Pagi pertama Nayra, menyaksikan dirinya berada di sisi pria yang ia cintai dalam satu selimut. Maxime masih terlelap, semalam keduanya begitu liar, tak menyangka bahwa akan menjadi sepanas itu. Malam pertama keduanya berjalan dengan begitu mengagumkan untuk mereka.Dipandanginya wajah Max yang begitu tenang ketika tertidur. Hidung mancungnya terlihat sangat indah dengan bibir penuh dan seksi yang tak pernah berhenti menyita perhatian Nayra.Teringat lagi, kala Max memukulnya bertubi-tubi di bagian tubuh belakangnya. Itu tidak menyakitkan, karena Max tidak menggunakan tenaganya. Itulah sebabnya, Nayra malah merasa itu adalah sensasi yang mendebarkan. Ya, Max menolak pada awalnya tapi Nayra tetap ingin merasakan hal itu hingga akhirnya Max menuruti permintaan Nayra.Tak ada trauma, tidak juga pengalaman di masa lalu yang buruk. Nayra merasakan itu tidak menyakitinya, dia tahu Max tidak ingin menyiksanya. Ya, Nayra seratus persen wanita normal dan bukan seorang masokis. Tentu saja dia
“Hmm ... segarnya. Astaga, lihatlah ini, banyak sekali kissmark yang dia berikan, aku tidak bisa menghitungnya,” ucap Nayra pelan. Sekujur tubuhnya penuh dengan tanda merah sebagai jejak yang diberikan Max semalam dan pagi ini.Nayra mengenakan pakaiannya. Di kamar Maxime, ia melihat sudah tidak ada lagi foto-foto Maria, ke manakah kira-kira Max menyimpan foto-foto tersebut? Nayra bertanya dalam hati.Mendadak ia teringat Marina, wanita itu sudah tidak muncul lagi semenjak terakhir kali Maxime mendorongnya di butik. Itu adalah pertemuan mereka terakhir kalinya.“Semoga setelah ini dia tidak muncul lagi dalam kehidupanku dan Max.”Setelah berganti pakaian. Nayra pun segera turun ke ruang makan, Max bilang menunggunya di meja makan. Saat itu Nayra mengenakan kemeja putih agak besar, tanpa menggunakan celana pendek, hanya underwer dan kemeja saja.“Kak, kamu masak apa?” tanya Nayra terkejut saat melihat Maxime sedang di dapur, menggunakan celemek sambil mengaduk masakan di atas kompo
"Aduh, kenapa aku bisa sampai ceroboh, sih?” gumam Jessy. Ia baru saja terkena percikan minyak panas pada punggung tangannya. Tadinya, ia hendak memasak sesuatu untuk makan malam. Pelayan di rumah Brandon sudah melarang, tapi Jessy tetap saja bersikeras ingin memasak.“Nona, saya sudah katakan biar saya saja,” ucap salah seorang pelayan yang langsung mengambil alih aktivitas Jessy.Jessica meniupi punggung tangannya yang terkena percikan minyak barusan. Saat itu Brandon tiba-tiba saja muncul membuat Jessy terkejut.“Jessy, tangan kamu kenapa?”Brandon melihat tangan Jessy sedikit melepuh. “Maaf, Tuan. Tadi, Nona terkena percikan minyak panas, padahal saya sudah melarang Nona untuk melakukannya,” ujar pelayan di rumah Brandon.“Ah, ini bukan apa-apa kok,” jawab Jessy sambil menyembunyikan tangannya ke belakang badan. “Aku mau lihat Natasha dulu, ya,” tambahnya.“Jessy, sebentar. Bisa ikut saya?” ajak Brandon.“Ke mana?”“Sebentar,” jawab Brandon langsung berjalan, meminta Jessy
Marina benar-benar menyesal karena tahu belakangan bahwa Roy mendekatinya karena motif dendam padanya. Kalau saja dulu dia menuruti titah keluarganya untuk menikahi Maxime saja dan tidak kabur dari rumah, mungkin dia tidak perlu mengalami hal menyakitkan seperti sekarang. Di depannya ada sebotol kecil berisikan lima butir pil penggugur. Roy menunggu dia meminum itu secara langsung dihadapannya tapi Marina ketakutan setengah mati dan tidak mau melakukannya karena takut mati. Sekujur tubuhnya gemetar luar biasa, saking takutnya ketika Roy melotot memaksa ia agar segera menelan pil tersebut. "Telan sekarang!" "Emmm..." geleng Marina sambil membungkam mulutnya. Namun Roy tak tinggal diam, dia mencekoki Marina secara paksa agar Marina mau membuka mulut dan obat itu bisa masuk ke dalamnya. Tapi Marina enggan membuka mulut, ia malah menangis dan gemetaran membuat Roy semakin kesal. "Kamu mau membuat saya semakin marah, hah! Buka mulut!" paksa pria itu. Marina tetap menggeleng. "Argh!
"Sudah kau bereskan?" tanya Max dari sambungan telepon. Alisnya mengkerut sambil mendengarkan seksama penjelasan orang suruhannya. Di sampingnya ada Nayra yang tengah sibuk dengan rambutnya. Nayra dan Maxime hari ini akan menengok Natasha yang tinggal bersama Brandon. "Oh, baguslah. Tolong urus sampai selesai. Aku tak ingin ada masalah." Setelah itu Maxime menutup teleponnya. "Urusan pekerjaan, Daddy?" tanya Nayra. "Ya, Baby, biasalah," jawab Maxime. "Hem, apa ada masalah? Belakangan aku lihat sepertinya cukup serius juga," kata Nayra."Tidak ada, hanya urusan kecil. Sudah dibereskan oleh asistenku," jelas Maxime. "Wah, syukurlah," kata Nayra. "Hari ini aku akan kursus masak, Dad," lanjutnya. "Kursus masak? Kok tiba-tiba?" Nayra cemberut. Dia masih kepikiran karena ucapan Maxime tentang spageti buatannya kemarin. Pasti rasanya tidak benar-benar enak. Buktinya, Maxime bilang agar Nayra tidak perlu memasak lagi lain kali. Pasti karena kapok mencicipi masakannya yang berantakan.
Tidak terasa sudah satu minggu, sejak Nayra dan Max menikah. Hari ini Brandon akan terbang ke Italia. Max dan Nayra pun sedang dalam perjalanan menuju ke Bandara, sekaligus menjemput gadis kecil mereka, Natasha. Nayra tampak murung, ia pasti merasa sedih karena Brandon akan pergi cukup lama, belum tahu berapa bulan baru kembali lagi ke Indonesia. Padahal ia baru saja merasakan memiliki keluarga, tapi pamannya itu malah pergi lagi. Ditambah lagi kejadian tempo hari sewaktu Maxime bertemu dengan ibu dari gadis kecil yang tak sengaja ditemui Max. Ibu dari anak kecil itu seperti menyukai suaminya. Ya, Nayra cemburu. “Baby, kenapa murung?” tanya Maxime, sambil mengusap puncak kepala Nayra.“Enggak kok, aku hanya sedih karena Uncle akan pergi, padahal aku dan dia baru aja bertemu.”Senyuman Nayra tidak seperti biasanya, sudut matanya tampak basah. Sesekali ia menyeka air matanya yang hampir membanjiri pipi. Bibirnya sedikit bergetar, ia berusaha tidak memperlihatkan kesedihannya di ha
Hari ini Maxime harus kembali ke kantor. Sedangkan Natasha juga sudah mulai kembali ke sekolah, setelah mengajukan libur selama satu minggu. Nayra mendampingi Max dan Natasha sampai ke depan pintu gerbang. Mereka akan berangkat bersama, sedangkan Nayra berdiam di rumah. Ia sudah memutuskan untuk menghabiskan waktu lebih banyak sebagai ibu rumah tangga. Meskipun ia tidak bisa begitu saja meninggalkan pekerjaannya, karena Minggu depan dia ada jadwal mengurus project iklan salah satu brand ternama.“Mommy, aku pergi ke sekolah dulu, ya.” Natasha mencium punggung tangan Nayra, disusul kecupan lembut pada kedua pipi gadis kecil itu dari Nayra.“Hati-hati, ya, anak Mommy belajar yang rajin,” sahut Nayra dengan pelukan hangat seorang ibu sambung, yang sangat dibutuhkan Natasha. Rasanya pelukan seorang ibu begitu hangat, sampai Natasha tidak ingin melepaskannya. “Nath sangat senang dipeluk Mommy, sekarang Natasha nggak merasa kesepian lagi,” ungkap gadis kecil Maxime itu.Maxime mengusap p
“JESSICA!”Nayra yang memiliki kode apartemen Jessy, segera masuk ke kamar gadis berusia dua puluh empat tahun itu, tepatnya tiga bulan lagi genap sudah usianya.“Jessica, ya Allah ini udah jam berapa, Jess! Bangun!” Nayra menggerakkan tubuh Jessy yang masih terlelap.“Apa sih, lo siapa ngapain ke kamar gue!” Jessica hanya melenguh sambil menarik selimutnya, menutupi lagi tubuhnya yang meringkuk kedinginan terkena udara AC.“Aku Brandon, Sayang.” Suara Nayra dibuat-buat menyerupai Brandon, meskipun tetap saja tidak mirip sama sekali.“Brandon? Mana mungkin, dia lagi di Italia,” jawab Jessy yang kembali meringkuk, tapi sesaat kemudian ia bergegas bangun.“Astaga, Brandon? Apakah tadi aku dengar nama dia? Di mana dia?”Nayra tertawa terpingkal sambil mengacak rambut Jessica yang sudah acak-acakan sejak tadi. “Otak lo dipenuhin Brandon semua! Bangun woi, ini udah jam sembilan, gila lo!”Jessica menajamkan matanya, ternyata Nayra yang menipunya barusan, batinnya kesal.“Becanda l
Derap langkah terdengar semakin dekat membuntuti Mala yang terus mempercepat langkah kakinya."Siapa sih, kenapa dia ngikutin aku?"Napas Mala terengah-engah setelah dia berhenti karena tak kuat lagi berlari. Ini semuanya karena Dewa tidak menjemputnya di acara reuni teman SMA Mala. Entah siapa orang yang mengikutinya tadi, yang jelas Mala ketakutan."Hallo, Kak. Kamu jemput aku dong, please, aku takut." Suara langkah kaki semakin dekat. Kedua bola mata Mala membulat sempurna saat lengan kekar melingkar di pinggangnya."Aaaaaaaaaaaaaaa....." teriaknya."Sayang, ini aku."Mala menutup mulutnya. Itu seperti suara..."Kak Dewa!"****"Jadi tadi beneran ada yang ikutin aku?" kaget Mala saat suaminya bilang bahwa seorang lelaki mencoba untuk membuntuti Mala. Beruntung Dewa sampai tepat waktu."Iya. Tadi aku emang ada urusan kerjaan di kantor. Semenjak kamu memutuskan untuk resain, aku kan hendel semuanya sendiri, Sayang.""Tapi kan itu keinginan kamu juga, Kak. Aku diminta resain.""Iya.
Mala merasa bersalah pada suaminya. Padahal Dewa bilang tidak apa-apa jika dia belum siap. Sejak tadi Dewa sibuk dengan pekerjaannya. Mala sebagai sekertaris Dewa saat di kantor tidak berani mengajak ngobrol suaminya itu tentang urusan pribadi."Huffffttt...." Mala menghela napas panjang sambil melirik ke arah suaminya yang tak menatapnya sama sekali.Apakah dia marah?Mala beranjak dari duduknya. Dia tidak bisa begitu terus, dia merasa sangat bersalah dan dia satu-satunya yang bersalah. Dewa boleh berkata tidak apa-apa, tapi tetap saja buat Mala sikap suaminya itu agak berbeda."Kak. Kamu marah kan?"Dewa menaruh bolpoin di tangannya. Lalu ia membuang napas perlahan, dengan senyuman tipis, dia menggelengkan kepala. "Enggak, Sayang.""Karena hal seperti itu aja, aku nggak mungkin marah," tambah Dewa.Mungkin suaminya tidak marah. Tapi tetap saja ia merasa bersalah. "Mala nggak konsen kerja.""Ini kan kamu yang minta, Sayang. Kamu bilang mau mulai kerja kan?" ucap Dewa."Iya. Tapi seka
Mala membuka matanya perlahan. Garis bibirnya melingkar cantik menatap pria yang sedang terpejam, nyenyak disampingnya. Mala mengambil cermin, melihat bibirnya agak bengkak dan rambutnya yang berantakan. Dia terkekeh sendirian, tapi pria di sampingnya tidak terusik sama sekali."Capek ya. Kamu sih, mainnya nggak kira-kira," ringisnya sambil menggerakkan perlahan kakinya."Ouch!" pekiknya merasakan tubuhnya sedikit perih dan tidak nyaman."Sayang!" Dewa langsung terkejut saat mendengar suara istrinya. "Kamu kenapa?"Mala menggigit bibir bawahnya sambil meringis, ia tidak berani menyibak selimut di atas tubuhnya. Hanya menggeleng pada suaminya. "Enggak. Aku cuma... Perih.""Perih? Yang mana?" tanya Dewa sambil menyentuh kedua pipi Mala. "Aku nyakitin kamu, ya?" ia menelisik."Bukan. Ini cuma agak perih di bagian--" putus Mala, malu."Bagian mana? Sini, biar aku obatin." Dewa memang polos atau pura-pura tidak tahu sih, bagian mana lagi kalau bukan bagian dimana dia menghujam Mala berulan
"Bun. Mala pulang ke rumah kan?""Mala. Kamu pulang ke apartemen Dewa dong. Masa mau pulang sama Bunda?""Bukannya biasanya tidur di rumah pengantin wanita dulu Bun?""Dewa maunya langsung ke apartemen. Lagi pula Bunda nggak bisa lama di Bandung, Sayang. Tapi, kalau Mala mau tinggal di rumah, Bunda seneng dan mengizinkan.""Bunda mau ke Korea lagi?"Delia mengusap bahu putrinya. "Mala kan udah ada yang jaga. Bunda dan Ayah udah merasa tenang. Tapi, bukan karena itu juga Bunda harus balik segera ke Korea. Bunda dan Ayah masih harus mengurus sesuatu di sana. Mala mengerti kan?""Mala ngerti kok," angguk Mala, memeluk bundanya. "Mala sayang Bunda. Maafin Mala ya, kalau selama ini Mala sering merepotkan Bunda dan Ayah.""Jangan ngomong gitu, Sayang. Mala nggak pernah merepotkan. Bunda dan ayah bahagia punya putri cantik seperti Mala," balas Delia.Begitulah obrolan Mala dengan Delia setelah acara selesai.Mala menghela napas panjang. Saat ini di sebelahnya ada Dewa yang sedang menyetir mo
Sampai detik ini Mala seolah tidak percaya bahwa di tempat ini dia sedang duduk menunggu kedatangan Dewa sebagai calon mempelai pria. Hari ini adalah hari pernikahan Mala Dewa.Gedung hotel sengaja di pesan Delia, ibunda Mala. Sebagai penyelenggara pesta untuk putri semata wayangnya. Delia dan Mahen merasa lega karena putrinya yang sempat berpisah dari Dewa akhirnya kembali bersatu dan hari ini mereka akan menikah.Teman-teman Mala pun berdatangan menghampiri Mala yang sudah terbalut kebaya khas Sunda, cantik dan menawan. Hanya saja Mala mencari keberadaan sahabatnya, Cilla. Gadis itu tidak terlihat hadir bersama Vina yang datang menggandeng kekasih barunya."Vin. Cilla mana? Kok nggak datang?"Vinna mendadak muram. "Dia kayaknya nggak bisa datang. Dia hari ini nemenin nyokapnya di RS. Lo tahu nggak, Mala? Bokapnya Cilla belum lama sakit, terus sekarang gantian deh nyokapnya sakit. Dia sedih banget, mana lo tahu kan, kalau dia suka sama Gilang? Tapi, Gilang malah menolak dia. Padahal
Masih dengan perasaan kesal. Dewa membuka pintu rumahnya. Entah siapa yang bertamu malam-malam begini."Selamat malam," ucap seorang wanita yang tersenyum kecil pada Dewa."Kris? Mau apa kamu ke rumah saya?" tanya Dewa ketus.Ia memijat kening, apa lagi yang akan di perbuat Kristal kali ini. Kalau saja bukan karena Daddy-nya yang berteman dekat dengan orang tua Kristal, mungkin Dewa sudah lama memecat Kristal tanpa memutasikan nya."Aku kesini mau-" jawabnya terpotong saat melihat seorang gadis yang muncul di belakang Dewa."Kamu?" kata Kristal kaget. "Kamu sedang apa di rumah Dewa?"Mala menggelayut manja di lengan Dewa. "Sayang. Kamu udah ngantuk?" tanya Dewa sembari mengusap sulur anak rambut gadisnya."Iya. Kamu masih lama nggak?" balas Mala tanpa mempedulikan Kristal."Kris, kamu mau apa?" tanya Dewa."Kamu tinggal berdua dengan dia?" ucap Kristal, dia terlihat sangat kaget."Kalau iya, kenapa?" sahut Dewa. Mala hanya menatap sinis pada Kristal."Mbak. Tadi kenapa sih cium-cium p
"Tapi kamu suka kan, di mesumin Kakak?""Kakak! Apaan sih, udah ah pokoknya Mala pinjam baju Kakak!""Oke oke, Kakak ambil dulu ya.""Gitu dong." Mala mengangguk. Ia malas pulang ke rumahnya untuk sekedar ganti baju, padahal mereka bersebelahan. Mala berpikir akan menyenangkan jika mereka menikah nanti, selalu bersama dalam satu atap."Sayang. Pakai bajunya ya." Dewa menyerahkan kemeja miliknya dalam keadaan bertelanjang dada. Mala berteriak reflek. "Ahhhh..., Kakak! Porno ih!""Apa sih, hm? Masa gini doang porno. Aku masih pakai celana," bisiknya di telinga Mala.Gadis itu bertambah merona. "Sini kan bajunya. Aku mau ganti sekarang. Mala mengambil baju ditangan Dewa lalu berlari masuk ke kamar mandi. Dewa tertawa melihat Mala yang berlari dengan pipi merah. "Gemes banget. Sabar Wa. Ini ujian, tahan..."Dewa mengenakan kaos tanpa lengan miliknya lalu mulai memeriksa bahan masakan yang ada di dalam kulkas. Mala ingin memakan pasta, dia ingat kalau Mala sangat suka pasta buatannya.Ceri
"Mala!" Dewa berlari mengejar Mala yang berpamitan untuk pulang."Mala! Jangan lari, Sayang." Dewa terus mengejar Mala, sampai-sampai kakinya menyandung sebuah pembatas jalan hingga ia mengaduh kesakitan."Argh!" pekiknya. "Sial!"Mala berbalik, ia segera berlari menuju Dewa."Kakak nggak apa-apa kan? Mana yang sakit?" tanyanya sambil memegangi lutut Dewa. Terlihat baik-baik saja, syukurlah.Dewa langsung memeluk Mala dengan erat. "Jangan pergi. Jangan lari kayak gitu. Nanti kalau kamu jatuh gimana, sakit. Terus jangan cemburu, maafin aku untuk yang tadi."Mala tidak menangis, dia hanya kaget melihat pemandangan tadi. Mala juga tidak marah, dia percaya pada Dewa.Hanya saja Mala bingung, kenapa wanita tadi langsung mencium Dewa begitu saja.Siapa sebenarnya dia?"Mala cuma nggak betah di sana. Mala nggak suka lihat cewek tadi yang tiba-tiba cium kamu," sahut Mala dengan santai sambil menatap mata Dewa."Iya. Dia itu Kristal mantan sekertaris aku. Dia memang begitu, terlalu agresif den
Dewa sudah bersiap dengan setelan kemeja dan jas yang rapih. Tadinya Dewa pikir dia akan berangkat sendiri ke pesta pertunangan sahabatnya, Dika. Tentu rasanya amat bahagia, dia bisa datang bersama gadis yang paling dicintainya, Nirmala.Seutas senyum tak pudar menghiasi bibirnya. Dewa memperbaiki tuxedo dilehernya, lalu berbalik dari cermin menuju ke luar rumah menjemput Mala, tetangganya.Mala pun sudah siap dengan tampilan yang natural. Meski usianya 20 tahun, tetap saja gaya yang digunakan Mala tidak banyak berubah, dia tetap Mala manis yang lebih suka tampil apa adanya, minimalis."Kayak anak kecil nggak sih?" gumam Mala di hadapan cermin sambil memperhatikan penampilannya sendiri.Melihat pantulan dirinya sendiri membuatnya teringat sosok wanita yang pernah mengantar Dewa pulang dalam keadaan mabuk. Wanita dengan high heels merah, dia terlihat seksi dan cantik.Mendadak Mala kembali insecure dengan dirinya sendiri. Apakah Dewa menyukai wanita yang seksi seperti itu?Saat dia sed