Dini hari, Sabil terbangun karena haus. Rasa sakit di punggungnya sedikit mereda, hingga ia bisa bergerak sedikit bebas."Syukurlah obat yang dibayar mahal ini bekerja," ucapnya sembari mengambil botol minuman di nakas. Diangkat sedikit kepala dan punggungnya agar minuman itu bisa masuk perlahan ke mulut.Pria itu menoleh ke arah jam dinding, di mana waktu menunjukan masih pukul tiga. Diraih ponsel di samping botol minumnya. Memeriksa apakah ada balasan dari Fatma."Hah? Kenapa dia tak menjawab? Pesannya bahkan masih centang satu? Kenapa dia tak mengaktifkan ponselnya. Jangan-jangan dia belum bertemu ibunya? Duh, bikin khawatir saja."Saat menggulir layar ke bawah dan mencari nomor ibu mertuanya, benar saja, ada banyak panggilan tak terjawab. Ponselnya tak berdering karena saran dari suster, bahwa dia harus tidur lebih delapan jam malam ini, agar besok bisa pindah rumah sakit dalam kondisi fit.Perasaannya mulai tak enak melihat panggilan-panggilan tak terjawab itu. Segera diklik un
Eum, iya. Dok. Tak usah khawatir. Biar saya pulang sendiri. Terimakasih untuk semuanya." Fatma mengucap lemah. Tangannya sudah bergerak menarik kenop pintu mobil. Namun, dengan cepat Rendra meraih tangannya. Menahan agar Fatma tak pergi. "Tunggu!" "Ya?" Fatma sontak menoleh menatap pada sang dokter lalu tangan pria itu yang mencengkram lengannya. Ada tatapan tak biasa yang dari kedua sorot mata elangnya.Sadar Fatma tak nyaman atas perlakuannya, Rendra segera melepaskan tangannya. "Saya tidak apa-apa." Fatma mengulang ucapannya, sambil mengusap pergelangannya. Bukan karena sakit, tapi risih, karena dipegang erat pria lain.Dalam hati kecil wanita itu, ada rasa bersalah dan merasa mengkhianati Sabil. Namun, apa artinya ini? Dibanding perlakuan suaminya padanya? Bukan hanya nekad berada di sisi Halimah yang bukan mahramnya, tapi dia juga mengusirnya. Tak mengakui sebagai istrinya. Apalagi yang perlu diperjuangkan?Rendra mendesah panjang karenanya. "Apa kamu membawa mobil?"Fatma m
Pagi-pagi sekali sudah ada yang mengetuk pintu rumah Novi. Bahkan di saat ia saja belum lama selesai mengerjakan sholat subuh, dan sedang menyiapkan makanan untuk sarapan dan bekal untuk anaknya."Siapa, ya?" gumamnya sambil meletakkan pisau yang ujungnya menempel di batang sosis. Merasa ini bukan hal biasa, Novi pun bergegas melepas celemek dan mencuci tangannya. 'Pasti orang itu punya kepentingan mendesak.'"Nak, kalau udah wiridnya buruan mandi, ya!" serunya ketika melewati kamar anaknya. Ia berseru tanpa menghentikan langkah."Ya, Bund!" sahut anak laki-laki berusia sekitar tujuh tahun dari kamarnya.Novi tersenyum senang Satria adalah anak penurut. Meski sering kali sosoknya mengingatkan akan luka yang seseorang toreh untuknya, wanita itu menyayanginya sepenuh hati.Langkahnya kini sudah mencapai pintu depan. Alangkah terkejut saat melihat siapa yang berdiri di depannya."Bu ...?" Mata Novi melebar. Ia sudah bilang ada di pihak Halimah dan tak mau berhubungan dengan Bulek dan
"Halo, Bu. Maaf jika Ibu merasa tak nyaman dengan ini, kami hanya melindungi diri. Ada pun jika orang yang ingin mengusik hidup kami terluka, apakah itu kesalahan kami?" tanya Halimah yang seketika membuat jantung Ibu Fatma serasa berhenti berdetak. Ucapannya seperti belati menghujam hati. Jadi, hati Halimah sudah mati untuk mereka? Tak peduli dan mengenyampingkan sisi kemanusiaannya karena dendam?Ibu Fatma menutup ponsel milik Novi dengan air mata yang memenuhi pelupuk mata. Mengingat bagaimana dulu dia sangat menyayangi Halimah, dan begitu sebaliknya.Bagaimana dulu Halimah berusaha keras mengalah dan menyayangi Fatma. Sebaliknya Fatma mengorbankan banyak hal untuknya bahkan rela mengalah dan berpisah dengan Sabil hanya agar Halimah bahagia.Wanita paruh baya itu tak mengerti, kenapa pengorbanan puterinya jutsru berakhir membuat Fatma lebih menderita karena dimusuhi oleh Halimah. Padahal sejak awal, ia pun sudah mnederita lantaran melihat pria yang dicintainya menikahi Halimah.No
__________Sebelum melanjutkan perjalanan, Rendra mampir ke sebuah mini market. Membeli dua cup kopi, dan empat potong roti hangat untuk mengisi perut mereka. Tak lupa beberapa snack untuk cemilan.Saat pria itu masuk mini market, Rendra meminta wanita yang bersamanya untuk tetap berada dalam mobil. Dia sendiri keluar mengenakan topi dan makser.Fatma merasa heran, tapi enggan untuk menanyakan alasannya.Tak lama, hanya sekitar 15 menit, Rendra akhirnya kembali ke mobil."Terimakasih." Fatma meraih makanan dan minuman yang Rendra belikan."Aku sengaja tak membawamu ke restoran atau kafe untuk sarapan, Nona." Rendra tiba-tiba membuka obrolan. Dia ingin memberi tahu wanita di mobilnya alasannya tidak membawa mampir, bukan karena dia pelit.Fatma menoleh. Kali ini ia penasaran. Benar juga, sepertinya Rendra mulai bersikap aneh sejak menerima telepon tadi. Pria itu jadi sering melihat sekitar seolah ada yang mengawasi."Oh, ya."Namun, Fatma tahu diri. Dan memilih membatasi obrolan. Ia t
"Bunda! Api!" teriak Satria yang berada di mulut pintu dapur.Novi terkejut, sontak membalik tubuh, dan mendapati api sudah membakar penggorengan. Api sudah membumbung tinggi, karena terlalu lama menahan panas, hingga membakar semua yang terhubung langsung dengannya.Dalam sekejap, panik dan takut menguasai hatinya. Novi tak bisa berpikir, apa yang mesti dilakukan, hingga meraih apa pun untuk dilempar ke api tersebut.Memikirkan keselamatan dirinya dan juga Satria, wanita itu segera menyambar tubuh puteranya dan membawanya berlari cepat ke luar rumah.Karena sebentar lagi, tabung gas 12 Kg pasti akan meledak, hingga rumah bisa saja runtuh karena ledakannya. Itu kenapa ia perlu menyelamatkan diri, dan meminta bantuan."Ya Allah, syukur-syukur kalau tabung gasnya gak meledak dan api bisa dipadamkan," ucap Novi penuh harap."Apa rumah kita akan habis dimakan api, Bund?" Satria yang berada dalam gendongan mengucap polos."Maafkan Bunda, Sayang. Yang penting Bunda keluarkan kamu dulu, ya,
"Kamu sudah berjuang, melalui banyak hari yang tak indah dan tak mudah karena aku. Sekarang ... mana bisa aku diam saja dan membiarkanmu terus lelah sendiri. Ayo, kita hadapi bersama. Cepat sehat, agar kita bisa merawat anak-anak kita." Nabil mengatakan sesuatu yang membuat hati Halimah merasa terenyuh.Setiap kata-kata Nabil seperti tetesan embun, yang membuat benih cinta dalam hatinya kian berkembang.Tak terasa air mata itu jatuh. Bukankah manusia itu tempatnya salah. Begitu juga dengan Bulek dan Fatma.Ia pun berniat menelepon Bulek dan meraih ponsel di nakas. Namun, belum lagi sempat memanggilnya, panggilan datang dari nomor lain."Novi?"Mata Halimah melebar sempurna. Ia membekap sebagai ekspresi terkejut atas berita yang diterima."Ada apa?" tanya Nabil heran. Kenapa sejak tadi panggilan dari sahabat Halimah membuat istrinya seperti terkena spot jantung.Halimah menutup telepon tanpa bertanya detailnya. Yang penting sekarang adalah bagaimana dia bisa menjangkau Novi."Mas, Novi
Namun, saat akan ke luar ... langkah Rendra terhenti. Ia melihat seseorang yang ditemani orang lain berpakaian perawat mendekat padanya. Pria yang tampak seperti pasiennya dan didorong kursi di atas kursi roda."Bapak Sabil?!" ceplos Rendra. Heran. Apa yang akan dilakukan suami Halimah di sini?Apa pria itu memiliki dua kepribadian? Atau lelaki penipu? Yang di depan istrinya menolak Fatma, tapi di belakangnya mati-matian mengejarnya.'Sungguh brengsek kalau begitu!'"Ap-apa yang Anda lakukan di sini?" tanya Rendra tak suka. Begitu Sabil. Melihat secara langsung dokter tampan yang viral bersama Fatma, semakin mengukuhkan dugaan bahwa mereka memang ada apa-apa di belakang.Fatma dan Ibunya yang juga terkejut mendengar nama Sabil disebut, segera mendekat dan melihatnya.Benar saja, sosok yang mirip Sabil sudah ada di depan rumah mereka.Fatma menatap agak lama, rasanya aneh jika Sabil yang berdiri di hadapan mereka sekarang. Pria itu kan sedang ada di Jogja. Lalu menatap sebuah nama ru
Mobil yang dikendarai Javier terus melaju menuju bandara. Walau pun, belum dapat kepastian, apakah mereka bisa bertemu, sebab nomor Dokter Rendra belum aktif dan ia belum mendapatkan balasan tadi, untuk saling memberi tahu di mana lokasi mereka akan bertemu. Seperti yang dipesankan oleh sang Mama bahwa ia tak boleh terlambat. Tak enak rasanya pada pria yang bertanggung jawab dan banyak membantu sang Mama dalam proses penyembuhan. Jika sampai ia membuat pria itu tak nyaman sebab menunggu terlalu lama.Sekitar setengah jam memacu mobil dengan kecepatan lebih dari biasa, akhirnya mobil sport berwarna silver milik Javier memasuki area Bandara. Ia kemudian mencari tempat parkir yang kosong untuk menepikan mobilnya. Begitu mobil itu berhenti dan Javier mematikan mesin, ia pun bergegas ke luar menuju lobi Bandara di mana kebanyakan pengunjung menunggu di sana.Merasa ini sudah lebih dari waktu pesawat landing seperti yang Mamanya –Rania katakan, Javier kemudian mengeluarkan ponselnya sembar
_______________ Akan tetapi, dengan cepat pula Deandra mengingatkan dan meyakinkan kemenangan pada dirinya sendiri.‘Tak apa Dee, ini baru dimulai. Perjuangan masih panjang. Kamu bahkan belum tahu bagai mana aslinya Javier seperti apa? Bagai mana juga perasaannya terhadapmu. Masih banyak waktu untuk belajar. Lagi pula ... bukankah kamu bilang tidak menginginkan hal lebih ... jadi jangan memaksakan waktu untuk mengubah semuanya. Kamu harus ikhlas jika kelak, Javier tak menginginkan hal lebih selain sekadar status pernikahan.’“Oh ya, untuk ke depan, selama aku belum ada pekerjaan baru di kota, mari kita berbagi tugas. Bergantian memasak.” Javier membuat sebuah gagasan untuk meringankan beban Deandra.“Ah, itu tak perlu Jav, aku akan melakukannya. Itu bukan hal yang berat.” Deandra menyahut. “Lagian aku merasa bingung sendiri jika tak ada pekerjaan.” Deandra menyahut. Dia bahkan sudah berhenti bekerja. Kalau di rumah juga dikurangi pekerjaannya, dia akan jadi pengangguran dan tidak tah
Azalia dan Afif telah kembali dari hotel. Sebenarnya jatah menginap mereka ada tiga hari. Akan tetapi, sepasang suami istri itu bersepakat, bahwa mereka ingin pulang lebih dulu dan hanya mneghabiskan waktu bermalam satu hari saja. Pagi hari ke duanya sudah berada di rumah Afif yang dulu sempat Azalia tinggali juga dengan Kania. Pada siang hari tanpa diduga, orang tua Afif datang berkunjung ke rumah mereka, begitu tahu kalau Azalia dan Afif sudah berada di rumah.“Mereka ini apa –apaan? Padahal dapat jatah tinggal tiga hari dan gratis malah disia –siakan. Ckck. Mbak Rania bisa kecewa kalau tahu.” Mama Afif bicara selagi berjalan seiringan dengan sang suami ke luar dari mobil menuju rumah yang anak mereka tinggali.Tidak tahu kenapa, rasanya ia ingin terus mengomel sepanjang hari ini. Ada saja hal yang membuat wanita paruh baya itu merasa kesal.“Kalau begitu jangan sampai Mbak Rania tahu,” jawab suami enteng. Kakinya terus melangkah tanpa beban. “Barang kali, Azalia merasa tidak enak b
“Ehm, saya sebenarnya terkejut saat Afif mengatakan harus bertanggung jawab pada seorang gadis yang dia hamili.” Suara Mama Afif menciptakan ketegangan di antara empat orang yang saling dekat karena anak –anak mereka terikat dalam hubungan pernikahan.Wajah –wajah yang tadi dihiasi senyum kini dalam sekejap berubah masam. Begitu juga Papa Afif yang kemudian menggenggam tangan sang istri, agar mengendalikan diri. Karena tak enak pada tuan rumah yang sudah menerima mereka dengan baik, bahkan menyuguhkan makanan dan minuman. Dari awal hingga akhir, bahkan dalam obrolan, orang tua Azalia tidak sekali pun bersikap memuakkan sebagai wali, membahas dan menuntut kehidupan seorang istri pada suaminya.Ibu Afif menoleh sesaat pada sang suami. Ia paham maksud pria itu. itu juga kenapa Ibu Afif kemudian menatap ke arah pria itu dengan anggukan kecil. Bahwa semua akan baik-baik saja. itu yang dia ingin katakan. Dia tahu apa yang dia lakukan. Dan tak akan membuat suaminya malu.Bukankah dia orang
“Dokter Rendra sudah di Bandara, Dek!” Suara mantan Ibu mertua Azalia menghentikan gerakan tangan mengaduk kopi yang akan disuguhkan untuk suami, Ibu dan Bapak mertua Azalia.Bagaimana tidak? Nama yang disebut wanita paruh baya itu adalah nama lelaki yang dulu sempat merusak masa depan dan impian Ibu Azalia.“O ya, apa aku perlu menjemput, Mbak?!” tanya Bapak Afif yang mendekatkan kepala ke arah ponsel yang dipegang sang istri dengan antusias.Bapak Amir, bahkan tak menatap ke arah sang istri meski nama mantan kekasih istrinya diteriakkan di depan mereka. Yah, Mas pria itu mana tahu hati sang istri dan rasa sakit yang pernah didapat dari pria itu dulu. Dia memang tak pernah ingin peduli dengan itu. Bahkan suaminya itu tidak tahu seperti apa wajah pria bernama Rendra itu.Bapak Amir masih tersenyum. Dia tidak tahu, apakah Rendra, dokternya Rania dan Rendra mantan kekasih Fatma adalah pria yang sama. Meski penasaran, ia memiliih menahan diri untuk bertanya dan mencari tahu. Pikir Dendi,
Ia merasa tidak nyaman melihat istrinya tengah hamil besar. Pasti Azalia merasa berat dengan kehamilannya itu. Karena dia tahu bagaimana payahnya seseorang ketika mengandung, seperti ketika dulu Mamanya sedang mengandung Kania dulu.“Aku tidak sepayah itu.” Azalia membantah pemikiran suami tentangnya.Melihat bagaimana Azalia protes, Afif hanya tersenyum sembari terus melangkah. Namun, belum lagi langkah pria itu mencapai kamar mandi hotel, panggilan lembut dari wanita yang bersamanya di kamar hotel tersebut menghentikan langkah Afif.“Mas Afif.”“Ya?” Afif menoleh dengan raut wajah dipenuhi tanya. “Kamu memerlukan sesuatu?” tanyanya lagi.Azalia tersenyum kecil. Lalu menggeleng pelan. “Makasih, ya, Mas.”Ia tak tahu bagaimana nasibnya pasca tahu bahwa suami sebelumnya adalah kakak kandungnya dan mereka terpaksa bercerai. Mana ada laki –laki baik dan dari keluarga baik –baik mau menerima seorang janda, hamil pula. Afif juga seorang pemuda yang memiliki pendidikan yang baik.Karena per
Di kamar Azalia dan Afif ....“Kita sholat dulu, ya.” Afif mengucap lembut begitu masuk ke dalam kamar.“Nggak bongkar koper dulu?” tanya Azalia lemah. Perempuan ayu itu melepas kerudungnya perlahan. Ia jadi ingat bagaimana dulu melewati malam pertama dengan Javier, mereka tak sempat saling berjauhan seperti pernikahannya dengan Afif sekarang. Sangat berbeda. Karena bahkan, Javier lah yang melepaskan kerudungnya pertama kali dan melihat auratnya.‘Apa karena ini pernikahan ke dua. Jadi begini rasanya. Berbeda dengan pernikahan dengan Mas Javier yang terus dipenuhi debar –debar. Semua rasanya B aja.’“Biar aku saja nanti yang membongkar dan merapikannya.” Afif menyahut selagi langkahnya bergerak ke arah kamar mandi. Ia perlu untuk membersihkan diri, dan kemudian berwudhu. Ia merasa tidak nyaman melihat istrinya tengah hamil besar. Pasti Azalia merasa berat dengan kehamilannya itu. Karena dia tahu bagaimana payahnya seseorang ketika mengandung, seperti ketika dulu Mamanya sedang mengan
“Fatma.” Suara berat seorang pria nyaris membuat jantungnya copot.“Mas.” Suara Fatma tercekat.“Kamu masih cantik seperti dulu.” Rendra tersenyum tipis menatap ke kedua mata Fatma yang sayu karena usia."Rendra?!" Mata Fatma membulat. Nyaris saja dia pingsan karena syok. Untungnya ada Amir yang dengan sigap menangkap tubuh sang Ibu yang oleng."Bu, ada apa?" tanya anak bungsu Fatma.Wanita itu lekas menggeleng. "Ah, Ibu nggak papa." Fatma berbohong dan lekas memperbaiki posisi. Dia harus berusaha keras mengendalikan diri, agar Amir tidak tahu kalau pria yang berdiri di depannya, adalah seseorang yang datang dari masa lalunya.“Benar kah, Bu?” Amir tak percaya. Menatap ke arah Ibunya secara intens lalu pada pria yang memiliki tatapan nakal pada Fatma di depan mereka.“Anda siapa?” tanyanya pada pria yang Amir yakini jadi sebab ibunya bertingkah seperti sekarang.Rendra kemudian tersenyum. “Kenalkan. Saya Rendra. Dokter Rendra. Dokter yang ditunjuk untuk merawat Ibu Rania.”Mata Fatma
“Ada apa?” Deandra memberanikan diri bertanya pada pria tampan yang kini tengah duduk di sampingnya sebagai mempelai pria. Ia tak tahan melihat bagaimana Javier menatap ke arah Azalia dengan cinta, padahal sudah sangat jelas kalau mereka tidak akan pernah bisa bersatu. Dan sekarang, sudah ada yang menggantikan posisi Javier di sisi Azalia serta menjaganya. Juga sudah ada Deandra yang kini bersamanya menggantikan kedudukan Azalia. “Ah, ya?” Javier menoleh, ia terlalu fokus pada hal lain sampai –sampai tak memahami ketika Deandra mengajaknya bicara. “Aku ... baik –baik saja.”“Heh.” Deandra tersenyum miris. “Aku tidak sedang menanyakan keadaan kamu, Jav.” Perempuan yang mengenakan gaun pengantin berwarna putih tulang itu menggumam. Namun, gumaman itu terdengar di telinga Javier meski pun pelan. Javier menarik salah satu sudut bibirnya mendengar itu. Tampaknya Deandra mulai bosan menghadiri pernikahan ini.‘Jadi, apa sebenarnya dia juga terpaksa untuk menikah dan tidak bahagia menikah