"Kamu sudah berjuang, melalui banyak hari yang tak indah dan tak mudah karena aku. Sekarang ... mana bisa aku diam saja dan membiarkanmu terus lelah sendiri. Ayo, kita hadapi bersama. Cepat sehat, agar kita bisa merawat anak-anak kita." Nabil mengatakan sesuatu yang membuat hati Halimah merasa terenyuh.Setiap kata-kata Nabil seperti tetesan embun, yang membuat benih cinta dalam hatinya kian berkembang.Tak terasa air mata itu jatuh. Bukankah manusia itu tempatnya salah. Begitu juga dengan Bulek dan Fatma.Ia pun berniat menelepon Bulek dan meraih ponsel di nakas. Namun, belum lagi sempat memanggilnya, panggilan datang dari nomor lain."Novi?"Mata Halimah melebar sempurna. Ia membekap sebagai ekspresi terkejut atas berita yang diterima."Ada apa?" tanya Nabil heran. Kenapa sejak tadi panggilan dari sahabat Halimah membuat istrinya seperti terkena spot jantung.Halimah menutup telepon tanpa bertanya detailnya. Yang penting sekarang adalah bagaimana dia bisa menjangkau Novi."Mas, Novi
Namun, saat akan ke luar ... langkah Rendra terhenti. Ia melihat seseorang yang ditemani orang lain berpakaian perawat mendekat padanya. Pria yang tampak seperti pasiennya dan didorong kursi di atas kursi roda."Bapak Sabil?!" ceplos Rendra. Heran. Apa yang akan dilakukan suami Halimah di sini?Apa pria itu memiliki dua kepribadian? Atau lelaki penipu? Yang di depan istrinya menolak Fatma, tapi di belakangnya mati-matian mengejarnya.'Sungguh brengsek kalau begitu!'"Ap-apa yang Anda lakukan di sini?" tanya Rendra tak suka. Begitu Sabil. Melihat secara langsung dokter tampan yang viral bersama Fatma, semakin mengukuhkan dugaan bahwa mereka memang ada apa-apa di belakang.Fatma dan Ibunya yang juga terkejut mendengar nama Sabil disebut, segera mendekat dan melihatnya.Benar saja, sosok yang mirip Sabil sudah ada di depan rumah mereka.Fatma menatap agak lama, rasanya aneh jika Sabil yang berdiri di hadapan mereka sekarang. Pria itu kan sedang ada di Jogja. Lalu menatap sebuah nama ru
"Ya aku ...." Sabil keceplosan tidak mengubah suara dengan lebih berat.Hal itu kontan membuat Fatma dan Ibunya mengarahkan tatapan terkejut padannya."Apa kamu Sabil?" Lagi, Ibu Fatma merasa bahwa antara Sabil dan Nabil, sekarang ini tengah bertukar tempat.Melihat bagaimana sikap pemuda yang tampak bersemangat menyalahkan Fatma dan Rendra seolah tak rela dan sedang dilanda cemburu. Lalu suara tadi ... itu adalah suara Sabil, hanya suara itu yang memberi perbedaan antara dua pria yang memiliki fisik serupa tersebut.Sabil bergeming. Dia telah tertangkap basah. Tak myengerti harus menjawab apa. Tampaknya kali ini ia harus jujur, agar Fatma tak lagi bersedih dan memilih pria lain karena sikap buruk Nabil yang dianggap sebagai dirinya.Juga ... agar ia bisa mendapat Halimah kembali. Toh hukum sudah berpihak padanya. Mereka hanya perlu mengucap akad nikah secara agama.Menurut Sabil, kembali ke kehidupan normalnya dulu jauh lebih baik dari pada sekarang ini. Bukankah Fatma dari awal tak
'Sesuatu yang kupikir adalah musibah, justru ini adalah anugerah Tuhan untukku. Kamu adalah hadiah terindah dari Tuhanku Yang Baik.'❤"Kita akan ke mana?" tanya perawat yang mendorong kursi roda Sabil."Ke Jogja." Sabil menyahut cepat. Ia tak mau melepas kesempatan yang walau secuil untuk mendapatkan hati Halimah."Ke Jogja?" Mata perawat itu melebar. Bosnya meminta berjalan ke tempat jauh."Ya.""Ehm. Maaf. Apa Tuan serius dengan ini? Perjalanan ke Jogja lebih dari tujuh jam.""Lakukan saja, Mas. Bukankah saya sudah membayar Mas dan sopir mobil ini?""Oya baik. Tuan." Perawat itu menurut. Lalu meminta pada rekannya yang mengemudi untuk membawanya ke Jogja._____________"Halo, assalamualaikum, Bulek.""Waalaikumsalam, Halimah. Kamu harus tahu kalau yang sekarang bersamamu adalah Nabil. Tadi Sabil sudah jujur dan menceritakan semuanya. Bahkan Fatma akhirnya dijatuhi talak oleh Sabil. Jadi sebaiknya kamu lekas mencecar pria yang bersamamu agar juga jujur. Dan lagi, jangan mau saat nan
"Pak tolong kemudi dengan kecepatan lebih ya," pinta Sabil yang membuat sopir enggan menjawab. Pria yang yang e mengemudi itu hanya bisa melihat ke arah perawat di sampingnya karrna tak nyaman dengan permintaan tuan mereka.Perawat itu berkedip lalu mengangguk. Meminta sang sopir mengiyakan saja."Eum. Ya, Tuan." Sopir itu manyahut juga. Sabil tersenyum senang mendengarnya.Sabil akhirnya berangkat ke Jogja. Dengan niat bulat. Membayangkan banyak rencana di kepala yang akan dia lakukan begitu sampai.Bertanya dengan menyuap pihak administrasi rumah sakit, agar memberi tahu di mana alamat Halimah berada. "Semua akan mudah dengan uang." Sabil menyeringai. 'Ini juga berlaku untukmu, Fatma. Apa kamu kira, aku akan membiarkanmu setelah kamu mengkhianatiju?'_____________"Ehm. Novi ini sepupuku." Rendra tiba-tiba mengatakan hal yang sebenernya tak Fatma pikirkan.Ia tak mengerti wajah cantik Fatma terus membayang di kepalanya. Meski mendengar Novi sakit dan berlari menemuinya, walaupun sa
Rendra menatap Fatma dalam-dalam. Tatapan yang aneh menurut wanita di depannya, hingga dua alis Fatma tertaut karenanya."Dok," panggil Fatma lagi dengan suara pelan, sambil melepas kaca matanya.Namun, Rendra tak juga menyahut. Ia justru melakukan hal lain yang membuatnya syok. Mata Fatma memejam sesaat kala wajah Rendra mendekat. Lalu mata itu melebar sempurna lantaran terkejut, dengan cepat pria itu mendaratkan ciuman padanya. Rasanya sampai sesak karena Fatma kesulitan bernapas.'Apa ini?! Kenapa Dokter melakukannya? Kenapa aku seperti terhipnotis olehnya?' batin Fatma yang dipenuhi rasa bersalah bertanya-tanya. Walau pun telah jatuh talak, ucapan dari mulut Sabil, belum lagi sampai satu jam. Jangankan boleh menjalin hubungan dengan pria bukan mahramnya seperti ini. Bahkan masa iddahnya saja masih sangat jauh.Halimah menjatuhkan kaca mata di tangan.Waktu terjeda di antara keduanya. Mereka sama-sama lupa diri. Rendra merasa tak mampu mengendalikan hati, kala perintah otak dan k
_____________"Saya pikir tadi Bapak Sabil. Tapi dia nggak bisa jalan dan duduk di kursi roda.""Hah?" Halimah menatap Nabil, lalu dia yakin kalau yang datang ke rumah sakit dan bertanya alamat itu adalah Sabil.Namun, tak lama senyumnya mengembang. Akhirnya tanpa rencana, Halimah sudah mempermainkan pria jahat itu."Siapa?" tanya Nabil yang terbangun."Temen." Halimah berbisik."Oh." Nabil yang baru terbangun membulatkan mulutnya. Lalu menatap ke luar. Melihat bangunan yang tak asing berjejer di sepanjang trotoar, ia sadar kalau sudah sampai Jakarta. "Ya, sudah Mbak. Kapan-kapan kita sambung lagi. Saya cuma kasih tahu aja, supaya nanti nggal kaget pas ada orang yang gak diharap datang." Perempuan di ujung telepon, akhirnya berpamitan karena tak enak terus bicara dan mengganggu Halimah, lebih ketika mendengar suara pria di dekatnya."Iya Mbak Hayya. Makasih, ya." Halimah mengucap tulus. "Informasi ini sangat berharga buat saya. Kalau nggak tahu kabarnya nggak tahu deh.""Iya, Mbak Li
Sabil memegangi pegangan kursi roda dengan mengeratkan tapak tangannya. Sampai buku-buku tangannya memutih. Seolah sedang menekan segala emosi dalam dadanya lantaran merasa dipermainkan.Dia bahkan tak peduli saat satpam itu mencoba mencairkan suasana, yang berkata telah mengira dirinya adalah orang yang sama dengan pria yang sedang bersama Halimah."Ke mana mereka pergi?" tanyanya ke satpam di sela kekecewaannya. "Wah, maaf. Mereka tidak memberitahu kami." Pria yang memakai seragam itu menyahut.Sabil mendesah. Ia tak tahu bagaimana mengendalikan gemuruh dalam hatinya. "Oh, kalau begitu terimakasih." Perawat yang mendorong kursi roda dan berdiri di belakang Sabil menyahut. Mengungkap ucapan terima kasih. Karena tampaknya Sabil sedang tak enak hatinya untuk sekedar mengucap kata-kata itu."Ya. Kalau boleh tahu, apa Bapak ini kembaran suami Ibu Halimah?" Satpam tak bisa menahan rasa penasaran, hingga menanyakan hal tersebut. "Ehm, maaf ... Apa Anda kembar identik?" sambungnya lagi.
Mobil yang dikendarai Javier terus melaju menuju bandara. Walau pun, belum dapat kepastian, apakah mereka bisa bertemu, sebab nomor Dokter Rendra belum aktif dan ia belum mendapatkan balasan tadi, untuk saling memberi tahu di mana lokasi mereka akan bertemu. Seperti yang dipesankan oleh sang Mama bahwa ia tak boleh terlambat. Tak enak rasanya pada pria yang bertanggung jawab dan banyak membantu sang Mama dalam proses penyembuhan. Jika sampai ia membuat pria itu tak nyaman sebab menunggu terlalu lama.Sekitar setengah jam memacu mobil dengan kecepatan lebih dari biasa, akhirnya mobil sport berwarna silver milik Javier memasuki area Bandara. Ia kemudian mencari tempat parkir yang kosong untuk menepikan mobilnya. Begitu mobil itu berhenti dan Javier mematikan mesin, ia pun bergegas ke luar menuju lobi Bandara di mana kebanyakan pengunjung menunggu di sana.Merasa ini sudah lebih dari waktu pesawat landing seperti yang Mamanya –Rania katakan, Javier kemudian mengeluarkan ponselnya sembar
_______________ Akan tetapi, dengan cepat pula Deandra mengingatkan dan meyakinkan kemenangan pada dirinya sendiri.‘Tak apa Dee, ini baru dimulai. Perjuangan masih panjang. Kamu bahkan belum tahu bagai mana aslinya Javier seperti apa? Bagai mana juga perasaannya terhadapmu. Masih banyak waktu untuk belajar. Lagi pula ... bukankah kamu bilang tidak menginginkan hal lebih ... jadi jangan memaksakan waktu untuk mengubah semuanya. Kamu harus ikhlas jika kelak, Javier tak menginginkan hal lebih selain sekadar status pernikahan.’“Oh ya, untuk ke depan, selama aku belum ada pekerjaan baru di kota, mari kita berbagi tugas. Bergantian memasak.” Javier membuat sebuah gagasan untuk meringankan beban Deandra.“Ah, itu tak perlu Jav, aku akan melakukannya. Itu bukan hal yang berat.” Deandra menyahut. “Lagian aku merasa bingung sendiri jika tak ada pekerjaan.” Deandra menyahut. Dia bahkan sudah berhenti bekerja. Kalau di rumah juga dikurangi pekerjaannya, dia akan jadi pengangguran dan tidak tah
Azalia dan Afif telah kembali dari hotel. Sebenarnya jatah menginap mereka ada tiga hari. Akan tetapi, sepasang suami istri itu bersepakat, bahwa mereka ingin pulang lebih dulu dan hanya mneghabiskan waktu bermalam satu hari saja. Pagi hari ke duanya sudah berada di rumah Afif yang dulu sempat Azalia tinggali juga dengan Kania. Pada siang hari tanpa diduga, orang tua Afif datang berkunjung ke rumah mereka, begitu tahu kalau Azalia dan Afif sudah berada di rumah.“Mereka ini apa –apaan? Padahal dapat jatah tinggal tiga hari dan gratis malah disia –siakan. Ckck. Mbak Rania bisa kecewa kalau tahu.” Mama Afif bicara selagi berjalan seiringan dengan sang suami ke luar dari mobil menuju rumah yang anak mereka tinggali.Tidak tahu kenapa, rasanya ia ingin terus mengomel sepanjang hari ini. Ada saja hal yang membuat wanita paruh baya itu merasa kesal.“Kalau begitu jangan sampai Mbak Rania tahu,” jawab suami enteng. Kakinya terus melangkah tanpa beban. “Barang kali, Azalia merasa tidak enak b
“Ehm, saya sebenarnya terkejut saat Afif mengatakan harus bertanggung jawab pada seorang gadis yang dia hamili.” Suara Mama Afif menciptakan ketegangan di antara empat orang yang saling dekat karena anak –anak mereka terikat dalam hubungan pernikahan.Wajah –wajah yang tadi dihiasi senyum kini dalam sekejap berubah masam. Begitu juga Papa Afif yang kemudian menggenggam tangan sang istri, agar mengendalikan diri. Karena tak enak pada tuan rumah yang sudah menerima mereka dengan baik, bahkan menyuguhkan makanan dan minuman. Dari awal hingga akhir, bahkan dalam obrolan, orang tua Azalia tidak sekali pun bersikap memuakkan sebagai wali, membahas dan menuntut kehidupan seorang istri pada suaminya.Ibu Afif menoleh sesaat pada sang suami. Ia paham maksud pria itu. itu juga kenapa Ibu Afif kemudian menatap ke arah pria itu dengan anggukan kecil. Bahwa semua akan baik-baik saja. itu yang dia ingin katakan. Dia tahu apa yang dia lakukan. Dan tak akan membuat suaminya malu.Bukankah dia orang
“Dokter Rendra sudah di Bandara, Dek!” Suara mantan Ibu mertua Azalia menghentikan gerakan tangan mengaduk kopi yang akan disuguhkan untuk suami, Ibu dan Bapak mertua Azalia.Bagaimana tidak? Nama yang disebut wanita paruh baya itu adalah nama lelaki yang dulu sempat merusak masa depan dan impian Ibu Azalia.“O ya, apa aku perlu menjemput, Mbak?!” tanya Bapak Afif yang mendekatkan kepala ke arah ponsel yang dipegang sang istri dengan antusias.Bapak Amir, bahkan tak menatap ke arah sang istri meski nama mantan kekasih istrinya diteriakkan di depan mereka. Yah, Mas pria itu mana tahu hati sang istri dan rasa sakit yang pernah didapat dari pria itu dulu. Dia memang tak pernah ingin peduli dengan itu. Bahkan suaminya itu tidak tahu seperti apa wajah pria bernama Rendra itu.Bapak Amir masih tersenyum. Dia tidak tahu, apakah Rendra, dokternya Rania dan Rendra mantan kekasih Fatma adalah pria yang sama. Meski penasaran, ia memiliih menahan diri untuk bertanya dan mencari tahu. Pikir Dendi,
Ia merasa tidak nyaman melihat istrinya tengah hamil besar. Pasti Azalia merasa berat dengan kehamilannya itu. Karena dia tahu bagaimana payahnya seseorang ketika mengandung, seperti ketika dulu Mamanya sedang mengandung Kania dulu.“Aku tidak sepayah itu.” Azalia membantah pemikiran suami tentangnya.Melihat bagaimana Azalia protes, Afif hanya tersenyum sembari terus melangkah. Namun, belum lagi langkah pria itu mencapai kamar mandi hotel, panggilan lembut dari wanita yang bersamanya di kamar hotel tersebut menghentikan langkah Afif.“Mas Afif.”“Ya?” Afif menoleh dengan raut wajah dipenuhi tanya. “Kamu memerlukan sesuatu?” tanyanya lagi.Azalia tersenyum kecil. Lalu menggeleng pelan. “Makasih, ya, Mas.”Ia tak tahu bagaimana nasibnya pasca tahu bahwa suami sebelumnya adalah kakak kandungnya dan mereka terpaksa bercerai. Mana ada laki –laki baik dan dari keluarga baik –baik mau menerima seorang janda, hamil pula. Afif juga seorang pemuda yang memiliki pendidikan yang baik.Karena per
Di kamar Azalia dan Afif ....“Kita sholat dulu, ya.” Afif mengucap lembut begitu masuk ke dalam kamar.“Nggak bongkar koper dulu?” tanya Azalia lemah. Perempuan ayu itu melepas kerudungnya perlahan. Ia jadi ingat bagaimana dulu melewati malam pertama dengan Javier, mereka tak sempat saling berjauhan seperti pernikahannya dengan Afif sekarang. Sangat berbeda. Karena bahkan, Javier lah yang melepaskan kerudungnya pertama kali dan melihat auratnya.‘Apa karena ini pernikahan ke dua. Jadi begini rasanya. Berbeda dengan pernikahan dengan Mas Javier yang terus dipenuhi debar –debar. Semua rasanya B aja.’“Biar aku saja nanti yang membongkar dan merapikannya.” Afif menyahut selagi langkahnya bergerak ke arah kamar mandi. Ia perlu untuk membersihkan diri, dan kemudian berwudhu. Ia merasa tidak nyaman melihat istrinya tengah hamil besar. Pasti Azalia merasa berat dengan kehamilannya itu. Karena dia tahu bagaimana payahnya seseorang ketika mengandung, seperti ketika dulu Mamanya sedang mengan
“Fatma.” Suara berat seorang pria nyaris membuat jantungnya copot.“Mas.” Suara Fatma tercekat.“Kamu masih cantik seperti dulu.” Rendra tersenyum tipis menatap ke kedua mata Fatma yang sayu karena usia."Rendra?!" Mata Fatma membulat. Nyaris saja dia pingsan karena syok. Untungnya ada Amir yang dengan sigap menangkap tubuh sang Ibu yang oleng."Bu, ada apa?" tanya anak bungsu Fatma.Wanita itu lekas menggeleng. "Ah, Ibu nggak papa." Fatma berbohong dan lekas memperbaiki posisi. Dia harus berusaha keras mengendalikan diri, agar Amir tidak tahu kalau pria yang berdiri di depannya, adalah seseorang yang datang dari masa lalunya.“Benar kah, Bu?” Amir tak percaya. Menatap ke arah Ibunya secara intens lalu pada pria yang memiliki tatapan nakal pada Fatma di depan mereka.“Anda siapa?” tanyanya pada pria yang Amir yakini jadi sebab ibunya bertingkah seperti sekarang.Rendra kemudian tersenyum. “Kenalkan. Saya Rendra. Dokter Rendra. Dokter yang ditunjuk untuk merawat Ibu Rania.”Mata Fatma
“Ada apa?” Deandra memberanikan diri bertanya pada pria tampan yang kini tengah duduk di sampingnya sebagai mempelai pria. Ia tak tahan melihat bagaimana Javier menatap ke arah Azalia dengan cinta, padahal sudah sangat jelas kalau mereka tidak akan pernah bisa bersatu. Dan sekarang, sudah ada yang menggantikan posisi Javier di sisi Azalia serta menjaganya. Juga sudah ada Deandra yang kini bersamanya menggantikan kedudukan Azalia. “Ah, ya?” Javier menoleh, ia terlalu fokus pada hal lain sampai –sampai tak memahami ketika Deandra mengajaknya bicara. “Aku ... baik –baik saja.”“Heh.” Deandra tersenyum miris. “Aku tidak sedang menanyakan keadaan kamu, Jav.” Perempuan yang mengenakan gaun pengantin berwarna putih tulang itu menggumam. Namun, gumaman itu terdengar di telinga Javier meski pun pelan. Javier menarik salah satu sudut bibirnya mendengar itu. Tampaknya Deandra mulai bosan menghadiri pernikahan ini.‘Jadi, apa sebenarnya dia juga terpaksa untuk menikah dan tidak bahagia menikah