“Ya ampun, Bianca. Udah lama ya, Tante nggak ketemu sama kamu. Sekarang makin cantik aja.”
Indira menatap datar perempuan semampai yang menyambut bahagia kedatangan Mamanya, saling berpelukan; melepas rindu layaknya keluarga dekat pada umumnya. Perasaan Indira masih sakit tatkala mengingat apa yang sudah dilakukan Bianca dan Liam di Bali. Tapi saat tahu Mamanya memaksa untuk bertemu dengan Bianca setelah mendapatkan nomor ponsel dari Ayah Bianca melalui Papa Indira, ia terpaksa menemani Mamanya bertemu di restoran.
Minggu siangnya sangat buruk sekali.
“Tante juga makin cantik,” puji Bianca setelah mereka mengurai pelukan.
Mama Indira tampak tersipu dan mengusap pelan lengan atas Keponakan dari suaminya. “Bisa aja kamu, Bi.”
Ketiganya mengambil duduk bersama.
“Oh, iya. Kamu udah ketemu duluan sama Dira, kan?” tanyanya segera menarik tangan Indira yang masih diam saja di belakangnya.
Senyu
Indira membuka pintu unit apartemen dengan wajah kusut. Padahal, ia belum bertemu hari di mana ujian nasional akan ditemui dan dijalaninya. Masih ujian berstandar sekolah yang ternyata membuatnya ingin pingsan.Pulang dari sekolah kepalanya berdenyut-denyut. Mungkin, semalam kurang cukup tidur dan ia baru pulang menjelang magrib dikarenakan menyelesaikan belajar kelompok lagi. Murid tahun terakhir sepertinya memang sangat ribet.Jika ingin dapat nilai terbaik atau standar, harus tetap belajar. Kecuali malu seumur hidup dengan nilai yang tercetak dan menjadi kenang-kenangan hingga tua.“Gue udah maksimal dan sebenarnya ngerasa ada isinya sih, nih, otak. Tapi gitu ... Banyak materi yang harus kembali diulang lagi lebih banyak.”Ia tersenyum kecil, merasa tetap bangga dengan dirinya yang perlahan sadar untuk masa depan. “Nggak boleh balik males lagi, Dir! Lo harus semangat!”Indira menyemangati dirinya sendiri.“Ng
“Indira. Kita harus bicara sebentar.”Perempuan itu sudah dihadang oleh Liam saat akan keluar kamar, memutuskan untuk berangkat sekolah lebih pagi.Ia tidak berniat sarapan setelah mengambil beberapa camilan sejak semalam, beserta minuman. Baru pagi ini ia keluar kamar dengan setelan rapi. Seragam putih abu-abu dan juga ransel.Tinggal mengambil sepatu dan memesan taksi di area lobi.“Gue mau berangkat sekolah,” ucapnya dingin tanpa menatap pria bertubuh tinggi itu.“Kamu nggak usah terburu-buru. Aku bakal anterin kamu ke sekolah tepat waktu.”Liam masih ingin bernegosiasi dengan perempuan itu. Ia mengembuskan napas berat ketika Indira ikut diam, membuang pandangan dan tidak sedikitpun berontak atau menatapnya untuk mengatakan ketidaksukaannya.“Maafkan aku, Indira,” lirihnya menatap perempuan itu dengan rasa bersalah.“Aku nggak bisa mengendalikan hasratku sendiri.”
‘Seenggaknya lo peduli sama suami lo, Dira! Kak Liam udah berusaha untuk peduli, membiarkan memaksa untuk menurunkan egonya juga agar bisa melihat lo sayang sama diri lo sendiri.’‘Rasanya agak aneh kalau dia begadang selama di rooftop terlalu lama. Dia memang memberikan kesempatan untuk lo biar nggak makin marah apalagi menahan diri sampai lo harus kelaparan sampai pagi.’‘Gantian aja. Anggap aja ini timbal balik untuk apa yang sudah dia siapkan kemarin sore. Lo boleh benci dia, tapi jangan sampai rasa simpati lo hilang dan tertutupi rasa egois.’Indira menatap gedung perusahaan yang sejak awal hanya didatanginya beberapa kali. Di tangannya sudah ada bungkusan berisi bubur ayam lengkap dengan kuahnya yang terpisah. Ia juga sudah membeli beberapa obat yang paling sering dipakai, seperti paracetamol dan vitamin untuk sementara waktu.Berbicara dengan Naomi, membuat perempuan itu memaksa Indira untuk sedikit peduli pada L
“Terima kasih, Kak.”“Aku merasa lebih baik setelah berbagi cerita sama Kakak,” sambung Indira tersenyum kecil menatap Serra; Kakak Iparnya.Perempuan yang menjadi istri Xavier itu menemani suaminya datang ke unit apartemen Liam dan Indira. Mereka datang malam hari, berusaha menjadi teman baik; pendengar yang bisa memberikan beberapa tanggapan yang bersifat netral.Xavier pun memilih membawa Liam ke area rooftop. Membiarkan istrinya menemani Indira di unit dan mereka sudah menghabiskan waktu hampir satu jam untuk melegakan isi hati masing-masing.Serra meraih kedua tangan Indira dan mengenggamnya hangat. Perempuan dewasa itu membalas senyum Indira dan berucap, “Kamu perempuan yang kuat, Indira. Meskipun harus mengubah pola pikir kamu untuk lebih dewasa dari usia kamu, tapi apa pun itu semua akan menjadi pembelajaran untuk kamu kedepannya.”“Semua yang kamu katakan dan tentang rasa sedih kamu, Kakak bisa mer
Liam mengunjungi ruang gym yang menjadi salah satu fasilitas di gedung apartemen ini. Ia juga menjadikan hal ini sebagai alasan untuk membiarkan Indira menikmati sarapan paginya yang sudah ia sediakan sebelum pergi ke area ruang gym.Tidak lupa, Liam menyelipkan kertas yang berisi catatan kecil ditulis tangannya dengan rapi. Termasuk ia menaruh sepuluh lembar uang seratus ribuan untuk uang jajan dan transportasi Indira, setelah sebelumnya ia kembali mengirim uang; mengisi saldo Indira.“Selamat pagi, Pak Liam.”“Selamat pagi, Pak.”Liam membalas jabat tangan dari seorang yang dikenalinya, tinggal di unit ini juga.Mereka terlibat percakapan kecil, sebelum akhirnya Liam memutuskan untuk mendekati area treadmill, meninggalkan lelaki berusia empat puluh tahun yang tinggal bersama istri dan anaknya di unit.Lelaki itu beralih memilih area tempat beban yang lebih berat karena sudah datang duluan. Sedangkan Liam, baru ingin
“Ada undangan dari temannya Papi. Kebetulan anaknya mau tunangan dan aku mau kamu yang datang, gantiin aku sama Serra.”Liam mengerjap, menatap undangan yang disodorkan Xavier di hadapannya. Ia menatap sang Kakak yang masih berdiri di depan meja kerja Liam.Pria itu pikir, Xavier datang untuk membicarakan seputar pekerjaan atau mengobrol dengannya. Tapi undangan pertunangan itu sudah membuatnya bingung. “Aku?” tanyanya mengulang.Xavier mengangguk sekali lagi dan menumpukan kedua telapak tangan di atas meja. “Kamu harus datang bersama Indira kalau nggak mau kesepian selama di sana.”“Aku takut dia nggak mau ikut sama aku,” lirihnya sudah berucap lebih dulu di bandingkan bertanya langsung pada Indira.“Dia juga belum maafin kesalahanku. Sebenarnya aku udah cukup sadar buat dia sedih. Jadi, aku merasa nggak berhak minta bantuan sama dia,” tambahnya yang membuat sorot manik mata Xavier memici
Liam menatap Indira yang memegang pinggiran meja dapur seraya memegang perutnya. Rintihan itu membuat Liam khawatir. Ia segera mendekati perempuan itu yang masih berdiri kaku.“Indira? Kenapa sama perut kamu?”Indira mengabaikan kedua tangan Liam yang sudah mengenggam bahunya. Ia menggeleng pelan dengan ringisan kecil. “Ng-ngak apa-apa. Agak sedikit sakit aja dan kayaknya gue lagi datang bulan.”“Duduk dulu, Ra.”“Sebentar, aku ambilkan air hangat,” sambungnya.Ia membantu Indira menarik kursi dan mempersilkan perempuan itu untuk duduk. Dengan cepat ia menuangkan minum dan menambah suhu dari air dispenser.“Terima kasih,” lirih Indira merasa sakit perutnya kian bertambah.Liam melirik jam yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam.“Ini hari pertama kamu?”Indira mengangguk pelan. “Gue mau bersih-bersih sebentar,” cetusnya segera beranja
“Akhirnya ... Bisa kesampaian main ke tempatnya Tante Dira ya, Nak?”Seorang perempuan berusia tiga puluh lima tahun itu berwajah semringah, menggoyangkan tubuh bayi berusia sekitar tujuh bulan dan menggerakkan tangannya pada dua orang yang masih dalam suasana suami istri baru dengan rentang usia cukup jauh.“Udah lama ya, Nak, kita mau main dari Bandung ke sini sama Papa juga,” sambungnya mengecup sayang pipi anak lelakinya yang tertawa pada Indira.Perempuan itu tampak mengajak main Zidan—anak Tania dan Ervin—yang dalam gendongan Tania, lalu tertawa, merasa jika Indira sangat lucu di matanya.“Hm, terima kasih—““Panggil kami Kakak aja, Liam. Usia kita juga nggak beda jauh. Biar enak ngobrolnya,” sahut Ervin merasa jika pria yang selisih sekitar lima tahun di bawahnya tampak bingung setelah perkenalan.Sebab, di hadapan Liam sore hari ini adalah keluarga Indira dari pihak Ma
Ketukan sandal, kedua tangan yang dilipat depan dadan serta sorot tajam itu membuat Liam menatap bingung istri kecilnya. Ia baru saja tiba di rumah pukul sembilan malam, sesuai perjanjian di antara dirinya dan Indira. Pria itu mendapatkan izin untuk mengikuti reuni dan pulang di saat acara belum selesai.Apa yang salah?Bahkan, selama mereka menikmati liburan bulan madu, Indira membebaskan Liam pergi datang ke reuni dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Tidak sekali, melainkan beberapa kali dan satu hari mereka pulang ke Jakarta, Indira mengingatkan Liam.Ia sudah paham dan tidak akan membuat istrinya marah atau menangis lagi.Tapi belum sempat ia membuka pintu unit apartemen. Indira sudah berada di depannya, menunggu dengan raut wajah berbeda. Sebenarnya Liam sudah sangat ketakutan karena jika Indira marah ... maka ia harus menenangkannya. Liam pernah gagal untuk meluluhkan hati Indira ketika marah. Suasana hati istrinya kerap tidak terduga akan lulu
Indira tidak pernah menduga. Sekali jatuh cinta, maka ia merasakan kebahagiaan luar biasa selalu melingkupi dirinya bersama orang terkasih. Ia mencintai Liam, menerima semua kekurangan ... kesalahan yang pernah suaminya buat. Tapi apa pun itu, mereka sudah melangkah bersama, menata pecahan yang pernah menghunus tepat di hati.Bahkan, Indira sudah membuang rasa salah tingkah tiap Liam mulai menggoda atau ingin bermesraan dengannya. Karena sejak malam itu, ia ingin menjadi perempuan yang bisa mengimbangi sikap dewasa Liam, ikut mesum dan tentunya ikut romantis!Perempuan itu sedikit mendongak saat fotografer yang mereka sewa, memberikan aba-aba. Senyumnya semringah saat Liam memeluk pinggangnya dari samping, lalu membawa bibir basah itu ke leher istrinya. Mereka sudah menghabiskan banyak pose di tempat berbeda.“Cium, dong,” pinta perempuan itu merona saat pelukan mereka terurai.“Dari tadi kamu nggak pernah cium bibir aku,” gerutu I
‘Ingat, Dira Sayang. Sekarang kamu udah tau bagaimana isi hati kamu dan ternyata ... kamu juga sangat mencintai suamimu. Jadi, lupakan semua hal yang bisa membuat kamu malu dengan keadaan sebelumnya dan jadilah perempuan yang terlihat dewasa untuk merayu pria tampan.’‘Keberhasilanmu kali pertama adalah bagian terpenting yang bisa membuat Liam terus mengenang hal mendebarkan sama kamu, Nak.’‘Jangan kecewakan suamimu yang sudah menunggu kamu selama ini. Lakukan penuh cinta dan sayang yang kamu pancarkan dengan ketulusan hati.’Indira berdebar.Perempuan cantik itu memegang bagian di mana jantungnya berdetak kuat. Ia merasakan kedua pipi memanas saat di hadapannya ... ia terlihat sedikit lebih dewasa dari usianya dan juga bagaimana ia merias diri; memperlihatkan bagian yang harus terkesan sensual.Bibir kemerahan oleh lipstik dan juga riasan yang tidak terlalu tebal. Selama tinggal dalam satu unit yang sama. Indir
Tidak ada hari yang membuat mereka lelah untuk menciptakan kebersamaan yang manis. Liam dan Indira membuktikan, jika hal kecil bisa sangat berarti dan membuat komunikasi di antara keduanya terjalin kuat.Setelah pulang bekerja atau Indira yang memang kerap pulang cepat karena dalam masa ujian, mereka akan menyiapkan makan malam. Baik Indira ataupun Liam sudah saling mengerti dan memusatkan status mereka sebaik mungkin.Mereka akan menonton bersama di sore hari dan di tiap malam, Liam akan menjadi tutor bagi Indira dalam mengulas materi apa pun untuk besok harinya.Hmm, lebih tepatnya tutor tampan. Suami yang merangkap sebagai guru private sangat menyenangkan bagi Indira. Ia bisa meminta hadiah istimewa dan mendebarkan. Apalagi jika bukan sebuah ciuman panjang. Karena akhir-akhir ini Liam terlalu jual mahal.Dari mereka kembali bersama ke unit, sepertinya Indira yang memperlihatkan sisi agresif. Setiap malam pun ia sengaja memeluk Liam dan membawa satu kak
“Gimana? Jawabannya udah benar semua, kan?”Indira tampak nyaman melingkarkan kedua tangannya di leher Liam, merangkul pria itu dari belakang seraya membiarkan suaminya duduk memeriksa materi yang mereka ulas bersama di meja belajar Indira.Malam sudah menunjukkan pukul sembilan. Tapi ditemani suaminya, Indira tetap semangat untuk ujian nasional di hari pertama besok. Harinya berlanjut dengan bahagia tanpa beban dan belajar ... tentu saja ia memahami dengan baik, tanpa berpikir hal pelik seperti beberapa waktu lalu.Omong-omong, suami ya? Tentu saja! Indira dengan perasaan berdebar melirik cincin di jemari tangannya. Ia mengulum senyum, menghadirkan rona merah yang begitu kentara. Pun, jemari tangan Liam di atas meja belajar Indira yang sesekali membuka lembaran materi, memperlihatkan jemari itu tetap tersemat cincin pernikahan mereka.Keduanya memberikan simbol cinta dengan cincin pernikahan yang tidak akan mereka lepas, kecuali untuk sementa
Liam tersenyum miris saat pandangannya sangat lekat memandang foto pernikahan yang ia diam-diam simpan dengan rapi di galeri. Ruang khusus dengan nama yang tertera ringkas ‘Pernikahan’, entah kenapa pernah ia pisahkan dan membuat folder sendiri.“Setelah pernikahan kita yang aku ingat hanya untuk terus sadar kalau waktu itu aku udah punya kamu. Aku nggak menjalani hari sebagai pria lajang dan ada seorang perempuan yang menjalani komitmen bersamaku.”Liam mengulas senyum manis, meskipun perih dan gemuruh dalam dadanya kian menguat seiring jemari tangan mengusap lembut layar ponsel. Foto pernikahan ia dan Indira yang terlihat banyak orang manis. Tapi Liam tahu, dalam hati Indira menatap dirinya dengan umpatan yang terlalu banyak.Ia tertawa kecil, membayangkan kemarahan Indira yang memantik bagian terdalam hatinya. Pria itu tidak pernah menemukan kesan seringan dan semanis ini saat berkomunikasi dengan seorang perempuan.Itu yang mem
Bianca mengalihkan pandangan saat wanita itu menatapnya lurus, meskipun ia tahu jika ada air mata di pelupuk matanya. Diam-diam, jemari tangan itu mengepal di bawah meja, membawa dirinya pada keadaan yang tidak diinginkan.“Pernikahan putri Tante hancur, Bi. Kamu tau hal itu, kan?”Rahang Bianca mengetat ketika suara itu bergetar. Nyaris berupa bisikan dan itu sangat membuat Bianca kian mengepalkan kedua tangan, membuat buku jemari tangannya memutih. Ia membenci jika yang membawanya ke mari adalah Mama Indira.Ia tidak sengaja bertemu wanita itu di supermarket dan sekarang? Bianca terjebak dalam percakapan yang serius dan wanita itu adalah sosok pertama yang akan melindungi Indira.“Pernikahan Dira sudah berada di ujung tanduk,” lanjut wanita itu.Bianca langsung menatap manik mata Mama Indira dengan sorot tegasnya. Ia seolah tersudut ... dipojokkan dengan sangat tidak adil. Senyumnya tertarik sedikit, tampak menatap dan mem
Tangis Indira pecah saat ia memeluk erat wanita yang telah melahirkan dan meyakinkan Indira tentang suaminya sendiri. Ia mengatakan semua ... tanpa ada satupun yang ditutupi mengenai keretakan hubungan di antara dirinya dan Liam.Bahkan, Mama Indira membungkam mulutnya, nyaris bergetar saat Indira mengatakan hubungan asmara yang sempat dijalin antara Liam dan Bianca.Wanita itu hanya duduk tenang bersama suaminya di ruang tengah. Sampai ia mendengar satu tamu yang datang magrib, ia langsung membuka dan mendapati Indira memeluknya erat dalam mata sembab dan air mata yang tidak berhenti usai.Orangtua Indira kaget, mengenai hal yang tidak pernah perempuan itu ungkapkan sama sekali.Namun, bukan hanya air mata Indira yang terus saja membawa pilu dan sesak dalam hati orangtuanya. Mama Indira dan Papanya pun tampak sakit ... ketika Indira membuang begitu saja kue ulang tahun yang telah disiapkan pria itu untuknya.“Naomi datang ke unit Dira dan Li
‘Maaf, Indira. Aku harus pergi sebelum kamu bangun. Pagi tadi Xavier minta aku temani dia ke Bandung dan kami berdua akan balik lagi ke Jakarta setelahnya. Kamu pergi ke sekolah sendiri, ya. Sarapan paginya udah aku siapkan.’Indira menggerutu sebal dan melempar asal secarik kertas di tempel bagian depan kulkas. Ia menaruhnya di atas meja dapur, lalu duduk di sana dengan mengembuskan napas lelah.“Kenapa, sih?”“Giliran kemarin bangun pagi, dia masih tidur dan suasananya aman-aman aja. Sekarang harus ditinggal, tepat di saat gue ulang tahun,” sahutnya mengusap wajahnya yang masih kusut.Indira pikir, ia kembali berada di posisi Liam kemarin. Perempuan itu baru bangun jam enam kurang lima belas menit dan beranjak terlebih dulu keluar kamar saat tidak mendapati Liam berada di sisi ranjang.Namun, kenyataannya Liam memang tidak ada di unit dan sudah pergi duluan.Indira menilik piama tidurnya. “Ya udah,