ini konflik terakhir sebelum ending season 1 ya gaes... uh, kok malah otornya yg jadi deg2an ini heeeii 😫
Tak terasa seminggu yang sangat menyenangkan pun telah berlalu sejak Gevan membawa Aluna untuk honeymoon ke pulau pribadi di Zira Ayna, Dubai. Aluna begitu menikmati hari-hari bulan madu bersama suaminya, yang setiap hari selalu memberinya kejutan manis yang tak terlupakan.Seperti semalam contohnya, Aluna benar-benar kaget saat Gevan membawanya dinner romantis di pinggir pantai yang dihiasi lampu warna-warni dan tebaran kelopak mawar di atas pasir.Lalu setelah mereka makan malam, Gevan kembali memberinya kejutan, yaitu pertunjukan kembang api yang menyala megah dan gegap gempita di langit malam.Meskipun rasanya seperti bermimpi, namun saatnya kini kedua pasangan suami istri itu untuk kembali ke Jakarta, ke kehidupan nyata dan normal mereka. Selama seminggu berada di pulau pribadi membuat Aluna sangat betah dan lebih rileks, sehingga ada perasaan tak rela saat semuanya harus berakhir. Aluna melamun sambil mengamati pohon-pohon palem yang berjejer rapi dengan daun-daunnya yang ber
Aluna terdiam membisu sambil menatap satu-persatu semua orang yang ada di situ, mencoba menebak apa yang sedang mereka pikirkan saat ini.Mamanya yang masih menangis sedih. Papanya yang terlihat shock dengan tatapan kosong dan nanarnya yang tertuju pada Gevan dan dirinya. Ayah Andro dan Bunda Desti yang muram dan seperti menghindari untuk menatapnya.Tommy yang terus saja menunduk dari tadi, seakan dipenuhi beban berat dan rasa bersalah yang sangat besar.Dan Amanda yang... terlihat... puas??Aluna mengalihkan pandangannya kepada suaminya, yang masih juga menggenggam erat tangannya, namun kini ia sedang menatap Papa Aluna dengan sorot tak percaya setelah apa yang lelaki mantan pilot itu sampaikan barusan."Papa, tolong jangan gegabah. Tidak mungkin pernikahan kami dibatalkan!" Ucap Gevan, akhirnya memutuskan keheningan yang sebelumnya melanda di antara mereka.Bagas memejamkan mata dan memijit pelipisnya sebelum kembali menatap menantunya. "Gevan, apa benar... kamu yang berinisiati
Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, Aluna dan Bagas terus memanggil-manggil Anggita yang masih juga belum sadar. Tommy yang sedang menyetir pun tak bisa untuk tidak ikut khawatir melihat mamanya Aluna. Ia juga cemas melihat Aluna yang terus-menerus menangis tanpa henti, namun Tommy diam dan tak berkata apa-apa.Sesampainya di rumah sakit, Anggita segera dibawa ke IGD untuk diperiksa oleh petugas kesehatan yang terus ditemani Bagas dan Aluna, sementara Tommy masih memakirkan mobilnya.Hanya satu orang yang boleh menemani Anggita di ruang IGD, maka Bagas menyuruh Aluna yang sedang hamil agar duduk di ruang tunggu karena ruang IGD tidak menyediakan kursi.Dengan langkah gontai dan matanya yang masih sembab, Aluna pun mengikuti perkataan Papanya, dan duduk di kursi besi yang berada di ruang tunggu tak jauh dari IGD.Tak lama kemudian, Tommy pun datang dengan tergopoh-gopoh dan duduk di samping Aluna. Ia menyodorkan sebotol air mineral kemasan yang baru ia beli di cafetaria rumah sakit
"Tapi Ma, Tommy adalah Ayah biologisnya! Bagaimana mungkin cucu kita tidak bisa merasakan bagaimana situasi keluarga yang normal, yaitu dimana ibu dan ayah kandungnya yang berada dalam satu rumah? Apa kamu tidak memikirkan bagaimana perkembangan jiwanya nanti? Dia pasti akan merasa malu karena berbeda!" Bagas masih bersikeras mempertahankan pendapatnya bahwa Aluna tetap harus menikah dengan Tommy, karena pemikirannya yang terlalu konservatif. Pernikahan anaknya dengan lelaki yang bukan ayah dari cucunya, membuat Bagas pusing dan menolak keras bila Aluna masih mempertahankan pernikahannya dengan Gevan.Saat ini Aluna, Anggita dan Bagas sedang berada di kamar rawat Anggita untuk diskusi keluarga. Ketika mendengar informasi bahwa istrinya telah sadar, Bagas pun bergegas mendatangi kamar rawat Anggita bersama dengan Aluna. Ketika mereka sampai di sana, ternyata Gevan masih berada di dalam, masih berbincang serius dengan Anggita. Aluna pun menatap Gevan tanpa putus dengan raut sedih, se
Resepsi pernikahan Gevan-Aluna akhirnya selesai setelah acara tersebut berlangsung dari siang hingga sore hari. Satu persatu tamu yang hadir pun pamit pulang, hingga hanya menyisakan beberapa orang serta kerabat dari pihak pengantin. "Van, Lun. Aku pamit dulu ya... Sekali lagi selamat atas resepsi pernikahan kalian," Tommy menyalami Gevan yang saat ini sedang memijat pelan bahu Aluna. Ketika istrinya tadi mengeluh karena merasa lelah, tanpa berkata-kata Gevan langsung berdiri dari kursinya dan berdiri di belakang Aluna. Tangannya mulai mengusap-usap pundak dan bahu wanita itu serta memberikan pijatan-pijatan yang lembut dan berhasil menenangkan syaraf-syaraf Aluna yang tegang."Terima kasih ya, Tom. Pesawatmu jam berapa ke London?" Tanya Gevan basa-basi saat menyambut jabat tangan Tommy."Jam 12 malam. Sengaja pilih malam banget karena aku mau mampir dulu ke rumah."Gevan mengangguk. "Salam buat keluarga di rumah ya.""Iya, mereka juga minta maaf hari ini nggak bisa datang karena
"Apa ada suami dari Nyonya Aluna?"Gevan segera berdiri ketika seorang dokter memanggilnya. Dengan wajah kusut--sekusut bajunya yang dipenuhi darah serta debu, Gevan pun menatap dokter itu dengan penuh pengharapan. "Saya suami nyonya Aluna, dokter. Bagaimana kondisi istri saya??!""Situasi ibu dan bayinya sangat kritis, Pak. Dengan sangat terpaksa kami harus mengoperasinya sesegera mungkin," ucap dokter itu sambil menghela tersenyum simpati."Tolong lakukan yang terbaik, dokter!" Pinta Gevan dengan wajah semakin mengeruh dan tak karuan. "Kami akan melakukan semuanya semaksimal mungkin, Pak. Namun seandainya terjadi yang terburuk, saya minta Bapak untuk memilih antara ibu atau--"BRAAAKKK!!Dokter itu dan perawat yang baru saja lewat terkejut bukan main, saat lelaki tampan namun dengan penampilan yang berantakan itu tiba-tiba saja memukul pilar besar di sampingnya dengan sekuat tenaga. Hingga membuat dindingnya ringsek dan darah segar pun mengucur dari sela-sela buku jari Gevan."BA
"Hosh... hosh..." Dengan napas yang mulai ngos-ngosan, Flora memasuki gedung Samudra Corporation tempatnya bekerja dengan masih mengenakan baju olah raga, sepatu kets, serta ransel yang berisi pakaian ganti untuk bekerja. Rambutnya yang ikal kemerahan dan diikat tinggi ke atas itu terlihat berkilau-kilau ditimpa cahaya mentari pagi. Kulitnya yang putih kini merah merona karena habis jogging dari tempat kosannya menuju ke kantor. Jarak antara kos dan kantor yang lumayan dekat--hanya tiga kilometer--dimanfaatkannya untuk sekalian olahraga. Lumayan, ngirit ongkos plus juga sehat. "Pagi, Mbak Flora." Gadis itu pun menoleh dan tersenyum pada Pak Dodi, salah satu sekuriti perusahaan yang menyapanya di depan pintu masuk gedung."Pagi, Pak! Jaga dari semalem ya?" Sahutnya ramah."Iya, Mbak. Ini juga sudah mau pulang."Flora pun memberikan sebungkus nasi uduk untuk lelaki yang telah berusia lima puluhan tahun itu."Eeh? Apa nih, Mbak?" Tanya Pak Dodi bingung ketika kantong plastik berisi
"AAARRGGHHH!! FLORAA!!!"Flora pun terkesiap mendengar jeritan frustasi yang menyebut namanya. "P-Pak Adam?!" Cetusnya gelagapan, saat akhirnya ia membuka mata yang terpejam sejak pintu kamar mandi itu terbuka.Adam pun mendelik kesal pada gadis berambut kemerahan yang dikuncir satu itu. "APA-APAAN SIH KAMU??!" Sentaknya sambil memegangi kepalanya yang berdenyut nyeri. 'Sialan nih cewek! Dateng-dateng malah main pukul aja!'Flora pun menjatuhkan payung yang barusan menghantam kepala bos-nya dengan panik. Gawat! Bisa-bisa ia dipecat karena memukul kepala Direktur Pemasaran! "Maaf, Pak! Saya kira tadi ada penyusup atau mata-mata yang masuk ke ruangan Pak Gevan! Sa-saya hanya ingin menjaga rahasia perusahaan agar tidak bocor, Pak!" Kilah Flora.Sontak, Adam pun mengernyitkan keningnya heran. Apa tadi katanya? Penyusup? Mata-mata? Rahasia perusahaan??? Fix, nih cewek pasti kebanyakan nonton film!Adam menghembuskan napas lelah. "Keluar," ucapnya sambil menatap Flora datar."Ta-tapi Pak,