Duda Beranak Empat
Part 15**
"Kamu menantangku, Ridwan?" tanya Joana dengan muka sinis.
"Tidak. Aku hanya ingin kamu sadar, Joana. Anak itu bukan barang, yang bisa seenaknya kamu ambil begitu saja, atau kamu tinggalkan."
Wajah Joana berubah sengit setelah mendengar ucapan Ridwan. "Jangan menggurui aku!"
Ridwan menghela napas panjang. Dia tidak tahu harus bicara apa lagi pada Joana untuk menyadarkannya.
"Terserah! Kalo kamu terus belum sadar, aku tak akan berikan anakku padamu!" tegas Ridwan.
"Baiklah kalau itu maumu. Kamu bakal menyesal, Ridwan!" ancam Joana lalu berbalik badan dan segera berlalu dari depan Ridwan.
Ridwan segera menutup pintu rumah. Wajahnya terlihat keruh. Aku mengiringi langkahnya masuk ruang tengah tanpa bicara sepatah katapun .
"Aneh, setelah menikah, kok kamu jadi banyak masalah, Ridwan?" sindir Ibu tiri Ridwan. "Dulu adem ayem saja. Tapi setelah meni
*** Ziyan dan Zidan sudah kenyang bermain air, sudah berganti baju dan menunggu di meja makan, mie goreng yang tengah kumasak. Mata Zidan celingukan. "Papa, kok Jane dan Jihan nggak ada?" tanyanya mencari adiknya yang tidak ikut bergabung di meja makan. "Jane dan Jihan keluar sebentar. Besok juga datang," sahut Ridwan berusaha tenang. "Pergi ke mana, Pa?" "Sama Mama Jo." Zidan dan Ziyan nampak kaget. Mereka tahu, papanya tidak suka mama Jo datang. "Kenapa ikut Mama Jo?" tanya Zidan bingung. "Mama Jo kan nggak suka sama kita." Ridwan menghela napasnya dalam mendengar ungkapan Zidan. "Mama Jo mungkin lagi kangen," kilah Ridwan berusaha setenang mungkin, padahal aku tahu ada rasa cemas di matanya. "Sudah tenang saja, besok di pernikahan papa, Jane dan Jihan ada, kok!" "Ngizihin anak kok kayak barang nggak bilang-bilang neneknya!" Ibu tiri Ridwan nyeletuk sinis
Hari pernikahan pun tiba. Dari subuh aku sudah didandani perias. Ridwan terpisah kamar ikut juga berdandan. Ada ibu tiri Ridwan, Airin dan Baby sitter ikut di dandani di ruangan belakang. Ziyan dan Zidan didandani memakai jas lagi, malah bawahnya pakai kain.Kembali aku pangling dalam balutan kebaya warna broken white, disanggul dengan banyak melati. Kali ini make up-nya lebih glamour karena langsung bersambung dengan resepsi. Akad nikah juga mengukuhkan yang telah dilakukan tiga hari lalu. Meskipun sudah akad, tetap saja aku gemetaran kala acara sakral itu lebih banyak disaksikan orang. Kedua keluarga besar kumpul semua berikut teman-teman kantor aku datang. Pak Abda juga tak ketinggalan hadir. Ridwan kembali tampan dalam balutan jas tradisional pengantin Sunda, warnanya senada broken white. Dengan bendo di kepala dan kalung melatinya. Masya Allah, dia seperti pangeran dongeng yang kembali menjelma nyata.. Bersih dan
Akhirnya waktu resepsi hampir selesai. Tamu-tamu yang menyalami mulai jarang. Hingga akhirnya habis. Aku terduduk lega di kursi pelaminan. Telapak kaki serasa copot karena pegal, berdiri terus, menyalami para tamu yang memakai selop tinggi. Rahang terasa kaku karena terus menyunggingkan senyum. Keadaan Ridwan juga sama. Tubuhnya bersandar pada kepala kursi. Memijat-mijat telapak tangannya. Setelah selesai memijat telapak tangannya, lalu Ridwan meraih telapak tanganku dan mulai memijat buku-buku jari dan punggung tanganku. "Pegal, ya?" ucapnya sambil tersenyum. Aku hanya mengangguk. Kubiarkan Ridwan memijat tanganku. Tangannya lincah menekan dan memijat kakiku menjadikan sensasi menggedor di hatiku. Aku kembali tersenyum dengan perhatian Ridwan.So sweet banget. Tak salah aku telah sah memilihnya jadi suami, pendamping dan pasangan hidupku. *** Akhirnya aku dan R
Ketika mengintip dari celah pintu, sosok baby sitter sudah tidak ada di ruangan belakang, rupanya dia keluar melalui pintu teras ke taman belakang. Aku mendapat firasat yang tidak enak, ketika kaki melangkah ke ruang belakang Lalu aku melongokkan kepala keluar pintu teras, terlihat Airin juga ada di taman belakang. Rupanya baby sitter itu menghampiri Airin. Aku tak berani keluar, hanya memandangi mereka dari celah pintu yang terbuka. Tak berapa lama, aku juga melihat pak Ahmad, tukang kebun sekaligus sopir kantor Ridwan berjalan dari arah kolam renang. Jantungku berdetak lebih kencang. Kolam renang? Mengingatkan aku pada kejadian saat aku didorong seseorang jatuh ke kolam itu. Ternyata dari kejauhan, dalam keadaan terang di waktu siang, diantara tanaman bunga, pohon palem, juga rumput hijau, terdapat pintu keluar. Terbuat dari kayu yang warna catnya sama dengan tembok, berwarna hijau muda. Sekil
***Ridwan terdiam mendengar sindiran Joana bahwa aku matre, mengincar harta Ridwan dengan denda satu miliar. Aku dan Ridwan hanya saling menatap. Biarlah hati kita yang bicara. Apakah aku.bisa mempercayai Ridwan kali ini? Melihat fakta, Ridwan lumayan lama di rumah Joana, bahkan ditemukan di kamar Joana. Namun, akal sehatku mengatakan, Joana itu licik, dia bisa menggunakan berbagai cara untuk membuat siasat dan perangkap. supaya Ridwan bisa kembali padanya dan tidak menjadi milik wanita lain. Kemon, Rosi. Berpikirlah jernih! Batinku berteriak. Akhirnya setelah berpikir jernih dan cepat, kuputuskan dengan tegas. "Aku percaya pada suamiku. Dia tak mungkin mau sama kamu lagi, Joana! Kenapa aku harus meragukannya? Kalau mau, dia bisa mundur dari awal, tidak terus mempertahankan aku, bahkan menikahiku!" Aku memantapkan hati untuk mempercayai Ridwan, menepis tuduhan dan siasat Joana.
Sepuluh menit kemudian, aku sudah berada di Mall dan mencari keberadaan Ridwan di cafetaria.Dari jauh nampak si kembar sedang makan dengan lahap. Ada burger dan pizza di meja mereka. Beberapa pinggan es krim berjejer di meja.Pantas si kembar badannya agak subur, mereka gembul sekali, hanya Jane saja yang kurus, tapi tetap juga makannya banyak. Aku tersenyum kecil saat Ridwan melambaikan tangannya menyuruhku duduk di dekatnya.Aku pun ikut bergabung makan bersama Ridwan dan si kembar. Perut mendadak lapar sekali sampai beberapa potong pizza sudah tandas dihabiskan."Lapar apa doyan, Rosi. Sudah habis berapa potongan pizza itu?" goda Ridwan. Dia sendiri hanya makan satu burger. Irit."Doyan, Mas." sahutku cuek. Aku merasa senang sudah membuat Joana dan Airin jengkel, jadi nafsu makanku menggila.Aku cueki Ridwan yang menatapku sambil senyum dikulum. Terus saja melahap makanan lezat itu.
. "Sepertinya, posisi baby sitter harus kita bicarakan lagi deh, Mas. Apa kita masih membutuhkannya atau tidak. Si kembar beranjak besar dan sekarang ada aku sebagai ibunya mereka." Ucapanku telak membuat paras Meyda memucat. Aku bersorak dalam hati. Siapa suruh dia memusuhiku terus! Meyda hanyalah pegawai. Tanggung jawabnya hanya sebatas pekerjaan sebagai baby sitter. Kalau tidak diperlukan lagi, bisa saja dipecat. Meyda harus tahu diri dan sadar diri. Ridwan tersenyum kecil mendengar ucapanku. Dia mengangguk "Ya, sudah nanti bicara lagi. sekarang anak-anak mandi, ya. Nanti diawasi sama Tante Rosi." Si kembar tidak membantah, mereka satu-satu mulai mengambil handuk dan antri mandi. Meyda diam seribu bahasa. Dia mau protes gimana? Aku sekarang nyonya rumah! "Aku juga kayaknya mau mandi, deh. Badan lengket." Ridwan juga mulai beranjak ke kamarnya. Akan tetapi, tiba-tiba dia ber
Aku hampir berteriak saat satu tangan melingkar di pinggangku."Sedang apa?" bisiknya, terasa dia mencium pucuk kepalaku. "Malam-malam lihat apa?""Sst .."desisku sambil menyimpan telunjuk di bibir. "Jangan berisik!""Ada apa?" bisiknya lagi, kepala Ridwan terasa dekat di telinga. Hembusan napasnya hangat menggelitik."Mas lihat wanita yang membelakangi itu? Aku sedang mengintip pembicaraannya di telepon." Aku masih berbisik. Konsenku agak pecah, karena Ridwan masih memeluk pinggang dari belakang dan pipinya menempel di pipiku. Jangan sampai dia mendengar degup jantungku yang menggila."Siapa dia?" bisiknya."Entahlah!""Ya, sudah. Kita gerebek langsung!""Tapi kita harus tahu duduk masalahnya. Dengan siapa dia telepon. Bagaimana kalau berkelit? Wanita itulah yang kukuntit, waktu malam aku jatuh di kolam renang."Ridwan manggut-manggut, dia terlihat sibuk berpikir."Sekarang dengarkan saja dengan
Mas Duda"Kamu yakin. Rosi?" tanya Ridwan. "Dulu di perjanjian pra-nikah, kamu tidak bisa berhenti bekerja karena punya tanggungan Ibumu. Sekarang kalau berhenti bekerja, biar aku yang akan membantu Ibu."Aku menatap suamiku dengan hati penuh syukur. Dia memang pria yang sangat baik dan pengertian. Dia juga teguh memegang janjinya untuk patuh pada perjanjian pra-nikah ku dulu.Kenapa aku harus kuatir punya imam yang baik seperti itu? Bahkan bersedia membantu Ibuku tanpa syarat dan aku minta."Aku yakin, Mas ...." ucapku mantap. "Aku akan punya usaha di rumah saja. Sama aja kan menghasilkan?"Ridwan tersenyum mendengar ucapanku. "Tentu ... Kalau butuh modal, aku akan bantu ..." tawarnya manis."Gak usah, Mas. Aku punya tabungan." Aku balas tersenyum."Sekarang kita pulang dulu saja, kasihan bayi Robi juga si kembar.""Baiklah ..." Akhirnya aku pun menurut. Aku memang lelah. L
Ridwan ternyata sudah ada di kantorku. Dia lebih dulu tahu bayi kembar hilang dan bergegas menjemput ke kantor. "Bagaimana bisa begini, Kajol?" tanya Ridwan cemas begitu sampai rumah. "Maafkan saya, Tuan. Tadi ada Nona Vina yang kemarin ke sini. Tadinya dia baik dan tidak macam-macam. Dia minta minum ke saya. Alya, sedang tidur di kamarnya. Ketika saya balik, Nina Vina tak ada dan aku lihat Alya juga tidak ada di kamarnya. Hanya ada Robi," tutur Kajol yang terlihat panik. "Ma-maafkan saya, Tuan, Nyonyah ..." Kajol terlihat sedih dan ketakutan. Ridwan dan aku jadi tak tega memarahinya. Toh, dia juga tak menyangka bakal kejadian seperti ini. "Ayo, kita ke rumah Vina!" ajak Ridwan tanpa buang waktu lagi berlari ke mobilnya. "Kajol titip anak-anak dan jaga rumah!" pesanku pada Kajol sebelum berlari menyusul Ridwan dengan perasaan tak karuan. Sungguh, aku tak menyangka Vina yang kemarin memint
Tak terasa 4 bulan terlewati. Bayi kembarku semakin besar. Mulai berguling bahkan bergerak dan merangkak. Yang kerepotan pasti si Kajol. Dia sering berteriak sendiri mengagetkan semua orang di rumah. "Nyonyah ... Alya merangkak ke dapur!" pekiknya mengagetkan. Si kembar kakaknya yang empat, mendengar teriakan itu, langsung berlarian ke arah dapur dan menggendong, membawa adiknya ke ruangan tengah tempat bersantai. Ridwan hanya tertawa kecil sambil menggeleng melihat tingkah si kembar empat, kakaknya yang mengasuh adik-adik bayinya. Mereka, si kembar empat, Zidan, Ziyan, Jihan dan Jane beranjak besar. Tingkah mereka juga sekarang sedikit disiplin. Bisa disuruh menjaga adik bayinya yang kembar. Aku sering lucu melihat tingkah mereka dan merasakan kebahagiaan yang luar biasa bertambah di rumah ini. ** Namun yang namanya hidup, ada pasang surut. Ada bahagia juga
"Hallo, Sayang." Joana menyapa si kembar yang berjalan mendekat. Satu persatu diciumi pipinya. "Mama kenalin pada calon Papa baru kalian. Ini orangnya." Joana mengenalkan calon suaminya yang bernama Randi. Si kembar tidak rewel, mereka satu per satu mencium tangan calon papanya itu. Ridwan nampak tersenyum lega. Aku juga sama ikut lega. Badai masalah yang sering dibuat oleh Joana selama ini, mulai tenang dan berakhir. Joana telah sadar dan menemukan pasangan hidupnya kembali. Semoga Joana juga bisa menemukan ketenangan hidup, sehingga tidak membuat masalah lagi nanti. "Mas dan Rosi, aku pamit, ya. Sebentar lagi kami menikah dan berangkat ke luar negeri. Mas Randi punya bisnis di Singapore. Mungkin lama di sana. Titip si kembar, ya," ucap Joana ketika sudah kenyang bercengkrama dengan si kembar. "Aku berjanji akan hidup lebih baik lagi dan meraih kebahagiaan seperti kalian."Joana menyunggingkan senyum manis yang s
Mobil sampai depan rumah, Ridwan buru-,buru turun dan berlari ke dalam rumah. Aku yang pegang setir bingung melihat tingkahnya. Ada apa lagi dengan si Cinta? Pelan aku pun turun dari mobil, berjalan memasuki rumah, mencari keberadaan Ridwan. Huwek ..! Huwek..! Terdengar bunyi orang muntah dari arah kamar mandi. Astaga! Aku menggosok hidung yang tak gatal. Ridwan kembali muntah-muntah! Lama-lama kasihan juga. Kenapa yang hamil aku, malah Ridwan yang payahnya? Aku tunggu Ridwan selesai muntahnya, sambil menyiapkan teh manis hangat, biar tubuh Ridwan nanti bisa segeran. "Nyonyah, Tuan Ridwan kenapa, huwek..huwek, mulu?" tanya Kajol yang sama ikut keheranan melihat keadaan Ridwan. "Lagi ngidam, Kajol." sahutku. "Apa? Emang bisa Tuan Ridwan hamil?" Kajol melongo. "Yang hamil aku, Kajol. yang ngidamnya Tuan Ridwan." "Oo.." Kajol manggut-manggut sambil mulutny
**"Ridwan berjalan menghampiri Arian di mejanya. Aku berusaha menjejeri langkahnya. "Mas, tolong jangan emosi," bisikku di telinga Ridwan, karena terlihat wajah Ridwan mengeras, seperti tersulut emosi. Ridwan tak menjawab. Dia semakin mendekat ke arah Arian. Arian sendiri wajahnya pucat. Mungkin dia tak menyangka bakal bertemu lagi dengan orang yang telah jadi korban ayahnya "Aku pinjam dulu lelaki ini, ya." ucap Ridwan pada Sida dan Ruri yang nampak melongo melihat Ridwan, lalu mereka beralih menatapku dengan bingung. Aku memberi isyarat pada keduanya supaya mengangguk. Tanpa dikomando duo absurd itu mengangguk bersamaan, persis boneka yang disetel manggut-manggut di mobil. "Kamu masih ingat aku, kan?" tanya Ridwan langsung pada Arian yang sedang terpaku menatapnya. "I-iya .." sahutnya gugup.Matanya terlihat gelisah. "Ini suamiku..." Aku langsung ikut bicara yang ditujukan pada Arian
"Gimana sudah mengerti, kan?" tanyaku mengakhiri penjelasan produk knowledge di perusahaan tempat kerjaku, target pasar dan cakupan distribusinya. Pokoknya yang berkaitan dengan penjualan sudah kupaparkan pada meeting kecil-kecilkan, antara aku, kamu dan dia eh..Pak Abda dan Arian."Gimana pak Arian?" Pak Abda menoleh pada Arian minta kepastian. "Sekarang sudah ada gambaran kan bagaimana kualitas produk kami di perusahaan ini, pasar dan distribusinya sudah hampir go internasional.'"Mmm..." Arian mengangguk. "Bisa lebih rinci lagi next time? ada banyak pertanyaan nanti yang akan kuajukan." Arian menatapku dengan senyum menggoda.Aku menghela napas pelan. Feelingku mengatakan Arian mulai mencari cara supaya terus bisa berkomunikasi denganku, dengan cara pura-pura banyak pertanyaan."Boleh, Nex time silakan berunding di ruangan Rosi saja, kebetulan saya ada jadwal meeting di luar hari ini." Pak Abda cepat menjawab sebel
Rupanya Ridwan mengerti bahwa anak-anak sudah kena toxic Joana. "Zidan, Ziyan, Jihan dan Jane," panggil Ridwan lembut. "Apa selama ini Tante Rosi jahat pada kalian?" Zidan dan adik-adiknya terdiam. "Apa selama ini, Tante Rosi sering marahi kalian? Atau memukul dan mencubit kalian?" tanya Ridwan lagi. "Nggak, Pa," sahut Zidan pelan. "Tante Rosi selalu baik sama kita." "Tante Losi juga pintal masak enak," celetuk Jane. "Tante Losi juga suka sayang Papa, beliin makanan," timpal Jihan. "Tante Rosi suka becanda dan ngajak ke Mall." Ziyan ikutan nyeletuk. "Nah, kenapa kalian takut Tante Rosi jahat kalau punya anak? Itu bakal jadi adik kalian nanti. Ada bayi lucu nanti yang bisa kalian sayang-sayang, gemes-gemesin," terang Ridwan seraya tersenyum. "Kayak boneka ya, Pa?" celetuk Jihan. "Lucu, ya?" Jane ikutan bersuara. "Boneka hidup yang lucu dan meng
Sebulan telah berlalu. Sungguh menyenangkan karena tidak ada lagi gangguan yang datang. Rupanya semua usaha kita untuk menyadarkan Joana juga Vina mulai membuahkan hasil. Selama sebulan lebih ini, hidupku bersama Ridwan mulai tenang. Hari pun berganti menjadi minggu. Dua Minggu terlewati, dan menginjak Minggu ketiga, aku heran. Sudah dua Minggu lebih tamu bulananku tidak hadir. Ini bulan kedua aku menjadi istri Ridwan. Heran, tak pernah biasanya aku telat haid. Biasanya kalau pun telat, itu hanya bergeser kurang dari seminggu. Ini sudah dua Minggu telat. Namun, aku belum berpikir serius. Mungkin siklusnya sedang telat, karena bulan kemarin banyak masalah dan banyak pikiran dari mantan-mantan Ridwan yang mengganggu. Biasanya itu berakibat juga pada emosi kita. Haid pun mungkin telat. Aku berusaha fokus mengurus si kembar dan Ridwan, selain bekerja. Aku juga sekarang sedang membantu adikku, Risa, yang mau menika