___________"Boleh saya masuk?" tanya Sabil kemudian, pada wanita paruh baya yang tampak syok di depannya.Pria itu tersenyum tipis, ia tetap berjalan masuk melewati ibu Fatma.Ini kebetulan yang sangat kebetulan, saat mereka membicarakan Sabil, pria itu tiba-tiba saja muncul seperti iblis yang mendapat bisikan.Tentu saja firasat buruk dalam sekejap menghampiri. Berharap semoga apa yang mereka pikirkan tak terjadi."Halo ada orang?" tanya Sabil yang masuk begitu saja. "Hem, belum ada yang berubah, semua masih sama."Senyumnya semakin lebar kala melihat pasangan suami istri yang duduk berseberangan di meja makan. Dua orang itu sudah menatapnya. Meski tampak tenang, hati Nabil tengah bergemuruh melihat sosok pria yang menghancurkan hidupnya. Seorang saudara yang tega mempermainkan hatinya. Yah, walau Nabil sendiri akhirnya bahwa dialah yang bodoh, terlalu percaya pada abangnya itu."Wah, wah. Adik dan istriku sedang berbahagia."Nabil meletakkan sendok. Darahnya seketika mendidih, kal
"Ini dia!" Sabil berseru senang."Berkas pernikahan yang sudah kuajukan ke pengadilan. Secara hukum, Halimah adalah istri Sabil Muttaqin. Jadi aku akan memperkarakannya Kalian bersiap saja!" Sabil kembali tersenyum."Apa?!" Mata Halimah dan Nabil melebar karena kaget. Dia dan buleknya pikir pria itu akan memberitahu soal aset milik Nabil yang dipindahnamakan."Apa kamu punya otak?!" maki Halimah. "Jangan marah Sayang, setiap hari kamu tinggal bersamaku. Tapi masa iya lebih memilih Nabil?""Heh ya! Kamu punya iman bukan? Bukannya yang mengucap akad nikah adalah Nabil? Akulah yang tak punya otak, kalau mau tinggal setiap hari bersamamu, Sabil!" Halimah bicara meletup-letup sampai Nabil memeluk bahunya."Oh, jadi ... masalahnya adalah ... akad nikah. Baiklah." Sabil manggut-manggut. "Cepat kamu ceraikan dia Nabil!" Tatapannya berubah ke arah pria di samping Halimah. "Lalu setelah genap tiga bulan aku akan melakukan akad yang sebenarnya."Nabil geleng-geleng. Dia baru melihat wajah asl
Setelah membayar dan membawa bungkusan makanan, Rendra akhirnya memutuskan ke luar. Namun, saat ingat sesuatu pria itu pun berbalik dan bertanya sesuatu ke salah satu waiter."Permisi, Mbak.""Ya, Mas?" Waiter yang tengah sibuk membereskan meja itu menoleh pada Rendra."Mbak, itu yang kerja cuci piring pulangnya jam berapa, ya?" "Oh, siapa? Mbak Fatma? Atau Mbak Nisa yang masuk sift berikutnya?""Ehm. Itu, Fatma.""Biasanya sebelum tamu malam datang, mungkin sekitar sejam lagi." Waiter itu menjawab. "Oh, begitu. Oya Mbak tau tempat tinggalnya?""Siapa?" Mata gadis waiter melebar. "Oh, Mbak Fatma?" tebaknya, karena sebelum ini pria tampan itu menanyakan kapan Fatma akan pulang."Di mess pegawai, Mas. Nggak jauh dari sini, sih.""Oh, begitu.""Maaf, saya harus kembali bekerja." Gadis itu pun berpamitan."Oh, ya. Baik. Terimakasih." Rendra pun melangkah menjauh meninggalkannya.Sebelum kembali ke luar, pria itu celingukan mencari sosok Fatma. Namun, tak terlihat karena ada dinding pen
"Apa kamu mau aku temani malam ini?" tanya Rendra tanpa ragu."Hah?" Fatma melebarkan mata. Tak percaya dan bingung sekaligus. Menolak, tapi takut sendirian. Menerimanya tapi takut fitnah. Karena menemani, artinya Rendra akan menginap bersamanya.Ia tak mengerti kenapa harus selalu ada kondisi yang mengharuskannya berduaan dengan Rendra. Belum lagi ... pria itu juga sempat menciumnya."Halo, Nona!" seru Rendra yang membuat Fatma terenyak kaget. "Ah, maaf tapi ... kita bukan mahram." "Hahaha." Rendra tertawa lepas. Sesuatu yang membuat Fatma mengerutkan kening bingung. Kenapa pria itu malah terbahak. Ini bukan hal yang lucu."Ahm. Sorry, sorry." Tawa dokter muda itu mereda."Ya, Dok. Ini sebenernya nggak lucu. Walau pun saya sedang sangat ketakutan, mana mungkin saya mengizinkan Dokter masuk rumah saya? Kita ini bukan mahram.""Ya. Kamu benar sekali. Tapi maksud saya menemani, bukan dengan cara seperti itu. Maksudku aku bisa tidur di mobil." Kedua tangan Rendra menunjuk ke jalan, se
Mata Sabil melebar, tak percaya akan serumit ini. "Jadi ...?" Pertanyaannya menggantung."Pilih satu dari keduanya. Sebagai Nabil tanpa Ibu Halimah sebagai istri Anda, atau sebagai Sabil tanpa harta milik Nabil.""Ap- apa?!!" Sabil terkejut atas pilihan yang diberikan oleh pengacaranya."Ini tak adil! Justru saya menyewa Anda karena ingin mendapatkan keduanya.""Maaf, Pak. Hidup itu tentang pilihan. Dan hanya itu yang bisa saya tawarkan. Kalau Bapak keberatan dan ingin keduanya, mungkin bisa cari pengcara lain yang mampu mengupayakannya." Pria yang masih memakai setelan jas rapi itu menegaskan pada kliennya.Tidak semua hal bisa dilakukan oleh seorang pengacara. Walau bagaimana pengacara yang Sabil sewa kali ini adalah seseorang yang bukan hanya memiliki dedikasi terhadap pekerjaan, tapi juga idealisme yang wajib dipertahankan."Ya, yah! Oke, oke!""Hem. Tapi saya bisa jamin. Tidak ada yang berani melakukan niat kotor Anda. Bahkan menuruti kemauan Anda sebagai Nabil saja sudah membua
Rendra meletakkan kepala di atas setir mobilnya, menatap pintu rumah kecil yang ditempati Fatma. Pria itu tersenyum menatap cahaya terang di sana. Lalu, ingat bagaimana tadi dia menggantikan lampu remang dengan watt kecil itu.Rendra mengetuk pintu yang sudah tertutup itu pelan. Dari dalam rumah, penghuninya tampak tergesa mendekati pintu karena akan membukanya.Saat dibuka, Fatma tampaknya belum siap untuk menerimanya. Terlihat lengan gamisnya masih tergulung. Sesuatu yang membuat Rendra membuang pandangan ke arah lain, lantaran kulit tangannya yang putih membuatnya gagal fokus."Oh. Maaf." Fatma menarik diri, menyembunyikan tubuhnya di balik pintu agar tak terlihat. Sambil merapikan lengan yang sempat digelung karena aktifitasnya tadi saat berwudhu. "Ah, ya." "Apa? Em. Maksud saya apa yang bisa saya bantu, Dok?" Sejak kejadian tadi, Fatma jadi sangat ramah pada pria itu. Dia bahkan telah memaafkannya sebelum dia meminta maaf lebih dulu."Em, tolong matikan lampu teras ini." Rendr
Nabil menautkan jari-jemarinya dengan jari-jari lentik milik Halimah."Kamu tahu kan aku sangat mencintaimu?" "Hem." Halimah menyahut. Sambil memandangi tangan mereka yang berada di atas selimut. "Rasanya bahagia sekali saat Mas di dekatku gini." Halimah mengucapnya.Nabil tersenyum. Dicium pucuk kepala wanita yang ada dalam pelukannya."Bagaimana dulu saat Mas sama ...."Halimah enggan menyebut nama seorang wanita yang dia kenal sebagai wanita yang sangat cantik. Almarhum istri Nabil.Seseorang yang tetap membuatnya cemburu meski Nabil tak pernah menyebut namanya dan bahkan wanita itu tak mungkin muncul di hadapannya."Sama?""Alisa." Nabil mengeratkan pelukannya. Ia tahu apa yang Halimah rasakan sekarang."Kenapa membahas wanita lain saat aku kini tak ada jarak antara kita. Dan kamu tahu, sekarang, besok dan seterusnya aku hanya untukmu." Nabil mengucap sesuatu yang membuat Halimah merasakan cinta. Walau bagaimana, keegoisannya sebagai wanita pastilah ada. Ia ingin menjadi wani
"Kenapa kamu tak rehat aja dulu. Kamu perlu santai, mencari jodoh biar punya suami." Meylani yang tengah menggendong anaknya bicara begitu saja pada sepupunya.Ia merasa kasihan melihat Novi. Sudah kena musibah rumahnya hangus terbakar, sekarang kehilangan Satria pula. Entah, ke mana puteranya itu."Ck. Siapa yang mau denganku?" Novi meraih botol air mineral dan memutar tutupnya. Untuk kemudian menumpahkan ke mulutnya.Untuk sesaat dahaganya telah terobati. Tadi , setelah berpisah dari Rendra, Novi memutuskan pergi saja. Mengunjungi keluarga yang masih peduli. Ia tak bisa mengendalikan pikirannya yang terus terbang dan merindukan Satria kala sendirian dan merasa suntuk di rumah.Berpikir yang tidak-tidak tentang putranya itu. Saat di mana ia merengek tak mau mengerjakan PR, tak mau berangkat sekolah dan ingin tetap bersama bundanya."Kan ada Rendra, dia juga pria kesepian. Dia pria baik dan masih keluarga kita." Meylani menyahut cepat. "Lagian, aku nggak suka loh dia sama cewek yang
Mobil yang dikendarai Javier terus melaju menuju bandara. Walau pun, belum dapat kepastian, apakah mereka bisa bertemu, sebab nomor Dokter Rendra belum aktif dan ia belum mendapatkan balasan tadi, untuk saling memberi tahu di mana lokasi mereka akan bertemu. Seperti yang dipesankan oleh sang Mama bahwa ia tak boleh terlambat. Tak enak rasanya pada pria yang bertanggung jawab dan banyak membantu sang Mama dalam proses penyembuhan. Jika sampai ia membuat pria itu tak nyaman sebab menunggu terlalu lama.Sekitar setengah jam memacu mobil dengan kecepatan lebih dari biasa, akhirnya mobil sport berwarna silver milik Javier memasuki area Bandara. Ia kemudian mencari tempat parkir yang kosong untuk menepikan mobilnya. Begitu mobil itu berhenti dan Javier mematikan mesin, ia pun bergegas ke luar menuju lobi Bandara di mana kebanyakan pengunjung menunggu di sana.Merasa ini sudah lebih dari waktu pesawat landing seperti yang Mamanya –Rania katakan, Javier kemudian mengeluarkan ponselnya sembar
_______________ Akan tetapi, dengan cepat pula Deandra mengingatkan dan meyakinkan kemenangan pada dirinya sendiri.‘Tak apa Dee, ini baru dimulai. Perjuangan masih panjang. Kamu bahkan belum tahu bagai mana aslinya Javier seperti apa? Bagai mana juga perasaannya terhadapmu. Masih banyak waktu untuk belajar. Lagi pula ... bukankah kamu bilang tidak menginginkan hal lebih ... jadi jangan memaksakan waktu untuk mengubah semuanya. Kamu harus ikhlas jika kelak, Javier tak menginginkan hal lebih selain sekadar status pernikahan.’“Oh ya, untuk ke depan, selama aku belum ada pekerjaan baru di kota, mari kita berbagi tugas. Bergantian memasak.” Javier membuat sebuah gagasan untuk meringankan beban Deandra.“Ah, itu tak perlu Jav, aku akan melakukannya. Itu bukan hal yang berat.” Deandra menyahut. “Lagian aku merasa bingung sendiri jika tak ada pekerjaan.” Deandra menyahut. Dia bahkan sudah berhenti bekerja. Kalau di rumah juga dikurangi pekerjaannya, dia akan jadi pengangguran dan tidak tah
Azalia dan Afif telah kembali dari hotel. Sebenarnya jatah menginap mereka ada tiga hari. Akan tetapi, sepasang suami istri itu bersepakat, bahwa mereka ingin pulang lebih dulu dan hanya mneghabiskan waktu bermalam satu hari saja. Pagi hari ke duanya sudah berada di rumah Afif yang dulu sempat Azalia tinggali juga dengan Kania. Pada siang hari tanpa diduga, orang tua Afif datang berkunjung ke rumah mereka, begitu tahu kalau Azalia dan Afif sudah berada di rumah.“Mereka ini apa –apaan? Padahal dapat jatah tinggal tiga hari dan gratis malah disia –siakan. Ckck. Mbak Rania bisa kecewa kalau tahu.” Mama Afif bicara selagi berjalan seiringan dengan sang suami ke luar dari mobil menuju rumah yang anak mereka tinggali.Tidak tahu kenapa, rasanya ia ingin terus mengomel sepanjang hari ini. Ada saja hal yang membuat wanita paruh baya itu merasa kesal.“Kalau begitu jangan sampai Mbak Rania tahu,” jawab suami enteng. Kakinya terus melangkah tanpa beban. “Barang kali, Azalia merasa tidak enak b
“Ehm, saya sebenarnya terkejut saat Afif mengatakan harus bertanggung jawab pada seorang gadis yang dia hamili.” Suara Mama Afif menciptakan ketegangan di antara empat orang yang saling dekat karena anak –anak mereka terikat dalam hubungan pernikahan.Wajah –wajah yang tadi dihiasi senyum kini dalam sekejap berubah masam. Begitu juga Papa Afif yang kemudian menggenggam tangan sang istri, agar mengendalikan diri. Karena tak enak pada tuan rumah yang sudah menerima mereka dengan baik, bahkan menyuguhkan makanan dan minuman. Dari awal hingga akhir, bahkan dalam obrolan, orang tua Azalia tidak sekali pun bersikap memuakkan sebagai wali, membahas dan menuntut kehidupan seorang istri pada suaminya.Ibu Afif menoleh sesaat pada sang suami. Ia paham maksud pria itu. itu juga kenapa Ibu Afif kemudian menatap ke arah pria itu dengan anggukan kecil. Bahwa semua akan baik-baik saja. itu yang dia ingin katakan. Dia tahu apa yang dia lakukan. Dan tak akan membuat suaminya malu.Bukankah dia orang
“Dokter Rendra sudah di Bandara, Dek!” Suara mantan Ibu mertua Azalia menghentikan gerakan tangan mengaduk kopi yang akan disuguhkan untuk suami, Ibu dan Bapak mertua Azalia.Bagaimana tidak? Nama yang disebut wanita paruh baya itu adalah nama lelaki yang dulu sempat merusak masa depan dan impian Ibu Azalia.“O ya, apa aku perlu menjemput, Mbak?!” tanya Bapak Afif yang mendekatkan kepala ke arah ponsel yang dipegang sang istri dengan antusias.Bapak Amir, bahkan tak menatap ke arah sang istri meski nama mantan kekasih istrinya diteriakkan di depan mereka. Yah, Mas pria itu mana tahu hati sang istri dan rasa sakit yang pernah didapat dari pria itu dulu. Dia memang tak pernah ingin peduli dengan itu. Bahkan suaminya itu tidak tahu seperti apa wajah pria bernama Rendra itu.Bapak Amir masih tersenyum. Dia tidak tahu, apakah Rendra, dokternya Rania dan Rendra mantan kekasih Fatma adalah pria yang sama. Meski penasaran, ia memiliih menahan diri untuk bertanya dan mencari tahu. Pikir Dendi,
Ia merasa tidak nyaman melihat istrinya tengah hamil besar. Pasti Azalia merasa berat dengan kehamilannya itu. Karena dia tahu bagaimana payahnya seseorang ketika mengandung, seperti ketika dulu Mamanya sedang mengandung Kania dulu.“Aku tidak sepayah itu.” Azalia membantah pemikiran suami tentangnya.Melihat bagaimana Azalia protes, Afif hanya tersenyum sembari terus melangkah. Namun, belum lagi langkah pria itu mencapai kamar mandi hotel, panggilan lembut dari wanita yang bersamanya di kamar hotel tersebut menghentikan langkah Afif.“Mas Afif.”“Ya?” Afif menoleh dengan raut wajah dipenuhi tanya. “Kamu memerlukan sesuatu?” tanyanya lagi.Azalia tersenyum kecil. Lalu menggeleng pelan. “Makasih, ya, Mas.”Ia tak tahu bagaimana nasibnya pasca tahu bahwa suami sebelumnya adalah kakak kandungnya dan mereka terpaksa bercerai. Mana ada laki –laki baik dan dari keluarga baik –baik mau menerima seorang janda, hamil pula. Afif juga seorang pemuda yang memiliki pendidikan yang baik.Karena per
Di kamar Azalia dan Afif ....“Kita sholat dulu, ya.” Afif mengucap lembut begitu masuk ke dalam kamar.“Nggak bongkar koper dulu?” tanya Azalia lemah. Perempuan ayu itu melepas kerudungnya perlahan. Ia jadi ingat bagaimana dulu melewati malam pertama dengan Javier, mereka tak sempat saling berjauhan seperti pernikahannya dengan Afif sekarang. Sangat berbeda. Karena bahkan, Javier lah yang melepaskan kerudungnya pertama kali dan melihat auratnya.‘Apa karena ini pernikahan ke dua. Jadi begini rasanya. Berbeda dengan pernikahan dengan Mas Javier yang terus dipenuhi debar –debar. Semua rasanya B aja.’“Biar aku saja nanti yang membongkar dan merapikannya.” Afif menyahut selagi langkahnya bergerak ke arah kamar mandi. Ia perlu untuk membersihkan diri, dan kemudian berwudhu. Ia merasa tidak nyaman melihat istrinya tengah hamil besar. Pasti Azalia merasa berat dengan kehamilannya itu. Karena dia tahu bagaimana payahnya seseorang ketika mengandung, seperti ketika dulu Mamanya sedang mengan
“Fatma.” Suara berat seorang pria nyaris membuat jantungnya copot.“Mas.” Suara Fatma tercekat.“Kamu masih cantik seperti dulu.” Rendra tersenyum tipis menatap ke kedua mata Fatma yang sayu karena usia."Rendra?!" Mata Fatma membulat. Nyaris saja dia pingsan karena syok. Untungnya ada Amir yang dengan sigap menangkap tubuh sang Ibu yang oleng."Bu, ada apa?" tanya anak bungsu Fatma.Wanita itu lekas menggeleng. "Ah, Ibu nggak papa." Fatma berbohong dan lekas memperbaiki posisi. Dia harus berusaha keras mengendalikan diri, agar Amir tidak tahu kalau pria yang berdiri di depannya, adalah seseorang yang datang dari masa lalunya.“Benar kah, Bu?” Amir tak percaya. Menatap ke arah Ibunya secara intens lalu pada pria yang memiliki tatapan nakal pada Fatma di depan mereka.“Anda siapa?” tanyanya pada pria yang Amir yakini jadi sebab ibunya bertingkah seperti sekarang.Rendra kemudian tersenyum. “Kenalkan. Saya Rendra. Dokter Rendra. Dokter yang ditunjuk untuk merawat Ibu Rania.”Mata Fatma
“Ada apa?” Deandra memberanikan diri bertanya pada pria tampan yang kini tengah duduk di sampingnya sebagai mempelai pria. Ia tak tahan melihat bagaimana Javier menatap ke arah Azalia dengan cinta, padahal sudah sangat jelas kalau mereka tidak akan pernah bisa bersatu. Dan sekarang, sudah ada yang menggantikan posisi Javier di sisi Azalia serta menjaganya. Juga sudah ada Deandra yang kini bersamanya menggantikan kedudukan Azalia. “Ah, ya?” Javier menoleh, ia terlalu fokus pada hal lain sampai –sampai tak memahami ketika Deandra mengajaknya bicara. “Aku ... baik –baik saja.”“Heh.” Deandra tersenyum miris. “Aku tidak sedang menanyakan keadaan kamu, Jav.” Perempuan yang mengenakan gaun pengantin berwarna putih tulang itu menggumam. Namun, gumaman itu terdengar di telinga Javier meski pun pelan. Javier menarik salah satu sudut bibirnya mendengar itu. Tampaknya Deandra mulai bosan menghadiri pernikahan ini.‘Jadi, apa sebenarnya dia juga terpaksa untuk menikah dan tidak bahagia menikah