“Aku nggak mau terlalu cepat masuk unit. Malam ini, kita bisa santai sebentar di area rooftop.”
Liam terkesiap saat jemari tangan kirinya bertautan dengan jemari tangan Bianca. Perempuan itu tersenyum manis, lalu dengan semangat mengajak pria itu melangkah sedikit terburu ke area rooftop di lantai atas dari restoran.
Keduanya meninggalkan rekan mereka masing-masing. Itu adalah permintaan Bianca yang sangat mendadak. Liam mengikuti dari belakang, melihat rambut itu sedikit terombang ambing, serta kedua sudut bibir itu tersungging manis saat Bianca sekilas kembali menoleh ke arahnya.
Embusan angin malam sudah menyambut keduanya ketika Bianca membuka pintu kaca, disusul Liam dari belakangnya yang kini membawa keduanya berada di tengah-tengah rooftop. “Cuacanya dari tadi siang cerah. Malam ini juga bintangnya banyak, kan?”
Bianca melepaskan tautannya, mendekati Liam sejenak untuk meminta balasan pendapatnya.
Pria itu mendongak d
Tiga kali melakukan panggilan telepon. Selama tiga kali itu pula membuat Indira menggerutu, mendapatkan balasan dari operator, bukan pria di seberang sana yang ingin ia dengar suaranya.“Ke mana sih, si Om-om mesum itu? Belagu banget, nggak di angkat telepon dari gue. Sok sibuk di pagi hari!” ketusnya menatap sebal layar ponselnya yang sudah berhenti memanggil Liam, tidak diangkat sama sekali oleh pria di seberang sana.“DIRA .... KAMU MAU SEKOLAH ATAU TIDUR TERUS KAYAK KEBO?!”Indira terlonjak kaget.Hampir saja ia menjatuhkan ponselnya, mendengar teriakan menggelegar dari Mama tercintanya yang sepertinya sudah menunggu di lantai bawah. Sarapan pagi sudah terhidang dan perempuan satu-satunya yang menjadi anak di rumah ini sedang dinantikan kehadirannya.Indira mengusap bagian jantungnya. Perempuan itu merasakan debarannya semakin kuat dan mengembuskan napas lelah. Kemudian, pandangannya menatap tajam layar ponsel yang menam
Liam tersenyum kecil saat ingatannya menarik kembali kejadian semalam dan pagi tadi. Pria itu bisa merasakan atmosfer yang dulu, kini datang perlahan. Liam sadar atas perlakuan baliknya pada Bianca dan mereka sama-sama merasakan debaran yang terus bertalu dalam detak jantung.Siang ini, ia berada di luar hotel dan baru saja menyelesaikan rapat bersama kliennya. “Pak, kita kembali ke hotel sekarang?”Ia mendongak dan mendapati asistennya datang menemui dirinya yang masih duduk di salah satu meja restoran bintang lima yang menjadi tempat rapat ia dan beberapa klien. Tangannya melirik arloji di pergelangan tangan kirinya. “Satu jam lagi kita ada kunjungan ke rumah dinas walikota. Jadi, sebaiknya kita tidak perlu kembali ke hotel dan biarkan saya di sini sampai tiga puluh menit kedepan. Kamu bisa berkeliling di sekitar sini saja,” jelasnya membuat pria itu mengangguk.“Baik, Pak. Saya akan kembali lima menit lebih cepat,” jelasnya
‘Jangan memberikan Indira perhatian lebih atau membuatnya nyaman, kalau kamu nggak berakhir selamanya dengan dia.’Sebuah pintu unit itu terbuka dan senyum semringah dari perempuan berbalut kaus longgar berlengan panjang dipadukan hot pants, benar-benar mensugesti pria yang kini sudah berganti pakaian untuk ikut menarik kedua sudut bibirnya.“Kamu mandi dulu, ya?” tebak Bianca mendapati Liam datang sudah dengan penampilan yang lebih santai.Sweater hitam itu sangat kontras dengan kulit putih Liam. Dipadukan celana jeans panjangnya semakin tampan memadukan setelan pria dengan tubuh atletisnya.Liam mengangkat sebelah alisnya, meskipun senyumnya ditahan dari bibir tipis kemerahannya. “Aku nggak memiliki keberanian lebih setelah seharian berada di luar hotel dengan kemeja yang pastinya sudah nggak layak untuk didekati orang lain lagi.”Hal itu membuat Bianca tertawa kecil. Liam tidak pernah berubah. Ia pasti tidak a
“Jadi, kita beneran nggak bisa pulang bareng, ya?”Liam mengangguk, membiarkan ketika lengan kiri Bianca menyusup dari balik lengan kanannya untuk menautkan jemari tangan keduanya. Ia tersenyum kecil melihat hal itu, membawa perasaannya kian menghangat.Entahlah. Sesuatu di dalam dirinya sangat menginginkan hal sekecil ini bisa terjadi. Liam tidak bisa mengendalikan perasaannya sendiri di saat pertemuan mereka yang berlanjut, membawanya sadar akan kenyamanan dulu masih pernah tersimpan rapi di dalam hatinya.Bianca mengembuskan napas berat, bersandar di lengan atas Liam, memandang layar teve yang beberapa menit lalu menemani keduanya setelah makan malam bersama, tidak membuatnya baik-baik saja.“Tiga hari kedepan aku harus sabar menunggu kamu sampai kembali pulang dan bisa ada di perusahaan yang sama lagi,” cetusnya dengan sedikit kesal.Liam melirik perempuan di sampingnya, lalu melepaskan rangkulan Bianca untuk mengganti p
“Kalau yang ini, gimana cara hitung cepatnya?”Naomi menatap nanar Indira yang duduk di sampingnya, sibuk bertanya semangat pada teman-temannya yang lain di dalam meja perpustakaan. Kelimanya tampak belajar bersama saat jam istirahat, mempelajari lagi bahan yang akan ada di ujian minggu depan.Dua hari lalu, Naomi pun sudah mengemasi pakaiannya, sempat menaruh di rumah Indira dan melakukan aktifitasnya bersama teman baiknya. Ia bisa melihat, di antara tatapan intens dan penuh tanya menunjuk rumus dan beberapa penjabaran temannya yang lebih pintar dan baik hati dalam memberikan penjelasan, Indira sedang terluka.Ia menutupi hal itu dengan yang lebih realistis. Indira berusaha untuk menstabilkan emosi dan mengedepankan kesiapannya untuk menghadapi ujian sekolah dalam minggu ini yang masih berlangsung.“Gini, ya? Kalau lo biasanya sulit di bagian mana, Syah?”Aisyah. Perempuan berhijab itu tampak nyaman berbicara dengan Indira,
“Ya ampun, Bianca. Udah lama ya, Tante nggak ketemu sama kamu. Sekarang makin cantik aja.”Indira menatap datar perempuan semampai yang menyambut bahagia kedatangan Mamanya, saling berpelukan; melepas rindu layaknya keluarga dekat pada umumnya. Perasaan Indira masih sakit tatkala mengingat apa yang sudah dilakukan Bianca dan Liam di Bali. Tapi saat tahu Mamanya memaksa untuk bertemu dengan Bianca setelah mendapatkan nomor ponsel dari Ayah Bianca melalui Papa Indira, ia terpaksa menemani Mamanya bertemu di restoran.Minggu siangnya sangat buruk sekali.“Tante juga makin cantik,” puji Bianca setelah mereka mengurai pelukan.Mama Indira tampak tersipu dan mengusap pelan lengan atas Keponakan dari suaminya. “Bisa aja kamu, Bi.”Ketiganya mengambil duduk bersama.“Oh, iya. Kamu udah ketemu duluan sama Dira, kan?” tanyanya segera menarik tangan Indira yang masih diam saja di belakangnya.Senyu
Indira membuka pintu unit apartemen dengan wajah kusut. Padahal, ia belum bertemu hari di mana ujian nasional akan ditemui dan dijalaninya. Masih ujian berstandar sekolah yang ternyata membuatnya ingin pingsan.Pulang dari sekolah kepalanya berdenyut-denyut. Mungkin, semalam kurang cukup tidur dan ia baru pulang menjelang magrib dikarenakan menyelesaikan belajar kelompok lagi. Murid tahun terakhir sepertinya memang sangat ribet.Jika ingin dapat nilai terbaik atau standar, harus tetap belajar. Kecuali malu seumur hidup dengan nilai yang tercetak dan menjadi kenang-kenangan hingga tua.“Gue udah maksimal dan sebenarnya ngerasa ada isinya sih, nih, otak. Tapi gitu ... Banyak materi yang harus kembali diulang lagi lebih banyak.”Ia tersenyum kecil, merasa tetap bangga dengan dirinya yang perlahan sadar untuk masa depan. “Nggak boleh balik males lagi, Dir! Lo harus semangat!”Indira menyemangati dirinya sendiri.“Ng
“Indira. Kita harus bicara sebentar.”Perempuan itu sudah dihadang oleh Liam saat akan keluar kamar, memutuskan untuk berangkat sekolah lebih pagi.Ia tidak berniat sarapan setelah mengambil beberapa camilan sejak semalam, beserta minuman. Baru pagi ini ia keluar kamar dengan setelan rapi. Seragam putih abu-abu dan juga ransel.Tinggal mengambil sepatu dan memesan taksi di area lobi.“Gue mau berangkat sekolah,” ucapnya dingin tanpa menatap pria bertubuh tinggi itu.“Kamu nggak usah terburu-buru. Aku bakal anterin kamu ke sekolah tepat waktu.”Liam masih ingin bernegosiasi dengan perempuan itu. Ia mengembuskan napas berat ketika Indira ikut diam, membuang pandangan dan tidak sedikitpun berontak atau menatapnya untuk mengatakan ketidaksukaannya.“Maafkan aku, Indira,” lirihnya menatap perempuan itu dengan rasa bersalah.“Aku nggak bisa mengendalikan hasratku sendiri.”
Ketukan sandal, kedua tangan yang dilipat depan dadan serta sorot tajam itu membuat Liam menatap bingung istri kecilnya. Ia baru saja tiba di rumah pukul sembilan malam, sesuai perjanjian di antara dirinya dan Indira. Pria itu mendapatkan izin untuk mengikuti reuni dan pulang di saat acara belum selesai.Apa yang salah?Bahkan, selama mereka menikmati liburan bulan madu, Indira membebaskan Liam pergi datang ke reuni dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Tidak sekali, melainkan beberapa kali dan satu hari mereka pulang ke Jakarta, Indira mengingatkan Liam.Ia sudah paham dan tidak akan membuat istrinya marah atau menangis lagi.Tapi belum sempat ia membuka pintu unit apartemen. Indira sudah berada di depannya, menunggu dengan raut wajah berbeda. Sebenarnya Liam sudah sangat ketakutan karena jika Indira marah ... maka ia harus menenangkannya. Liam pernah gagal untuk meluluhkan hati Indira ketika marah. Suasana hati istrinya kerap tidak terduga akan lulu
Indira tidak pernah menduga. Sekali jatuh cinta, maka ia merasakan kebahagiaan luar biasa selalu melingkupi dirinya bersama orang terkasih. Ia mencintai Liam, menerima semua kekurangan ... kesalahan yang pernah suaminya buat. Tapi apa pun itu, mereka sudah melangkah bersama, menata pecahan yang pernah menghunus tepat di hati.Bahkan, Indira sudah membuang rasa salah tingkah tiap Liam mulai menggoda atau ingin bermesraan dengannya. Karena sejak malam itu, ia ingin menjadi perempuan yang bisa mengimbangi sikap dewasa Liam, ikut mesum dan tentunya ikut romantis!Perempuan itu sedikit mendongak saat fotografer yang mereka sewa, memberikan aba-aba. Senyumnya semringah saat Liam memeluk pinggangnya dari samping, lalu membawa bibir basah itu ke leher istrinya. Mereka sudah menghabiskan banyak pose di tempat berbeda.“Cium, dong,” pinta perempuan itu merona saat pelukan mereka terurai.“Dari tadi kamu nggak pernah cium bibir aku,” gerutu I
‘Ingat, Dira Sayang. Sekarang kamu udah tau bagaimana isi hati kamu dan ternyata ... kamu juga sangat mencintai suamimu. Jadi, lupakan semua hal yang bisa membuat kamu malu dengan keadaan sebelumnya dan jadilah perempuan yang terlihat dewasa untuk merayu pria tampan.’‘Keberhasilanmu kali pertama adalah bagian terpenting yang bisa membuat Liam terus mengenang hal mendebarkan sama kamu, Nak.’‘Jangan kecewakan suamimu yang sudah menunggu kamu selama ini. Lakukan penuh cinta dan sayang yang kamu pancarkan dengan ketulusan hati.’Indira berdebar.Perempuan cantik itu memegang bagian di mana jantungnya berdetak kuat. Ia merasakan kedua pipi memanas saat di hadapannya ... ia terlihat sedikit lebih dewasa dari usianya dan juga bagaimana ia merias diri; memperlihatkan bagian yang harus terkesan sensual.Bibir kemerahan oleh lipstik dan juga riasan yang tidak terlalu tebal. Selama tinggal dalam satu unit yang sama. Indir
Tidak ada hari yang membuat mereka lelah untuk menciptakan kebersamaan yang manis. Liam dan Indira membuktikan, jika hal kecil bisa sangat berarti dan membuat komunikasi di antara keduanya terjalin kuat.Setelah pulang bekerja atau Indira yang memang kerap pulang cepat karena dalam masa ujian, mereka akan menyiapkan makan malam. Baik Indira ataupun Liam sudah saling mengerti dan memusatkan status mereka sebaik mungkin.Mereka akan menonton bersama di sore hari dan di tiap malam, Liam akan menjadi tutor bagi Indira dalam mengulas materi apa pun untuk besok harinya.Hmm, lebih tepatnya tutor tampan. Suami yang merangkap sebagai guru private sangat menyenangkan bagi Indira. Ia bisa meminta hadiah istimewa dan mendebarkan. Apalagi jika bukan sebuah ciuman panjang. Karena akhir-akhir ini Liam terlalu jual mahal.Dari mereka kembali bersama ke unit, sepertinya Indira yang memperlihatkan sisi agresif. Setiap malam pun ia sengaja memeluk Liam dan membawa satu kak
“Gimana? Jawabannya udah benar semua, kan?”Indira tampak nyaman melingkarkan kedua tangannya di leher Liam, merangkul pria itu dari belakang seraya membiarkan suaminya duduk memeriksa materi yang mereka ulas bersama di meja belajar Indira.Malam sudah menunjukkan pukul sembilan. Tapi ditemani suaminya, Indira tetap semangat untuk ujian nasional di hari pertama besok. Harinya berlanjut dengan bahagia tanpa beban dan belajar ... tentu saja ia memahami dengan baik, tanpa berpikir hal pelik seperti beberapa waktu lalu.Omong-omong, suami ya? Tentu saja! Indira dengan perasaan berdebar melirik cincin di jemari tangannya. Ia mengulum senyum, menghadirkan rona merah yang begitu kentara. Pun, jemari tangan Liam di atas meja belajar Indira yang sesekali membuka lembaran materi, memperlihatkan jemari itu tetap tersemat cincin pernikahan mereka.Keduanya memberikan simbol cinta dengan cincin pernikahan yang tidak akan mereka lepas, kecuali untuk sementa
Liam tersenyum miris saat pandangannya sangat lekat memandang foto pernikahan yang ia diam-diam simpan dengan rapi di galeri. Ruang khusus dengan nama yang tertera ringkas ‘Pernikahan’, entah kenapa pernah ia pisahkan dan membuat folder sendiri.“Setelah pernikahan kita yang aku ingat hanya untuk terus sadar kalau waktu itu aku udah punya kamu. Aku nggak menjalani hari sebagai pria lajang dan ada seorang perempuan yang menjalani komitmen bersamaku.”Liam mengulas senyum manis, meskipun perih dan gemuruh dalam dadanya kian menguat seiring jemari tangan mengusap lembut layar ponsel. Foto pernikahan ia dan Indira yang terlihat banyak orang manis. Tapi Liam tahu, dalam hati Indira menatap dirinya dengan umpatan yang terlalu banyak.Ia tertawa kecil, membayangkan kemarahan Indira yang memantik bagian terdalam hatinya. Pria itu tidak pernah menemukan kesan seringan dan semanis ini saat berkomunikasi dengan seorang perempuan.Itu yang mem
Bianca mengalihkan pandangan saat wanita itu menatapnya lurus, meskipun ia tahu jika ada air mata di pelupuk matanya. Diam-diam, jemari tangan itu mengepal di bawah meja, membawa dirinya pada keadaan yang tidak diinginkan.“Pernikahan putri Tante hancur, Bi. Kamu tau hal itu, kan?”Rahang Bianca mengetat ketika suara itu bergetar. Nyaris berupa bisikan dan itu sangat membuat Bianca kian mengepalkan kedua tangan, membuat buku jemari tangannya memutih. Ia membenci jika yang membawanya ke mari adalah Mama Indira.Ia tidak sengaja bertemu wanita itu di supermarket dan sekarang? Bianca terjebak dalam percakapan yang serius dan wanita itu adalah sosok pertama yang akan melindungi Indira.“Pernikahan Dira sudah berada di ujung tanduk,” lanjut wanita itu.Bianca langsung menatap manik mata Mama Indira dengan sorot tegasnya. Ia seolah tersudut ... dipojokkan dengan sangat tidak adil. Senyumnya tertarik sedikit, tampak menatap dan mem
Tangis Indira pecah saat ia memeluk erat wanita yang telah melahirkan dan meyakinkan Indira tentang suaminya sendiri. Ia mengatakan semua ... tanpa ada satupun yang ditutupi mengenai keretakan hubungan di antara dirinya dan Liam.Bahkan, Mama Indira membungkam mulutnya, nyaris bergetar saat Indira mengatakan hubungan asmara yang sempat dijalin antara Liam dan Bianca.Wanita itu hanya duduk tenang bersama suaminya di ruang tengah. Sampai ia mendengar satu tamu yang datang magrib, ia langsung membuka dan mendapati Indira memeluknya erat dalam mata sembab dan air mata yang tidak berhenti usai.Orangtua Indira kaget, mengenai hal yang tidak pernah perempuan itu ungkapkan sama sekali.Namun, bukan hanya air mata Indira yang terus saja membawa pilu dan sesak dalam hati orangtuanya. Mama Indira dan Papanya pun tampak sakit ... ketika Indira membuang begitu saja kue ulang tahun yang telah disiapkan pria itu untuknya.“Naomi datang ke unit Dira dan Li
‘Maaf, Indira. Aku harus pergi sebelum kamu bangun. Pagi tadi Xavier minta aku temani dia ke Bandung dan kami berdua akan balik lagi ke Jakarta setelahnya. Kamu pergi ke sekolah sendiri, ya. Sarapan paginya udah aku siapkan.’Indira menggerutu sebal dan melempar asal secarik kertas di tempel bagian depan kulkas. Ia menaruhnya di atas meja dapur, lalu duduk di sana dengan mengembuskan napas lelah.“Kenapa, sih?”“Giliran kemarin bangun pagi, dia masih tidur dan suasananya aman-aman aja. Sekarang harus ditinggal, tepat di saat gue ulang tahun,” sahutnya mengusap wajahnya yang masih kusut.Indira pikir, ia kembali berada di posisi Liam kemarin. Perempuan itu baru bangun jam enam kurang lima belas menit dan beranjak terlebih dulu keluar kamar saat tidak mendapati Liam berada di sisi ranjang.Namun, kenyataannya Liam memang tidak ada di unit dan sudah pergi duluan.Indira menilik piama tidurnya. “Ya udah,