"Lo udah bikin temen kita pergi, Ra."Setelah kepergian Arta dan mamanya ke Amerika kemarin. Hari ini Heera memutuskan untuk mengumpulkan teman-temannya di sebuah kafe tempat mereka janjian.Setelah semua temannya berkumpul, barulah Heera menjelaskan. Bukan membela diri, namun gadis itu murni menjelaskan apa yang terjadi."Jelasin sama kita apa yang terjadi antara lo dengan Arta." ucap Gibran, cowok yang selalu berlaku adil dan tidak hanya berpihak pada satu pihak saja."Apa bener Arta pergi karena lo?" Vino bertanya. Dari cerita Adelio, yang ia tangkap kebenarannya seperti itu."Arta pergi tepat di hari lamaran lo sama abang sepupunya Adelio." sambung Vino. Hari kepergian Arta dan hari lamaran Heera dengan pria lain yang berbarengan semakin memperkuat asumsi mereka.Heera menggeleng pelan, ia menoleh ke arah Adelio yang menatapnya penuh benci."Kepergian
Heera menghela napas, melempar ponselnya ke samping bantal. Beberapa menit lalu Sean meneleponnya, pria itu memberi kabar kalau ia tidak bisa fitting baju pengantin sore ini sesuai dengan planing yang sudah dibuat. Karena Heera juga tidak mau fitting baju sendirian, akhirnya mereka sepakat untuk pergi ke butik besok saja."Ra, di halaman rumah mas Sean ada mobil Camry. Lo tahu gak itu mobilnya siapa?"Heera menolehkan pandangannya ke arah pintu kamar, mendapati Jessi yang kepalanya timbul di sana. Heera menghembuskan napas, menggulingkan badannya ke pojok kasur, memunggungi Jessi."Paling mobil temennya Hardin." balas Heera tak menaruh rasa curiga.Jessi melipat tangannya di depan dada, bahunya ia senderkan ke sisi pintu. "Lo bukannya mau fitting baju pengantin habis ashar?""Gak jadi," balas Heera singkat.Kening Jessi mengernyit, ia berjalan mendekati Heera lalu me
"Ada baiknya kalian membicarakan masalah ini berdua." Anjani mendengus, melengoskan wajahnya tak ingin menatap Langit yang baru saja datang bersama Sean. "Jan, ayo kita omongin bersama." Langit memohon, mencoba menggapai tangan sang istri, namun langsung Anjani hindari. "Gak mau, aku gak mau denger alasan apapun dari mas Langit! Kali ini mas udah keterlaluan!" balas Anjani dengan suara yang lantang. Tak ada lagi keteduhan di sorot mata kecil itu, yang ada sorot penuh benci yang tertuju ke Langit. Sean melipat kedua tangannya di depan dada, merasa sedikit frustrasi, untung saja Heera segera mendekat dan mengusap punggung berusaha menenangkannya. "Jan, coba bicarakan dulu dengan Langit. Kamu hanya salah paham." ujar Sean lagi. Anjani merapatkan bibirnya. Sepertinya ucapan Sean membuatnya sedikit tenang dan percaya hingga membuat sepasang suami istri itu akhirnya pergi ke taman belakang
"Aku gak mau ketemu Ayah, mas!"Sean menghela napas panjang. Saat ini ia tengah membujuk Heera untuk bertemu dengan Ayah kandung gadis itu. Sean tidak tahu apa yang terjadi di masa lalu dengan Heera dan Ayahnya, tapi bagaimana pun, Heera harus menemui Ayahnya dan meminta lelaki itu untuk menjadi wali nikahnya."Kamu tidak mau menikah dengan mas, Ra?" Sean bersimpuh di depan Heera yang duduk di atas sofa. Sudah hampir satu minggu Sean membujuk calon istrinya, tapi bukan Heera namanya kalau tidak keras kepala."Kenapa mas ngomong gitu?!" nada suara Heera meninggi. Tampak tidak senang mendengar ucapan Sean barusan."Habisnya kamu tidak mau ke rumah Ayahmu. Kalau kamu beneran mau menikah sama mas, turuti apa kata mas."Heera mengalihkan pandangannya, mata gadis itu berlinang, dapat Sean lihat Heera yang sedang mengigit bibir bawahnya, gadis itu sedang menahan isaknya aga
Sean berdiri di depan pagar hitam yang menjulang tinggi. Sean ingin menepati janjinya kepada Prima kemarin, tapi secara bersamaan Sean juga mengingkari janji yang ia buat kepada Heera.Pria yang saat ini memakai setelan kasual itu menundukan kembali pandangannya, membaca ulang alamat yang kemarin Prima berikan. Benar, ia tidak salah alamat. Tapi, mengingat selama ini Heera banting tulang sendirian sementara Ayahnya tinggal di rumah mewah berlantai dua membuat Sean sedikit tidak percaya kalau ada seorang Ayah yang setega itu membiarkan putrinya bekerja keras sendiri.Tak ingin membuang banyak waktu, Sean segera memencet bel. Tak lama kemudian keluar seorang pria memakai seragam hitam, ia menatap Sean dari atas sampai bawah lebih dulu sebelum membuka suaranya."Nyari siapa, mas?""Benar ini rumahnya Pak Juni?" Sean berbalik tanya."Iya, benar."Mendengar jawaban pria itu, Sean terkekeh, ia menggelengkan kepalanya
Sean tidak dapat mengedipkan matanya melihat Heera memakai kebaya putih lengkap dengan aksesoris pengantin lainnya sedang berjalan ke arahnya sambil di gandeng Rahel dan Keenan di tangan kanan dan kiri. Dapat Sean lihat dari wajah full make-up itu Heera menahan senyumnya, gadis itu menunduk malu ketika mendengar bisik-bisik para tamu undangan yang memujinya cantik. Sean saja sampai pangling melihatnya. Ijab kobul dan doa sudah di panjatkan, beberapa menit lalu mereka sudah sah menjadi sepasang suami istri di mata agama dan hukum. Rasa senang di hati Sean saat ini tidak ada yang bisa menandingi. Pria itu bahkan sampai menitikkan air mata bahagianya memandang Keenan yang tersenyum lebar saat menuntun Heera berjalan menuju ke arahnya. Meski sebelumnya ia pernah menikah dua kali, tapi Sean hanya merasakan benar-benar menikah di sini. Hatinya merasa bahagia karena m
"Mas, kalau aku jadi ibu rumah tangga aja gimana?" Heera yang sedang menyenderkan kepalanya di bahu kokoh Sean tiba-tiba berkata, membuat Sean yang semula fokus pada layar televisi di depannya praktis menoleh. "Mas tidak keberatan sama sekali, Ra." jawab Sean dengan segaris senyum yang perlahan terlukis di wajah tampannya. Sudah satu bulan sejak kelulusan Heera, dan sampai saat ini Heera masih mempertimbangkan kemana gelar yang ia dapatkan itu akan dibawa. Sean sudah menawarkan Heera untuk bekerja di perusahaan milik keluarganya. Bekerja di perusahaan besar milik keluarga Rangadi adalah impian Heera sejak dulu, tapi sekarang situasinya berbeda. Heera sudah menjadi seorang istri dan ibu untuk Keenan, hal itu membuat Heera dilema. Mengingat bagaimana perjuangannya untuk mendapatkan gelar sarjana yang tidak mudah menghasut pikiran Heera untuk menerima tawaran dari Sean, setidaknya ia harus mencicipi kursi perusahaan besar sebagai hadiah atas dirinya sendiri karena s
"Pintar anak bunda dapat peringkat dua!" Heera mengacak penuh bangga puncak kepala Keenan. Membuat Keenan yang semula murung karena gagal menempati peringkat pertama kini tersenyum. Keenan kira Heera akan kecewa padanya karena peringkatnya turun satu tingkat. "Aku hebatkan, Bun?" tanya Keenan yang segera Heera angguki. "Hebat dong, kan anaknya bunda." senyum Keenan semakin terbentang lebar mendengarnya. "Nanti kita kasih tau ke Ayah ya, ayah pasti seneng kalau tau kamu dapat peringkat dua." lanjut Heera membuat senyum cerah Keenan perlahan menyurut. "Nanti kalau ayah marah bagaimana? Ayah pasti marah karena aku turun peringkat." lirih Keenan, raut wajahnya langsung berubah drastis. Hal itu membuat Heera langsung mengusap pundak Keenan dan melempar senyum terbaiknya. "Gak kok, ayah gak akan marah." Sebenarnya, Heera tahu kalau Sean akan marah setelah mengetahui kalau peringkat anaknya itu menurun. Tapi bagaimana pun, usaha Keenan harus diberi a
Sean menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya beserta sang istri. Dengan tak sabaran pria itu menanggalkan daster Heera yang kenakan. Melihat gunung kembar Heera yang menganggur didepan mata, segera ia gunakan mulut serta tangannya untuk bekerja. Tidak perlu di jelasin apa yang Sean lakukan saat ini, karena ya, memang yang sedang pria itu lakukan sesuai dengan isi kepala kalian sekarang. Heera melenguh di antara tidurnya. Tentu wanita hamil itu tertegun saat membuka mata dan mendapati Sean sedang bersarang di tempat favorit suaminya. Memasuki bulan kelahiran, Sean dan Heera sepakat untuk puasa alias tidak melakukan hubungan badan. Tapi tetap saja, soal menyusu sudah menjadi aktivitas rutin Sean setiap malam. Terkadang Heera juga memuaskan suaminya itu dengan segala cara yang bisa ia lakukan. Tangan Sean bekerja dengan baik saat ini, memijat dan memainkan payudara sintal sang istri yang makin membesar karena efek kehamilan. Gairah Sean tak terelakkan begitu mendengar desahan H
Beberapa Tahun Kemudian... "Pegang tangan abang, Kel." perintah Keenan sambil tersenyum lembut, ia lantas menggenggam erat tangan mungil sang adik kesayangannya dengan sigap setelah mereka keluar dari mobil. Saat ini kakak beradik itu tengah berjalan menuju sebuah taman kanak-kanak tempat Keela bersekolah. Ya, Shakeela Isyana Rangadi, putri kedua Sean dan Heera. "Ayah, ayo cepetan." ujar Keela dengan suara menggemaskan. Ia tidak sabaran ingin bertemu teman-temannya, sementara Sean sedang mengeluarkan tas dan totebag berisi kotak bekal yang Heera buatkan untuk Keela. "Sabar dong, Sayang. Ayo, pegang tangan ayah." Sean menyampirkan tas berwarna pink milik Keela ke pundaknya, lalu tangan kanannya yang bebas ia gunakan untuk menggandeng tangan mungil Keela. Sambil dituntun dua bodyguard yang selalu menjaganya Keela berjalan memasuki halaman sekolahnya, seorang guru menyapanya dengan senyum manis seperti biasa. "Pagi, Keela." "Pagi, Bu Vira." jawab Keela setelah menyalimi tangan sang
"Kamu di mana, Ra?" Heera merapatkan bibirnya, mendengar suara rendah Sean, sepertinya pria itu sudah menunggunya pulang di rumah."Aku masih di mall, mas.""Masih sama Jessi?" Beberapa detik Heer terdiam, pandangannya menoleh ke arah Jessi dan dua pria yang baru saja dikenalnya. Yang satu teman kencan Jessi, yang satu lagi adalah teman dari teman kencannya Jessi. "I-iya, masih dong." Heera tak berbohong, ia memang masih bersama Jessi, hanya saja istri Sean itu tidak berterus terang kalau ada dua pria yang bersamanya sekarang. "Pulang. Keenan nyariin kamu. Mas tunggu." ucapan Sean yang menekan disetiap kalimat dan langsung mematikan sambungannya begitu saja membuat Heera membatu di tempat. Heera takut, kenapa Sean bersikap demikian? Apa ia mengetahuinya? Kepala Heera spontan menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari radar Sean, tapi tidak menemukan. "Siapa?" Rakha, pria yang duduk dihadapan Heera bertanya saat melihat kepanikan yang melanda wajah Heera. "Suami aku. Aku udah disuruh
"Mas, aku boleh keluar gak sama Jessi?" Heera bertanya, menatap dengan pandangan sedikit ragu kearah Sean yang baru saja mendudukan diri di atas sofa. Ini sudah sore, dan Sean baru bangun dari tidurnya. Pria itu langsung istirahat setelah menyetir perjalanan panjang dari rumah mertuanya. "Mau kemana, Sayang?" tanya Sean sambil mengusak rambutnya yang sedikit aut-autan. Melihat itu, tangan Heera jadi gatal dan ikut merapikan rambut sang suami. "Mau jalan aja, udah lama juga aku gak jalan sama Jessi." jawab Heera. Sean manggut-manggut. Semenjak menikah, Heera memang jarang keluar bersama temannya, selain karena kadang Sean larang, tapi Heera juga memikirkan Keenan. Siapa yang akan menjaga anak itu jika ia pergi? Meski beberapa kali Heera mengajak Keenan saat ngumpul bersama temannya. Itu pun kalau Sean izinkan."Ngajak Keenan?" tanya Sean. Heera terdiam sesaat, sebelum menggeleng perlahan. "Kasihan Keenan habis pergi jauh, lagian kan ada Mas di rumah." Alasan Heera menerima tawaran J
"Gimana ngurus suami sama anak kamu, gak ada kesulitan, kan?" Heera yang sedang menyiram tanaman di halaman lantas menoleh ke arah Prima yang lagi duduk di kursi teras. Sebelum menjawab, Heera tertawa kecil lebih dulu. "Gak ada kok, Bu. Mas Sean sama Keenan gampang diurusnya." jawab Heera dengan nada guyon. "Coba kamu duduk sini dulu bentar, Ra." perintah Prima, meminta Heera untuk duduk di kursi kosong di sebelahnya. Saat ini di rumah hanya ada mereka berdua karena Keenan, Sean dan Rahel sedang bersepeda. Kebetulan sekarang sudah sore, cuacanya cocok untuk bermain di luar rumah. Tanpa membantah, Heera mematikan keran air lebih dulu kemudian duduk di sebelah sang Ibu. Raut wajah Heera tampak serius mengikuti mimik milik Prima. "Ada apa, Bu?" tanya Heera penasaran. Tidak biasanya sang Ibu tampak hendak membicarakan hal serius begini. "Tadi Sean minta di do'akan supaya kamu cepat isi. Memangnya kamu sudah siap memberikan Sean
"Masih sakit perutnya, Sayang?"Heera yang sedang memainkan ponselnya di atas ranjang spontan menoleh dan mendapati Sean yang baru saja memasuki kamar. "Udah gak sesakit tadi," jawab Heera seraya meletakan ponselnya. Atensinya kini terfokus penuh pada Sean yang baru saja merebahkan badannya disamping sang istri. Tangan Sean bergerak, menyelinap masuk ke dalam piyama Heera lalu mengusap-usap hangat perut istrinya itu. "Syukurlah," katanya. "Mas mau nanya boleh?" sambung Sean membuat Heera mengernyitkan keningnya. "Nanya apa, Mas?" "Kamu pernah ketemu Ayah kamu di sekolah Keenan?" to the point. Sean tidak ingin ada rahasia diantara ia dan Heera. Meski Sean tahu Heera sedang berusaha menutupi hal ini darinya.Heera diam sesaat, seakan tertangkap basah rahasianya. Tapi dengan ragu cewek itu mengangguk, lengkap dengan wajah penuh sesalnya. "Iya. Tapi Ayah seperti gak kenal aku." lirih Heera tersirat kesedihan. Ia masih ingat bagaimana sikap Juni ketika bertemu dengannya dan Keenan beb
"Kita gak pernah bertemu, tapi kamu mengenali saya." Sean tersenyum tipis. Saat ini ia sedang berbicara empat mata dengan Juni di salah satu kafe yang jaraknya tidak jauh dari sekolah Keenan. Sebenarnya, Sean sudah menolak ajakan Juni karena ia khawatir meninggalkan Heera sendirian di rumah, tapi Juni memohon dan meminta waktu Sean. Karena sungkan, Sean tidak ada pilihan lain. "Tidak mungkin saya tidak mengenal mertua saya sendiri," jawab Sean. Ia memang tidak pernah bertemu langsung dengan Juni, tapi bukan Sean namanya kalau tidak bisa mendapatkan informasi orang-orang yang berhubungan dengan Heera. Kalau sekedar mencari identifikasi Juni saja dalam satu menit pun bisa Sean dapatkan."Satu minggu lalu saya bertemu Heera saat sedang mengambil rapot untuk Keenan." ujar Juni membuat Sean tak bergeming. Heera tidak mengatakan apapun tentang hal itu. "Jadi, Keenan anak kalian?" imbuh Juni dengan kerut yang tercetak di keningnya. "Tapi, setahu saya
"Sayang, you okay?" Sean bertanya khawatir kepada Heera yang meringkuk bak janin di sampingnya. Disentuhnya pundak telanjang Heera yang berkeringat dingin, sepasang mata Sean yang sayup-sayup terbuka seketika langsung sepenuhnya terjaga melihat wajah sang istri yang pucat dan banjir keringat. Tangan Heera mencengkram lemas lengan Sean, sementara satu tangannya memegangi perutnya. "Aku mens," lirih Heera tampak kesakitan. Punggung tangan Sean jatuh di kening Heera, mengusap keringat istrinya sebelum menyibak selimut dan melihat banyak darah menodai seprai. "Maaf..." lirih Heera lagi penuh sesal. Heera mencoba menegakan tubuhnya, tapi tidak bisa karena nyeri yang menjalar di perutnya luar biasa mencengkram. Sean menggeleng, mengecup telapak tangan Heera sesaat sebelum menggotong badan mungil Heera dan memindahkannya ke sofa panjang di sudut ruangan. Langkah cepat Sean berjalan menuju lemari pakaian, mengambil celana milik Heera berserta dalaman, tak lup
"Cantik ya istrinya Sean," Heera tersenyum malu, lantas menunduk sopan kepada Mira -Teman Lucia- yang baru saja memujinya. "Kalau kata Keenan, Ayahnya cuma suka sama cewek cantik. Cantik hati dan parasnya, seperti Heera." timpal Lucia menambahi, semakin membuat Heera menunduk dalam."Sudah isi belum?" tanya Mira tiba-tiba. Lucia menatap Heera dengan wajah tak enak hati. Ia tahu pertanyaan Mira mungkin mengganggu anak menantunya itu. "Belum. Masih mau fokus mengurus Keenan dulu, Tan." jawab Heera tersenyum kalem. Mira manggut-manggut, "Anak saya dulu belum sebulan nikah sudah hamil. Sekarang anaknya udah tiga, jaraknya cuma beda satu tahun." curhat Mira. "Memang sih kalau anaknya banyak istrinya jadi lebih repot, tapi keluarga mereka tambah seru lho karena banyak anggotanya." imbuhnya diakhiri tawa renyah.Tangan Lucia terulur dan jatuh dipunggung sempit Heera, mengusap lembut di sana. "Maklum bu, Heera masih muda. M