(Sekar)
Aku selalu melingkarkan tubuhku jika suhu kamar berubah menjadi dingin. Padahal selimut tebal sudah menutupi tubuhku. Dalam tidurku, aku selalu mendengar suara deburan ombak dan suara seorang pria. Pria itu muncul di depanku dan memelukku erat.
“Sekar, I miss you so much.” ujarnya masih memelukku. Dia membelai rambutku dengan pelan.
Tiba-tiba aku merasakan kehangatan seperti pelukan yang nyata. Lalu aku membuka mataku. Aku berada di dalam pelukan Mahesa!
“Sekar bangun.” ucapnya pelan. Dia membelai rambutku. “Kamu tidak mau mengerjakan pekerjaanmu?” tanyanya.
Ter
(Sekar) Aku tidak yakin dengan perasaanku ketika bersama Mahesa. Sikapku seperti orang yang dimabuk cinta. Tunggu cinta? Secepat itukah perasaanku padanya? Dia itu menyebalkan. Seenaknya mengklaim bahwa aku pacarnya. Seenaknya menyuruhku tidur dengannya. Seenaknya menciumku. Menyuruhku ini itu. Anehnya, aku tidak menolak walaupun ada beberapa yang membuatku risih. Aku suka ketika dia memelukku. Ada perasaan nyaman. Seperti hal itu pernah terjadi padaku sebelumnya. Beberapa hari ini aku selalu pulang malam dan sibuk sekali. Aku tidak sempat bertemu Mahesa dan selalu menemuinya di hotel. Kegiatannya hanya di hotel. Aku rasa dia memang pemilik hotel ini. Dia cukup banyak berinteraksi dengan beberapa karyawan. Seorang wanita cantik akhir-akhir ini mengikutinya. Dia yang selalu mendatangi kamar kami d
(Mahesa) Kedua tanganku memegang pinggiran pembatas besi, kemudian kakiku selangkah demi selangkah menapak ke tanah, lalu aku melepas kedua tanganku. Kakiku sudah lumayan membaik. Bahkan hari ini, aku sudah tidak menggunakan tongkatku untuk membantuku berjalan. Aku hanya berpegangan kepada Kiano dan berjalan dengan santai. Seorang terapis memberikan gerakan-gerakan terapi untuk kakiku selanjutnya saat aku berbaring di sebuah kursi panjang. Karena ruangan terapi di sini berdinding kaca, tidak sengaja aku melihat Sekar melewati lorong ruang terapi. Dia berjalan menatap lurus ke depan. Pasti dia akan menemui psikiater. Refleks, aku menelpon Sekar tanpa memikirkan hal-hal tidak terduga ke depannya. Sempat beberapa kali aku meneleponnya tapi tidak diangkat. Karena penasaran dan kesal dia tidak meng
(Mahesa) Ponselku berdering terus-terusan. Siapa sih yang meneleponku tiada henti? Aku keluar dari kamar mandi dengan terburu-buru. Tahu kan? Kakiku tidak berfungsi dengan baik yang satunya? Sekar. Semenjak kemarin aku pulang ke Jakarta, aku tidak pernah mengangkat telepon dari Sekar. Bahkan membalas chat-nya. Aku tidak berani melihatnya. Nampaknya, aku harus memberinya waktu lebih banyak untuk berpikir, agar aku bisa masuk kembali ke dalam kehidupannya, ketika dia siap walaupun dengan ingatannya yang hilang. Aku kembali pada terapi kakiku hampir setiap hari. Sibuk mengurusi perusahaanku dan mencoba beberapa game baru untuk diluncurkan. Lalu aku juga ingin m
(Mahesa) KLONTANG! Sebuah nampan besi kecil jatuh di dekat kaki Derry. “Sorry…sorry.” teriaknya dari dapur. Dia terlihat sedang memasak sesuatu tapi tersenggol dengan nampan yang ada di atas pantry. Aku melongok ke arah dapur. Apartemen kini terlihat berantakan. Kiano mengambil alih meja kerjaku dan terlihat serius mengerjakan sesuatu di komputer. Aku? Sibuk dengan game-ku. Aku stuck di level yang sama. Entah game ini terlalu sulit atau memang aku yang sedang tidak fokus hingga aku membanting stick game-ku. SHIT! “Hey. Nggak ada yang le
(Sekar) Beberapa masakan yang Ibu hidangkan memang semuanya pesan. Aku menyarankan agar tidak memasak, karena akan capek sekali untuk membereskan semua piring-piring kotor setelah tamu pulang. Lagipula, Ibu dan Ayah tidak membicarakan siapa yang akan datang. Jadi, aku pikir aku pun akan menggunakan pakaian yang santai. Celana jeans dan kemeja pendek. “Sekar! Kamu kok pakai baju kayak gitu sih?” Ibu membuka pintu kamar dan berteriak dari pintu. “Ha? Emangnya kenapa, Bu?” Tanganku yang sedang memegang sisir seketika terhenti. Ibu sepertinya terlalu berlebihan memarahiku untuk urusan kecil seperti ini. “Kamu kan bisa pakai baju yang lebih sopan, form
(Sekar) Kejadian semalam seperti mimpi. Bahkan aku pun tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Selesai makan malam, aku langsung masuk kamar. Baik Reni dan Ibu pun tidak ada yang melihat keadaanku di kamar. Saking kesalnya aku melempar semua barang-barangku berhamburan di kamar. Pagi harinya, setelah Reni pergi ke kantor, aku keluar kamar dan duduk di dapur. Ibu melewatiku seperti biasa seolah-olah tidak ada permasalahan. “Bu, apa Ibu sama Ayah kenal sama Bapaknya Mahesa sebelumnya?” “Enggak.” “Jadi baru kenal semalam? Baru ketemu semalam?” Aku memastikan. Takutnya memang Ibu
(Sekar) Jantungku memang berdebar saat itu. Saat aku melihat senyuman Mahesa yang hangat. Dia memelukku lagi dan mengucapkan, “Ayolah, masak sesuatu. Aku benar-benar lapar.” Aku melepaskan pelukannya dan kembali ke ruang tengah. Menaruh tasku kemudian berjalan ke dapur. Mahesa mengikuti ke dapur, memberitahukan isi kulkas dan lemarinya. Ketika aku sibuk dengan masakanku, aku bisa melihat pasti Mahesa memegang kakinya setelah itu tertidur di sofa. KLONTANG!! Aku tidak sengaja menjatuhkan tutup panci dari peganganku karena lenganku tersenggol dengan panci panas di sebelahnya.&n
(Sekar) Di dalam mimpiku kali ini, aku hanya membaringkan tubuhku di sebuah kasur empuk. Tubuhku hangat. Wajahku terbenam dalam selimut tebal. “Sekar bangun.” Aku membuka mataku dan terduduk tiba-tiba. Suara itu muncul lagi. Aku melihat sekitar, aku masih di apartemen Mahesa dan dia sendiri masih tidur pulas, karena tiba-tiba terduduk, kepalaku agak pusing. “Hmmm, kamu sudah bangun?” tanya Mahesa dengan suara serak. Matanya masih terpejam. Aku berencana untuk menyudahi waktu tidurku walaupun kepalaku agak pusing. Mahesa menarikku ke dalam pelukannya.&n
(Sekar) Satu bulan kemudian, Derry terlihat sedang melamun melihat langit-langit rumah. Rumah yang direnovasi ini adalah atas namaku. Aku melihat sertifikat rumahnya, sudah berubah setahun yang lalu. Aku tidak mengetahui hal ini, karena ingatanku belum sepenuhnya pulih. Waktu kami liburan di Bali sebulan lalu, Mahesa memberitahu padaku bahwa ada sebuah rumah atas namaku dan Derry sudah merenovasi seutuhnya atas saranku. Dulu. “Apa yang lo lihat?” tanyaku yang ikutan juga memandang langit-langit rumah berwarna putih gading dengan lampu gantung yang indah. “Rumah ini…” Derry menghela napasnya. “Rumah ini adalah rumah terlama yang gue renov.
(Sekar) Aku terbangun dan membuka mataku. Perasaanku terasa bahagia dan tubuhku bugar sekali, walaupun sepertinya aku sudah tidur lama sekali. Perutku benar-benar lapar. Sebetulnya aku terbangun karena mendengar suara Mahesa yang berisik sekali. “Apa? Apa kamu nggak bisa ke selatan sebentar untuk mengecek?” Aku mengerutkan dahiku. Menajamkan pendengaranku dan otakku masih berpikir keras. “Marcel!!! Bisa nggak kamu cek stok senjata di selatan???!!!” teriaknya tidak sabaran. “Kita akan mati!!!” Kali ini dia berteriak. Aku duduk di kasur. Melihat Mahesa berada di balkon, duduk di k
(Mahesa) Keesokan paginya aku bangun tiba-tiba. Terduduk di atas kasur. Aku mengingat kejadian semalam. Aku hanya ingat aku agak mabuk dan mengobrol dengan Sekar. Kepalaku agak pusing sedikit dan… aku melihat Sekar masih tertidur disampingku. Aku memutuskan untuk kembali tidur dan menyelimuti diriku sambil memeluk Sekar. Waktu tanganku berada di pinggangnya, dengan cepat Sekar membuang tanganku dan duduk. Seperti menghindar. “Kamu sudah bangun?” tanyaku kaget. “Aku sudah berdiri, berarti sudah bangun.” jawabnya cuek tanpa melihatku. Aku mengerutkan dahiku. Kenapa dia. Bad mood sekali. Apa dia masih marah karena kemarin? “Hari ini
(Sekar) Pagi ini, untuk pertama kali aku tidur dengan nyaman. Seseorang memelukku, tidak ada mimpi, aku menghirup udara yang segar, dan seseorang memainkan rambutku. Mahesa. Aku ingat aku tidur semalam dengan Mahesa. Aku tidur duluan ketika Mahesa mandi. Aku membuka mataku pelan. Wajah Mahesa pertama kali yang kulihat. Dia menatapku lekat sekali sambil memainkan rambutku. “Aku membangunkanmu?” tanyanya pelan. Dia tersenyum sedikit. “Tidurlah lagi. Aku bisa menunggumu bangun.” ujarnya lagi. Aku menyipitkan mataku. Dia membungkusku dengan selimut tebal dan dia berada di dalamnya. Aku menghela napas panjang dan meregangkan tubuhku. “Kamu mau ke kan
(Sekar) Di dalam mimpiku, aku benar-benar jelas melihat wajah Mahesa. Seorang pria yang ternyata bersamaku di pantai. Pantai yang sama ketika aku pertama kali dibawa oleh Mahesa. Deburan ombaknya, benar-benar mengingatkanku pertama kali dimana ketika aku bertemu dengan Mahesa waktu itu. Adegan demi adegan, aku mengingatnya. Sampai pada akhirnya, berpindah pada adegan ketika aku berada di rumah sakit. Bagian ini aku tidak ingat. Aku hanya melihat sebuah janin yang terdapat di layar bersama Mahesa. Apakah aku pernah memiliki anak? Seketika saja air mataku jatuh. Waktu itu aku merasakan seseorang menghapus air mataku dan aku tersadar dari tidurku. “Kamu menangis?” tanyanya. “Kamu kenapa di sini?” 
(Sekar) Tanganku terasa basah dan lembab. Ternyata handuk kecil yang ada di pelipis Mahesa terjatuh. Aku tidak tidur pulas kali ini. Selalu terjaga. Jadi ketika ada sesuatu yang bergerak atau mendengar suara, aku langsung membuka mataku. Aku mengambil handuk itu dan ternyata Mahesa menoleh ke arahku. Membuka matanya. “Sekar…” panggilnya lemah dan serak. “Ya?” “Dimana air? Aku haus.” Dia melihat meja di sampingnya. Aku meletakkan air minum di meja kecil dekat sofa. Aku bergegas mengambilnya dan memberikannya pada Mahesa. Mahesa membaringkan tubuhnya kembali.&
(Mahesa) Darius menggiring kami ke ruang kerjanya. Aku sebetulnya baru datang lagi ke rumah ini. Setahuku Rosa sudah tidak tinggal di sini karena dirinya kecewa dengan Darius yang berani menjebloskan dua anak kandungnya ke penjara. Walaupun katanya asisten rumah tangga di rumah ini, Rosa terkadang menyempatkan diri beberapa hari untuk pulang. Tetapi memang hubungan Rosa dan Darius sepertinya tidak bisa membaik kembali. Jadi, rumah ini terasa sepi sekali. Hubunganku dengan Darius membaik, bahkan diluar ekpektasi aku benar-benar berperan seperti anaknya. Kadang aku agak gugup jika harus memanggilnya ‘Papa’. Foto keluarga yang dipajang Darius di depan ruang tamu masih terpajang di dinding dengan gagah. Walaupun foto keluarga tersebut diambil sekitar beberapa tahun yang lalu ketika aku be
(Mahesa) Aku, Kiano, dan Derry yang sengaja datang ke kantorku menonton rekaman cctv yang ada di dalam ruang kerjaku. Kiano dan Derry mematung. “Di…dia bisa buka brankas lo? Apa dia tahu kodenya?” tanya Derry. “Semua kode dan password yang Mahesa punya itu tanggal, bulan, dan tahun pernikahan.” Kiano menjawab pertanyaan Derry yang ditujukan padaku. Aku menghela napas panjang. Beranjak dari kursi kerjaku. Aku membanting tubuhku ke sofa yang agak keras. Memandang brankas sialan itu. Sekar sudah hampir 5 jam tidak bisa dihubungi. Ponselnya mati dan otomatis aku tidak bisa melihatnya kapan pemberhentian terakhirnya.&nbs
(Sekar) “Halo.” “Kamu dimana?” “Di jalan. Mau pulang.” jawab Mahesa. Suaranya agak jauh. Mungkin dia menggunakan mode speaker. “Kenapa?” “Aku mau ambil sesuatu di apartemenmu.” Aku menyandarkan tubuhku di depan pintu apartemen. “Jadi aku butuh password kunci pintunya.” “Kamu datang sendiri? Ini sudah jam setengah dua belas malam.” Mahesa heran. “Berapa?” Telunjukku sudah siap untuk memencet tombolnya.&nb