Akhirnya Heera dapat menghembuskan napas lega setelah tungkainya berhasil berjalan keluar dari gedung resepsi tempat mereka kondangan. Hampir satu jam Heera berada di dalam dan selama itu juga Heera merasa seperti sedang berada di dunia lain. Bagaimana tidak, semenjak turun dari mobil tangan Sean terus melingkar mesra di pinggangnya, belum lagi Sean tanpa sungkan memperkenalkan Heera ke temannya sebagai calon istri. Kalau tidak ingat tempat, mungkin Heera sudah pingsan sejak tadi.
Benar-benar menggetarkan jiwa raga kelakuan Sean hari ini.
"Hati-hati kepala kamu," ujar Sean sambil melindungi kepala Heera menggunakan tangannya saat gadisnya itu masuk ke dalam mobil.
Heera yang sudah duduk manis di jok samping pengemudi terdiam memandang Sean yang masih berdiri di samping pintu mobil. Dan secara tiba-tiba pria itu mendekatkan wajahnya membuat Heera menahan napas dan spontan menutup kedua matanya. Ia pikir Sean akan melakukan
"Gimana mas mau buka lebaran baru kalau belum berdamai sama masa lalu?" Ucapan Heera di mobil masih berputar di kepala Sean. Entah kenapa Heera bisa tau hubungan masa lalu antara Anjani dan dirinya, tapi Sean sudah tebak pasti mamahnya yang memberitahu kepada Heera. Saat di mobil menuju jalan pulang, Heera tidak membicarakan banyak tentang Anjani, ia hanya mengingatkan Sean untuk iklas dan berdamai sama masa lalunya. Sebenarnya, Anjani tidak salah. Sean akui, memang dirinya yang terlalu egois. Tidak bisa menerima penolakan. Tapi sekarang, sepertinya memang sudah saatnya Sean berubah sikap. Ia bukan anak abege yang musuhan setelah di putusin pacar. Ia sudah dewasa, sudah punya anak pula. Malu jika bersikap demikian. Apa lagi sampai Heera ikut memberi wejangan, duh, gimana kalau Heera berpikir Sean adalah pria yang kekanakan? Malu! Sean menggaruk kepalanya, tangannya meraih ponsel secara kasar kemudian membukanya. Jarinya berselancar diatas layar ponsel
Sudah berjalan satu minggu kegencaran Sean melaksanakan misinya untuk mendekatkan diri kepada Heera. Segala cara Sean lakukan untuk menarik perhatian serta melelehkan hati gadis manis itu. Sean belum menemukan kesulitan, semua lancar dan selalu berjalan sesuai rencananya. Belum ada kerikil yang datang untuk menghalangi jalannya, meski pernah sekali Sean memergoki Heera yang sedang membalas pesan dari Arta. Itu bukan masalah yang besar, Sean tidak ingin masalah sekecil itu memengaruhi dirinya."Mas, ada undangan rapat wali murid dari sekolah Keenan."Sean yang baru saja menyelesaikan sarapannya langsung di hadiahi amplop berwarna coklat. Tanpa ragu Sean mengambil dan membacanya."Rapatnya hari senin, Ra. Kamu bisa temani saya?" tanya Sean usai membaca undangan rapat yang akan terlaksana dua hari lagi.Heera menggaruk kepalanya, "Lusa aku ada jadwal bimbingan skripsi, mas." jawab Heera ragu, tidak enak untuk
"Kenapa tante Heera lama sekali?" Kedua bahu Keenan melemas. Merasa lelah menunggu Heera yang katanya akan datang untuk menghadiri rapat di sekolahnya."Ken, begini..." Sean yang semula fokus ke ponselnya kini mengubah posisi duduknya mengarah penuh kearah Keenan."Bagaimana kalau mulai hari ini kamu memanggil tante Heera bunda atau mommy?" ujar Sean sembari memainkan alisnya, kedua bola matanya menatap wajah lugu Keenan dengan sorot penuh harap.Keenan mengedipkan matanya beberapa saat, lalu memiringkan wajahnya kebingungan. "Bunda Heera?" ulangnya dengan wajah datar.Praktis Sean cepat semangat. Keenan menerbitkan tersenyum lebar, kemudian ia bangkit dari duduknya."Bunda Heera!" teriak Keenan lalu berlari menghampiri
Lagi-lagi Heera harus mengelus dada saat telinganya terus di hantui dengan suara Keenan yang memanggilnya dengan sebutan tak biasa. Tak ada angin dan tak ada hujan, Keenan memanggilnya dengan sebutan bunda. Mau protes, tapi Heera takut melukai hati anak kecil itu. Tapi kalau di diamkan, rasanya tak nyaman juga di dengar. Aneh saja, walaupun sudah kepala dua, tapi pikirannya untuk menikah masih jauh, apa lagi untuk punya anak. "Kenapa diam aja, Ra?" Sean buka suara. Mereka sedang di jalan menuju pulang, dan Keenan sudah terlelap di kursi belakang. Mendengar suara Sean yang menegurnya, Heera jadi tersadar, "Mas, Keenan kenapa tiba-tiba manggil aku bunda, ya?" tanya Heera sambil menatap Sean yang fokus menyetir di sebelahnya. Ya, untuk pertama kalinya Keenan mengizinkan Heera duduk di sebelah ayahnya. Biasanya Keenan tidak ingin duduk di belakang sendiri, tapi karena sogokan sang Ayah akhirnya ia merelakan Heera duduk di depan. "Mungkin dia sudah tidak sabar, Ra
Sean merenggang lingkar dasinya yang terasa mencekat. Giginya menggeletuk, menahan kesal melihat kejadian di depan rumahnya. Ia berdecih, jengkel hati mengingat senyum Heera yang langsung mengembang ketika melihat kehadiran Arta di depan kosan."Memangnya tadi bunda habis dari mana sama Om Arta? Kok dompet bunda bisa ada di Om Arta."Sean membuka gendang telinganya lebar saat samar-samar mendengar ucapan Keenan. Sepertinya urusan Arta dan Heera sudah selesai, lebih cepat dari perkiraan Sean."Ken..." panggil Heera dengan nada segan, gadis itu menatap Keenan tak enak, seperti ingin mengatakan sesuatu tapi di tahan."Bisa kamu panggil tante aja kalau di depan Om Arta?" lanjut Heera membuat raut wajah Keenan menurun. Sementara Sean mengepalkan tangannya usai mendengar hal itu."Kenapa? tante Heera malu ya jadi bundaku?" tanyanya tersirat kesedihan. Heera langsung panik, ia tidak bermaksud demikian, hanya saja, ia tidak in
"Aku mau ikut bunda pulang." Seperti biasanya, selesai makan malam dan mencuci piring Heera akan lekas pulang ke kosan, tapi hari ini langkahnya tertahan sebab Keenan merengek minta ikut pulang bersamanya. "Udah malam, Ken. Nanti Ayah kamu marah." ujar Heera menolaknya secara halus. Sebenarnya Heera tidak keberatakan jika Keenan ikut ke kosan, tapi ini waktunya Keenan belajar dan mengerjakan tugas sekolah, Sean bisa marah jika anaknya di bawa begitu saja. "Tidak, bunda. Ayah tidak akan marah." Keenan tetap keras kepala, tangannya memegang erat kaos Heera pada bagian pinggang. Heera menghembuskan napas berat, dia jadi pusing sendiri. "Tumben kamu belum pulang, Ra" suara Sean menggema, pria itu datang bersama ponsel di tangannya, menatap Heera dan Keenan secara bergantian dengan wajah kebingungan. "Kenapa kamu masih di sini, Ken? tidak belajar?'" imbuh Sean bertanya kepada Keenan. "Aku mau ikut bunda pulang, Yah." cicit Keenan memi
"Eh, pak Sean." Celita tersenyum centik saat melihat Sean yang berdiri di depan pintu utama kosan. Wanita itu menyematkan rambutnya ke belakang telinga lalu tersenyum lebar. "Ada apa, pak? tumben ke sini." tanya basa-basi. "Bisa tolong kamu panggilkan Heera?" ujar Sean to the point lengkap dengan wajah datarnya, terlihat jelas kalau dia tidak menghiraukan Celita yang sedang tebar pesona. "Bisa, dong, pak! sebentar, ya." kata Celita kemudian berjalan menuju kamar Heera. Kelakuannya itu tak luput dari mata dan telinga Jessi, Anin dan Windy yang masih duduk berjejer di sofa ruang tengah. "Gue Tim Sehe, Sean-Heera.' celetuk Jessi sambil menatap datar Sean yang menunggu di depan pintu. "Me too! gila kali kalau gue tim Sece, Sean-Celita." timpal Anin yang juga sedang menatap sosok tampan yang berdiri beberapa meter darinya. "Sean pakai kaos oblong aja ganteng banget ya, beda sama pakde." celetuk Windy menyamakan Sean dengan suami dari pemilik kost y
Hari ini Heera sengaja bangun lebih pagi, selain untuk menghindari teman-temannya, Heera juga sudah ada janji bimbingan skripsi dengan sang dosen pagi ini, jadi ia ingin buru-buru menyelesaikan kerjaannya dirumah Sean. Dengan langkah mengendap-endap Heera keluar dari kamarnya, ia menghela napas lega saat melihat ruang tengah kosong, pintu kamar penghuni lain masih tertutup rapat, itu artinya mereka masih tertidur pulas. "Lho, Ra, tumben pagi banget." Heera langsung terlonjak kaget, ia hampir saja jantungan saat mendengar sapaan dari ibu kost yang sedang memasak di dapur. "He he, iya bu." sambil menggaruk tengkuknya Heera menjawab. Gadis itu berjalan menghampiri ibu kost bernama Riska yang sibuk bergelut dengan peralatan masak. "Mau aku bantuin, bu?" Heera mengambil pisau dan membantu Riska memotong wortel. "Eh, jangan, Ra. Sudah sana kamu pergi, nanti Keenan kesiangan, lho..." Riska mengambil alih pisau di tangan Heera, ia mendorong He
Sean menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya beserta sang istri. Dengan tak sabaran pria itu menanggalkan daster Heera yang kenakan. Melihat gunung kembar Heera yang menganggur didepan mata, segera ia gunakan mulut serta tangannya untuk bekerja. Tidak perlu di jelasin apa yang Sean lakukan saat ini, karena ya, memang yang sedang pria itu lakukan sesuai dengan isi kepala kalian sekarang. Heera melenguh di antara tidurnya. Tentu wanita hamil itu tertegun saat membuka mata dan mendapati Sean sedang bersarang di tempat favorit suaminya. Memasuki bulan kelahiran, Sean dan Heera sepakat untuk puasa alias tidak melakukan hubungan badan. Tapi tetap saja, soal menyusu sudah menjadi aktivitas rutin Sean setiap malam. Terkadang Heera juga memuaskan suaminya itu dengan segala cara yang bisa ia lakukan. Tangan Sean bekerja dengan baik saat ini, memijat dan memainkan payudara sintal sang istri yang makin membesar karena efek kehamilan. Gairah Sean tak terelakkan begitu mendengar desahan H
Beberapa Tahun Kemudian... "Pegang tangan abang, Kel." perintah Keenan sambil tersenyum lembut, ia lantas menggenggam erat tangan mungil sang adik kesayangannya dengan sigap setelah mereka keluar dari mobil. Saat ini kakak beradik itu tengah berjalan menuju sebuah taman kanak-kanak tempat Keela bersekolah. Ya, Shakeela Isyana Rangadi, putri kedua Sean dan Heera. "Ayah, ayo cepetan." ujar Keela dengan suara menggemaskan. Ia tidak sabaran ingin bertemu teman-temannya, sementara Sean sedang mengeluarkan tas dan totebag berisi kotak bekal yang Heera buatkan untuk Keela. "Sabar dong, Sayang. Ayo, pegang tangan ayah." Sean menyampirkan tas berwarna pink milik Keela ke pundaknya, lalu tangan kanannya yang bebas ia gunakan untuk menggandeng tangan mungil Keela. Sambil dituntun dua bodyguard yang selalu menjaganya Keela berjalan memasuki halaman sekolahnya, seorang guru menyapanya dengan senyum manis seperti biasa. "Pagi, Keela." "Pagi, Bu Vira." jawab Keela setelah menyalimi tangan sang
"Kamu di mana, Ra?" Heera merapatkan bibirnya, mendengar suara rendah Sean, sepertinya pria itu sudah menunggunya pulang di rumah."Aku masih di mall, mas.""Masih sama Jessi?" Beberapa detik Heer terdiam, pandangannya menoleh ke arah Jessi dan dua pria yang baru saja dikenalnya. Yang satu teman kencan Jessi, yang satu lagi adalah teman dari teman kencannya Jessi. "I-iya, masih dong." Heera tak berbohong, ia memang masih bersama Jessi, hanya saja istri Sean itu tidak berterus terang kalau ada dua pria yang bersamanya sekarang. "Pulang. Keenan nyariin kamu. Mas tunggu." ucapan Sean yang menekan disetiap kalimat dan langsung mematikan sambungannya begitu saja membuat Heera membatu di tempat. Heera takut, kenapa Sean bersikap demikian? Apa ia mengetahuinya? Kepala Heera spontan menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari radar Sean, tapi tidak menemukan. "Siapa?" Rakha, pria yang duduk dihadapan Heera bertanya saat melihat kepanikan yang melanda wajah Heera. "Suami aku. Aku udah disuruh
"Mas, aku boleh keluar gak sama Jessi?" Heera bertanya, menatap dengan pandangan sedikit ragu kearah Sean yang baru saja mendudukan diri di atas sofa. Ini sudah sore, dan Sean baru bangun dari tidurnya. Pria itu langsung istirahat setelah menyetir perjalanan panjang dari rumah mertuanya. "Mau kemana, Sayang?" tanya Sean sambil mengusak rambutnya yang sedikit aut-autan. Melihat itu, tangan Heera jadi gatal dan ikut merapikan rambut sang suami. "Mau jalan aja, udah lama juga aku gak jalan sama Jessi." jawab Heera. Sean manggut-manggut. Semenjak menikah, Heera memang jarang keluar bersama temannya, selain karena kadang Sean larang, tapi Heera juga memikirkan Keenan. Siapa yang akan menjaga anak itu jika ia pergi? Meski beberapa kali Heera mengajak Keenan saat ngumpul bersama temannya. Itu pun kalau Sean izinkan."Ngajak Keenan?" tanya Sean. Heera terdiam sesaat, sebelum menggeleng perlahan. "Kasihan Keenan habis pergi jauh, lagian kan ada Mas di rumah." Alasan Heera menerima tawaran J
"Gimana ngurus suami sama anak kamu, gak ada kesulitan, kan?" Heera yang sedang menyiram tanaman di halaman lantas menoleh ke arah Prima yang lagi duduk di kursi teras. Sebelum menjawab, Heera tertawa kecil lebih dulu. "Gak ada kok, Bu. Mas Sean sama Keenan gampang diurusnya." jawab Heera dengan nada guyon. "Coba kamu duduk sini dulu bentar, Ra." perintah Prima, meminta Heera untuk duduk di kursi kosong di sebelahnya. Saat ini di rumah hanya ada mereka berdua karena Keenan, Sean dan Rahel sedang bersepeda. Kebetulan sekarang sudah sore, cuacanya cocok untuk bermain di luar rumah. Tanpa membantah, Heera mematikan keran air lebih dulu kemudian duduk di sebelah sang Ibu. Raut wajah Heera tampak serius mengikuti mimik milik Prima. "Ada apa, Bu?" tanya Heera penasaran. Tidak biasanya sang Ibu tampak hendak membicarakan hal serius begini. "Tadi Sean minta di do'akan supaya kamu cepat isi. Memangnya kamu sudah siap memberikan Sean
"Masih sakit perutnya, Sayang?"Heera yang sedang memainkan ponselnya di atas ranjang spontan menoleh dan mendapati Sean yang baru saja memasuki kamar. "Udah gak sesakit tadi," jawab Heera seraya meletakan ponselnya. Atensinya kini terfokus penuh pada Sean yang baru saja merebahkan badannya disamping sang istri. Tangan Sean bergerak, menyelinap masuk ke dalam piyama Heera lalu mengusap-usap hangat perut istrinya itu. "Syukurlah," katanya. "Mas mau nanya boleh?" sambung Sean membuat Heera mengernyitkan keningnya. "Nanya apa, Mas?" "Kamu pernah ketemu Ayah kamu di sekolah Keenan?" to the point. Sean tidak ingin ada rahasia diantara ia dan Heera. Meski Sean tahu Heera sedang berusaha menutupi hal ini darinya.Heera diam sesaat, seakan tertangkap basah rahasianya. Tapi dengan ragu cewek itu mengangguk, lengkap dengan wajah penuh sesalnya. "Iya. Tapi Ayah seperti gak kenal aku." lirih Heera tersirat kesedihan. Ia masih ingat bagaimana sikap Juni ketika bertemu dengannya dan Keenan beb
"Kita gak pernah bertemu, tapi kamu mengenali saya." Sean tersenyum tipis. Saat ini ia sedang berbicara empat mata dengan Juni di salah satu kafe yang jaraknya tidak jauh dari sekolah Keenan. Sebenarnya, Sean sudah menolak ajakan Juni karena ia khawatir meninggalkan Heera sendirian di rumah, tapi Juni memohon dan meminta waktu Sean. Karena sungkan, Sean tidak ada pilihan lain. "Tidak mungkin saya tidak mengenal mertua saya sendiri," jawab Sean. Ia memang tidak pernah bertemu langsung dengan Juni, tapi bukan Sean namanya kalau tidak bisa mendapatkan informasi orang-orang yang berhubungan dengan Heera. Kalau sekedar mencari identifikasi Juni saja dalam satu menit pun bisa Sean dapatkan."Satu minggu lalu saya bertemu Heera saat sedang mengambil rapot untuk Keenan." ujar Juni membuat Sean tak bergeming. Heera tidak mengatakan apapun tentang hal itu. "Jadi, Keenan anak kalian?" imbuh Juni dengan kerut yang tercetak di keningnya. "Tapi, setahu saya
"Sayang, you okay?" Sean bertanya khawatir kepada Heera yang meringkuk bak janin di sampingnya. Disentuhnya pundak telanjang Heera yang berkeringat dingin, sepasang mata Sean yang sayup-sayup terbuka seketika langsung sepenuhnya terjaga melihat wajah sang istri yang pucat dan banjir keringat. Tangan Heera mencengkram lemas lengan Sean, sementara satu tangannya memegangi perutnya. "Aku mens," lirih Heera tampak kesakitan. Punggung tangan Sean jatuh di kening Heera, mengusap keringat istrinya sebelum menyibak selimut dan melihat banyak darah menodai seprai. "Maaf..." lirih Heera lagi penuh sesal. Heera mencoba menegakan tubuhnya, tapi tidak bisa karena nyeri yang menjalar di perutnya luar biasa mencengkram. Sean menggeleng, mengecup telapak tangan Heera sesaat sebelum menggotong badan mungil Heera dan memindahkannya ke sofa panjang di sudut ruangan. Langkah cepat Sean berjalan menuju lemari pakaian, mengambil celana milik Heera berserta dalaman, tak lup
"Cantik ya istrinya Sean," Heera tersenyum malu, lantas menunduk sopan kepada Mira -Teman Lucia- yang baru saja memujinya. "Kalau kata Keenan, Ayahnya cuma suka sama cewek cantik. Cantik hati dan parasnya, seperti Heera." timpal Lucia menambahi, semakin membuat Heera menunduk dalam."Sudah isi belum?" tanya Mira tiba-tiba. Lucia menatap Heera dengan wajah tak enak hati. Ia tahu pertanyaan Mira mungkin mengganggu anak menantunya itu. "Belum. Masih mau fokus mengurus Keenan dulu, Tan." jawab Heera tersenyum kalem. Mira manggut-manggut, "Anak saya dulu belum sebulan nikah sudah hamil. Sekarang anaknya udah tiga, jaraknya cuma beda satu tahun." curhat Mira. "Memang sih kalau anaknya banyak istrinya jadi lebih repot, tapi keluarga mereka tambah seru lho karena banyak anggotanya." imbuhnya diakhiri tawa renyah.Tangan Lucia terulur dan jatuh dipunggung sempit Heera, mengusap lembut di sana. "Maklum bu, Heera masih muda. M