itu sangat harum, tapi menggangu di penciumannya karena perutnya masih tidak enak, tapi Gama tetap memaksa menghabiskannya. Dia tidak boleh tumbang. Banyak hal yang harus ia lakukan setelah kembali ke Jogja. Selesai makan dan sebelum ke kantor, Gama mengambil ponsel dari saku celananya. Hendak menelpon Dea, tapi Antik yang bisa dijadikan alasan, pasti sudah berangkat ke sekolah. Yakin Dea tidak akan men
Paginya, Alita berkemas-kemas dibantu oleh Naufal. Sesekali mereka saling pandang dan melempar senyum. Rambut Alita terurai sebawah bahu dan masih setengah basah."Akhir pekan ini, kita lihat rumah di Grand Permata," kata Naufal menghampiri istrinya dan membantu mengunci travel bag."Kamu sudah tahu Grand Permata, kan?""Iya, aku pernah lewat sana.""Kamu suka nggak tempat itu?""Suka.""Ada juga di Singosari Residen. Tapi kejauhan kalau ke kantor. Di sana pemandangannya juga menarik. Bagaimana?""Aku ngikut saja. Mana yang terbaik buat kita.""Oke. Nanti kita lihat dua-duanya. Jadi kamu bisa membuat pilihan. Kalau di Singosari Residen memang lebih tenang tempatnya. Adem karena di kelilingi perbukitan. Cuman agak jauh dari kantor. Sebelum mendapatkan rumah, kita tinggal di kosanku sambil cari kontrakan rumah untuk sementara.""Ya." Alita tersenyum. Kemudian mengecek laci, memperhatikan gantungan baju, dan masuk ke kamar mandi untuk memastikan tidak ada barang mereka yang tertinggal.T
MASIH TENTANGMU- Hidup BaruJam dua ketika tamu sudah mulai senggang. Alita menghampiri Dea dan Melati yang duduk ngobrol, terpisah dari rombongan Pak Norman."Makasih banget kalian menyempatkan datang dari Jogja ke Surabaya," ucapnya sambil duduk di kursi depan dua wanita itu. Agak susah duduk karena memakai jarik yang sangat sempit. Makanya Dea membantu memegangi tangan Alita agar tidak terjengkang."Sama-sama," jawab Dea dan Melati hampir bersamaan."Setelah ini kamu dan suamimu tinggal di Malang?" tanya Melati."Iya. Kami berdua kerja di sana.""Kamu sudah lama pulang ke Surabaya?" tanya Melati lagi Dijawab anggukan kepala oleh Alita. Melati malah tidak tahu banyak tentang Alita, semenjak pakdhenya Alita masuk penjara. Apalagi setelah putus pertunangan dari Gama, Alita tidak pernah lagi datang ke kafenya. Dea sendiri tidak pernah membahas pertemuannya dengan Alita pada siapa-siapa. Kecuali pada sang suami, itu pun baru seminggu yang lalu. "Bentar aku mau ke toilet," pamit Melat
Jogjakarta, dua minggu kemudian."Undangan dari siapa, Mas?" Dea meraih undangan yang baru diletakkan oleh Gama di hadapannya. Dia membaca nama yang tertera. Tidak ada foto calon pengantin dalam undangan itu."Dari Alita?" Dea kaget. "Ya. Saga yang ngasih tadi. Seminggu lagi Lita nikah di Surabaya. Kata Saga, Naufal itu teman kuliah mereka dulu.""Calonnya dari Surabaya juga?"Gama mengangguk, tapi dia heran melihat wajah sang istri tampak bingung dan berulang kali memperhatikan undangan mewah kombinasi warna putih dan kuning keemasan di tangannya. "Sayang, kenapa?"Dea meletakkan undangan di atas meja riasnya."Mas, waktu aku hamil delapan bulan dan tinggal di apartemen. Sebenarnya aku bertemu dengan Alita yang tinggal di apartemen itu juga."Ganti Gama yang terkejut. "Beneran?"Dea mengangguk."Kenapa nggak cerita sama mas?""Karena Mas pasti langsung mengajakku pindah dan nggak boleh lagi bertemu dengan Lita. Waktu itu dia sudah berubah baik. Dia minta maaf padaku sambil nangis.
MASIH TENTANGMU- The Wedding Pagi yang cerah, suasana yang indah. Rumah Pak Handoyo begitu meriah. Senyum suami istri itu sangat sumringah. Menyambut tamu dari keluarga Naufal dan dari beberapa kerabat mereka sendiri yang di undang ke rumah. Tak ada yang ditutupi lagi kalau pernikahan Alita dengan Tony sudah selesai empat bulan yang lalu.Mereka mengerti dan tidak pernah bertanya secara detail.Tentang keguguran itu pun kerabat tidak ada yang tahu. ART saja yang tahu, tapi mereka juga tutup mulut. Tidak ada yang jadi 'lambe turah'. Sebab sadar karena di sana hanya bekerja dan digaji tidak murah. Pak Handoyo dan Bu Lany juga sangat baik sebagai majikan.Alita memakai gamis warna khaki dengan hiasan bordir di bagian kerah dan kancing depan. Memakai jilbab polos warna senada. Naufal memakai kemeja warna abu-abu. Acara dadakan yang membuat mereka tidak sempat menyelaraskan outfit untuk lamaran. Juga tidak ada backdrop. Namun tidak mengurangi kegembiraan hari itu.Orang tua Alita dan ke
Pagi-pagi sekali Gama bersama keluarganya sudah sampai di rumah Pak Norman. Ia juga sudah check out dari vila. Pagi ini bersama keluarga kecil Saga, mereka akan kembali ke Jogja. Liburan telah selesai dan besok waktunya kembali ke kantor.Pak Norman menciumi bocah-bocah satu per satu. Alangkah bahagianya. Di hari tua bisa memiliki cucu sebanyak itu. Termasuk anak-anak Gama direngkuh tak ubahnya seperti cucu sendiri. Gama adalah bagian dari Ariani. Perempuan yang memiliki tempat tersendiri di hatinya.Bu Rista dan Kartini juga menyempatkan menggendong si kembar yang sangat lucu. Juga si bayi Akhandra yang mencuri perhatiannya. Tiga hari ini menjadi momen yang sangat indah. Mereka berkumpul bersama dan membuat rumah besarnya sangat ramai."Kami pamit, Om, Tante." Gama mencium tangan Pak Norman dan Bu Rista. Diikuti oleh Dea. Juga berpamitan pada Akbar dan Tini.Saga dan Melati melakukan hal yang sama. Hingga mereka berpisah di halaman rumah. Dua mobil meninggalkan pekarangan disertai la
MASIH TENTANGMU- Janji yang Ditepati"Itu Saga." Naufal melihat teman lamanya."Iya. Tapi kita pergi saja." Alita berbalik dan melangkah cepat. Naufal pun menjajari langkahnya. Mereka menuruni eskalator dan Alita tak lagi menoleh ke belakang.Bukan hal mudah bertemu mereka lagi. Mungkin menjauh juga tidak mempengaruhi apapun. Dirinya bukan siapa-siapa dan bisa jadi sudah dilupakan. Justru kalau tiba-tiba ia muncul, mungkin akan merusak suasana. Sebab di sana pun juga ada Akbar bersama istrinya. Mereka sedang bahagia menikmati kebersamaan.Rupanya Gama juga membawa istri dan anaknya menyambut pergantian tahun di Malang. Keluarga Saga tinggal di Lawang. Mungkin mereka tadi tengah jalan-jalan. Kenapa bumi ini terasa sempit."Kita keluar saja dari Trans*art kalau gitu." Naufal memutuskan karena melihat Alita yang tidak nyaman dan terlihat cemas.Ia bisa memahaminya. Tentu bertemu mereka lagi adalah sesuatu yang tidak mudah setelah banyak peristiwa tertoreh dalam hubungan mereka."Kita m
Naufal dan Alita lantas makan tanpa percakapan. Makan dengan cepat agar sampai pantai tidak kesiangan. Butuh waktu dua jam untuk sampai di Balaikambang.Alita yang menghindari banyak orang dalam waktu empat bulan ini. Namun terasa nyaman saat bepergian bersama Naufal. Sebenarnya dialah teman laki-laki yang bisa diajak ngobrol enak sejak dulu. Sosok yang bisa dipercaya. Saking percayanya sampai mereka melakukan one night stand.Bromo. Sebenarnya di bulan Desember dan awal Januari begini, Bromo sedang indah-indahnya. Savana dengan rerumputan yang menghijau karena terguyur hujan, setelah kekeringan selama musim kemarau. Mereka melanjutkan perjalanan tanpa banyak percakapan. Sesekali mengulas apa yang dilihatnya di sepanjang perjalanan. Tentunya pemandangan yang menyejukkan mata.Dua jam kemudian mereka sudah menyusuri pantai dengan pesona pasir putih dan pemandangan air laut yang kebiruan. Suasana teduh karena mendung memayungi angkasa, meski hari sudah siang.Tahun baru, pengunjung mem
MASIH TENTANGMU- 71 Serius Alita belum bisa tidur meski sudah jam sebelas malam. Sebentar lagi pergantian tahun. Sejam lagi sudah tahun yang berbeda. Namun kehidupannya masih tetap sama.Ia ingat Naufal. Tidak mengira saja, ia bertemu lagi dengan Naufal di kota ini.Memang bisa saja mereka bertemu, karena sama-sama berasal dari Surabaya. Namun statusnya yang masih single membuat Alita seakan tak percaya. Apa sekali saja dia tidak pernah pacaran?Dan kata-kata Naufal tadi masih diingatnya. Laki-laki itu merasa sangat bersalah terhadap apa yang telah mereka lakukan dulu. Tidak hanya merasa bersalah, tapi juga ingin bertanggungjawab. Bertanggungjawab seperti apa? Hendak menikahinya? Padahal dirinya terlalu kotor. Memang Naufal yang pertama kali mengambil segalanya. Tapi bukan alasan itu yang membuat Alita tetap sendiri sampai saat ini. Naufal belum tahu sejahat apa dirinya selama sebelas tahun.Wanita melamun lalu menoleh saat ponselnya di nakas berpendar. Siapa yang menelpon malam-ma
Alita tersenyum getir. Naufal tidak tahu apa-apa tentang dirinya. Memang di biodata itu tertulis belum menikah, padahal dirinya sudah janda. Sebab mau mengganti identitas, dia tidak punya akta perceraian."Kamu sudah menikah? Aku khawatir kalau sedang jalan sama suami orang." Alita memberanikan diri untuk bertanya.Naufal dengan cepat menggeleng. "Nggak usah khawatir. Kamu duduk dengan laki-laki yang masih jomblo." Senyum mengakhiri ucapannya.Di usia tiga puluh empat tahun, Naufal juga masih belum menikah? Dia bukan lelaki kurang pergaulan, bukan pria buruk rupa, karirnya juga mentereng. Tapi belum menikah."Kenapa belum nikah?" Alita mulai enjoy. Dulu pun mereka adalah sahabat yang sangat akrab dan biasa ngobrol tentang apapun."Kamu juga belum menikah? Kenapa?"Alita tersenyum getir."Karena perbuatanku waktu itu?" tanya Naufal dengan wajah sendu. Ada sesal dan rasa bersalah tampak di sana. Meski harus membongkar kisah lama, tapi ia mesti mengutarakannya. Sebab ia menyesalinya hing