Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, Aluna dan Bagas terus memanggil-manggil Anggita yang masih juga belum sadar. Tommy yang sedang menyetir pun tak bisa untuk tidak ikut khawatir melihat mamanya Aluna. Ia juga cemas melihat Aluna yang terus-menerus menangis tanpa henti, namun Tommy diam dan tak berkata apa-apa.Sesampainya di rumah sakit, Anggita segera dibawa ke IGD untuk diperiksa oleh petugas kesehatan yang terus ditemani Bagas dan Aluna, sementara Tommy masih memakirkan mobilnya.Hanya satu orang yang boleh menemani Anggita di ruang IGD, maka Bagas menyuruh Aluna yang sedang hamil agar duduk di ruang tunggu karena ruang IGD tidak menyediakan kursi.Dengan langkah gontai dan matanya yang masih sembab, Aluna pun mengikuti perkataan Papanya, dan duduk di kursi besi yang berada di ruang tunggu tak jauh dari IGD.Tak lama kemudian, Tommy pun datang dengan tergopoh-gopoh dan duduk di samping Aluna. Ia menyodorkan sebotol air mineral kemasan yang baru ia beli di cafetaria rumah sakit
"Tapi Ma, Tommy adalah Ayah biologisnya! Bagaimana mungkin cucu kita tidak bisa merasakan bagaimana situasi keluarga yang normal, yaitu dimana ibu dan ayah kandungnya yang berada dalam satu rumah? Apa kamu tidak memikirkan bagaimana perkembangan jiwanya nanti? Dia pasti akan merasa malu karena berbeda!" Bagas masih bersikeras mempertahankan pendapatnya bahwa Aluna tetap harus menikah dengan Tommy, karena pemikirannya yang terlalu konservatif. Pernikahan anaknya dengan lelaki yang bukan ayah dari cucunya, membuat Bagas pusing dan menolak keras bila Aluna masih mempertahankan pernikahannya dengan Gevan.Saat ini Aluna, Anggita dan Bagas sedang berada di kamar rawat Anggita untuk diskusi keluarga. Ketika mendengar informasi bahwa istrinya telah sadar, Bagas pun bergegas mendatangi kamar rawat Anggita bersama dengan Aluna. Ketika mereka sampai di sana, ternyata Gevan masih berada di dalam, masih berbincang serius dengan Anggita. Aluna pun menatap Gevan tanpa putus dengan raut sedih, se
Resepsi pernikahan Gevan-Aluna akhirnya selesai setelah acara tersebut berlangsung dari siang hingga sore hari. Satu persatu tamu yang hadir pun pamit pulang, hingga hanya menyisakan beberapa orang serta kerabat dari pihak pengantin. "Van, Lun. Aku pamit dulu ya... Sekali lagi selamat atas resepsi pernikahan kalian," Tommy menyalami Gevan yang saat ini sedang memijat pelan bahu Aluna. Ketika istrinya tadi mengeluh karena merasa lelah, tanpa berkata-kata Gevan langsung berdiri dari kursinya dan berdiri di belakang Aluna. Tangannya mulai mengusap-usap pundak dan bahu wanita itu serta memberikan pijatan-pijatan yang lembut dan berhasil menenangkan syaraf-syaraf Aluna yang tegang."Terima kasih ya, Tom. Pesawatmu jam berapa ke London?" Tanya Gevan basa-basi saat menyambut jabat tangan Tommy."Jam 12 malam. Sengaja pilih malam banget karena aku mau mampir dulu ke rumah."Gevan mengangguk. "Salam buat keluarga di rumah ya.""Iya, mereka juga minta maaf hari ini nggak bisa datang karena
"Apa ada suami dari Nyonya Aluna?"Gevan segera berdiri ketika seorang dokter memanggilnya. Dengan wajah kusut--sekusut bajunya yang dipenuhi darah serta debu, Gevan pun menatap dokter itu dengan penuh pengharapan. "Saya suami nyonya Aluna, dokter. Bagaimana kondisi istri saya??!""Situasi ibu dan bayinya sangat kritis, Pak. Dengan sangat terpaksa kami harus mengoperasinya sesegera mungkin," ucap dokter itu sambil menghela tersenyum simpati."Tolong lakukan yang terbaik, dokter!" Pinta Gevan dengan wajah semakin mengeruh dan tak karuan. "Kami akan melakukan semuanya semaksimal mungkin, Pak. Namun seandainya terjadi yang terburuk, saya minta Bapak untuk memilih antara ibu atau--"BRAAAKKK!!Dokter itu dan perawat yang baru saja lewat terkejut bukan main, saat lelaki tampan namun dengan penampilan yang berantakan itu tiba-tiba saja memukul pilar besar di sampingnya dengan sekuat tenaga. Hingga membuat dindingnya ringsek dan darah segar pun mengucur dari sela-sela buku jari Gevan."BA
"Hosh... hosh..." Dengan napas yang mulai ngos-ngosan, Flora memasuki gedung Samudra Corporation tempatnya bekerja dengan masih mengenakan baju olah raga, sepatu kets, serta ransel yang berisi pakaian ganti untuk bekerja. Rambutnya yang ikal kemerahan dan diikat tinggi ke atas itu terlihat berkilau-kilau ditimpa cahaya mentari pagi. Kulitnya yang putih kini merah merona karena habis jogging dari tempat kosannya menuju ke kantor. Jarak antara kos dan kantor yang lumayan dekat--hanya tiga kilometer--dimanfaatkannya untuk sekalian olahraga. Lumayan, ngirit ongkos plus juga sehat. "Pagi, Mbak Flora." Gadis itu pun menoleh dan tersenyum pada Pak Dodi, salah satu sekuriti perusahaan yang menyapanya di depan pintu masuk gedung."Pagi, Pak! Jaga dari semalem ya?" Sahutnya ramah."Iya, Mbak. Ini juga sudah mau pulang."Flora pun memberikan sebungkus nasi uduk untuk lelaki yang telah berusia lima puluhan tahun itu."Eeh? Apa nih, Mbak?" Tanya Pak Dodi bingung ketika kantong plastik berisi
"AAARRGGHHH!! FLORAA!!!"Flora pun terkesiap mendengar jeritan frustasi yang menyebut namanya. "P-Pak Adam?!" Cetusnya gelagapan, saat akhirnya ia membuka mata yang terpejam sejak pintu kamar mandi itu terbuka.Adam pun mendelik kesal pada gadis berambut kemerahan yang dikuncir satu itu. "APA-APAAN SIH KAMU??!" Sentaknya sambil memegangi kepalanya yang berdenyut nyeri. 'Sialan nih cewek! Dateng-dateng malah main pukul aja!'Flora pun menjatuhkan payung yang barusan menghantam kepala bos-nya dengan panik. Gawat! Bisa-bisa ia dipecat karena memukul kepala Direktur Pemasaran! "Maaf, Pak! Saya kira tadi ada penyusup atau mata-mata yang masuk ke ruangan Pak Gevan! Sa-saya hanya ingin menjaga rahasia perusahaan agar tidak bocor, Pak!" Kilah Flora.Sontak, Adam pun mengernyitkan keningnya heran. Apa tadi katanya? Penyusup? Mata-mata? Rahasia perusahaan??? Fix, nih cewek pasti kebanyakan nonton film!Adam menghembuskan napas lelah. "Keluar," ucapnya sambil menatap Flora datar."Ta-tapi Pak,
"Kamu berani juga ya," cetus Adam sambil menyandarkan bahunya dengan santai di sandaran kursi. "Good. Saya suka itu." Flora yang masih belum paham dengan perubahan mood tiba-tiba dari atasan bulenya itu, hanya bisa terdiam mematung dan tidak tahu harus berkata apa. "Uhm, Pak. Maaf, jika dokumennya sudah selesai ditandatangani, boleh saya ambil lagi? Mbak Karla sudah menunggu di luar.""Hm... kalau begitu obati dulu luka di kepala saya, baru kamu boleh bawa dokumen ini."Flora mengangguk. Itu memang salahnya karena memukul Adam dengan payung, dan ia pun sama sekali tidak keberatan jika harus mengobati kepala atasannya yang terluka karenanya. Dengan cekatan, Flora menyibakkan rambut pirang gelap yang lebat di pelipisnya, dan melihat kulit pucat Adam yang kemerahan dan sedikit tergores serta berdarah."Lho, belum diobati sama sekali ya, Pak?" Tanya Flora kaget. Lukanya kan tadi pagi, sementara ini sudah sore."Itu gara-gara sekretaris saya yang membangkang, disuruh tunggu di luar mal
"Selamat pagi, Pak." Flora menyapa Adam yang baru saja datang dan langsung meliriknya dengan tajam, namun lelaki itu sama sekali tidak menyahutnya. Langkah kakinya yang panjang terus saja berjalan hingga masuk dan menghilang ke dalam ruang CEO. Flora pun menghembuskan napas pelan. Sejenak tadi ia sedikit takut kalau Adam akan marah padanya atas kejadian semalam di apartemen lelaki itu, tapi sepertinya apa yang ia takutkan tidak terjadi. Entah karena Pak Adam tidak ingat karena pengaruh mabuk, atau karena ia memang hanya tidak ingin mengingatnya. Yah, bisa dimaklumi sih. Pasti Pak Adam malu karena sempat mengajak Flora pacaran! Gadis itu sangat yakin kalau ucapan si cowok bule itu semalam hanya karena efek mabuk. RIIIINNNGGG!!! "Eh, ayam-ayam...!!" Suara dering interkom yang nyaring membuat Flora yang sedang melamun jadi kaget, dan refleks latahnya pun keluar. Sekilas ia melirik nomor yang menelepon, dan langsung mencelos saat menyadari bahwa si bos bule yang men
Saat Adam masih celingukan mencari keberadaan Flora yang tiba-tiba saja menghilang entah kemana, tiba-tiba saja Dante dan beberapa orang lelaki menariknya menuju ke dalam lift. Ya, rumah tiga lantai milik Pinkan memang memiliki lift kecil di dalamnya. "Party time!" Seru seseorang yang berada di samping Adam dengan penuh semangat, yang disambut dengan ribut sorakan riang lainnya. Oh damned. Sepertinya Adam sedang 'diculik' dan dibawa ke dalam Bachelor Party yang tadi disebutkan oleh Dante, padahal ia sama sekali belum bertemu dengan Flora untuk meminta ijin. Adam pun buru-buru meraih ponselnya, memutuskan untuk menelepon calon istrinya itu dan memberitahu mengenai acara yang sudah di atur oleh para sepupunya yang tukang culik ini. Paling tidak Flora harus tahu, karena Adam tidak ingin gadis itu memergokinya. Bisa kacau nanti. Namun sudah berkali-kali Adam menelepon ponsel Flora, tetap saja gadis itu tidak mengangkatnya. Adam pun berdecak sebal dan memutuskan untuk mengirim
Waktu berlalu tanpa terasa, dan hanya tinggal dua minggu lagi menuju hari pernikahan Adam dan Flora.Flora pun masih bekerja seperti biasa, meskipun Gevan membebaskannya jika ingin mengambil cuti. Tapi tentu saja gadis itu merasa tidak enak hati untuk mengambil cuti yang terlalu lama. Ah, bosnya itu memang terlalu baik.Dan ngomong-ngomong soal para calon pengantin, meskipun mereka masih bekerja di dalam satu Gedung, Adam dan Flora jarang sekali bertemu karena kesibukan masing-masing yang cukup menyita waktu. Adam masih saja berkutat dengan dua perusahaan, Samudra Corp. dan Wrighton Constructions, karena Noah yang juga masih menjalani terapi kanker harus menjaga kondisinya dan tidak boleh terlalu lelah.Hal inilah yang menjadi dilema bagi Adam. Di satu sisi sejujurnya ia lebih menyukai bekerja di Samudra Corp bersama Gevan, namun di sisi lain ia juga kasihan dengan Dad yang sepertinya sudah waktunya pensiun sebagai CEO Wrighton Constructions--terutama karena sedang sakit seperti in
Adam kembali mengarahkan padangannya ke langit malam, membuat Flora pun sontak ikut mendongak melihat langit. Tapi gadis itu malah terkesiap ketika kedua matanya tiba-tiba ditutup oleh tangan Adam, membuat dirinya serasa terkungkung oleh kegelapan.Lelaki itu mendekatkan bibirnya di telinga Flora untuk berhitung mundur, "Tiga, dua, satu..."Adam membuka tangannya dari mata Flora, bertepatan dengan ledakan sejuta bunga yang berkilau laksana emas yang menyinari langit malam.Flora membelalak, terpukau, tak menyangka kalau akan ada kembang api malam ini. Suara desing lembut yang diikuti oleh suara ledakan serta visual gemerlap di angkasa membuat matanya berkaca-kaca."Indahnya..." guman Flora lirih, tanpa melepaskan tatapannya dari langit.Adam yang sedari tadi hanya memandangi Flora, kini menyunggingkan senyum kemenangan. 'Yes, dia suka!!' Soraknya dalam hati. "Ini beneran kamu yang rencanain?" Flora mengalihkan wajah penuh tanya kepada Adam."Iya dong! Kembang api itu akan terus me
Setelah makan malam, Adam bersantai sejenak di rumah Flora sebelum ia pulang ke Jakarta. Ya, ia pulang sendirian, karena besoknya lelaki itu berencana melamar Flora dengan mengajak serta Dad. Jika ayahnya itu mau. Tadi sore ia sempat menelepon Noah dan menceritakan semuanya. Noah berkata dengan jujur bahwa dia kecewa, karena berharap putranya akan kembali bersama Anya."That is not gonna happened, Dad," ucap Adam di telepon tadi sore. "It's already over between us. It's over a long time ago," tukas Adam tegas tak terbantahkan.Noah hanya bisa menghela napas. Hantaman rasa bersalah kepada Anya tidak akan pernah bisa pudar karena telah membuat wanita itu menjadi istrinya, hingga akhirnya Anya pun terpisah dengan cinta sejatinya. Tapi apa mau dikata. Nasi telah menjadi bubur. Adam benar-benar telah mengubur perasaannya kepada Anya, dan membuka lembaran baru bersama Flora.Bahkan hingga sambungan telepon itu berakhir, Noah masih bungkam--enggan memberikan restunya.It's okay. Adam te
"Kalau begitu buktikan kalau kamu memang menyayangi Flora dengan sepenuh hati. Jangan cuma pacari putri kami, tapi nikahi dia," ultimatum Wahyu sambil berkacak pinggang.***Mungkin kalau ada penggaris meteran, rasanya ingin sekali Flora mengukur lebarnya senyum Adam saat ini. Ok, senyumnya memang tampan, tapi ya nggak perlu lebar-lebar gitu juga, kan??"Saya siap menikahi Flora, Pak Wahyu," jawab Adam cepat. "Kapan pun. Lebih cepat lebih baik," tambahnya, yang membuat Flora rasanya ingin menenggelamkan diri ke empang milik tetangga saking malunya. Wahyu terkesiap dan mengernyitkan dahinya mendengar perkataan Adam barusan yang terdengar begitu tegas. Tak dipungkiri kalau ia senang dan cukup lega karena Adam sepertinya serius dengan putrinya. Apalagi lelaki itu juga yang telah membantunya mencari bukti-bukti yang membuat Wahyu keluar dari penjara. Dari situ saja sepertinya memang terlihat kalau Adam memang memiliki perhatian lebih kepada Flora.Hanya saja, pria paruh baya itu juga
"Tadi bicara apa aja sama Arrigo?" Flora mengangkat wajahnya dari buah mangga yang sedang ia kupas untuk Adam, ketika pertanyaan itu meluncur keluar dari mulut lelaki itu."Nggak ada yang penting, sih. Cuma say thanks aja karena Riggo sudah banyak bantu sebagai pengacara Papa, gratis pula," sahut Flora sambil kembali berkutat dengan buah mangga yang dia kupas.Mereka berdua sedang bersantai di dalam gazebo yang terletak di taman belakang rumah orang tua Flora, membiarkan Papa dan Mama Flora saling kangen-kangenan setelah beberapa hari Papanya itu berada di tahanan Polisi.Taman belakang ini tidak terlalu luas, tapi ditata dengan apik dan sangat asri. Di tengah-tengahnya ada gazebo kecil yang sering dijadikan outdoor dining room saat Flora masih tinggal di Bandung.Cuaca kota kembang Bandung ini yang tidak terlalu panas dengan angin yang bertiup sepoi-sepoi pun membuat suasana menjadi rileks."Aa!" Flora bermaksud menyuapkan sepotong mangga yang ditusuk dengan garpu ke mulut Adam, ta
Sesampainya di Polretabes Bandung, Adam pun memarkirkan mobilnya, sementara Flora langsung menelepon Riggo--pengacara yang mewakili papanya yang juga teman sekolahnya di SMU dulu."Go, gimana? Papa sudah bisa dijemput belum?" "...""Oh. Kalau gitu aku tunggu di mobil aja ya? Telpon aja kalau semua sudah beres.""...""Ok. Thanks banget ya."Flora menghela napas saat ia menutup sambungan telepon itu. "Papa belum bisa keluar karena masih harus tanda tangan beberapa berkas pembebasan," ucapnya memberitahu sambil menatap Adam."Ariggo Putra itu, pengacara papa kamu?" Tanya Adam yang masih terlihat sibuk mengutak-atik tablet-nya.Flora mengangguk. "Kenapa? Kamu kenal ya?""Nggak. Aku cuma cari profilenya aja di LinkedIn. Beneran cuma temen? Bukan mantan kamu kan?"Flora berdecak sebal. "Curigaan banget sih?"Adam mengangkat wajahnya dari tablet dan menatap dingin gadis di depannya. "Jawab saja, Flora."Flora mendengus kesal. "Bukaann! Dia itu cuma salah satu temanku di SMA, kok. Beneran."
Suara ketukan pelan di pintu tak pelak membuat kedua pasang mata berbeda warna itu pun menoleh ke sana. "Siapa?" Tanya Flora pelan kepada Adam. Aneh sih. Ini kan kamar Presidential Suite. Jadi dari pintu depan nggak langsung ke kamar, melainkan melewati ruang tamu, dapur bersih, ruang kerja, baru deh ketemu kamar. Maka jika orang itu mengetuk pintu kamar, artinya dia memiliki access card juga untuk masuk ke dalam kamar 3356 ini! "Jangan takut, kayaknya itu cuma Gevan." Adam menurunkan tubuh Flora dari pangkuannya. "Mungkin dia cuma mau mastiin kalau kamu baik-baik aja." Adam mendudukkan Flora di ranjang, lalu ia pun berdiri untuk membuka pintu. Seorang lelaki berwajah datar tanpa ekspresi berdiri di sana, lalu melongokkan kepalanya ke dalam kamar seperti sedang mencari-cari seseorang. "Mana Flora? Dia nggak apa-apa, kan?" Tepat seperti perkataan Adam sebelumnya, Gevan-lah yang sekarang berdiri di depan pintu kamar. Salah satu dari dua access card kamar ini memang dia
"ADAM!" Pekik Flora penuh kelegaan dan rasa syukur yang luar biasa. Beban berat yang tadi menggelayuti dadanya pun seketika terhempas. Ia tak peduli alasan kenapa lelaki itulah yang berada di kamar 3356, tak peduli kenapa bisa Adam-lah yang berada di situ alih-alih Raiden. Flora bahkan melupakan kenekatannya untuk datang ke kamar ini adalah bertujuan untuk menyelamatkan papanya. Ia lupa segalanya... karena teramat sangat lega. Flora memeluk erat tubuh atletis itu seperti tidak akan pernah melepasnya lagi, tanpa mengerti bahwa perbuatannya itu telah membuat seorang lelaki normal dengan hasrat yang meledak-ledak seperti Adam tentunya akan bereaksi. "Aaaa...!!" Flora memekik kaget dengan kedua netra bening yang membulat, saat lelaki itu mengangkat pinggangnya dan membuat kaki jenjang terbalut jeans itu melingkari tubuh Adam. Flora yakin kalau tubuhnya tidak enteng seperti Aluna yang mungil. Bobotnya 55 kilogram dengan tinggi 168 cm, namun Adam mengangkatnya dengan satu ta