Freya kembali menenggak minuman lalu meletakkan gelasnya di meja dengan kasar. “Meski begitu, Dhafin masih enggan menceraikan Lora bahkan di saat kami udah tunangan.”“Aku harus menunggu sampai berbulan-bulan barulah mereka akhirnya resmi bercerai. Ternyata proses perceraian mereka ditunda karena Lora hamil anaknya Dhafin. Sialan!”Ia mendengus kasar seraya menyandarkan tubuhnya kembali. “Sekarang Lora jauh berbeda dengan yang dulu. Aku nggak bisa lagi mengusik hidupnya dan menyentuh anak-anaknya.”“Dia punya bekingan kuat yang sulit untuk ditembus. Dia juga dengan berani-beraninya mengancamku. Dikiranya aku bakal takut begitu? Hahaha… Nggak sama sekali.”“Menikah dengan Dhafin satu-satunya cara supaya Lora tersakiti dan tersiksa dengan perasaannya sendiri yang terlalu mencintai Dhafin itu.”“Aku akan membuat Dhafin menjauh dari anak-anak Lora yang sekarang dekat dengannya. “Aku akan membuat Lora menangis darah dan mengemis perhatian Dhafin demi anak-anaknya. Hahaha….”Freya terus s
“Nggak! Kalian jangan dulu membuat keputusan apapun,” sahut Bu Anita menyela pembicaraan suami dan anaknya.Ia menegakkan tubuh menatap keduanya bergantian. “Di video itu Freya dalam keadaan mabuk, jadi omongannya melantur kemana-mana.”“Freya nggak sadar saat berbicara seperti itu. Jangan langsung percaya dulu,” sanggahnya.Dhafin berdecak kesal mendengar ucapan ibunya yang terkesan membela Freya. “Mama berusaha menyangkal? Udah jelas-jelas Freya kayak gitu.”Bu Anita menggelengkan kepala berkali-kali. “Bukannya Mama berusaha menyangkal, Dhafin, tapi lihat dulu situasinya di situ seperti apa. Masa kita langsung percaya gitu aja sama omongan orang mabuk?”“Orang mabuk biasanya berkata jujur, Ma,” sahut Dhafin dengan nada datar. Bu Anita gantian menggenggam tangan putranya. “Mama tau, makanya tadi syok banget karena belum bisa berpikir jernih dan menelan informasi itu bulat-bulat.”“Sekarang Mama ingin kamu mencari tahu dulu kebenarannya seperti apa lalu mengambil keputusan yang benar
Freya menundukkan kepalanya sambil memilin jari. Ia menggigit bibir bawahnya bimbang, antara jujur atau berbohong. “Freya,” panggil Bu Linda melihat putrinya yang malah bungkam. Ia terdiam sejenak sambil menatap Freya lekat-lekat mencoba menelisik apa yang sebenarnya terjadi. “Freya, jangan bilang kalau semua itu memang benar?” tebaknya. Wanita paruh baya itu mengguncang bahu Freya karena belum juga mendapatkan jawaban. “Jawab Mama, Freya. Jawab dengan jujur!” Freya mengangguk pelan masih dengan kepala tertunduk. “Semuanya… be-benar, Ma.” Bu Linda mendorong keras bahu Freya hingga oleng ke belakang. “Freyaaa! Astaga!”Freya menumpukan tangannya di kasur sehingga tidak sepenuhnya limbung lantas memperbaiki posisi duduknya kembali seperti semula. Ia meringis pelan melihat ibunya yang tampak uring-uringan. Kepalanya semakin menunduk dalam tanpa berani menatap sang ibu.“Jadi, dalam video itu kamu mengakui perbuatanmu sendiri gitu?” tanya Bu Linda menatap kesal ke arah putrinya. “M
“Klarifikasi mulu. Kek nggak ada pembelaan lain aja. Lama-lama jadi duta klarifikasi nih orang. Dasar drama queen!”Lora mengerutkan keningnya menatap Zelda yang menggerutu kesal sambil melihat ke arah ponsel. “Kenapa, Zel?”Zelda mengangkat kepalanya membalas tatapan Lora dengan raut wajah cemberut. Ia menyodorkan ponselnya ke arah sanga sahabat. “Nih, lihat. Si Freya klarifikasi tentang beritanya yang viral itu.”Lora mengelap tangannya yang bekas minyak menggunakan tisu sebelum mengambil ponsel milik Zelda.Ia menonton tayangan video berisi Freya yang melakukan klarifikasi atau lebih tepatnya menyangkal tentang semua pengakuannya sendiri.“Percuma juga dia klarifikasi sana-sini. Dikira netizen sekarang nggak cerdas apa?” lanjut Zelda masih dengan mengomel. Ia lantas minum jusnya yang tinggal setengah.Lora tersenyum geli melihat tingkah bumil yang satu ini lalu mengembalikan ponsel pada pemiliknya. “Kok jadi kamu yang ngomel-ngomel sendiri sih?”Zelda mendengus keras dengan melipat
Freya terdiam sejenak, teringat ketika dirinya mengizinkan Tika melakukan live streaming di acara itu. “Tapi kenapa nggak kamu matikan saat kita sedang party?”Terdengar suara tawa pelan di seberang sana. “Logika aja sih, Frey. Di acara itu, kita semua melakukan party dan bersenang-senang.”“Beberapa dari kita bahkan ada yang mabuk termasuk aku sendiri. Mana kepikiran buat mematikan live? Jangankan mematikan, ingat kalau live streaming masih menyala aja kagak,” jelasnya.Freya lagi-lagi terdiam. Sedikit banyak ia membenarkan perkataan Tika. Ia sendiri pun tidak ingat apalagi dirinya yang paling parah di sini. Tetapi….“Kenapa kamu malah melakukan live streaming di acara itu? Kamu sengaja, ya?” tanyanya setengah menuduh. Tika menghembuskan napas kasar. Mungkin merasa kesal karena selalu dipojokkan. “Itu udah menjadi kebiasaanku ketika kita kumpul bareng.”“Apa kamu lupa? Aku niatnya cuma pengen seru-seruan sekalian mengabadikan momen itu. Aku pun nggak pernah menduga kalau akhirnya ja
Lora berjalan memasuki gedung hotel tempat akad sekaligus resepsi pernikahan Dhafin dan Freya. Di sampingnya ada Grissham yang memang ikut diundang sebagai rekan bisnis Dhafin.Ia datang sendiri tanpa membawa anak-anaknya yang dititipkan di rumah orang tua Zelda bersama Amina. Kebetulan hari ini weekend sehingga mereka bisa menjaga sekalian menghabiskan waktu dengan si kembar. Malahan dengan senang hati dititipi karena sudah sangat merindukan duo bocil itu. “Apa kau beneran baik-baik saja, Lora?” tanya Grissham saat keduanya berada dalam lift menuju lantai tempat ballroom berada.“Hm?” Lora mendongak menatap Grissham yang lebih tinggi darinya. Ia mengerjapkan mata sejenak, cukup kaget mendengar pertanyaan tiba-tiba dari laki-laki itu. “Aku baik-baik aja, Kak. Kenapa memangnya?” tanyanya balik.Grissham tersenyum sambil membalas tatapan Lora tepat di kedua bola matanya. “Mungkin saja kau merasa sakit atau bagaimana melihat mantan suamimu yang menikah lagi.”“Ditambah menikahnya deng
“Kak, semua itu rencana yang Kakak jalankan?” Lora bertanya kepada Grissham tanpa mengalihkan pandangan dari depan.Ia sangat speechless sekaligus terkejut melihat semua bukti kejahatan Freya yang ditayangkan di hadapan semua orang. Bahkan ada bukti yang bukan berasal dari dirinya. “Tidak, bukan aku.” Grissham menggeleng menjawab pertanyaan Lora. Ia menoleh bersamaan dengan Lora yang menatap ke arahnya.“Rencana yang kususun memang kurang lebih seperti itu, tetapi aku belum memberikan aba-aba kepada mereka untuk beraksi.”“Rencananya nanti setelah akad agar Pak Dhafin merasa menyesal telah menikahi perempuan yang salah,” jelasnya.Lora manggut-manggut paham. Keningnya mengerut memikirkan siapa kira-kira dalang di balik tayangan itu. “Kalau bukan Kak Sham terus siapa? Apa Ayah yang melakukannya?” Grissham menggelengkan kepala. “No! Uncle Raynald menyerahkan semuanya padaku dan terima beres saja. Ayahmu akan datang nanti setelah semuanya terbongkar.”Lora kembali menatap ke depan. Ia
Dhafin mendengus keras sambil menurunkan tangannya. “Kau masih bertanya kenapa, hm? Karena kau telah melenyapkan nyawa putraku, Freya!”“Anakku yang nggak salah apa-apa harus meninggal karena keegoisanmu!” bentaknya. Ia mengulurkan tangan untuk mencengkeram kuat bahu Freya. “Sebagai ayah, jelas aku nggak terima. Dan gara-gara rayuan mautmu, aku menuduh orang yang nggak bersalah.”“Aku melakukan semua ini untuk menegakkan keadilan untuk putraku. Penjara terlalu mudah untukmu. Jadi, sebelum kau mendekam di sana, kubuat kau tersiksa lebih dulu melalui sanksi sosial.”Pria itu memandang sejenak ke arah meja Lora yang tampak berkali-kali mengusap pipinya dengan tisu. “Selain itu, aku ingin kau merasakan apa yang Lora rasakan dahulu.”“Dihujat, dibenci, dikucilkan atas kesalahan yang nggak pernah diperbuat. Bagaimana rasanya, hm? Enak kan?” tanyanya sinis.Freya menatap Dhafin dengan berlinang air mata. Ia mengepalkan tangan kuat menahan amarah yang mulai memuncak. “Kamu benar-benar kejam,
Lora bergidik ngeri padahal Grissham mengatakannya dengan suara tenang seperti biasa. Namun, entah kenapa ia merasa merinding ketika mendengarnya.Seperti ada ancaman tersirat di dalamnya. Ia menggelengkan kepala dan memilih segera menghabiskan makanannya yang tersisa sedikit.Grissham tersenyum kecil melihat respon calon istrinya ini. Ia meletakkan sendok dan garpu ke dalam piringnya yang sudah kosong lantas mendorong ke tengah meja.Dengan tangan yang terlipat di atas meja, Grissham menatap Lora lekat-lekat. Ia memperhatikan setiap gerakan kecil wanita itu yang selalu menarik di matanya.Lora yang merasa ditatap pun menjadi salah tingkah dibuatnya meski sudah sering. Kepala tertunduk menghindari bertemu pandang dengan Grissham. “A-apaan sih, Kak? Kenapa menatapku seperti itu?”Grissham tidak menjawab melainkan mengulurkan tangannya lalu mengusap sudut bibir Lora yang terdapat sisa makanan. “Bibirmu sedikit belepotan. Rupanya kau tidak pernah berubah, ya.”Sontak, tubuh Lora menegan
“Assalamu'alaikum, Lora, calon istriku.”Lora yang semula fokus pada laptop mengangkat kepalanya lalu menyunggingkan senyum begitu melihat seseorang yang baru saja masuk. “Waalaikumsalam, Kak Sham.”Grissham berjalan menghampiri Lora yang duduk di kursi kerja dan berdiri di seberangnya. Ia menumpukan tangannya di atas meja dengan sedikit mencondongkan tubuh. “Tampaknya kau sangat sibuk. Apa kau sedang banyak pekerjaan, hm?” tanyanya.“Cuma ngecek laporan keuangan bulanan aja sih. Ini udah selesai kok.” Lora mengeluarkan semua tab dalam laptopnya lantas menekan tombol ‘Shutdown’ untuk menonaktifkan.Grissham tersenyum lebar dan menegakkan tubuhnya. “Baguslah, aku ingin mengajakmu makan siang bersama.”Lora menutup laptopnya setelah memastikan benar-benar mati. Ia beranjak dari duduknya lalu mendekati Grissham. “Boleh, mau makan dimana?”“Di sini saja agar tidak jauh-jauh. Untuk apa makan di luar kalau kita sendiri mempunyai restoran?” Grissham menggandeng tangan Lora, mengajak keluar
“Apa kau bahagia hari ini, Lora?” tanya Grissham menatap Lora yang tengah memandang ke arah langit malam.Keduanya sekarang ini duduk di salah satu kursi panjang taman samping mansion yang luas. Masih dengan memakai baju batik couple serta riasan yang belum di hapus.“Iya, aku bahagia, sangat.” Lora menatap Grissham sejenak disertai senyum manis lalu kembali menatap ke atas. “Jujur, ini pertama kalinya aku berada di momen ini. Dan aku merasa… berharga.”Grissham mengerutkan keningnya. “Pertama kali? Memangnya saat bersama Dhafin dulu kau tidak….” Ia langsung menghentikan perkataannya melihat Lora yang langsung melunturkan senyum. “Ah, iya, aku lupa.”Lora kembali menatap Grissham dengan wajah sedikit murung. “Kakak kan tau sendiri gimana pernikahanku sama Mas Dhafin. Mana ada acara lamaran kayak gini?”Grissham menjadi tidak enak. “Maaf, Lora, aku benar-benar lupa tentang itu.”Lora kembali mengulas senyuman. “Nggak papa. Makasih, ya, Kak, udah datang kemari dan menunjukkan keseriusa
Lora tidak langsung menjawab, melainkan berusaha mengendalikan debaran jantungnya yang menggila. Ia tak menduga Grissham bisa seromantis ini bahkan tanpa membawa teks.Dalam hati, wanita itu merasa terharu sekaligus dicintai sebegitu dalamnya. Sebelum menjawab, Lora mengalihkan tatapan ke arah orang tuanya. Mereka mengangguk kompak seakan memberi isyarat agar dirinya segera menjawab. Ia kembali menatap Grissham sambil menarik napasnya.“Bismillahirrahmanirrahim…. Dengan restu Ayah sama Ibun dan seluruh keluarga besar, aku bersedia menikah denganmu, Kak Sham,” ujarnya disertai senyuman.Seruan syukur terucap bebarengan hingga terdengar memenuhi ruangan. Lora menghembuskan lega, berhasil menyelesaikan bagiannya dengan lancar tanpa terbata-bata. Selanjutnya, ada pertukaran cincin. MC pun memanggil seseorang yang bertugas membawakan cincin itu. Tak lama, datanglah seorang gadis kecil berusia sekitar sepuluh tahun yang merupakan anak dari sepupu pertama Lora. Di tangannya membawa kotak
Ruang tamu di mansion utama keluarga Kusuma yang sangat luas itu tampak indah dengan beberapa ornamen bunga sebagai hiasannya. Di bagian depan yang menjadi panggung utama terdapat dua kursi dan dekorasi sederhana bertuliskan ‘G & L’ pada dindingnya. Ya, hari ini atau lebih tepatnya malam ini acara pertunangan Lora dengan Grissham akhirnya digelar. Acaranya berlangsung secara intimate yang hanya dihadiri oleh sanak saudara dan orang terdekat saja. Beberapa tamu sudah mulai berdatangan karena memang acaranya dilaksanakan pukul tujuh dengan tujuan agar tidak kemalaman. Sementara itu, sang pemeran utama masih berada di kamar sedang bersiap. Ia membiarkan MUA menyiapkan penampilannya di hari istimewa ini, mulai dari make-up hingga tatanan kerudung. “Sudah selesai.” “Cantik banget, Mbak Lora.” Lora tersenyum menanggapi ucapan mereka dan mengucapkan terima kasih karena sudah dibantu bersiap-siap. Ia menatap pantulan dirinya di depan cermin. Di sana dirinya tampak sangat cantik dengan
Lora berdiri dengan perasaan resah. Kedua bola matanya bergerak liar untuk menghindari tatapan Dhafin yang terasa menusuk itu. Ia bingung, tak tahu harus menjawab apa dan bagaimana. Otaknya tiba-tiba terasa kosong. Kedatangan Dhafin kemari saja sudah membuatnya kaget bukan main. Lora tak pernah menduga hal yang ditutup-tutupi dari Dhafin akhirnya terungkap sekarang. Ya, meskipun pria itu akan tahu nantinya, tetapi bukan berarti secepat ini juga. “Lora,” panggil Dhafin terdengar sangat dingin bercampur geram. Ia sebenarnya sudah tahu jawabannya. Namun, ia ingin mendengar langsung penjelasan dari mulut Lora sendiri. “Ee… itu… a-aku… aku….” Lora berkata dengan gagap hingga tanpa sadar mengeratkan pegangan tangannya pada lengan sang ayah seolah meminta bantuan. Pak Raynald yang menyadari itu dan mulai bisa membaca situasi menoleh pada putrinya. “Apa kau belum belum memberitahu Dhafin tentang ini, Princess?” “Ayah…” Lora menatap ayahnya melas dan menggeleng samar. Tangannya semakin
Lora lagi-lagi menggeleng tegas. “Nggak usah, Mas Dhafin. Udah jelas orang tuaku nggak setuju, jadi percuma aja. Jangan membuang waktu untuk keputusan yang udah final.” ‘Maaf, Mas. Aku cuma nggak ingin kamu tau kalau aku udah dijodohkan sama Kak Sham. Kamu pasti akan lebih kecewa lagi,’ lanjutnya dalam hati seraya menatap Dhafin dengan perasaan bersalah. “Tapi, Lora–” Drrtt! Ucapan Dhafin terpotong oleh suara dering ponsel milik Lora. Wanita itu segera mengangkat telepon dan berbincang sejenak dengan sang penelepon yang ternyata dari Amina. Setelah mengakhiri telepon, Lora kembali memusatkan perhatiannya pada Dhafin. “Mas Dhafin, aku udah mantap dengan keputusanku. Aku minta maaf atas jawabanku yang mengecewakan.” “Aku pamit pulang duluan, ya, Mas. Si kembar udah mencariku.” Ia lantas beranjak dari duduknya sambil sedikit menunduk. “Sekali lagi aku minta maaf. Aku pergi dulu, assalamu'alaikum,” pamitnya lantas berlalu meninggalkan Dhafin sendirian. “Wa’alaikumsalam.” Dhafin me
“Apa?” Dhafin sedikit melebarkan mata tajamnya. Netra berwarna coklat itu memperlihatkan keterkejutan yang tak mampu disembunyikan.Ia berharap salah mendengar. Namun, suara Lora yang pelan seakan-akan berdengung di telinganya membuat napasnya tercekat.“Iya, Mas, orang tuaku nggak setuju kalau kita rujuk.” Lora mengulang perkataannya. Ia menatap tepat di kedua bola mata Dhafin seolah menegaskan bahwa ucapannya tidak main-main.Dhafin tertegun dengan jantung yang mempompa liar. Hatinya mencelos serasa diremas oleh tangan tak kasat mata. Jadi, Lora menolak rujuk karena orang tuanya tidak setuju.“Kenapa nggak setuju? Padahal semuanya baik-baik aja. Bukankah mereka udah memaafkanku?” tanyanya yang terdengar seperti protes.Lora mengangguk sembari melipat tangannya di atas meja. “Mereka memang memaafkanmu, tapi bukan berarti bisa kembali. Orang tuaku punya kekhawatiran yang besar padaku yang akan terluka lagi kalau kita rujuk.”Dhafin merasakan dadanya bergemuruh hebat mendengar pengaku
[Assalamu'alaikum, Mas. Apa hari ini kamu ada waktu untuk bertemu?][Aku ingin membahas kelanjutan permintaan rujuk waktu itu sekaligus memberikan jawaban. Rasanya nggak enak kalau lewat telepon][Waalaikumsalam, Lora. Sepulang kantor nanti sore aku free. Ingin bertemu dimana?][Di kafe dekat kantormu aja. Bisa kan?][Bisa-bisa, sampai bertemu nanti]Itu merupakan sepengal pesan yang dikirimkan oleh Lora siang tadi. Dhafin jadi kembali teringat dengan permintaan mantan istrinya yang ingin minta petunjuk lewat sholat Istikharah selama seminggu.Tanpa terasa tibalah hari ini saatnya Dhafin mendengar jawaban itu. Sungguh, ia sangat antusias dan tidak sabar ingin segera bertemu Lora. Ia berharap jawaban yang diberikan oleh Lora sama seperti yang dirinya punya usai melaksanakan sholat Istikharah juga.Kini, pria berparas tampan itu duduk sendiriam di salah satu meja yang berada di dekat jendela. Tubuhnya bersandar pada kursi sambil mengetuk-ngetukkan jarinya di meja.Ia menunggu kehadiran