Percaya nggak kalau aku bilang cinta itu nggak buta, tapi cinta itu membutakan. Lihat aja, cintamu membutakan mata hatiku terhadap yang lain. Aku cuma bisa lihat kamu aja, satu. Iya, kamu. Dewa ~***"Mala bangun, udah sampe loh." Dewa menepuk pelan punggung tangan Mala. Gadis itu tertidur karena belaian angin kota Bandung seolah menyelimutinya. Belum lagi berada di pelukan Dewa, Mala bertambah nyenyak."Eh, udah sampai ya?" balas Mala sambil mengucek kedua matanya. "Aku ketiduran.""Nggak apa-apa Sayang. Nanti di dalam kalau ngantuk pun kamu tidur aja.""Enggak kok, udah nggak ngantuk lagi." Mala pun turun dari motor Dewa."Malaaaa... Oh my princess."Sepertinya Mala mengenal suara itu. Lengkingannya, menunjukkan ciri khas. "Kak Zaki nih pasti." Belum sampai berbalik, cowok bernama Zaki itu langsung menepuk kedua bahu Mala, membuat gadis kecil Dewa kaget. "Aaaaah Kak Zaki nyebelin!"Dewa terkekeh saat melihat Mala terkejut lalu cemberut sambil menghentakkan kakinya."Zaki, lo pengen
Tidakkah Mala menyadari tindakannya kali ini sudah sangat membahayakan? Dia mencium bibir Dewa yang setengah mati menahan dirinya sejak tadi.Dewa kali ini tidak akan menahan lagi. Dia menindih tubuh Mala yang kini tepat berada di bawahnya. Pagutan mereka belum terlepas. Mala makin menekan ciuman tersebut.Lalu keduanya saling memandang. Mala terlihat sangat agresif, hal itu membuat Dewa terheran. "Are you okay, Dear?"Mala mengangguk. "Kalau aku hamil, Kakak pasti akan diminta menikahi aku. Iyakan?"Sontak Dewa melotot ke arah Mala sambil menjauhi gadis itu dengan mendorong tubuhnya. "Apa kamu bilang?""Mala mau nikah sama Kak Dewa. Itu satu-satunya cara kan?"Sumpah demi apapun juga. Dewa tidak menyangka Mala akan berpikir hal gila seperti itu. "Mala. Kamu kok bisa kepikiran hal gila itu sih?""Kenapa? Apa Kakak nggak mau?"Dewa menggeleng cepat. "Tentu enggak, Mala. Bukan gini caranya. Kakak mau menyentuh kamu, memiliki kamu. Tapi nggak begitu caranya, Mala. Please jangan gini, Mal
Hari ini adalah hari kelulusan Nirmala. Dewa sudah bersiap untuk datang ke acara wisuda Mala. Saat itu Dewa berusaha untuk menguatkan dirinya setelah keduanya memutuskan untuk saling merelakan.Ya. Dewa berhasil meyakinkan Mala untuk tetap pergi ke Korea. Mala awalnya masih menolak dengan tegas, bahkan gadis itu menangis dan meraung seperti anak kecil. Tapi, bukan Dewa kalau tidak dapat meluluhkan hati Mala. Dia sepakat untuk menjenguk Mala ketika Mala liburan semester, meski itu tak cukup buat Mala. Tapi, satu hal yang dijanjikan Dewa dan itu sangat ditunggu oleh Mala.Aku akan melamar kamu setelah kamu lulus kuliah.Mala memeluk Dewa dengan erat, saat itu ia tahu bahwa ia tak bisa terus seperti ini. Memaksa Dewa menahan dirinya tetap di Bandung. Sementara orang tuanya menetap di Korea untuk keperluan penting. Mala mencoba menahan egonya sendiri, dan ia ingin menjadi yang terbaik buat Dewa.Aku melakukan ini karena aku mau menjadi cewek yang pintar, yang sukses untuk kak Dewa."Dewa?
Meski di sini aku tersenyum sekalipun. Tetap saja, rasanya tidak sama tanpa kamu. ~MalaDewa*****Mala masih menggenggam erat gelang pemberian Dewa. Air matanya tak dapat ia hentikan. Bulir bening itu terus menerus turun membasahi pipinya."Mala Sayang. Oh astaga, putri bunda yang paling cantik. Udah dong jangan nangis terus." Ibunda Mala terus berusaha menghibur putrinya. Mereka sekarang sudah berada di sebuah rumah yang disiapkan ayah Mala untuk tempat tinggal mereka."Ne, kamsahamnida." Ayah Mala baru saja selesai menelpon. Dia langsung menghubungi kenalannya agar Mala bisa langsung masuk ke universitas."Sayang, ayah udah hubungi teman ayah. Besok kamu bisa mulai kuliah loh. Udah jangan sedih ya, Dewa juga ikut sedih kalau kamu sedih. Udah seminggu Sayang, masa kamu mau sedih terus?" ujar Ayah Mala sambil mengusap kepala putrinya."Bener kata Ayah, Nak. Kamu jangan sedih terus yah. Semangat dong,"Mala mengangguk sambil menyeka air matanya. "Iya, Bun, Yah."Dewa juga selalu memberi
Meski rasanya sulit menjalani hari-hari tanpa Dewa. Tapi akhirnya tepat hari ini Mala berhasil melewati bulan pertama dirinya di Korea. Di kampus Mala hanya terus fokus belajar, temannya hanya Lyra. Gadis itu saja yang selalu rajin menghampiri Mala ke kelasnya, karena kelas mereka berbeda.Namun belakangan Mala merasakan kepalanya seringkali pusing, perutnya juga terasa sakit sesekali. Walau begitu Mala tidak memberitahukannya pada bunda dan ayahnya. Mala tidak mau membuat cemas kedua orang tuanya, menurutnya ini hanyalah sakit ringan yang akan sembuh dengan sendirinya."Mala, kamu nggak makan siang?" tanya Lyra."Enggak, aku belum laper," geleng Mala."Tapi kok kamu pucet banget, Mala? Kamu lagi sakit kah?" Lyra menyentuh kening Mala yang agak berkeringat dan terlihat pucat."Enggak kok, aku nggak sakit." Mala lagi-lagi menggeleng."Mala, kamu tuh lemah banget, lihat deh bibir kamu sampai kering. Ini tandanya kamu sakit." Kali ini Lyra menyentuh pipi Mala yang terasa dingin. "Dingin b
Dewa sudah berada di depan rumah Natasha. Teringat lagi saat Mala begitu lemah tadi. Gadis kecilnya terus menangis tiada henti karena tidak ingin Dewa pergi lagi. Saat itu Dewa merasa sangat bersalah, dia berpikir Mala sakit karenanya."Wa. Kamu kok malah di sini? Ayo masuk," ajak Natasha saat melihat Dewa hanya termenung di depan pintu."Kak. Daddy udah tidur?" tanya Dewa pada kakaknya. Hari sudah larut, tapi Natasha sejak tadi menunggu adiknya pulang sehingga dia sengaja tidak tidur."Udah, tadi Daddy nunggu kamu. Tapi kayaknya dia kecapean, dia ketiduran."Natasha dapat melihat gurat kesedihan dari wajah adiknya. "Dewa? Kamu nggak apa-apa, kan?"Meski keduanya berbeda ibu. Tapi Natasha sangat menyayangi Dewa, ia pun cukup memahami watak adiknya, dia adalah lelaki yang kuat. Tapi sekarang apa ini? Natasha melihat adiknya seperti habis menangis dengan mata yang agak bengkak."Mala baik-baik aja, kan?"Dewa memeluk kakaknya. Saat itu dia benar-benar merasa buruk. "Mala lemah, Kak. Kat
Tau nggak kenapa aku nggak bisa jauh dari kamu? Itu karena berjauhan membuatku takut. Takut, kalau kamu akan berpaling. Takut, kalau kamu menemukan dia yang lain. Yang lebih membuat kamu nyaman dibandingkan aku. ~Nirmala Tau nggak apa yang paling aku kesel? Aku kesel sama jarum jam, kenapa lama banget bergeraknya. Aku ingin waktu berputar cepat, agar aku bisa segera bertemu kamu. Tapi, saat aku di sampingmu, waktu terasa sangat cepat berjalan. Padahal aku ingin waktu terhenti, sehingga aku bisa berlama-lama denganmu. ~Nirmala ******Dewa menghela napas panjang. Ia tersadar bahwa dirinya dan Mala tidak boleh berpisah apapun yang terjadi. Terkadang Dewa berpikir pendek. Dia hanya tidak ingin membuat Mala menderita. Tapi ternyata Mala justru jauh lebih menderita saat keduanya berpisah.Saat ini dia merasa agak lega. Mala menyadari akan kesalahannya, melupakan makan dan kesehatannya. Hal itu adalah penyebab Mala sakit seperti sekarang. Setidaknya kata-kata Dewa ada manfaatnya juga. Mal
Mala memandangi ruangan rumah sakit. Sepi, tidak ada siapapun sekarang. Ayah dan bundanya sedang pulang ke rumah. Pikirannya terus menyimpan banyak pertanyaan tentang perasaan Dewa saat ini padanya.Kita putus aja. Itu yang dikatakan Dewa kemarin padanya. Apa benar Dewa hanya tidak ingin dirinya tersiksa? Atau jangan-jangan Dewa yang ingin berpisah dengannya karena bosan. Tapi, kalau Dewa bosan, buat apa Dewa menangis saat dia sakit kemarin."Apa aku sanggup pisah sama kamu, kak?"Beberapa saat kemudian Mala tersentak mendengar suara pintu ruangannya terbuka. "Bunda atau Ayah?" Mala berbalik dan terkejut."Kak Dewa."Dewa pun masuk bersama dengan Maxime dan Natasha."Om Max?" sapa Mala."Mala Sayang, kamu gimana kabarnya?" tegur Max sambil berjalan mendekat."Mala baik, Om." Mala bermaksud berdiri, tapi Dewa mencegahnya. "Duduk aja," cegahnya."Iya, kamu duduk aja, Sayang." Maxime mengusap puncak kepala Mala. Gadis itu sudah dia anggap seperti putrinya sendiri."Hai Mala, masih ingat