Maxime mengajak Nayra makan malam di rumahnya sekaligus mempertemukan Nayra dengan Natasha. Nayra sangat senang bisa bertemu lagi dengan gadis kecil yang memiliki aura sangat positif itu. "Natasha." "Kak Nayra!" seru Natasha yang langsung menghambur memeluk Nayra begitu Nayra muncul di ambang pintu. "Kak Nayra, Natasha kangen banget!" "Sayang, aku juga sangat kangen dengan kamu." Nayra memeluk erat Natasha seperti putrinya sendiri. "Natasha kenapa belum tidur?" Padahal waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. "Sengaja menunggu daddy, rupanya daddy datang bersama mommy baru." "Mommy baru?" Maxime tersenyum mendengar panggilan baru Natasha untuk Nayra. "Um, boleh, kan, Kak? Aku mau panggil kakak jadi mommy saja." Nayra sangat terharu. Dia sengaja tak ingin meminta macam-macam dalam hal panggilan pada Natasha. Karena menurutnya itu semua hanya akan membuat Natasha tak nyaman. Tapi begitu Natasha sendiri yang ingin memanggilnya mommy, tentu itu sangat menyentuh hatinya. "Mom
Maxime menggendong tubuh Nayra, setelah semua tamu undangan pulang dan mereka pun telah kembali ke rumah. Natasha berkenalan dengan Jessica, dia memutuskan untuk tidak mengganggu malam pertama Daddy dan Mommy barunya, Nayra. Jessica mengajak Natasha ikut dengannya, dan Brandon menawarkan diri agar Jessy mau tidur di rumahnya bersama dengan Natasha.Awalnya Jessica menolak, tapi Natasha sebaliknya. Ia cepat akrab dengan Brandon dan ia sangat antusias ingin tidur di rumah Brandon bersama dengan Jessica. Tentu saja Jessy tidak dapat menolaknya, karena melihat Natasha sangat senang. Dalam hatinya ia juga senang, bisa tidur serumah dengan Brandon, pria yang dikaguminya diam-diam.“Kak, apa tidak apa-apa kalau Natasha tinggal di tempat Uncle, seminggu? Apa tidak terlalu lama?” tanya Nayra. “Itu kemauan Brandon, bukannya bagus. Karena itu dia bahkan menunda jadwalnya pergi ke Italia. Lagi pula, Natasha sangat senang dengan Brandon, mereka sangat akrab tadi, aku pun tidak menyangka nya,”
Pagi pertama Nayra, menyaksikan dirinya berada di sisi pria yang ia cintai dalam satu selimut. Maxime masih terlelap, semalam keduanya begitu liar, tak menyangka bahwa akan menjadi sepanas itu. Malam pertama keduanya berjalan dengan begitu mengagumkan untuk mereka.Dipandanginya wajah Max yang begitu tenang ketika tertidur. Hidung mancungnya terlihat sangat indah dengan bibir penuh dan seksi yang tak pernah berhenti menyita perhatian Nayra.Teringat lagi, kala Max memukulnya bertubi-tubi di bagian tubuh belakangnya. Itu tidak menyakitkan, karena Max tidak menggunakan tenaganya. Itulah sebabnya, Nayra malah merasa itu adalah sensasi yang mendebarkan. Ya, Max menolak pada awalnya tapi Nayra tetap ingin merasakan hal itu hingga akhirnya Max menuruti permintaan Nayra.Tak ada trauma, tidak juga pengalaman di masa lalu yang buruk. Nayra merasakan itu tidak menyakitinya, dia tahu Max tidak ingin menyiksanya. Ya, Nayra seratus persen wanita normal dan bukan seorang masokis. Tentu saja dia
“Hmm ... segarnya. Astaga, lihatlah ini, banyak sekali kissmark yang dia berikan, aku tidak bisa menghitungnya,” ucap Nayra pelan. Sekujur tubuhnya penuh dengan tanda merah sebagai jejak yang diberikan Max semalam dan pagi ini.Nayra mengenakan pakaiannya. Di kamar Maxime, ia melihat sudah tidak ada lagi foto-foto Maria, ke manakah kira-kira Max menyimpan foto-foto tersebut? Nayra bertanya dalam hati.Mendadak ia teringat Marina, wanita itu sudah tidak muncul lagi semenjak terakhir kali Maxime mendorongnya di butik. Itu adalah pertemuan mereka terakhir kalinya.“Semoga setelah ini dia tidak muncul lagi dalam kehidupanku dan Max.”Setelah berganti pakaian. Nayra pun segera turun ke ruang makan, Max bilang menunggunya di meja makan. Saat itu Nayra mengenakan kemeja putih agak besar, tanpa menggunakan celana pendek, hanya underwer dan kemeja saja.“Kak, kamu masak apa?” tanya Nayra terkejut saat melihat Maxime sedang di dapur, menggunakan celemek sambil mengaduk masakan di atas kompo
"Aduh, kenapa aku bisa sampai ceroboh, sih?” gumam Jessy. Ia baru saja terkena percikan minyak panas pada punggung tangannya. Tadinya, ia hendak memasak sesuatu untuk makan malam. Pelayan di rumah Brandon sudah melarang, tapi Jessy tetap saja bersikeras ingin memasak.“Nona, saya sudah katakan biar saya saja,” ucap salah seorang pelayan yang langsung mengambil alih aktivitas Jessy.Jessica meniupi punggung tangannya yang terkena percikan minyak barusan. Saat itu Brandon tiba-tiba saja muncul membuat Jessy terkejut.“Jessy, tangan kamu kenapa?”Brandon melihat tangan Jessy sedikit melepuh. “Maaf, Tuan. Tadi, Nona terkena percikan minyak panas, padahal saya sudah melarang Nona untuk melakukannya,” ujar pelayan di rumah Brandon.“Ah, ini bukan apa-apa kok,” jawab Jessy sambil menyembunyikan tangannya ke belakang badan. “Aku mau lihat Natasha dulu, ya,” tambahnya.“Jessy, sebentar. Bisa ikut saya?” ajak Brandon.“Ke mana?”“Sebentar,” jawab Brandon langsung berjalan, meminta Jessy
Marina benar-benar menyesal karena tahu belakangan bahwa Roy mendekatinya karena motif dendam padanya. Kalau saja dulu dia menuruti titah keluarganya untuk menikahi Maxime saja dan tidak kabur dari rumah, mungkin dia tidak perlu mengalami hal menyakitkan seperti sekarang. Di depannya ada sebotol kecil berisikan lima butir pil penggugur. Roy menunggu dia meminum itu secara langsung dihadapannya tapi Marina ketakutan setengah mati dan tidak mau melakukannya karena takut mati. Sekujur tubuhnya gemetar luar biasa, saking takutnya ketika Roy melotot memaksa ia agar segera menelan pil tersebut. "Telan sekarang!" "Emmm..." geleng Marina sambil membungkam mulutnya. Namun Roy tak tinggal diam, dia mencekoki Marina secara paksa agar Marina mau membuka mulut dan obat itu bisa masuk ke dalamnya. Tapi Marina enggan membuka mulut, ia malah menangis dan gemetaran membuat Roy semakin kesal. "Kamu mau membuat saya semakin marah, hah! Buka mulut!" paksa pria itu. Marina tetap menggeleng. "Argh!
"Sudah kau bereskan?" tanya Max dari sambungan telepon. Alisnya mengkerut sambil mendengarkan seksama penjelasan orang suruhannya. Di sampingnya ada Nayra yang tengah sibuk dengan rambutnya. Nayra dan Maxime hari ini akan menengok Natasha yang tinggal bersama Brandon. "Oh, baguslah. Tolong urus sampai selesai. Aku tak ingin ada masalah." Setelah itu Maxime menutup teleponnya. "Urusan pekerjaan, Daddy?" tanya Nayra. "Ya, Baby, biasalah," jawab Maxime. "Hem, apa ada masalah? Belakangan aku lihat sepertinya cukup serius juga," kata Nayra."Tidak ada, hanya urusan kecil. Sudah dibereskan oleh asistenku," jelas Maxime. "Wah, syukurlah," kata Nayra. "Hari ini aku akan kursus masak, Dad," lanjutnya. "Kursus masak? Kok tiba-tiba?" Nayra cemberut. Dia masih kepikiran karena ucapan Maxime tentang spageti buatannya kemarin. Pasti rasanya tidak benar-benar enak. Buktinya, Maxime bilang agar Nayra tidak perlu memasak lagi lain kali. Pasti karena kapok mencicipi masakannya yang berantakan.
Tidak terasa sudah satu minggu, sejak Nayra dan Max menikah. Hari ini Brandon akan terbang ke Italia. Max dan Nayra pun sedang dalam perjalanan menuju ke Bandara, sekaligus menjemput gadis kecil mereka, Natasha. Nayra tampak murung, ia pasti merasa sedih karena Brandon akan pergi cukup lama, belum tahu berapa bulan baru kembali lagi ke Indonesia. Padahal ia baru saja merasakan memiliki keluarga, tapi pamannya itu malah pergi lagi. Ditambah lagi kejadian tempo hari sewaktu Maxime bertemu dengan ibu dari gadis kecil yang tak sengaja ditemui Max. Ibu dari anak kecil itu seperti menyukai suaminya. Ya, Nayra cemburu. “Baby, kenapa murung?” tanya Maxime, sambil mengusap puncak kepala Nayra.“Enggak kok, aku hanya sedih karena Uncle akan pergi, padahal aku dan dia baru aja bertemu.”Senyuman Nayra tidak seperti biasanya, sudut matanya tampak basah. Sesekali ia menyeka air matanya yang hampir membanjiri pipi. Bibirnya sedikit bergetar, ia berusaha tidak memperlihatkan kesedihannya di ha