"Kak Dewa kok nggak makan?" tanya Mala."Hm, Iya Kakak makan." Dewa pun memakan bakso miliknya, tapi kali ini rasanya tidak seperti biasa, dia merasa bakso itu hambar."Kakak kok kayak sedih gitu sih? Oh iya, Mala sampai lupa, apa yang di omongin Om Max tadi? Apa Om marahin Kakak?""Enggak kok, Daddy nggak marahin Kakak. Mala tenang aja ya, Kak Dewa sayang banget sama Mala. Apapun yang terjadi meski kita akhirnya terpisah sementara waktu. Kak Dewa akan tetap menunggu Mala."Tentu saja gadis itu bingung, untuk apa juga Dewa berkata seperti itu? Mereka kan tidak akan terpisahkan, pikir Mala."Iya, tapi siapa juga yang bakalan memisahkan kita sih, Kak. Aku akan tetap di sini, di Bandung sama Kakak," tutur Mala dengan yakin."Iya, itu kan seandainya, Sayang." Dewa mengusap pipi Nirmala, gadis yang sudah seperti adik, teman, bahkan kekasih buatnya.Mala hanya tersenyum. "Kakak lagi mellow ya. Tumben berandai-andai segala."Gadis itu masih bisa tersenyum manis, dan Dewa berharap senyuman it
Dewa baru saja terjaga dari tidurnya. Meski belum sepenuhnya sadar. Waktu menunjukkan pukul 12.00. Kepalanya terasa berat, tentu karena semalaman ia tidak tidur, ditambah ia yang terus memikirkan Mala.Tangannya meraba ponsel yang ada di atas nakas dengan mata setengah terpejam. Diraihnya ponsel tersebut dan ia langsung memeriksanya. Matanya membulat saat melihat pesan masuk dari Mala yang beruntun. Ia terpaku sambil terduduk. Saat itu perlahan matanya kembali tertutup dan ia menaruh lagi ponsel itu."Mala, maafin Kakak. Tapi sepertinya lebih baik Kakak tidak balas pesan kamu."Mala Sayang : Kak Dewa, Ayah dan Bunda bilang aku harus ikut ke Korea. Aku nggak mau!Mala Sayang : Kakak kenapa sih belum On Juga! Kata Bunda ini semua atas persetujuan kakak, aku nggak mau Kak!Mala Sayang : Aku mau di Bandung sama Kakak! Titik!Mala Sayang : Kalau kakak nggak balas chat ku, aku marah, aku akan pergi ke Korea beneran!Dewa menghembuskan napasnya kasar, ingin rasanya ia membanting ponsel itu s
Pagi ini seperti biasanya, Mala bersiap untuk pergi ke sekolah. Yang berbeda adalah tidak ada lagi suara Dewa yang membuat paginya lebih berwarna. Ya, sejak dua hari lalu Mala mengurung dirinya di dalam kamar dan tidak mau keluar walau sekedar untuk makan.Mala berharap Dewa datang untuk membujuk dirinya makan. Tapi, nyatanya tidak. Mala malah tidak sengaja melihat Dewa yang sedang berboncengan naik motornya yang sudah lama tidak dia gunakan. Yang membuat Mala kaget adalah seseorang yang berada di kursi belakang motornya, dia adalah Rosy.Apakah Dewa sudah melupakan Mala? Secepat itukah? Saat itu Mala melihat senyum Dewa melingkar lebar. Senyuman yang biasa dia lihat di tujukan padanya, kali ini senyuman itu bukan untuk dia melainkan untuk gadis lain. Sejak saat itulah Mala memutuskan untuk melupakan Dewa, meski sulit, sangat sulit sekalipun Dewa telah membuat hatinya patah dan hancur berkeping-keping.Hubungan keduanya tidak bisa dikatakan berakhir, atau putus dalam artian layaknya h
Jika aku tahu menjauhinya akan sesakit ini, aku tidak akan melakukannya. Dewa ~Mala berjalan cepat menaiki anak tangga rumahnya. Bunda dan Ayahnya tidak ada di rumah. Saat itu Mala langsung masuk ke kamar sambil menjatuhkan tubuhnya ke atas tempat tidur. Sesak, sakit, kepalanya pusing sekarang."Kamu nggak boleh nangis, Mala."Gadis itu berusaha sekuat tenaga agar tidak menangis. Tapi, tetap saja ia menangis. Saat itu ponselnya berdering, ia malas melihat siapa yang meneleponnya. Pasti itu bukan Dewa."Mala! Lupakan Dewa!" sentaknya sambil meraih ponsel itu. "Cukup Mala! Siapa juga yang nunggu telpon dari dia!" Mala menghapus air matanya, lalu menatap layar ponselnya."Kak Dewa!"Kejadian saat di kampus Dewa."Jadi lo berusaha jauhin Mala gitu, Wa?" tanya Rosy, teman dekatnya."Ya, setidaknya biarkan Mala fokus dengan pendidikannya dulu. Lagi pula dia dan gue ke depannya bakalan berjauhan. Harus terbiasa," jawab Dewa lesu."Menurut gue nih, ya, sebaiknya lo jangan bikin dia marah. Den
Kamu adalah alasanku tersenyum ceria. Tanpa kamu? Aku tidak memiliki alasan lainnya. Mala ~*****"Pagi Tante.""Kamu siapa?""Kenalin Tan, saya Gilang. Teman Mala."Bunda Mala terdiam sejenak tak lama kemudian Mala pun muncul."Gilang?""Hai Mala, selamat pagi," sapa Gilang ramah dengan senyuman lebarnya.Mala tersenyum samar. "Ah, iya pagi Gilang.""Mala, ini temen baru kamu?" tanya Bunda Mala."Ini, dia itu Gilang. Temen sekelas Mala."Bunda Mala baru kali ini melihat Mala mau berbicara dengan cowok lain selain Dewa. Biasanya Mala tidak mudah akrab dengan cowok lain selain Dewa."Mala." Dewa tersenyum sambil melambaikan tangan menyapa Mala. Lalu ia berdiri tepat di depan pintu gerbang Mala, di sebelah Gilang yang terbengong melihat kehadirannya."Kak Dewa." Senyuman Mala pun kembali melingkar menghiasi bibirnya seperti sedia kala. Melihat hal itu bunda Mala sangat senang, karena putrinya itu tidak lagi sedih. Sepertinya mereka sudah berbaikan, pikir bunda Mala. Ada baiknya semalam
Bahagia itu sederhana. Cukup jadi alasan kamu tersenyum. Ya, sesederhana itu. ~MalaDewa****"Mala!" seru Vina sambil berlarian mengejar Mala yang hendak memasuki kelas."Iya, Vin?""Astaga, aku cari kamu dari tadi. Kamu abis ngapain di belakang sekolah?" tanya Vina dengan napas yang masih terengah-engah."Eh, Vina ngintip ya?" selidik Mala dengan kedua mata melebar. "Hayo ngaku!"Vina menggelengkan kepalanya cepat. "Enggak. Aku cuma itu nggak sengaja lihat.""Ngintip juga nggak apa-apa." Mala mencebikkan bibirnya pada Vina. "Mala tadi sama kak Dewa.""Huh. Beneran Mala tadi gue cuma sekilas doang lihat lo sama Bang Dewa di belakang sekolah. Gue pikir itu privasi jadi gue nggak berani ngintipin lo berdua," kata Vina yang tidak tahan menggunakan aku kamu ketika berbicara, berbeda dengan Mala. "Suer deh.""Nggak ngapa-ngapain kok cuma ngobrol bentar sama kak Dewa. Ya udah ah, Mala mau masuk ya.""Tunggu dulu, Mala!""Apa lagi sih, Vina?""Gue juga lihat lo di anterin sama Gilang." Vina
Percaya nggak kalau aku bilang cinta itu nggak buta, tapi cinta itu membutakan. Lihat aja, cintamu membutakan mata hatiku terhadap yang lain. Aku cuma bisa lihat kamu aja, satu. Iya, kamu. Dewa ~***"Mala bangun, udah sampe loh." Dewa menepuk pelan punggung tangan Mala. Gadis itu tertidur karena belaian angin kota Bandung seolah menyelimutinya. Belum lagi berada di pelukan Dewa, Mala bertambah nyenyak."Eh, udah sampai ya?" balas Mala sambil mengucek kedua matanya. "Aku ketiduran.""Nggak apa-apa Sayang. Nanti di dalam kalau ngantuk pun kamu tidur aja.""Enggak kok, udah nggak ngantuk lagi." Mala pun turun dari motor Dewa."Malaaaa... Oh my princess."Sepertinya Mala mengenal suara itu. Lengkingannya, menunjukkan ciri khas. "Kak Zaki nih pasti." Belum sampai berbalik, cowok bernama Zaki itu langsung menepuk kedua bahu Mala, membuat gadis kecil Dewa kaget. "Aaaaah Kak Zaki nyebelin!"Dewa terkekeh saat melihat Mala terkejut lalu cemberut sambil menghentakkan kakinya."Zaki, lo pengen
Tidakkah Mala menyadari tindakannya kali ini sudah sangat membahayakan? Dia mencium bibir Dewa yang setengah mati menahan dirinya sejak tadi.Dewa kali ini tidak akan menahan lagi. Dia menindih tubuh Mala yang kini tepat berada di bawahnya. Pagutan mereka belum terlepas. Mala makin menekan ciuman tersebut.Lalu keduanya saling memandang. Mala terlihat sangat agresif, hal itu membuat Dewa terheran. "Are you okay, Dear?"Mala mengangguk. "Kalau aku hamil, Kakak pasti akan diminta menikahi aku. Iyakan?"Sontak Dewa melotot ke arah Mala sambil menjauhi gadis itu dengan mendorong tubuhnya. "Apa kamu bilang?""Mala mau nikah sama Kak Dewa. Itu satu-satunya cara kan?"Sumpah demi apapun juga. Dewa tidak menyangka Mala akan berpikir hal gila seperti itu. "Mala. Kamu kok bisa kepikiran hal gila itu sih?""Kenapa? Apa Kakak nggak mau?"Dewa menggeleng cepat. "Tentu enggak, Mala. Bukan gini caranya. Kakak mau menyentuh kamu, memiliki kamu. Tapi nggak begitu caranya, Mala. Please jangan gini, Mal