Akhir pekan kali ini Nea memilih membawa Zee piknik di sebuah taman yang mempunyai pemandangan yang cukup indah. Ia berencana pergi berdua saja akan tetapi Aciel menawarkan diri untuk ikut bersama mereka. Alhasil, persiapan Nea menjadi lebih banyak. Ia menyiapkan makanan yang akan dibawa, Nea hanya membuat roti isi, puding, dan jus. Selain itu, Nea membeli beberapa makanan ringan kesukaan Zee. "Mama, ini taruh di tas juga?" tanya Zee sambil memegang beberapa keripik yang tergeletak di atas meja makan. Nea memicingkan mata sesaat lalu mengangguk. "Masukin satu aja sayang, sisanya untuk di rumah. Susun yang rapi ya." Zee membantu Nea untuk memasukkan makanan ringan ke dalam tas sementara wanita itu menyiapkan puding yang akan dibawa. Ia begitu sibuk dengan pekerjaannya hingga tak menyadari kehadiran Aciel. Pria itu membantu Zee lalu melihat ke arah Nea yang tengah sibuk. "Butuh bantuan?" tawar Aciel. "Tidak, tinggal masukin puding ke dalam wadah saja." Nea sedang menyusun puding-pu
Setelah berkali-kali mencari waktu yang pas, akhirnya Nea bisa bertemu dengan Niko. Wanita itu berinisiatif ke kantor Niko sepulang kerja, sebelumnya ia sudah meminta izin sama Aciel dan juga Zee karena akan pulang terlambat. Saat ini dirinya sedang menunggu kedatangan pria itu di lobi hotel, menurut resepsionis Niko lembur di kantor.Tidak lama setelah Nea duduk di lobi, Niko muncul berjalan tergesa-gesa menghampiri wanita itu. Ia pun ikut duduk di sebelah Nea tetapi pandangan wanita itu malah menyorot dirinya bingung. "Ada apa? Kenapa natapnya gitu banget?" tanya Niko tidak nyaman dengan tatapan Nea. Wanita itu langsung memegang kening Niko dan menggeleng. "Kamu udah makan? Banyak kerjaan? Kenapa kurus banget gini, terus mukanya pucat." Nea hampir saja tidak mengenali Niko karena tubuh pria itu menjadi kurus dan wajahnya tirus. Niko langsung menutup wajahnya dengan telapak tangan. "Lagi diet aja," alibi Niko padahal kenyataannya belakangan ini ia tidak berselera makan. Sudah lam
Sepulang kerja Nea langsung dikagetkan dengan kehadiran Dayana yang sedang berada di dapur. Hadirnya Dayana membuat Nea takut untuk bertindak, karena apa pun yang dilakukan Nea akan salah di mata Dayana. Tatapan tajam menjadi hal yang pertama kali diberikan Dayana saat melihat kehadiran Nea di dapur."Ke mana aja? Jam segini baru pulang. Bukannya masak untuk suami, malah keluyuran." Dayana memberikan ucapan pedas lengkap dengan lirikan tajam.Nea menyunggingkan senyum dan berjalan menghampiri Dayana. "Maaf, ma. Nea tadi kerja makanya baru pulang." Kegiatan Dayana langsung terhenti, ia berkacak pinggang sambil berdesis kesal. "Kerja? Siapa yang izinin? Jadi selama ini kamu kerja dan membiarkan anak saya terlantar?" Bagaimana cara menjelaskannya pada Dayana. Tidak salah jika wanita itu berpikir begitu, melihat Nea hari ini memang sedikit telat pulangnya. Ia pun berusaha memasang senyum terbaiknya mengesampingkan rasa takut yang muncul. "Mas El biasanya pulang mal—""Jangan banyak ala
Nea panik saat mendapati tubuh Zee panas, Ini pertama kalinya ia merawat anak kecil yang sedang sakit. Gadis kecil itu terus merengek membuat Nea bingung harus melakukan apa. "Sabar ya sayang, mama cari obat dulu," ucap Nea sembari membuka laci untuk mencari keberadaan obat. Suster Zee hari ini berhalangan sakit, serta pembantu lainnya sudah tidur. Sementara Aciel keluar kota dan rencana pulang besok."Sakit mama," lirih Zee dengan suara bergetar.Nea semakin panik, ini pertama kalinya untuk Nea mengurus anak sakit. Ternyata ini rasanya, panik dan muncul rasa takut. Setelah menemukan obat Nea langsung menyuruh Zee untuk duduk. Ia pun menyuapi gadis kecil itu dengan obat, berharap setelah itu kondisi Zee menjadi lebih baik."Ayo sayang, dibuka mulutnya."Zee menggeleng. "Nggak mau, obat pahit."Nea mencoba menenangkan Zee yang mulai kembali merengek, ia mendekap Zee dan mencoba memberikan kembali obat tersebut tetapi ditolak. "Nggak mau, mama," rengek Zee. "Nggak pahit sayang, ini s
Aciel pulang dengan penerbangan pertama hari ini setelah mendengar kabar mengenai Zee yang dirawat di rumah sakit. Pria itu terburu-buru masuk ke rumah sakit dengan wajah panik dan keringat mengucur. Sesampainya di depan ruang inap Zee, ia suguhkan dengan pertengkaran Dayana dan Nea. Aciel mendengkus kesal. "Kamu gimana sih, masa jaga Zee aja nggak becus. Lihat akibat ulah kamu Zee di rawat di rumah sakit. Kamu itu bisa baca apa nggak sih, sebelum kasih obat lebih baik pastikan tanggal kadaluarsanya!" Dayana tanpa henti memarahi Nea yang hanya diam saja dengan kepala tertunduk. "Kalau mau bertengkar silakan keluar! Di sini bukan tempat untuk bertengkar, saya tidak ingin anak saya terganggu dengan suara kalian!"Suara Aciel yang secara tiba-tiba membuat mereka berdua menoleh. Nea menatap dengan rasa bersalah ke arah Aciel yang terlihat marah bercampur khawatir. "Mas," gumam Nea. "Dan kamu, jangan tunjukkan wajah kamu di depan saya!" tegas Aciel dan masuk ke dalam ruang inap Zee. D
Hari ini Zee akhirnya diperbolehkan untuk pulang, kondisinya sudah jauh lebih baik dan wajahnya sudah tidak sepucat kemarin. Kepulangan gadis kecil itu disambut dengan sangat meriah oleh seisi rumah tak terkecuali Nea. Rumah dihias sedemikian rupa agar gadis kecil itu merasa senang."Selamat datang Nona Zee," ucap Mbak Ani memberikan balon berwajah Zee. Mendapatkan balon itu membuat senyumnya mereka sempurna, dipandanginya wajah yang tertera jelas di balon itu. Ia tampak begitu gembira. "Wah, ada wajah Zee. Makasih bibi," ucap Zee dengan kepala yang dimiringkan.Mbak Ani tersenyum sembari mengelus pipi Zee, setelah itu satu dari mereka mengucapkan selamat datang, tersisa seorang wanita yang berdiri sambil tersenyum hangat dengan mata yang menahan tangis. "Mama, kenapa diam aja?" tanya Zee sembari melambaikan tangan.Nea hendak maju, tetapi saat melihat tatapan Aciel yang sangat tajam kepadanya seakan menyuruhnya untuk tetap di belakang. "Selamat datang sayang," ucap Nea tanpa maju k
Berjalan tidak tentu arah dan hanya mengikuti kemana kakinya melangkah membuat Nea merasa lelah, keringatnya mengucur membasahi wajah dan tubuhnya tetapi ia tidak ada keinginan untuk berhenti. Tatapan orang-orang padanya tidak dihiraukan sama sekali. "Nea!" Suara seseorang memanggil Nea membuat kepala gadis itu menoleh ke belakang. Ia pun langsung membelalak saat mendapati Niko melambaikan tangan.Kepala Nea langsung lurus ke depan, tangannya dengan cekatan menghapus air mata yang masih mengalir. Bagaimana kalau Niko bertanya mengenai dirinya saat melihat wajah sembab Nea? Sebisanya Nea bersikap biasa dan tidak menghiraukan apa pun yang akan terjadi. "Mau ke mana? Dari tadi aku panggil dari mobil." Niko menunjuk ke arah supermarket yang sempat dilewati Nea tadi. "Cuma jalan-jalan sore aja," alibi Nea dengan mata yang memandang sembarang arah. Saat menyadari wajah Nea yang sembab dan mata Nea yang berusaha tidak menatapnya membuat Niko spontan memegang lengan Nea. "Ne? Ada masalah?
Galen akhirnya mendengar kabar mengenai Nea yang semalaman tidak pulang ke rumah dan pria yang mengaku sebagai suaminya itu masih terlihat santai dengan pekerjaan tanpa berniat mencari istrinya yang tidak pulang semalaman. Kini mereka berada di sebuah cafe untuk membahas mengenai pekerjaan. "El, kamu beneran tetap diam sepertinya tanpa mencarinya? Gimana kalau terjadi sesuatu?" tanya Galen khawatir. Aciel tampak acuh dan terus membaca kertas-kertas yang bertumpuk di atas meja. "Aku sibuk," jawabnya singkat membuat emosi Galen mulai meluap-luap. "Kamu masih marah sama Nea masalah Zee? Bukankah dia sudah meminta maaf dan mengaku bahwa dirinya ceroboh? Setiap manusia pasti pernah melakukan kesalahan tak terkecuali Ne." Ucapan Galen tidak didengarkan sama sekali membuat pria itu mulai geram dan menarik kertas yang menyita perhatian Aciel sejak tadi. Sikap Galen yang menurut Aciel sudah keterlaluan membuatnya mengerang marah. "Ada apa sih, Gal? Kenapa jadi berlebihan gini?" Galen ber
Semalaman Nea tidak tidur, ia terus mencoba menghubungi Aciel akan tetapi tidak mendapatkan jawaban sama sekali. Omar pun ikut menemani Nea karena khawatir pada anak sulungnya itu. Pagi ini sudah beberapa kali Omar memaksa sang putri untuk sarapan, tetapi ditolak mentah-mentah oleh Nea. "Ne, ayolah makan. Ibu sudah masak untuk kamu. Jangan hanya duduk seperti itu terus," ucap Omar melihat sang putri duduk di dekat jendela. Tidak ada respon, Nea masih duduk termenung di dekat jendela memikirkan keadaan Aciel. Telepon tidak diangkat dan ia pun tak bisa keluar rumah karena Indri mengurungnya. "Ayah akan coba bujuk ibumu agar bisa keluar, kamu bisa lihat keadaan Nak El. Jangan kayak gini terus, ayah jadi khawatir. Di luar ibumu sudah khawatir karena Rea masih belum bisa dihubungi."Nea memang terlihat acuh akan tetapi setiap kata yang keluar dari mulut Omar didengarkannya dengan baik. Ia pun langsung menolehkan kepala, memang Nea belum menghubungi Rea. Apa yang terjadi pada gadis itu?
Matahari mulai tenggelam berganti dengan sinar rembulan akan tetapi seorang wanita masih setia duduk di teras dengan ponsel yang terus menghubungi seseorang. Wajahnya terlihat cemas sejak tadi membuat seorang pria paruh baya yang melihatnya merasa iba. "Ne, mungkin kerjaan Nak El belum selesai. Masuk saja dulu, di luar dingin," ucap Omar membujuk sang putri untuk masuk tapi tidak ada jawaban dari Nea. "Mas El udah janji mau datang, dia pasti datang yah. Ayah saja masuk, Nea tidak apa sendirian." Omar menghela napas berat melihat sang putri yang keras kepala. Ia pun melirik ke arah jam yang tergantung di dinding. "Sudah jam 9 malam, lebih baik kamu istirahat saja."Nea menggeleng. "Tidak, Nea tidak bisa istirahat. Bagaimana kalau terjadi sesuatu yang tidak-tidak. Ponsel Mas El nggak aktif sekarang, tadi masih bisa di telepon. Kak Galen juga nggak angkat telepon Nea, tadi coba telepon kantor katanya mereka berdua nggak ada di kantor sejak pagi. Yah, kira-kira ke mana mereka? Nea khaw
Hari ini adalah hari yang ditunggu Nea. Semalaman wanita itu tidak tidur memikirkan apa yang akan terjadi hari ini. Lihatlah sekarang saat ini Nea sedang sibuk di dapur menyiapkan beberapa makanan yang akan disajikan untuk sang suami. Indri pada awalnya sempat marah akan tetapi Omar membujuk istrinya itu untuk mendengarkan Aciel sekali ini saja. "Ne, jam berapa Nak El datang?" tanya Omar. Nea yang sedang sibuk menggoreng ayam langsung menoleh ke belakang di mana sang ayah tengah duduk di kursi roda dekat pintu dapur. "Katanya siang, yah. Pagi ada kerjaan yang harus dikerjai."Omar mengangguk paham. "Yaudah, ayah mau ke depan dulu jalan-jalan, kalau sudah datang kabari ayah saja." "Oke, hati-hati yah."Perhatian wanita itu kembali pada ayam yang sudah mulai matang. Ia membalikkan ayam itu dan menunggunya beberapa saat sebelum diangkat. Suara derap kaki yang mendekat membuat perhatian Nea kembali teralihkan. Indri berdiri di belakangnya dengan ponsel di tangan. Wajah yang terlihat ce
Rea tertawa melihat Galen yang baru saja terjatuh akibat tersandung. Tawanya yang cukup kuat membuat Galen mendengkus kesal dan berusaha untuk bangkit. Setelah itu, ia menoyor kepala Rea. Mereka baru saja dua hari di Yogyakarta tapi sudah sangat dekat satu sama lain. "Makanya jangan jalan cepat banget kak, tuh malah kesandung kan. Lagian, kebiasaan jalan kayak cheetah," kekeh Rea lalu berjalan meninggalkan Galen. "Kalau ketinggalan kereta gimana? Kamu tahu ini tiket terakhir."Hari ini, Galen akan pulang ke Jakarta. Sebelumnya Galen memperkenalkan Rea dengan teman kuliah Galen dulu yang akan menjaganya selama di sini. Ada beberapa urusan yang harus Galen kerjakan. "Ya ampun, padahal masih ada sepuluh menit lagi. Santai aja kali," ucap Rea tenang. Jika Rea bisa tenang tidak untuk Galen, pria itu sangat tepat waktu dan tidak pernah terlambat oleh karena itu ia berusaha sebisa mungkin untuk datang tepat waktu. "Rea waktu itu sangat berharga, bagi kamu hanya sepuluh menit bagi aku t
Nea melirik ke sekeliling, sekiranya dirasa sudah aman barulah ia mengunci pintu kamar dan mengambil ponsel yang diberikan Rea tempo hari. Ya, setelah kejadian tersebut, Indri menyita ponsel Nea dan membuatnya sangat sulit untuk berkomunikasi dengan Aciel. Untuk keluar saja Nea harus ditemani terlebih dahulu. Hidup Nea jauh dari kata nyaman. Setelah mencari kontak yang ingin dihubungi, barulah Nea langsung menempelkan ponsel ke telinga dan menunggu sang penerima menjawab panggilan Nea."Halo, Ne? Syukurlah akhirnya kamu hubungi aku." Suara yang sudah lama tidak didengar oleh Nea. Hanya suaranya baru terdengar membuat Nea sangat bahagia. Ia langsung mencari posisi nyaman untuk bicara pada orang tersebut. "Iya, mas. Kemarin mau hubungi mas, tapi ibu ngikutin aku Mulu sekarang ibu sedang tidur dan kebetulan ayah duduk di luar, jadi bisa hubungi mas.""Gimana kabar kamu? Semuanya baik, kan?" tanya Aciel. "Nea baik-baik saja, tidak ada masalah hanya kemarahan ibu yang belum reda. Mas g
"Di mana Kak El?" tanya Rea pada Galen yang baru saja datang dengan tas ransel yang seperti tidak ada isinya itu. Mata Rea masih berkeliling melihat keberadaan sosok Aciel. "Kakak nggak ngajak Kak El? Bukannya Rea minta tolong untuk mempertemukan Rea dengan Kak El?" Galen menghela napas. "El di rumah, dia nggak mau diajak bicara. Aku udah coba ngajak dia ke sini tapi nggak ada jawaban. Lebih baik kita tunggu saja mana tahu El akan datang." Harapan satu-satunya akan hubungan mereka adalah cara Aciel membujuk sang ibu. Indri saat ini memang sangat marah akan tetapi perlahan wanita itu akan mendengarkan Nea ataupun Aciel.Cukup lama mereka menunggu, setengah jam lagi kereta aka berangkat tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan Aciel hingga pria itu terlihat sedang berjalan ke arah sini dengan wajah datarnya. "Itu Kak El!" Rea membenarkan ransel di punggungnya dan berlari menghampiri Aciel."Kak El, cepat Rea mau bicara!" Rea menarik tangan Aciel dan duduk di kursi yang tidak banyak oran
Suara gedoran pintu yang terus terdengar membuat orang rumah langsung berdecak kesal. Indri berjalan dengan hentakan kaki yang cukup kuat berjalan ke pintu rumah akan tetapi ditahan oleh Nea."Bu, biar Nea saja yang keluar," bujuk Nea.Indri menghempaskan kasar tangan Nea hingga tubuh sang anak terhuyung ke belakang. "Duduk saja di dalam jangan keluar!" tegasnya. Nea langsung mengeluarkan ponselnya dan mencoba menelepon sang suami akan tetapi tidak diangkat hingga akhirnya suara pintu terbuka menampilkan wajah Aciel. "Ngapain kamu ke sini?" tanya Indri dengan nada tinggi. "Bu, dengarkan penjelasan El terlebih dahulu, El akui awal pernikahan kami salah dan telah memaksa Nea untuk menikahi saya—"Indri mengangkat telapak tangannya memberi kode pada Aciel untuk berhenti bicara. "Sudah, saya hanya ingin dengan pengakuan itu. Semuanya sudah jelas, kenapa masih di sini? Silakan pulang, masalah hutang akan saya bayar besok. Silakan pergi dan jangan pernah kembali!" Tangan Indri menarik ga
Sesuai permintaan Nea, sejak pagi Rea sudah mengawasi setiap gerak-gerik Omar dan Indri. Tidak ada yang aneh, malahan Indri yang merasa risih dengan Rea yang selalu mengikuti ke mana ia pergi. "Re, ada masalah apa sih? Kenapa ikutin ibu mulu?" protes Indri.Rea tidak menghiraukannya, ia malah sibuk dengan ponsel seakan dirinya sibuk padahal setelah itu kembali melihat ke arah ibunya tiada henti. "Kamu mau uang?" tanya Indri, teringat akan anak tetangga yang bertingkah persis seperti Rea karena menginginkan uang jajan lebih. Tatapan Rea langsung teralihkan dari ponsel. "Ha? Ibu bilang apa?" Indri berdecak kesal. "Kamu kenapa? Dari tadi sikapnya aneh banget. Kamu butuh uang jajan lebih?" tanya Indri. Sang anak pun menggeleng. "Cuma lihat ibu lagi masak apa. Lagian kak Nea baru ngirim uang jajan banyak, ngapain minta ke ibu lagi.""Yaudah, kamu tolongin ambil daun jeruk di kulkas." Rea pun langsung bangkit dari duduknya mengambil daun jeruk sesuai perintah sang ibu. Saat berbalik,
"El, kamu dan Nea harus bicarakan mengenai pernikahan kalian pada orang tua Nea secepatnya. Niko mulai mengumpulkan bukti menjatuhkanmu. Bahkan, dia sudah tahu Pak Broto yang membuat kamu meminta Nea untuk menikah." Galen memberikan beberapa foto yang menunjukkan Niko menemui sekretaris Pak Broto.Aciel mengacak rambut kasar sambil membuang semua foto-foto itu ke lantai. "Sial! Kenapa dia tidak berhenti?" geram Aciel. "Kamu secepatnya harus membatalkan kontrak pernikahan itu dan berkata jujur dengan orang tua Nea dan juga Tante Dayana sebelum terlambat."Niko sama sekali tidak membiarkan Aciel dapat bernapas lega. Ia pun bangkit dan membalikkan tubuh. Bola mata yang berputar hingga terhenti saat bertemu dengan netra hitam Nea. "Nea?" gumam Aciel dengan kepala yang beralih ke kiri Nea. "Rea?" Kedua kakak beradik itu berdiri sambil memandangi Aciel yang terlihat kaget. Terlebih lagi Rea yang masih bingung dengan apa yang terjadi. Nea yang langsung menoleh ke kiri, makanan yang dipega