Di rumah Handi. Ketiga sahabat Aksa memandanginya dengan tatapan tidak percaya dan meminta sahabatnya itu menjelaskan apa yang sebenarnya dipikirkan Aksa saat ini.
“Jangan menatapku seperti itu,” tegur Aksa tidak suka.
“Kalau begitu jelaskan pada kami, apa kamu sudah gila ...? bagaimana bisa kamu ingin menikah dengannya?” tanya Handi.
Aksa menghela napas kasar, ia memandang ketiganya.
“Kamu tahu gadis itu kan, dia juga sudah memiliki suami sah. Walaupun dia mengaku belum menikah, hanya karena ayahnya mendaftarkan pernikahaannya dengan pria itu. Tapi tetap saja, statusnya adalah seorang istri. Kamu bisa dituntut karena hal ini, pikirkan baik-baik sebelum kamu mengambil keputusan yang akan merugikan dirimu sendiri,” ujar Handi menasehati.
“Aku setuju dengannya, kamu tidak seharusnya menikahi wanita yang sudah memiliki suami. Itu tidak benar...” Jaki menggelengkan kepala menandakan ketidak setujuannya.
Aksa tersenyum simpul, dan memandang ketiga sahabatnya bergantian.
“Kalian tenang saja, aku sudah meminta ijin pada suaminya... aku mengatakan padanya kalau aku sudah menikah dengan istrinya,” kata Aksa sekenanya membuat mata ketiganya seakan ingin meloncat keluar.
“Apa kamu benar-benar meminta ijin dari suaminya?”
Aksa menganggukkan kepala dengan yakin, membuat ketiganya mendesah tidak percaya ia memandang Aksa dengan mata melebar.
“Jangan main-main Aksa, kamu pikir pernikahan itu hanya sebuah permainan yang bisa kamu mainkan lalu kamu akhiri begitu saja...” teriak Handi marah.
Jaki dan Bino memegangi kepalanya. Tindakan sahabatnya yang satu ini cukup berani. Dia benar-benar sudah gila. Aksa terdiam, ia menunduk sejenak.
“Aku tidak main-main, aku serius dengan apa yang akan aku lakukan saat ini. Menikah dengannya adalah jalan terbaik untuk hidupku...”
Handi dan yang lainnya saling berpandangan, mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan untuk membuat Aksa merubah keputusannya.
“Jangan katakan, kalau pernikahan ini hanya untuk membalas rasa sakit hatimu pada Amanda,” kata Handi memandang lekat Aksa yang tiba-tiba saja mengepalkan kedua tangannya erat.
“Kalau kamu melakukan ini hanya untuk membalasnya, lebih baik urungkan kembali niat itu. Jangan menyakiti hati wanita yang ingin memulai semuanya dari awal denganmu,” Handi menepuk pundak Aksa pelan, ia beranjak dari sofa dan berjalan masuk ke dalam kamarnya meninggalkan Aksa. Jaki dan Bino juga ikut menepuk pundaknya, mereka berlalu dari hadapan Aksa. Meninggalkan pria itu dengan pikirannya.
Sementara itu, Karina duduk di luar. Tepatnya di halaman belakang. Ia duduk dikursi yang menghadap ke arah halaman luas rumah itu. Anita yang baru saja kembali dari dapur, memberikannya secangkir teh hangat. Karina menerimanya, ia kembali merenung. Anita mendudukkan tubuhnya di samping Karina. Keduanya menikmati teh hangat dengan ditemani bintang-bintang dan bulan purnama yang indah.
“Aku benar-benar terkejut, saat mengetahui Aksa ingin menikah denganmu...” kata Anita membuka pembicaraan. “Apa kamu sudah yakin dengan keputusanmu itu? Menentang ayahmu? Apa kamu baik-baik saja?” tanyanya dengan cemas memandang ke arah Karina, gadis itu menoleh dan tersenyum.
“Aku baik-baik saja, sudah cukup menjadi anak yang penurut. Aku juga memiliki keinginanku sendiri. Apa aku tidak boleh bahagia?”
“Bukan begitu, tapi apa kamu yakin menikah dengannya adalah keputusan terbaik?”
Karina menunduk, melihat ke arah air teh didalam gelas yang sedang ia pegang. Helaan nafas keluar dari mulutnya, “untuk saat ini, itu jalan yang bisa aku ambil. Aku yakin pada hatiku dan aku tidak akan menyesali keputusanku ini...” Karina menarik senyum di bibirnya dengan sedikit dipaksakan. Ia sedih, kenapa ayahnya tidak pernah mau mengerti perasaannya.
“Apa kamu menyukainya?” tanya Anita penasaran, Karina menatap padanya. “Kamu menyukai Aksa...?” pertanyaan itu seakan membuatnya bimbang. Entah apa yang ada di dalam hatinya, menyukai pria itu. Benarkah, karena menyukainya ia mengambil keputusan ini.
“Aku tidak tahu,” sahutnya membuat Anita menghembuskan napas kasar.
“Kalau kamu tidak menyukainya, lebih baik batalkan saja niat itu. Kamu bisa melukai perasaanmu sendiri Karina...” nasehat Anita membuat Karina kembali merenung.
“Benar, pikirkanlah baik-baik. Jangan karena emosi, kamu ingin menikah denganku,” ujar Aksa yang mendengar pembicaraan mereka muncul dari belakang. Ia mendekati keduanya dan kini berdiri di hadapan Karina. “Aku tidak akan memaksamu untuk menikah denganku. Kalau kamu tidak mau, aku bisa membatalkan semuanya.”
“Tidak...” sahut Karina cepat. Membuat kedua orang itu menatap bingung padanya. “Aku akan tetap melakukannya,” ucap Karina dengan lirih sambil tertunduk.
“Anita, bisa tinggalkan kami... aku ingin berbicara dengannya. Hanya berdua,” pinta Aksa yang langsung mendapatkan anggukan cepat dari Anita. Gadis itu beranjak meninggalkan keduanya, setelah ditinggalkan Anita. Aksa menekuk kedua lututnya mensejajarkan tubuhnya dengan Karina.
“Walaupun kamu mengatakan akan melakukannya, tapi aku tahu. Kamu masih ragu akan hal ini. Pernikahan bagimu mungkin adalah sesuatu yang sangat penting. Kamu tidak ingin salah melangkah dan memilih orang yang tepat untuk menemani hidupmu...” Aksa memandang lekat Karina yang menatapnya dalam dengan mulut yang tertutup rapat seakan tidak ada kata yang bisa dia ucapkan saat ini.
“Aku bisa mengerti hal itu, jadi aku tidak akan memaksamu untuk menikah denganku. Pikirkanlah baik-baik, aku tidak ingin membuatmu menyesal nanti.”
Karina menggelengkan kepala pelan, “aku sudah membuat keputusan. Aku ingin membuktikan pada ayahku. Kalau aku bisa bahagia dengan keputusan yang aku ambil. Aku akan menikah denganmu.”
Aksa terdiam, ia meraih gelas yang sedari tadi dipegang Karina. Meletakkan gelas itu di kursi, memandangnya dengan tatapan lekat. Tangannya meraih tangan Karina dan menggenggamnya erat.
“Apa kamu yakin? Aku masih bisa melihat keraguan dalam matamu...” Aksa menyentuh wajah Karina yang dibasahi airmata. Entah sejak kapan airmatanya keluar. “Dan ini sebagai buktinya... kamu menangis...”
“Aksa... mau kah kamu memelukku??” pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Karina. Ia benar-benar membutuhkan kekuatan. Ini adalah keputusan besar yang pernah ia ambil.
Aksa mengangguk, seketika melebarkan tangannya untuk menyambut Karina kedalam pelukannya. Melihat hal itu, Karina segera berhambur kepelukannya dan menangis sepuas yang dia inginkan. Aksa mengelus punggung Karina mencoba memberikan rasa nyaman untuk gadis itu dan membuatnya tenang. Dari dalam rumah, keempat orang itu memandang keduanya. Mereka berempat saling berpandangan dan terdiam.
***
Amanda termenung di kamarnya, ia menoleh arah jendela kamarnya. Menatap bulan terang malam ini. Hatinya dirundung gelisah, ia melirik ponsel yang sedari tadi dipegangnya. Sebuah pesan yang masih terbuka dapat ia lihat dengan jelas. Pesan yang membuatnya bimbang, haruskah ia menemuinya saat ini. isi pesan dari seseorang itu membuatnya ragu dan pikirannya melayang entah kemana. Ia menjadi tidak fokus. Padahal tinggal beberapa minggu lagi.
Aku menunggumu ditempat dulu kita pernah berjanji, kamu pasti ingat tempat itu. Aku harap kamu datang. Karena ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu. Aku akan menunggumu...
Isi pesan yang begitu singkat, namun mampu membuat pikirannya dilanda kegundahan. Hatinya bergejolak, di satu sisi ia ingin menemuinya untuk menjelaskan sesuatu. Walaupun mungkin penjelasan tidak akan bisa membuatnya mengerti. Amanda menutup kedua matanya perlahan dan membukanya kembali. Ia mengepalkan satu tangannya kuat.
.
.
.
Bersambung
Karina berdiri di depan cermin, menatap dirinya yang kini kembali mengenakan gaun pengantin. Sesaat ia termenung. Perasaan ini kembali memasuki relung hatinya yang terdalam, perasaan ragu yang begitu membumbung tinggi. Haruskah ia menikah, menikah dengan pria yang baru beberapa minggu ia mengenalnya. Semudah itu kah ia menjatuhkan pilihan. Ia menghembuskan napas kasar, sedari tadi ia tidak bisa bernafas normal disela detak jantung yang terus menerus bertalu tidak henti seakan membuat dirinya akan menyesali keputusannya ini. Seseorang masuk ke dalam ruangan yang hanya di isi olehnya, orang itu tersenyum dan berjalan menghampiri Karina yang masih berada di depan cermin. Orang itu berdiri di sampingnya, mereka tampak begitu serasi. Orang yang tidak lain adalah Aksa, tubuh pria itu berbalut jas putih. Ia tampak sangat tampan. “Aku tida
Di apartement Amanda. Gadis itu tengah duduk kursi meja rias. Ia termenung menatap dirinya yang telah siap mengenakan dress sederhana berwarna hijau muda dengan riasan wajah minimalis. Sejenak ia menarik nafas dan menghembuskannya pelan untuk menetralkan detak jantungnya yang bertalu cepat. ini pertama kalinya ia bertemu dengan pria yang dulu dicintainya dan ia tinggalkan begitu saja hanya karena alasan sepele. Sebersit keraguan dihatinya. Haruskah ia datang ketempat itu, tempat dulu dirinya pernah berikrar janji. Suatu hari nanti, ia akan menikah dengan Aksa. Sesaat matanya memejam dalam. Ia membukanya kembali dan mencoba meyakinkan perasaannya. Dengan pelan ia merapihkan dress dan rambutnya. Apapun yang terjadi? Sudah saatnya ia bertemu dengan Aksa lagi setelah hari itu. Amanda beranjak dari kursi, mengambil tasnya, ia mulai melangkah keluar dari kamar dan meninggalkan apartemen tempat tinggalnya saat ini. s
Amanda terduduk di tempat tidur sambil termenung, mengingat kembali pertemuan pertamanya setelah 3 tahun dengan Aksa. Walaupun ia sudah tidak memiliki perasaan apa-apa lagi padanya. Namun entah kenapa, ia merasakan perasaan gelisah ini. Apakah mungkin perasaannya kini kembali berubah. Tangannya terpaut erat, kata-kata Aksa masih terngiang-ngiang di dalam kepalanya. Malam semakin larut, ia masih belum bergeming dari sana seakan semua pikirannya tersita untuk satu orang. Ingatannya menerawang pada kejadian tadi siang yang membuatnya terus memikirkan pria yang telah ia campakan.Amanda baru saja turun dari dalam mobil, ia menatap taman bunga didepannya. Sebuah taman bunga yang indah, tempat Aksa memberitahunya untuk bertemu. Ia menundukkan kepala sejenak, sepertinya ia begitu ragu untuk bertemu dengannya lagi. Untuk sesaat ia hanya terpaku di tempat, setelah lama merenung akhirnya ia melangkahkan kaki masuk ke dalam taman.Baru beberapa langkah, Amanda
Tn. Rama hanya mengetukkan jari pada penyangga kursi kayu yang sedang dudukinya. Semua orang berada di sana hanya bungkam, ibu Karina meremas tanganya gelisah. Putrinya sudah mengambil keputusan yang telah memecah belah keluarga ini dan semakin membuat ayahnya membenci keluarga Anggara.Sena dan Nando saling berpandangan sejenak sebelum kembali menundukkan kepala. Melihat ekspresi wajah Tn. Rama yang diliputi kekesalan. Bahkan seseorang yang ikut duduk bersama mereka. Ferro yang secara resmi telah didaftarkan sebagai suami Karina yang sah di kantor kepengurusan pernikahan. Bahkan semua orang tahu. Kalau Karina adalah istrinya karena ia sendiri yang mengumumkan itu pada khalayak publik. Ia hanya terdiam.Tn. Rama memenggang pelipisnya dengan kuat karena merasakan denyutan tak tertahan dikepalanya."Apa yang harus saya lakukan saat ini?" Pertanyaan Ferro membuat Tn. Rama memandangnya. "Apakah saya harus membatalkan pendaftaran pernikahan itu, sekarang Karina
Karina melihat kedua orang di depannya saling berpandangan, larut dengan lamunannya masing-masing. Apa ini situasi yang tidak menguntungkan untuknya. Bagaimana bisa Aksa merencanakan semua ini? Bersikeras tinggal di apartemen yang telah dibelinya dan ternyata bertetanggaan dengan mantan kekasihnya dulu. Apa Aksa berencana untuk memanas manasi mantan kekasihnya itu? Mengatakan kalau ia sudah bisa melupakan Amanda. Karina menjadi kesal, ia tidak bisa menebak apa yang ada dipikiran Aksa sekarang. Dia tahu sekarang, kenapa Aksa begitu ingin segera pindah."Ehhhmmmm..." Karina berdeham keras membuat keduanya terperanjat dan melihat ke arah Karina yang memasang muka sebal. "Sampai kapan kamu akan memandanginya," sengit Karina dengan tatapan galak pada Aksa. Ia mengalihkan pandangan dan melihat Amanda. Karina menarik Senyum."Maafkan suamiku, dia benar-benar tidak sopan melihatmu. Wajar saja, di depannya ada seorang model terkenal yang sangat cantik. Siapa yang tidak terpeson
Karina dan Aksa pulang ke Apartemen. Aksa menenteng tas belanjaan yang banyak, sedangkan Karina menggandeng tangan suaminya. Tiba di lantai 10, keduanya berpapasan dengan Randi yang akan masuk kedalam lift. Randi terkejut melihat Aksa. Mereka berdua saling berpandangan, sebelum akhirnya Karina dan Aksa keluar dari lift dan Randi masuk ke dalam lift. Sebelum pintu lift tertutup, Randi melihat keduanya masuk ke apartemen yang bersebrangan dengan apartemen Amanda. Sekarang Randi tahu, keraguan seperti apa yang didapatkan Amanda. Karena mantan kekasihnya tinggal di sebrang apartemennya. Aksa dan Karina masuk ke dalam apartemen. Karina masih ada yang janggal melihat Aksa dan Randi berpapasan tadi di lift. Aksa meletakkan belanjaannya di meja bar. Mulai mengeluarkan beberapa makanan dari dalam kantung.
Sena berada di dalam kamarnya, dia baru saja mendengarkan voice mail dari Karina. Sena menghela nafas. Dia masih tidak mau menerima telphone dari sahabatnya itu, karena dia masih kesal dengan Karina. Sena keluar dari kamarnya. Dia melihat bibinya sedang menyiapkan makan malam, Sena berjalan menuju sofa di ruang tengah. Sena memang tinggal dengan bibinya, kedua orang tuanya sudah meninggal saat Sena masih kecil. Melihat wajah Sena yang selalu murung, bibinya berjalan menghampiri setelah selesai menyiapkan makan malam. “Masih marahan dengan Karina?” tanya bibinya yang bernama Winda. Sena melihat ke arah bibinya itu. Sena kembali menghela nafas. “Iya bi, aku masih kesal padanya. Aku yang dibawa-bawa dalam masalahnya itu, hubunganku dengan Nando juga kena imbasnya,” kata Sena dengan
Karina terbangun dari tidurnya yang panjang, terdengar suara alarm dari ponselnya berdering keras memekakkan telinganya. Karina perlahan membuka matanya, dia meraba-raba meja nakas dekat tempat tidur di mana ponselnya di letakkan. Setelah mendapatkan ponselnya, Karina mematikan alarm. Dia melihat jam di ponsel menunjukkan pukul 7 pagi. Cahaya matahari sudah masuk kedalam kamar dari celah gorden. Karina menggerakkan badannya, namun tertahan sesuatu. Dia melihat tangan melingkar memeluk perutnya. Karina menoleh kesamping, di sana Aksa masih tertidur dengan pulas sambil memeluknya. Karina membalikkan badan yang tadinya berbaring membelakangi Aksa kini menghadap kearahnya. Karina menatap wajah Aksa yang tertidur, setelah mengatakan rahasia yang tidak ingin dia bicarakan lagi membuatnya menangis semalam kemarin. Aksa dengan setia mendengarkan membuatnya merasa lebih baik. Karina tersenyum. K
Ciuman mereka masih berlanjut, Aksa tidak melepaskan ciumannya dan membawa Karina ke kamar mereka. Aksa juga mengangkat tubuh Karina dan mendudukkannya di buffet yang tidak terlalu tinggi agar dia bisa dengan leluasa mencium Karina. Tangan Karina memeluk leher Aksa, jari-jari tangannya meremas rambut Aksa. Menahan gejolak gairah yang di dapatkan dari ciuman panas nan basah dengan bercampurnya air liur mereka. Tangan Aksa yang tadinya mengelus punggung Karina, berpindah mengelus paha Karina yang terekpos merasakan sentuhan yang membuat tubuhnya menggelinjang sampai membuat perutnya geli. Karina refleks menjauhkan kepalanya membuat ciuman mereka terlepas. Keduanya saling mengambil napas dengan terengah. Mata keduanya bertemu. Aksa masih mengelus paha Karina, sentuhannya semakin masuk kedalam kimono yang di kenakan Karina. Handuk Kimono itu terbuka memperlihatkan belahan dada Karina walaupun tidak sepenuhnya terbuka. Karina merasakan tubuhnya berkeringat dan kepanasan. Aksa yang melihat
Malam itu, di rumah keluarga Karina. Tn. Rama tersenyum saat mendengar berita bahkan Karina mengunjungi Ferro di kantornya siang tadi. Bahkan berita itu juga sudah masuk berita televisi. Salah seorang pelayannya memberitahukan kedatangan seseorang yang telah di tunggunya. Siapa lagi kalau bukan menantu kesayangannya. Walaupun Karina tidak pernah serumah dengan pria yang tidak lain adalah Ferro. “Aku harus menyambut menantu kesayanganku,” gumamnya setelah diberitahukan kedatangan Ferro atas panggilannya untuk mampir ke rumah. Ny. Arta yang duduk disana hanya diam, melihat wajah suaminya yang begitu semuringah bahagia. Dia merasa kasihan dengan putrinya dan juga suaminya yang terlalu mementingkan egonya. Ferro memasuki ruang keluarga. Dia tersenyum dan menyalami keduanya. Mereka duduk bertiga, sampai Nando datang dan mereka menjadi berempat di ruangan itu. Nando juga sudah mendengar berita itu, kalau Karina tiba-tiba datang ke kantor Ferro.
Karina diam di dalam mobil Ferro. Ferro beberapa kali melirik ke arah Karina saat sedang menyetir, bahkan saat mereka berada di lampu merah. Karina tetap diam, melihat kediaman Karina. Ferro menyadari mungkin karena kejadian tadi. Mood Karina menjadi tidak baik. Saat akan membuka suara, Karina lebih dulu berucap, “aku turun disini.” “Oh kamu sudah sampai rumahmu ya?” tanya Ferro. Karina tidak menjawab, Ferro menepikan mobilnya. Mobil telah berhenti dan Karina keluar begitu saja tanpa mengatakan apa-apa. Dari dalam mobil Ferro hanya bisa melihat punggung Karina yang perlahan menghilang di belokan jalan. Karina berjalan sendiri menuju taman yang ada di dekat sana. Dia duduk di salah satu kursi yang ada disan
Aksa yang berada di kantor sedang bekerja dengan laptopnya merasakan sesuatu yang tidak mengenakan, perasaannya gelisah. Saat melihat wajah Karina sebelum berangkat kerja setelah mereka di kunjungi sahabatnya itu. Wajah Karina berubah dingin kembali, dia bahkan tidak berbicara lagi dengannya. Membuat Aksa semakin khawatir, dia berusaha menghubungi Karina. Namun panggilannya tidak pernah di angkat, dia tahu Karina pasti kecewa padanya. Terlebih saat memergoki dirinya keluar dari apartemen Amanda. Istrinya itu tidak ingin mendengarkan penjelasan darinya. Seseorang mengetuk pintu dari luar ruangannya, setelah di ijinkan masuk. Orang yang tidak lain Dewi. Sekertaris sekaligus asistennya itu datang membawa beberapa berkas untuk di periksa Aksa. Aksa menerima berkas itu, m
Ferro berada di kantornya, dia tidak fokus untuk bekerja. Masalah pernikahannya yang batal, karena mempelai wanita kabur ditambah setelahnya, orang tua wanita itu memintanya mendaftarkan pernikahan di catatan sipil lalu mempublikasikannya. Sampai teman-temannya bertanya ada apa sebenarnya. Padahal waktu itu pernikahan di batalkan. Kalau tidak karena paksaan keluarganya, dia tidak akan mau melakukan semua ini. Ferro menutup berkasnya dan meregangkan tangan. Ferro mengingat Karina, wanita itu menikah dengan pria lain dan tidak di restui keluarganya. Pembicaraannya dengan Aksa suami dari Karina. Ferro tersadar. Kalau dirinya tidak memiliki keberanian seperti mereka, dia tetap menjadi anak yang penurut kepada orang tuanya. Seseorang masuk ke dalam ruangannya membawa beberapa berkas lagi, membuat Ferro menghela napas. Pekerjaannya sang
Aksa telah masuk ke dalam apartemen Amanda. Amanda membuatkan coffe untuk Aksa, Coffe Latte dengan Cream kesukaannya. Aksa melihat coffe itu dan terdiam, suasana kembali hening. Amanda meremas jari-jarinya. Karena dia tidak pernah menyangka berita batalnya pernikahaan Amanda dan Randi sudah tersebar luas. "Kenapa kamu diam? Aku bertanya padamu, apa berita yang aku dengar itu benar. Kamu membatalkan pernikahanmu?" Aksa bertanya sambil menatap lekat ke arah Amanda yang masih meremas jarinya, Amanda berusaha untuk tidak menatap mata Aksa dan memalingkan wajahnya dari Aksa “Dari mana kamu mendengar berita itu?” Amanda balik bertanya. “Apa berita yang aku dengar itu benar?”
Tn. Rama memandang ke arah anak buahnya, dengan tatapannya dia ingin menanyakan kebenaran dari info yang di bawa anak buahnya itu. “Jadi, dulu putranya Anggara pernah batal menikah. Siapa wanita yang menjadi mantannya putra Anggara?” Anak buahnya memberikan amplop coklat. Tn. Rama segera membuat isi amplop coklat itu dan melihat beberapa foto yang berhasil di dapatkan. Tn. Rama dengan seksama melihat wanita yang berada di dalam foto itu. “Dia, bukankah wanita ini adalah model yang banyak diberitakan karena akan segera menikah dengan aktor terkenal?” tanya Tn. Rama, kepalanya mendongak kearah anak buahnya yang berdiri didepan meja kerjanya. “Iya tuan, walaupun merek
Karina terbangun dari tidurnya yang panjang, terdengar suara alarm dari ponselnya berdering keras memekakkan telinganya. Karina perlahan membuka matanya, dia meraba-raba meja nakas dekat tempat tidur di mana ponselnya di letakkan. Setelah mendapatkan ponselnya, Karina mematikan alarm. Dia melihat jam di ponsel menunjukkan pukul 7 pagi. Cahaya matahari sudah masuk kedalam kamar dari celah gorden. Karina menggerakkan badannya, namun tertahan sesuatu. Dia melihat tangan melingkar memeluk perutnya. Karina menoleh kesamping, di sana Aksa masih tertidur dengan pulas sambil memeluknya. Karina membalikkan badan yang tadinya berbaring membelakangi Aksa kini menghadap kearahnya. Karina menatap wajah Aksa yang tertidur, setelah mengatakan rahasia yang tidak ingin dia bicarakan lagi membuatnya menangis semalam kemarin. Aksa dengan setia mendengarkan membuatnya merasa lebih baik. Karina tersenyum. K
Sena berada di dalam kamarnya, dia baru saja mendengarkan voice mail dari Karina. Sena menghela nafas. Dia masih tidak mau menerima telphone dari sahabatnya itu, karena dia masih kesal dengan Karina. Sena keluar dari kamarnya. Dia melihat bibinya sedang menyiapkan makan malam, Sena berjalan menuju sofa di ruang tengah. Sena memang tinggal dengan bibinya, kedua orang tuanya sudah meninggal saat Sena masih kecil. Melihat wajah Sena yang selalu murung, bibinya berjalan menghampiri setelah selesai menyiapkan makan malam. “Masih marahan dengan Karina?” tanya bibinya yang bernama Winda. Sena melihat ke arah bibinya itu. Sena kembali menghela nafas. “Iya bi, aku masih kesal padanya. Aku yang dibawa-bawa dalam masalahnya itu, hubunganku dengan Nando juga kena imbasnya,” kata Sena dengan