Ingin sekali Attar mengajukan segala pertanyaan yang berkecamuk di kepalanya pada kakeknya. Tapi tampaknya Kakek Has maupun Kakek Gun tidak bisa diganggu. Mereka diam seperti bertapa.
Attar nimbrung duduk dengan keluarganya. Ayahnya tak henti-hentinya menenangkan ibunya sedari tadi. “Ruby akan baik-baik saja, Pa, Ma,” katanya dengan yakin. “Kalian sebaiknya pulang saja.”
“Pulang?!” Ibunya terbelalak. “Ini kan cucu Mama. Masa Mama duduk santai di rumah, sementara kamu dalam keadaan begini?!”
Oh, sekarang ibunya yang tadinya tidak menganggapnya ini ikut khawatir, ya. Ini pertanda baik. Setidaknya, ketika anaknya lahir, ia tidak perlu takut tidak diakui oleh kakek-neneknya.
Ia menoleh pada ibu mertuanya yang dari tadi direngkuh Edo. Mereka benar-benar tenang menghadapinya, meski air mata ibu mertuanya tak berhenti mengalir. Karena Mama sudah ditenangkan oleh Papa, Attar duduk di sebelah Edo.
“S
Tentu saja mereka sama-sama tahu, mengapa Emilia bisa mengalami itu. Saat itu istri Fariz tertabrak truk yang entah dari mana datangnya. Dan mereka juga tahu, siapa yang mencukong sopir truk itu.Namun keduanya tidak ada yang ingin menentang Kakek Hasyim. Mereka dibesarkan oleh kemewahan yang hanya diberikan kakek mereka. Sabdaan kakek mereka ibarat ucapan Benito Mussolini sebelum digantung terbalik di Milan. Tak bisa dibantah. Dan tak bisa dilawan.Meski tak bisa mengungkapkan kekesalannya pada sang kakek, dendam itu masih mendera hati Fariz. Ia melakukan segala cara, agar Kakek Hasyim menyesal dengan perbuatannya, sampai istrinya meninggal. Keinginannya hanya dua; membuat kakeknya mengakui istrinya sebagai cucu menantu, serta meminta maaf di pusara istrinya.“Emilia-mu sudah tenang, Iz,” Attar menghibur sepupunya di saat dirinya butuh sekali dihibur. “Setidaknya, mautlah yang memisahkan kalian, bukan perceraian.”“Aku masih
Perbuatan apa? Attar pantas marah. Istrinya selingkuh dengan eksnya yang tak lain sepupu suaminya. Ah, sudah tahukah Attar mengenai hal itu? Mengenai alasannya melakukannya? Mungkin juga tidak. Tadi ketika keluarganya datang, tak ada satupun yang memberi tanda-tanda sesuatu yang buruk telah terjadi. Malah, mereka menyambut kehadiran anaknya dengan bahagia.Dan… Kakek Hasyim. Dia pasti belum menjelaskan pada Attar karena takut cucunya melakukan tindakan fatal lagi. Tapi mengapa setelah Ruby melihat kebahagiaan tak terperi di mata suaminya, ia percaya, suaminya tidak akan merenggut nyawa orang lagi?Suaminya yang begitu mencintainya. Yang begitu mendambakannya. Yang menyayangi anaknya….. Rasanya belum lama pipinya sakit akibat dipukul suaminya. Dan Ruby belum bisa memaafkannya.Senyumnya yang mengembang menghilang di wajahnya. Wajahnya berubah murung mengingat tamparan suaminya. Ya ampun, aku tidak berhak marah. Aku telah berkhianat darinya. Melukai
Ruby istri yang setia, itu yang dikatakan Adam. Ia melakukannya untuk menyelamatkan kesejahteraan rumah tangganya!Attar tak berhenti menunggui istrinya. Beberapa jam kemudian, keadaan istrinya membaik. Ruby meregangkan tubuhnya dengan hati-hati karena sedikit guncangan saja perutnya terasa nyeri.Kakinya sudah bisa digerakan. “Aku ingin menemui anakku,” katanya berusaha untuk menegakkan tubuhnya untuk bersandar di dipan ranjang.Empat hari kemudian, Ruby sudah mulai menyusui anaknya. Diperhatikannya bayi mungil yang berada dalam dekapannya. Diletakkannya ujung jarinya di dada anaknya. Jantungmu begitu teratur, Sayang, meski lahir prematur. Rasanya Mama tidak sanggup lagi melihatmu di sini. Mama ingin membawamu pulang!Pulang. Pulang ke mana? Pulang ke apartemen? Tidak, aku tidak bisa kembali ke sana. Akan sangat menyakitkan tinggal bersama pembunuh ayahnya. Dan pertengkaran mereka yang terakhir membuatnya takut untuk berada di sana lagi. Baga
“Boleh aku menggendongnya?” tanya Attar. Istrinya mengangguk, lalu diraihnya putra mereka ke dalam dekapannya. “Cakepnya… Sudah ada nama untuk anak kita yang ganteng ini?”“Ya, Kakek yang mengusulkan. Aldrin Endra Adiwangsa, bagus kan?”“Tak ada nama keluargaku di belakangnya?”“Apakah tidak terkesan rakus, dua nama keluarga besar digabungkan dalam satu nama?” Dahi istrinya mengerut.“Aku rasa tidak ada salahnya. Jadi, Aldrin Endra Adiwangsa Hardana. Atau kita singkat saja jadi Adidana?”Ruby menggeleng. Tidak setuju. “Aku tidak sreg dengan Adidana,” katanya. “Atau… kita tidak usah memakai nama keluarga saja? Jadi Aldrin Endra, tok.”“Jangan dong.” Attar duduk di tepi ranjang istrinya. “Lagipula, apa sih arti Aldrin Endra itu? Aku baru dengar.”“Justru karena tidak pasaran aku mau memakainya. Kata
“Aku ingin kamu tidak cemburui aku lagi. Aku bukan perempuan binal yang kamu temui di jalan, kan? Jadi jangan cemburu padaku, karena aku hanya mencintai kamu, Sayang.”Baiklah.“Aku tidak yakin kamu bisa melakukannya.”Dengan berat hati Attar mengangguk. “Ada lagi?”“Aku ingin mulai sekarang kamu belajar memasak, menyetrika, dan melayani dirimu sendiri. Karena aku tidak ingin pulang.”“Loh, kenapa?”“Katakan saja ya, kalau tidak aku akan..”“Oke, oke. Lalu apa lagi?”“Aku ingin kita berpisah sementara waktu.”“Apa?” Suara Attar meninggi bagaikan decitan suara mobil. “Aku tidak mau!”“Kalau begitu aku akan meminta Mas Edo untuk mencarikanku pengacara.”“Mengapa sekejam ini padaku, Nia? Aku tidak bisa berpisah darimu. Bahkan selama kita pisah begini, aku tidak bisa berhenti
“Kamu itu bagaikan rongsokan dari sejuta rongsokan lainnya. Sementara istrimu, dia itu satu berlian dari sekian berlian langka lainnya!” Suara makian ibunya terdengar di speaker ponselnya. Tentu saja ibunya tahu mengenai pisah ranjangnya dengan istrinya. Dari siapa lagi kalau bukan manusia serba tahu, kakeknya.“Sudahlah, Ma, biarkan ini menjadi urusanku dengan Ruby,” sahut Attar jemu. Anak sendiri kok dibilang rongsokan!“Mama sudah tahu semuanya, Attar. Kamu kira, ada perempuan yang bisa berkorban sebesar istrimu? Bahkan Mama yakin, Lucy-mu itu memilih kabur daripada…”“Ma! Lucy itu sudah jadi artefak!” tegas Attar jengkel. “Bukannya bantuin anaknya, malah ngomel!”“Kamu bilang biarkan urusan ini jadi urusanmu dengan Ruby, kan?”Attar langsung menekan tombol end di ponselnya. Menyebalkan! Mengapa tidak ada yang bisa membantu dirinya untuk menyel
“Tidak.” Perceraian memang menyakitkan Attar. Tapi aku ingin menyiksanya lebih dari itu. Kalau kami bercerai, ia takkan lama menemukan penggantiku. Aku akan membuatnya merasa terhukum dengan mempertahankan pernikahan ini. “Aku memiliki rencana yang lebih baik.”Ia menemui Attar yang tengah asyik menggoda anaknya. Belum sempat ia membuka mulut untuk menyapa, suaminya sudah menyela, “Anak ini. Adem sekali, tidak rewel, tahunya sudah basah!”Ruby hanya melihat sekilas kemeja Attar yang basah. Oh, mengapa kamu seperti memiliki banyak keperibadian? Di satu sisi aku tahu kamu pria yang sangat baik, tapi di sisi lain kamu seperti kakekmu, bisa melakukan apa saja. Dan kata penyesalan hanyalah omong kosong bagimu.Seolah merenggut nyawa sudah bukan hal yang tabu bagi keluarga suaminya. Ia jadi teringat pada pengakuan Kakek Has mengenai istri Fariz yang dibunuh. Itu sedikit membuatnya menggigil. Meski ia berasal dari keluarga yang baik,
Jadi karena itu kamu menikahiku? Karena kamu mengira, aku akan pasrah saja ketika suamiku membunuh ayahku, begitu maksudmu? Nein, nein, nein! Tapi aku toh tak bisa terus-terusan begini. Bagaimanapun, dia seorang lelaki yang memiliki kebutuhan. “Aku tidak membalas dendam. Tapi aku rasa ini yang terbaik untuk kita. Apakah kamu merasa nyaman, kalau aku tidak nyaman dengan sentuhanmu?”“Kamu tidak nyaman?” Dahi suaminya berkerut. “Kamu tidak pernah memberikan kesempatan padaku untuk menyentuhmu, bagaimana kamu tahu kamu tidak akan nyaman?”“Ngg… mana kutahu? Melihatmu saja sudah membuatku sakit.”&n