"Apa kamu mau aku temani malam ini?" tanya Rendra tanpa ragu."Hah?" Fatma melebarkan mata. Tak percaya dan bingung sekaligus. Menolak, tapi takut sendirian. Menerimanya tapi takut fitnah. Karena menemani, artinya Rendra akan menginap bersamanya.Ia tak mengerti kenapa harus selalu ada kondisi yang mengharuskannya berduaan dengan Rendra. Belum lagi ... pria itu juga sempat menciumnya."Halo, Nona!" seru Rendra yang membuat Fatma terenyak kaget. "Ah, maaf tapi ... kita bukan mahram." "Hahaha." Rendra tertawa lepas. Sesuatu yang membuat Fatma mengerutkan kening bingung. Kenapa pria itu malah terbahak. Ini bukan hal yang lucu."Ahm. Sorry, sorry." Tawa dokter muda itu mereda."Ya, Dok. Ini sebenernya nggak lucu. Walau pun saya sedang sangat ketakutan, mana mungkin saya mengizinkan Dokter masuk rumah saya? Kita ini bukan mahram.""Ya. Kamu benar sekali. Tapi maksud saya menemani, bukan dengan cara seperti itu. Maksudku aku bisa tidur di mobil." Kedua tangan Rendra menunjuk ke jalan, se
Mata Sabil melebar, tak percaya akan serumit ini. "Jadi ...?" Pertanyaannya menggantung."Pilih satu dari keduanya. Sebagai Nabil tanpa Ibu Halimah sebagai istri Anda, atau sebagai Sabil tanpa harta milik Nabil.""Ap- apa?!!" Sabil terkejut atas pilihan yang diberikan oleh pengacaranya."Ini tak adil! Justru saya menyewa Anda karena ingin mendapatkan keduanya.""Maaf, Pak. Hidup itu tentang pilihan. Dan hanya itu yang bisa saya tawarkan. Kalau Bapak keberatan dan ingin keduanya, mungkin bisa cari pengcara lain yang mampu mengupayakannya." Pria yang masih memakai setelan jas rapi itu menegaskan pada kliennya.Tidak semua hal bisa dilakukan oleh seorang pengacara. Walau bagaimana pengacara yang Sabil sewa kali ini adalah seseorang yang bukan hanya memiliki dedikasi terhadap pekerjaan, tapi juga idealisme yang wajib dipertahankan."Ya, yah! Oke, oke!""Hem. Tapi saya bisa jamin. Tidak ada yang berani melakukan niat kotor Anda. Bahkan menuruti kemauan Anda sebagai Nabil saja sudah membua
Rendra meletakkan kepala di atas setir mobilnya, menatap pintu rumah kecil yang ditempati Fatma. Pria itu tersenyum menatap cahaya terang di sana. Lalu, ingat bagaimana tadi dia menggantikan lampu remang dengan watt kecil itu.Rendra mengetuk pintu yang sudah tertutup itu pelan. Dari dalam rumah, penghuninya tampak tergesa mendekati pintu karena akan membukanya.Saat dibuka, Fatma tampaknya belum siap untuk menerimanya. Terlihat lengan gamisnya masih tergulung. Sesuatu yang membuat Rendra membuang pandangan ke arah lain, lantaran kulit tangannya yang putih membuatnya gagal fokus."Oh. Maaf." Fatma menarik diri, menyembunyikan tubuhnya di balik pintu agar tak terlihat. Sambil merapikan lengan yang sempat digelung karena aktifitasnya tadi saat berwudhu. "Ah, ya." "Apa? Em. Maksud saya apa yang bisa saya bantu, Dok?" Sejak kejadian tadi, Fatma jadi sangat ramah pada pria itu. Dia bahkan telah memaafkannya sebelum dia meminta maaf lebih dulu."Em, tolong matikan lampu teras ini." Rendr
Nabil menautkan jari-jemarinya dengan jari-jari lentik milik Halimah."Kamu tahu kan aku sangat mencintaimu?" "Hem." Halimah menyahut. Sambil memandangi tangan mereka yang berada di atas selimut. "Rasanya bahagia sekali saat Mas di dekatku gini." Halimah mengucapnya.Nabil tersenyum. Dicium pucuk kepala wanita yang ada dalam pelukannya."Bagaimana dulu saat Mas sama ...."Halimah enggan menyebut nama seorang wanita yang dia kenal sebagai wanita yang sangat cantik. Almarhum istri Nabil.Seseorang yang tetap membuatnya cemburu meski Nabil tak pernah menyebut namanya dan bahkan wanita itu tak mungkin muncul di hadapannya."Sama?""Alisa." Nabil mengeratkan pelukannya. Ia tahu apa yang Halimah rasakan sekarang."Kenapa membahas wanita lain saat aku kini tak ada jarak antara kita. Dan kamu tahu, sekarang, besok dan seterusnya aku hanya untukmu." Nabil mengucap sesuatu yang membuat Halimah merasakan cinta. Walau bagaimana, keegoisannya sebagai wanita pastilah ada. Ia ingin menjadi wani
"Kenapa kamu tak rehat aja dulu. Kamu perlu santai, mencari jodoh biar punya suami." Meylani yang tengah menggendong anaknya bicara begitu saja pada sepupunya.Ia merasa kasihan melihat Novi. Sudah kena musibah rumahnya hangus terbakar, sekarang kehilangan Satria pula. Entah, ke mana puteranya itu."Ck. Siapa yang mau denganku?" Novi meraih botol air mineral dan memutar tutupnya. Untuk kemudian menumpahkan ke mulutnya.Untuk sesaat dahaganya telah terobati. Tadi , setelah berpisah dari Rendra, Novi memutuskan pergi saja. Mengunjungi keluarga yang masih peduli. Ia tak bisa mengendalikan pikirannya yang terus terbang dan merindukan Satria kala sendirian dan merasa suntuk di rumah.Berpikir yang tidak-tidak tentang putranya itu. Saat di mana ia merengek tak mau mengerjakan PR, tak mau berangkat sekolah dan ingin tetap bersama bundanya."Kan ada Rendra, dia juga pria kesepian. Dia pria baik dan masih keluarga kita." Meylani menyahut cepat. "Lagian, aku nggak suka loh dia sama cewek yang
"Panggilan? Tapi saya tidak mendapat surat panggilan itu." Nabil tampak bingung."Ikut saja. Nanti kita jelaskan di kantor polisi." Petugas itu memaksanya ikut. Tak peduli saat Nabil bilang ia tak mendapat surat panggilan atau apa pun.Dua petugas yang membawa surat itu saling tatap, mereka tak mengerti dengan ucapan pria yang mereka datangi."Ya sudah, lanjut di kantor saja lah." Salah satu petugas menegaskan. Waktu mereka hanya akan terbuang percuma, hanya untuk membicarakan hal yang tak ada ujungnya.Dua polisi itu adalah orang yang berpengalaman menangani tersangka sebuah kasus. Dan mereka selalu terkesan berkelit, meski awalnya hanya berstatus sebagai saksi.Mendengar suara ribut-ribut di depan, Ibu Fatma pun lekas menghampiri. Sebab suara itu makin lama makin keras, terdengar seperti orang yang Tenga berdebat.Wanita itu terkejut, saat melihat dua polisi berdiri di depan pintu. Dengan cepat, wanita paruh baya itu segera mendekat dan mengambil si bungsu dari gendongan Nabil."Ada
Nabil harus menjalani proses interogasi sebelum berlanjut ke proses hukum selanjutnya. Pria itu akhirnya harus jujur mengakui bahwa identitasnya selama ini tertukar dengan Sabil, Abangnya."Ya, itu karena kelicikan Abang saya. Dan juga ... kebodohan saya yang terus menurutinya." Nabil mengucap dengan nada menyesal."Hem. Jadi kamu keukeh mengaku jadi Nabil.""Saya memang Nabil, Pak. Nabil Muttaqin. Bapak bisa hubungi pegawai saya dan orang-orang yang bekerja sebagai tangan kanan saya. Mereka tidak akan berbohong. Dan hanya antara saya dan orang-orang itu yang tahu rahasia antara kami.""Ckck. Ini sangat membingungkan. Yang aneh. Kenapa Ibu Halimah bisa memaafkan kalian." Polisi itu menggaruk kepalanya."Bram! Telepon nomor-nomor ini." Pria itu kemudian memanggil anak buahnya untuk memeriksa nomor yang Nabil berikan.Pria yang dipanggil pun muncul, dan meraih kertas berisi banyak nomor telepon itu.Nomor itu adalah kenalan Nabil dan tak pernah berinteraksi dengan Sabil. Yang artinya, i
Enam bulan telah berlalu .... Salma dan Salwa sudah diberi makanan pendamping ASI, hingga Halimah bunda mereka tak terlalu kesulitan mengurus dua bayi itu.Setelah Fatma sah bercerai dari Sabil, buleknya memutuskan untuk tinggal sendiri dengan puterinya. Orang tua itu takut, Fatma yang sudah janda akan menjadi fitnah. Bukan hanya untuk dirinya sendiri tapi juga orang lain di sekitarnya.Terakhir kali, Dokter yang dulu viral dikabarkan tengah melakukan cinta satu malam dengan Fatma, meminta izin pada ibunya untuk menikah Fatma. Namun, hati orang tua itu belum terbuka dan meminta waktu untuk menjawab. Walau ... wanita paruh baya itu tahu, bahwa anaknya pun memiliki perasaan pada pria tampan itu.Apalagi Fatma adalah seorang wanita yang berparas cantik. Itu juga yang menjadi pertimbangan Ibu Fatma tak lagi tinggal seatap bersama Halimah dan Nabil, dengan membawa serta anaknya itu. Takut jika kejadian dulu terulang lagi.Halimah meletakkan dua puterinya bermain di kamar khusus yang diran
Mobil yang dikendarai Javier terus melaju menuju bandara. Walau pun, belum dapat kepastian, apakah mereka bisa bertemu, sebab nomor Dokter Rendra belum aktif dan ia belum mendapatkan balasan tadi, untuk saling memberi tahu di mana lokasi mereka akan bertemu. Seperti yang dipesankan oleh sang Mama bahwa ia tak boleh terlambat. Tak enak rasanya pada pria yang bertanggung jawab dan banyak membantu sang Mama dalam proses penyembuhan. Jika sampai ia membuat pria itu tak nyaman sebab menunggu terlalu lama.Sekitar setengah jam memacu mobil dengan kecepatan lebih dari biasa, akhirnya mobil sport berwarna silver milik Javier memasuki area Bandara. Ia kemudian mencari tempat parkir yang kosong untuk menepikan mobilnya. Begitu mobil itu berhenti dan Javier mematikan mesin, ia pun bergegas ke luar menuju lobi Bandara di mana kebanyakan pengunjung menunggu di sana.Merasa ini sudah lebih dari waktu pesawat landing seperti yang Mamanya –Rania katakan, Javier kemudian mengeluarkan ponselnya sembar
_______________ Akan tetapi, dengan cepat pula Deandra mengingatkan dan meyakinkan kemenangan pada dirinya sendiri.‘Tak apa Dee, ini baru dimulai. Perjuangan masih panjang. Kamu bahkan belum tahu bagai mana aslinya Javier seperti apa? Bagai mana juga perasaannya terhadapmu. Masih banyak waktu untuk belajar. Lagi pula ... bukankah kamu bilang tidak menginginkan hal lebih ... jadi jangan memaksakan waktu untuk mengubah semuanya. Kamu harus ikhlas jika kelak, Javier tak menginginkan hal lebih selain sekadar status pernikahan.’“Oh ya, untuk ke depan, selama aku belum ada pekerjaan baru di kota, mari kita berbagi tugas. Bergantian memasak.” Javier membuat sebuah gagasan untuk meringankan beban Deandra.“Ah, itu tak perlu Jav, aku akan melakukannya. Itu bukan hal yang berat.” Deandra menyahut. “Lagian aku merasa bingung sendiri jika tak ada pekerjaan.” Deandra menyahut. Dia bahkan sudah berhenti bekerja. Kalau di rumah juga dikurangi pekerjaannya, dia akan jadi pengangguran dan tidak tah
Azalia dan Afif telah kembali dari hotel. Sebenarnya jatah menginap mereka ada tiga hari. Akan tetapi, sepasang suami istri itu bersepakat, bahwa mereka ingin pulang lebih dulu dan hanya mneghabiskan waktu bermalam satu hari saja. Pagi hari ke duanya sudah berada di rumah Afif yang dulu sempat Azalia tinggali juga dengan Kania. Pada siang hari tanpa diduga, orang tua Afif datang berkunjung ke rumah mereka, begitu tahu kalau Azalia dan Afif sudah berada di rumah.“Mereka ini apa –apaan? Padahal dapat jatah tinggal tiga hari dan gratis malah disia –siakan. Ckck. Mbak Rania bisa kecewa kalau tahu.” Mama Afif bicara selagi berjalan seiringan dengan sang suami ke luar dari mobil menuju rumah yang anak mereka tinggali.Tidak tahu kenapa, rasanya ia ingin terus mengomel sepanjang hari ini. Ada saja hal yang membuat wanita paruh baya itu merasa kesal.“Kalau begitu jangan sampai Mbak Rania tahu,” jawab suami enteng. Kakinya terus melangkah tanpa beban. “Barang kali, Azalia merasa tidak enak b
“Ehm, saya sebenarnya terkejut saat Afif mengatakan harus bertanggung jawab pada seorang gadis yang dia hamili.” Suara Mama Afif menciptakan ketegangan di antara empat orang yang saling dekat karena anak –anak mereka terikat dalam hubungan pernikahan.Wajah –wajah yang tadi dihiasi senyum kini dalam sekejap berubah masam. Begitu juga Papa Afif yang kemudian menggenggam tangan sang istri, agar mengendalikan diri. Karena tak enak pada tuan rumah yang sudah menerima mereka dengan baik, bahkan menyuguhkan makanan dan minuman. Dari awal hingga akhir, bahkan dalam obrolan, orang tua Azalia tidak sekali pun bersikap memuakkan sebagai wali, membahas dan menuntut kehidupan seorang istri pada suaminya.Ibu Afif menoleh sesaat pada sang suami. Ia paham maksud pria itu. itu juga kenapa Ibu Afif kemudian menatap ke arah pria itu dengan anggukan kecil. Bahwa semua akan baik-baik saja. itu yang dia ingin katakan. Dia tahu apa yang dia lakukan. Dan tak akan membuat suaminya malu.Bukankah dia orang
“Dokter Rendra sudah di Bandara, Dek!” Suara mantan Ibu mertua Azalia menghentikan gerakan tangan mengaduk kopi yang akan disuguhkan untuk suami, Ibu dan Bapak mertua Azalia.Bagaimana tidak? Nama yang disebut wanita paruh baya itu adalah nama lelaki yang dulu sempat merusak masa depan dan impian Ibu Azalia.“O ya, apa aku perlu menjemput, Mbak?!” tanya Bapak Afif yang mendekatkan kepala ke arah ponsel yang dipegang sang istri dengan antusias.Bapak Amir, bahkan tak menatap ke arah sang istri meski nama mantan kekasih istrinya diteriakkan di depan mereka. Yah, Mas pria itu mana tahu hati sang istri dan rasa sakit yang pernah didapat dari pria itu dulu. Dia memang tak pernah ingin peduli dengan itu. Bahkan suaminya itu tidak tahu seperti apa wajah pria bernama Rendra itu.Bapak Amir masih tersenyum. Dia tidak tahu, apakah Rendra, dokternya Rania dan Rendra mantan kekasih Fatma adalah pria yang sama. Meski penasaran, ia memiliih menahan diri untuk bertanya dan mencari tahu. Pikir Dendi,
Ia merasa tidak nyaman melihat istrinya tengah hamil besar. Pasti Azalia merasa berat dengan kehamilannya itu. Karena dia tahu bagaimana payahnya seseorang ketika mengandung, seperti ketika dulu Mamanya sedang mengandung Kania dulu.“Aku tidak sepayah itu.” Azalia membantah pemikiran suami tentangnya.Melihat bagaimana Azalia protes, Afif hanya tersenyum sembari terus melangkah. Namun, belum lagi langkah pria itu mencapai kamar mandi hotel, panggilan lembut dari wanita yang bersamanya di kamar hotel tersebut menghentikan langkah Afif.“Mas Afif.”“Ya?” Afif menoleh dengan raut wajah dipenuhi tanya. “Kamu memerlukan sesuatu?” tanyanya lagi.Azalia tersenyum kecil. Lalu menggeleng pelan. “Makasih, ya, Mas.”Ia tak tahu bagaimana nasibnya pasca tahu bahwa suami sebelumnya adalah kakak kandungnya dan mereka terpaksa bercerai. Mana ada laki –laki baik dan dari keluarga baik –baik mau menerima seorang janda, hamil pula. Afif juga seorang pemuda yang memiliki pendidikan yang baik.Karena per
Di kamar Azalia dan Afif ....“Kita sholat dulu, ya.” Afif mengucap lembut begitu masuk ke dalam kamar.“Nggak bongkar koper dulu?” tanya Azalia lemah. Perempuan ayu itu melepas kerudungnya perlahan. Ia jadi ingat bagaimana dulu melewati malam pertama dengan Javier, mereka tak sempat saling berjauhan seperti pernikahannya dengan Afif sekarang. Sangat berbeda. Karena bahkan, Javier lah yang melepaskan kerudungnya pertama kali dan melihat auratnya.‘Apa karena ini pernikahan ke dua. Jadi begini rasanya. Berbeda dengan pernikahan dengan Mas Javier yang terus dipenuhi debar –debar. Semua rasanya B aja.’“Biar aku saja nanti yang membongkar dan merapikannya.” Afif menyahut selagi langkahnya bergerak ke arah kamar mandi. Ia perlu untuk membersihkan diri, dan kemudian berwudhu. Ia merasa tidak nyaman melihat istrinya tengah hamil besar. Pasti Azalia merasa berat dengan kehamilannya itu. Karena dia tahu bagaimana payahnya seseorang ketika mengandung, seperti ketika dulu Mamanya sedang mengan
“Fatma.” Suara berat seorang pria nyaris membuat jantungnya copot.“Mas.” Suara Fatma tercekat.“Kamu masih cantik seperti dulu.” Rendra tersenyum tipis menatap ke kedua mata Fatma yang sayu karena usia."Rendra?!" Mata Fatma membulat. Nyaris saja dia pingsan karena syok. Untungnya ada Amir yang dengan sigap menangkap tubuh sang Ibu yang oleng."Bu, ada apa?" tanya anak bungsu Fatma.Wanita itu lekas menggeleng. "Ah, Ibu nggak papa." Fatma berbohong dan lekas memperbaiki posisi. Dia harus berusaha keras mengendalikan diri, agar Amir tidak tahu kalau pria yang berdiri di depannya, adalah seseorang yang datang dari masa lalunya.“Benar kah, Bu?” Amir tak percaya. Menatap ke arah Ibunya secara intens lalu pada pria yang memiliki tatapan nakal pada Fatma di depan mereka.“Anda siapa?” tanyanya pada pria yang Amir yakini jadi sebab ibunya bertingkah seperti sekarang.Rendra kemudian tersenyum. “Kenalkan. Saya Rendra. Dokter Rendra. Dokter yang ditunjuk untuk merawat Ibu Rania.”Mata Fatma
“Ada apa?” Deandra memberanikan diri bertanya pada pria tampan yang kini tengah duduk di sampingnya sebagai mempelai pria. Ia tak tahan melihat bagaimana Javier menatap ke arah Azalia dengan cinta, padahal sudah sangat jelas kalau mereka tidak akan pernah bisa bersatu. Dan sekarang, sudah ada yang menggantikan posisi Javier di sisi Azalia serta menjaganya. Juga sudah ada Deandra yang kini bersamanya menggantikan kedudukan Azalia. “Ah, ya?” Javier menoleh, ia terlalu fokus pada hal lain sampai –sampai tak memahami ketika Deandra mengajaknya bicara. “Aku ... baik –baik saja.”“Heh.” Deandra tersenyum miris. “Aku tidak sedang menanyakan keadaan kamu, Jav.” Perempuan yang mengenakan gaun pengantin berwarna putih tulang itu menggumam. Namun, gumaman itu terdengar di telinga Javier meski pun pelan. Javier menarik salah satu sudut bibirnya mendengar itu. Tampaknya Deandra mulai bosan menghadiri pernikahan ini.‘Jadi, apa sebenarnya dia juga terpaksa untuk menikah dan tidak bahagia menikah