(Sekar)
Aku tidak yakin dengan perasaanku ketika bersama Mahesa. Sikapku seperti orang yang dimabuk cinta. Tunggu cinta? Secepat itukah perasaanku padanya? Dia itu menyebalkan. Seenaknya mengklaim bahwa aku pacarnya. Seenaknya menyuruhku tidur dengannya. Seenaknya menciumku. Menyuruhku ini itu. Anehnya, aku tidak menolak walaupun ada beberapa yang membuatku risih. Aku suka ketika dia memelukku. Ada perasaan nyaman. Seperti hal itu pernah terjadi padaku sebelumnya.
Beberapa hari ini aku selalu pulang malam dan sibuk sekali. Aku tidak sempat bertemu Mahesa dan selalu menemuinya di hotel. Kegiatannya hanya di hotel. Aku rasa dia memang pemilik hotel ini. Dia cukup banyak berinteraksi dengan beberapa karyawan. Seorang wanita cantik akhir-akhir ini mengikutinya. Dia yang selalu mendatangi kamar kami d
(Mahesa) Kedua tanganku memegang pinggiran pembatas besi, kemudian kakiku selangkah demi selangkah menapak ke tanah, lalu aku melepas kedua tanganku. Kakiku sudah lumayan membaik. Bahkan hari ini, aku sudah tidak menggunakan tongkatku untuk membantuku berjalan. Aku hanya berpegangan kepada Kiano dan berjalan dengan santai. Seorang terapis memberikan gerakan-gerakan terapi untuk kakiku selanjutnya saat aku berbaring di sebuah kursi panjang. Karena ruangan terapi di sini berdinding kaca, tidak sengaja aku melihat Sekar melewati lorong ruang terapi. Dia berjalan menatap lurus ke depan. Pasti dia akan menemui psikiater. Refleks, aku menelpon Sekar tanpa memikirkan hal-hal tidak terduga ke depannya. Sempat beberapa kali aku meneleponnya tapi tidak diangkat. Karena penasaran dan kesal dia tidak meng
(Mahesa) Ponselku berdering terus-terusan. Siapa sih yang meneleponku tiada henti? Aku keluar dari kamar mandi dengan terburu-buru. Tahu kan? Kakiku tidak berfungsi dengan baik yang satunya? Sekar. Semenjak kemarin aku pulang ke Jakarta, aku tidak pernah mengangkat telepon dari Sekar. Bahkan membalas chat-nya. Aku tidak berani melihatnya. Nampaknya, aku harus memberinya waktu lebih banyak untuk berpikir, agar aku bisa masuk kembali ke dalam kehidupannya, ketika dia siap walaupun dengan ingatannya yang hilang. Aku kembali pada terapi kakiku hampir setiap hari. Sibuk mengurusi perusahaanku dan mencoba beberapa game baru untuk diluncurkan. Lalu aku juga ingin m
(Mahesa) KLONTANG! Sebuah nampan besi kecil jatuh di dekat kaki Derry. “Sorry…sorry.” teriaknya dari dapur. Dia terlihat sedang memasak sesuatu tapi tersenggol dengan nampan yang ada di atas pantry. Aku melongok ke arah dapur. Apartemen kini terlihat berantakan. Kiano mengambil alih meja kerjaku dan terlihat serius mengerjakan sesuatu di komputer. Aku? Sibuk dengan game-ku. Aku stuck di level yang sama. Entah game ini terlalu sulit atau memang aku yang sedang tidak fokus hingga aku membanting stick game-ku. SHIT! “Hey. Nggak ada yang le
(Sekar) Beberapa masakan yang Ibu hidangkan memang semuanya pesan. Aku menyarankan agar tidak memasak, karena akan capek sekali untuk membereskan semua piring-piring kotor setelah tamu pulang. Lagipula, Ibu dan Ayah tidak membicarakan siapa yang akan datang. Jadi, aku pikir aku pun akan menggunakan pakaian yang santai. Celana jeans dan kemeja pendek. “Sekar! Kamu kok pakai baju kayak gitu sih?” Ibu membuka pintu kamar dan berteriak dari pintu. “Ha? Emangnya kenapa, Bu?” Tanganku yang sedang memegang sisir seketika terhenti. Ibu sepertinya terlalu berlebihan memarahiku untuk urusan kecil seperti ini. “Kamu kan bisa pakai baju yang lebih sopan, form
(Sekar) Kejadian semalam seperti mimpi. Bahkan aku pun tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Selesai makan malam, aku langsung masuk kamar. Baik Reni dan Ibu pun tidak ada yang melihat keadaanku di kamar. Saking kesalnya aku melempar semua barang-barangku berhamburan di kamar. Pagi harinya, setelah Reni pergi ke kantor, aku keluar kamar dan duduk di dapur. Ibu melewatiku seperti biasa seolah-olah tidak ada permasalahan. “Bu, apa Ibu sama Ayah kenal sama Bapaknya Mahesa sebelumnya?” “Enggak.” “Jadi baru kenal semalam? Baru ketemu semalam?” Aku memastikan. Takutnya memang Ibu
(Sekar) Jantungku memang berdebar saat itu. Saat aku melihat senyuman Mahesa yang hangat. Dia memelukku lagi dan mengucapkan, “Ayolah, masak sesuatu. Aku benar-benar lapar.” Aku melepaskan pelukannya dan kembali ke ruang tengah. Menaruh tasku kemudian berjalan ke dapur. Mahesa mengikuti ke dapur, memberitahukan isi kulkas dan lemarinya. Ketika aku sibuk dengan masakanku, aku bisa melihat pasti Mahesa memegang kakinya setelah itu tertidur di sofa. KLONTANG!! Aku tidak sengaja menjatuhkan tutup panci dari peganganku karena lenganku tersenggol dengan panci panas di sebelahnya.&n
(Sekar) Di dalam mimpiku kali ini, aku hanya membaringkan tubuhku di sebuah kasur empuk. Tubuhku hangat. Wajahku terbenam dalam selimut tebal. “Sekar bangun.” Aku membuka mataku dan terduduk tiba-tiba. Suara itu muncul lagi. Aku melihat sekitar, aku masih di apartemen Mahesa dan dia sendiri masih tidur pulas, karena tiba-tiba terduduk, kepalaku agak pusing. “Hmmm, kamu sudah bangun?” tanya Mahesa dengan suara serak. Matanya masih terpejam. Aku berencana untuk menyudahi waktu tidurku walaupun kepalaku agak pusing. Mahesa menarikku ke dalam pelukannya.&n
(Mahesa) Aku menarik Sekar dengan geram. Sekar sudah meronta-ronta untuk dilepaskan. Dia tidak terima aku menyeretnya masuk ke dalam apartemenku. “Mahesa aku mau pulang! Bukan ke apartemenmu.” teriaknya di depan pintu apartemen. Ketika pintu apartemen terbuka, aku benar-benar melepaskan cengkeramanku padanya. Dia meringis dan mengelus tangannya. “Mahesa kenapa kamu bawa aku ke sini?!!!” “Ikuti aku.” perintahnya dingin. “Nggak!” Aku mengatupkan bibirku dan menariknya kembali dan menyeretnya ke kamar mandi.