"Nyalain lilinnya!" Jessi menepuk pundak Anin yang baru saja berteriak menyuruhnya untuk menyalakan lilin.
"Pelan-pelan ngomongnya, nanti Heera dengar!" bisik Jessi galak. Gadis itu mendekat ke Lucia kemudian menyalakan lilin yang menancap di atas kue tar berwarna coklat dengan tulisan 'Happy birthday Heera!' diatasnya.
"Nek, boleh aku yang pegang kuenya." Keenan yang baru saja datang lima menit lalu sangat antusias ingin ikut merayakan ulang tahun Heera.
Ya, semua hanya rekayasa. Sebenarnya, Jessi, Sean dan semua yang ada di kosan sedang mengerjai Heera yang hari ini sedang bertambah umur.
"Boleh dong, sayang. Tapi, hati-hati." Dengan hati-hati Lucia mengoper kue di tangannya ke tangan mungil Keenan. Dengan langkah pelan mereka mulai mendekati kamar Heera.
Jessi memegang knop pintu kamar Heera, menghitung sampai tiga tanpa suara kemudian membukanya. Dan dengan kompak mereka menyanyikan lagu ulang tahun.
"
"Secepatnya mas akan membawa keluarga mas bertemu ibu dan adik kamu."Keseriusan Sean pada hubungannya dengan Heera tidak perlu di ragukan lagi. Dua jam setelah mengikat Heera menjadi calon pengantinnya, pria itu langsung bersedia membawa keluarganya untuk menemui keluarga Heera.Tapi, kesiapan Heera belum sepenuhnya matang. Masih ada yang cewek itu ragukan. Sebagai anak pertama dan tulang punggung keluarga, tentu saja Heera sedikit keberatan jika harus menjadi seorang istri dalam waktu dekat ini.Heera takut, setelah ia menikah nanti, ia tidak bisa lagi memberikan nafkah kepada ibu dan adiknya. Heera takut Sean akan melarangnya untuk bekerja dan hanya boleh mengabdi sebagai seorang ibu rumah tangga saja.Masih banyak keinginan Heera yang belum tercapai. Jujur saja, Heera bahkan belum berhasil mensejahterakan keluarganya dengan hasil keringatnya sendiri."Apa gak terlalu kecepatan, mas? Ak
Sean: Sayang, kalau kamu lagi senggang bisa tidak buatkan aku bekal makan siang?Alasan mengapa saat ini Heera sibuk berkutat di dapur milik Sean adalah karena pesan pria itu yang masuk ke ponselnya tiga puluh menit lalu. Sudah pasti Heera tidak bisa mengabaikan permintaan Sean. Hei, dia seorang pengangguran sekarang, waktunya selalu senggang tanpa kegiatan.Ya, dari pada hanya rebahan di kosan. Lebih baik Heera membuatkan Sean makan siang, setidaknya ia melakukan hal yang lebih berguna. Dan sudah pasti akan menyenangkan Sean karena kalau Sean senang, Heera juga ikut senang."Masak, Ra?"Heera tertegun lalu menoleh. Gadis itu praktis tersenyum kecil ketika mendapati Hardin yang berjalan menghampirinya.Ini sudah hari ketiga Hardin menginap di rumah Sean. Bertemu Heera setiap hari membuat mereka dekat tanpa memakan waktu yang lama. Apa lagi jarak umur mereka terpaut tidak begitu jauh.
"Mas, aah..." Heera mendesah merdu, merasakan sesuatu yang ingin membuncah dalam dirinya ketika jemari Sean bermain di dalam gaun selutut yang Heera kenakan malam ini.Sean melempar senyum puas, melihat wajah kemerahan Heera yang menikmati setiap sentuhan jemari besarnya di area sensitif gadis itu.Dengan posisi setengah duduk dan setengah berbaring, Heera melebarkan pahanya. Sementara satu tangan Sehun menahan paha Heera untuk tetap terbuka agar tangan satunya lebih leluasa memberi kenikmatan pada gadisnya.Erangan Heera kembali lolos, lebih panjang dari sebelumnya. Bibir Heera yang setengah terbuka tak kuasa mengundang bibir Sean untuk menyambarnya, memanggutnya singkat sebelum merambat ke leher jenjang Heera yang sedikit berkeringat, menambah kesan seksi gadis itu.Napas Heera tersenggal, namun Sean masih berusaha untuk membuat gadis manis itu mencapai puncaknya.
Ternyata beneran nonton film, kok. Iya, tapi yang nonton cuma Heera doang karena Sean lagi sibuk sama laptopnya di sofa sana. "Ck!" Sean berdecak, merasa jengkel kepada bawahannya yang tiba-tiba mengirim laporan dan harus segera ia cek. Padahal di ranjang sana ada Heera yang rebahan manja sambil fokus ke layar TV LED berukuran 65inch di depannya. "Semangat ya, mas!" kata Heera mengandung ejekan. Tubuhnya ia miringkan ke kanan, menunjukan lekuk pinggulnya yang menggoda iman Sean. Sebenarnya Sean beneran memancing gadis itu untuk berbuat yang iya-iya. Tadi pas Heera masuk ke dalam kamar, tiba-tiba saja Sean menyambar bibirnya hingga badan Heera dihimpit di antara dinding dan badan besar Sean. Untung ponsel Sean segera berbunyi, pria itu mendapatkan panggilan dari bawahannya dan berakhir sibuk di depan laptop. Dengan berat hati harus memusnahkan nafsusaurus nya yang menggebu. Sean menyeringai, menatap Hee
Gara-gara ketiduran di rumah Sean semalam, habis Heera di ejek Jessi. Bukan cuma Jessi, tapi teman dari kamar lain juga, tapi sudah pasti mereka tahu dari Jessi, sih lambe kosan. "Siap-siap deh lo dikit lagi di nikahin, gak aman pasti kalau mainnya sampe nginep-nginep segala." Jessi masih belum berhenti menyuarakan ejekannya. Gadis itu berdiri di depan pintu kamar Heera, mengemili chiki sambil memandang Heera yang duduk frustasi di bawah lantai. "Udah gak usah takut, Ra, masa depan lo terjamin sejahtera kalau nikahnya sama pak Sean." Anin menimpali, ikut menontoni Heera dari depan pintu. Heera mendengus kesal, memincing tajam ke arah dua gadis menyebalkan itu. "Gue panik bukan masalah nginep. Gue seriusan tidur sendirian di kamar mas Sean. Yang bikin gue panik soalnya darah haid gue tembus di seprei! Gue malu, anjir!" Heera menjambak rambutnya sendiri, melampiaskan kekesalannya. Tadi
Acara lamaran berjalan dengan lancar. Meski mendadak, namun Sean dapat menghandle semuanya hingga persiapan pun sudah matang sebelum acara di mulai. Tidak banyak yang datang, hanya keluarga besar Sean dan beberapa teman dekat Heera, siapa lagi kalau bukan Jessi yang memaksa ingin ikut. "Ra, senyum dong!" perintah Jessi yang sedang memegang kamera dan membidik kearah Heera yang sedang di pakaikan cincin lamaran oleh Sean. Sesuai perintah Jessi, Heera melukiskan senyumnya. Cekrek. Flash kamera menembak tepat ketika Sean dan Heera saling memandang sambil melempar senyum. Gurat kebahagiaan terlukis nyata di kedua wajah manusia yang tengah berbahagia itu. Tubuh ramping Heera di balut dress cantik berwarna putih gading pilihan Lucia, wajahnya yang senantiasa natural kini dipoles make-up tipis-tipis, menambah keelokan wajah gadis manis itu. Sementara rambutnya yang sebatas punggung dibiarkan terurai. Jangan tanya bagaimana penampilan Sean, pria itu selalu terlihat gagah dan berwibawa. Ramb
"Lo udah bikin temen kita pergi, Ra."Setelah kepergian Arta dan mamanya ke Amerika kemarin. Hari ini Heera memutuskan untuk mengumpulkan teman-temannya di sebuah kafe tempat mereka janjian.Setelah semua temannya berkumpul, barulah Heera menjelaskan. Bukan membela diri, namun gadis itu murni menjelaskan apa yang terjadi."Jelasin sama kita apa yang terjadi antara lo dengan Arta." ucap Gibran, cowok yang selalu berlaku adil dan tidak hanya berpihak pada satu pihak saja."Apa bener Arta pergi karena lo?" Vino bertanya. Dari cerita Adelio, yang ia tangkap kebenarannya seperti itu."Arta pergi tepat di hari lamaran lo sama abang sepupunya Adelio." sambung Vino. Hari kepergian Arta dan hari lamaran Heera dengan pria lain yang berbarengan semakin memperkuat asumsi mereka.Heera menggeleng pelan, ia menoleh ke arah Adelio yang menatapnya penuh benci."Kepergian
Heera menghela napas, melempar ponselnya ke samping bantal. Beberapa menit lalu Sean meneleponnya, pria itu memberi kabar kalau ia tidak bisa fitting baju pengantin sore ini sesuai dengan planing yang sudah dibuat. Karena Heera juga tidak mau fitting baju sendirian, akhirnya mereka sepakat untuk pergi ke butik besok saja."Ra, di halaman rumah mas Sean ada mobil Camry. Lo tahu gak itu mobilnya siapa?"Heera menolehkan pandangannya ke arah pintu kamar, mendapati Jessi yang kepalanya timbul di sana. Heera menghembuskan napas, menggulingkan badannya ke pojok kasur, memunggungi Jessi."Paling mobil temennya Hardin." balas Heera tak menaruh rasa curiga.Jessi melipat tangannya di depan dada, bahunya ia senderkan ke sisi pintu. "Lo bukannya mau fitting baju pengantin habis ashar?""Gak jadi," balas Heera singkat.Kening Jessi mengernyit, ia berjalan mendekati Heera lalu me
Sean menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya beserta sang istri. Dengan tak sabaran pria itu menanggalkan daster Heera yang kenakan. Melihat gunung kembar Heera yang menganggur didepan mata, segera ia gunakan mulut serta tangannya untuk bekerja. Tidak perlu di jelasin apa yang Sean lakukan saat ini, karena ya, memang yang sedang pria itu lakukan sesuai dengan isi kepala kalian sekarang. Heera melenguh di antara tidurnya. Tentu wanita hamil itu tertegun saat membuka mata dan mendapati Sean sedang bersarang di tempat favorit suaminya. Memasuki bulan kelahiran, Sean dan Heera sepakat untuk puasa alias tidak melakukan hubungan badan. Tapi tetap saja, soal menyusu sudah menjadi aktivitas rutin Sean setiap malam. Terkadang Heera juga memuaskan suaminya itu dengan segala cara yang bisa ia lakukan. Tangan Sean bekerja dengan baik saat ini, memijat dan memainkan payudara sintal sang istri yang makin membesar karena efek kehamilan. Gairah Sean tak terelakkan begitu mendengar desahan H
Beberapa Tahun Kemudian... "Pegang tangan abang, Kel." perintah Keenan sambil tersenyum lembut, ia lantas menggenggam erat tangan mungil sang adik kesayangannya dengan sigap setelah mereka keluar dari mobil. Saat ini kakak beradik itu tengah berjalan menuju sebuah taman kanak-kanak tempat Keela bersekolah. Ya, Shakeela Isyana Rangadi, putri kedua Sean dan Heera. "Ayah, ayo cepetan." ujar Keela dengan suara menggemaskan. Ia tidak sabaran ingin bertemu teman-temannya, sementara Sean sedang mengeluarkan tas dan totebag berisi kotak bekal yang Heera buatkan untuk Keela. "Sabar dong, Sayang. Ayo, pegang tangan ayah." Sean menyampirkan tas berwarna pink milik Keela ke pundaknya, lalu tangan kanannya yang bebas ia gunakan untuk menggandeng tangan mungil Keela. Sambil dituntun dua bodyguard yang selalu menjaganya Keela berjalan memasuki halaman sekolahnya, seorang guru menyapanya dengan senyum manis seperti biasa. "Pagi, Keela." "Pagi, Bu Vira." jawab Keela setelah menyalimi tangan sang
"Kamu di mana, Ra?" Heera merapatkan bibirnya, mendengar suara rendah Sean, sepertinya pria itu sudah menunggunya pulang di rumah."Aku masih di mall, mas.""Masih sama Jessi?" Beberapa detik Heer terdiam, pandangannya menoleh ke arah Jessi dan dua pria yang baru saja dikenalnya. Yang satu teman kencan Jessi, yang satu lagi adalah teman dari teman kencannya Jessi. "I-iya, masih dong." Heera tak berbohong, ia memang masih bersama Jessi, hanya saja istri Sean itu tidak berterus terang kalau ada dua pria yang bersamanya sekarang. "Pulang. Keenan nyariin kamu. Mas tunggu." ucapan Sean yang menekan disetiap kalimat dan langsung mematikan sambungannya begitu saja membuat Heera membatu di tempat. Heera takut, kenapa Sean bersikap demikian? Apa ia mengetahuinya? Kepala Heera spontan menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari radar Sean, tapi tidak menemukan. "Siapa?" Rakha, pria yang duduk dihadapan Heera bertanya saat melihat kepanikan yang melanda wajah Heera. "Suami aku. Aku udah disuruh
"Mas, aku boleh keluar gak sama Jessi?" Heera bertanya, menatap dengan pandangan sedikit ragu kearah Sean yang baru saja mendudukan diri di atas sofa. Ini sudah sore, dan Sean baru bangun dari tidurnya. Pria itu langsung istirahat setelah menyetir perjalanan panjang dari rumah mertuanya. "Mau kemana, Sayang?" tanya Sean sambil mengusak rambutnya yang sedikit aut-autan. Melihat itu, tangan Heera jadi gatal dan ikut merapikan rambut sang suami. "Mau jalan aja, udah lama juga aku gak jalan sama Jessi." jawab Heera. Sean manggut-manggut. Semenjak menikah, Heera memang jarang keluar bersama temannya, selain karena kadang Sean larang, tapi Heera juga memikirkan Keenan. Siapa yang akan menjaga anak itu jika ia pergi? Meski beberapa kali Heera mengajak Keenan saat ngumpul bersama temannya. Itu pun kalau Sean izinkan."Ngajak Keenan?" tanya Sean. Heera terdiam sesaat, sebelum menggeleng perlahan. "Kasihan Keenan habis pergi jauh, lagian kan ada Mas di rumah." Alasan Heera menerima tawaran J
"Gimana ngurus suami sama anak kamu, gak ada kesulitan, kan?" Heera yang sedang menyiram tanaman di halaman lantas menoleh ke arah Prima yang lagi duduk di kursi teras. Sebelum menjawab, Heera tertawa kecil lebih dulu. "Gak ada kok, Bu. Mas Sean sama Keenan gampang diurusnya." jawab Heera dengan nada guyon. "Coba kamu duduk sini dulu bentar, Ra." perintah Prima, meminta Heera untuk duduk di kursi kosong di sebelahnya. Saat ini di rumah hanya ada mereka berdua karena Keenan, Sean dan Rahel sedang bersepeda. Kebetulan sekarang sudah sore, cuacanya cocok untuk bermain di luar rumah. Tanpa membantah, Heera mematikan keran air lebih dulu kemudian duduk di sebelah sang Ibu. Raut wajah Heera tampak serius mengikuti mimik milik Prima. "Ada apa, Bu?" tanya Heera penasaran. Tidak biasanya sang Ibu tampak hendak membicarakan hal serius begini. "Tadi Sean minta di do'akan supaya kamu cepat isi. Memangnya kamu sudah siap memberikan Sean
"Masih sakit perutnya, Sayang?"Heera yang sedang memainkan ponselnya di atas ranjang spontan menoleh dan mendapati Sean yang baru saja memasuki kamar. "Udah gak sesakit tadi," jawab Heera seraya meletakan ponselnya. Atensinya kini terfokus penuh pada Sean yang baru saja merebahkan badannya disamping sang istri. Tangan Sean bergerak, menyelinap masuk ke dalam piyama Heera lalu mengusap-usap hangat perut istrinya itu. "Syukurlah," katanya. "Mas mau nanya boleh?" sambung Sean membuat Heera mengernyitkan keningnya. "Nanya apa, Mas?" "Kamu pernah ketemu Ayah kamu di sekolah Keenan?" to the point. Sean tidak ingin ada rahasia diantara ia dan Heera. Meski Sean tahu Heera sedang berusaha menutupi hal ini darinya.Heera diam sesaat, seakan tertangkap basah rahasianya. Tapi dengan ragu cewek itu mengangguk, lengkap dengan wajah penuh sesalnya. "Iya. Tapi Ayah seperti gak kenal aku." lirih Heera tersirat kesedihan. Ia masih ingat bagaimana sikap Juni ketika bertemu dengannya dan Keenan beb
"Kita gak pernah bertemu, tapi kamu mengenali saya." Sean tersenyum tipis. Saat ini ia sedang berbicara empat mata dengan Juni di salah satu kafe yang jaraknya tidak jauh dari sekolah Keenan. Sebenarnya, Sean sudah menolak ajakan Juni karena ia khawatir meninggalkan Heera sendirian di rumah, tapi Juni memohon dan meminta waktu Sean. Karena sungkan, Sean tidak ada pilihan lain. "Tidak mungkin saya tidak mengenal mertua saya sendiri," jawab Sean. Ia memang tidak pernah bertemu langsung dengan Juni, tapi bukan Sean namanya kalau tidak bisa mendapatkan informasi orang-orang yang berhubungan dengan Heera. Kalau sekedar mencari identifikasi Juni saja dalam satu menit pun bisa Sean dapatkan."Satu minggu lalu saya bertemu Heera saat sedang mengambil rapot untuk Keenan." ujar Juni membuat Sean tak bergeming. Heera tidak mengatakan apapun tentang hal itu. "Jadi, Keenan anak kalian?" imbuh Juni dengan kerut yang tercetak di keningnya. "Tapi, setahu saya
"Sayang, you okay?" Sean bertanya khawatir kepada Heera yang meringkuk bak janin di sampingnya. Disentuhnya pundak telanjang Heera yang berkeringat dingin, sepasang mata Sean yang sayup-sayup terbuka seketika langsung sepenuhnya terjaga melihat wajah sang istri yang pucat dan banjir keringat. Tangan Heera mencengkram lemas lengan Sean, sementara satu tangannya memegangi perutnya. "Aku mens," lirih Heera tampak kesakitan. Punggung tangan Sean jatuh di kening Heera, mengusap keringat istrinya sebelum menyibak selimut dan melihat banyak darah menodai seprai. "Maaf..." lirih Heera lagi penuh sesal. Heera mencoba menegakan tubuhnya, tapi tidak bisa karena nyeri yang menjalar di perutnya luar biasa mencengkram. Sean menggeleng, mengecup telapak tangan Heera sesaat sebelum menggotong badan mungil Heera dan memindahkannya ke sofa panjang di sudut ruangan. Langkah cepat Sean berjalan menuju lemari pakaian, mengambil celana milik Heera berserta dalaman, tak lup
"Cantik ya istrinya Sean," Heera tersenyum malu, lantas menunduk sopan kepada Mira -Teman Lucia- yang baru saja memujinya. "Kalau kata Keenan, Ayahnya cuma suka sama cewek cantik. Cantik hati dan parasnya, seperti Heera." timpal Lucia menambahi, semakin membuat Heera menunduk dalam."Sudah isi belum?" tanya Mira tiba-tiba. Lucia menatap Heera dengan wajah tak enak hati. Ia tahu pertanyaan Mira mungkin mengganggu anak menantunya itu. "Belum. Masih mau fokus mengurus Keenan dulu, Tan." jawab Heera tersenyum kalem. Mira manggut-manggut, "Anak saya dulu belum sebulan nikah sudah hamil. Sekarang anaknya udah tiga, jaraknya cuma beda satu tahun." curhat Mira. "Memang sih kalau anaknya banyak istrinya jadi lebih repot, tapi keluarga mereka tambah seru lho karena banyak anggotanya." imbuhnya diakhiri tawa renyah.Tangan Lucia terulur dan jatuh dipunggung sempit Heera, mengusap lembut di sana. "Maklum bu, Heera masih muda. M