Elli berbaring diam di sisi ranjang, tubuhnya diselimuti rasa hangat yang masih tersisa. Tatapannya terpaku pada wajah Raquel yang tengah menatap langit-langit, napasnya teratur, dan senyumnya tipis. Cahaya lampu kamar yang redup membuat garis wajah Raquel tampak semakin lembut, hampir seperti lukisan yang sempurna. Elli mendekat, menyandarkan kepalanya di dada Raquel, mendengar detak jantungnya yang tenang dan stabil. Padahal beberapa saat lalu, dia terlihat masih enggan dengan Raquel. Tapi sentuhan Raquel tidak pernah bisa ia tolak. Mereka pun berbagi lenguhan dan kenikmatan bersama. Hingga beberapa saat kemudian, Raquel menoleh, matanya yang hangat menangkap Elli yang kini mengamati wajahnya dengan seksama. "Apa?" tanya Raquel sambil tersenyum, tangannya perlahan terulur untuk mengusap pipi istrinya. Elli tersenyum kecil, tapi matanya menyiratkan rasa bersalah yang sulit disembunyikan. "Nggak apa-apa," bisiknya, suaranya sedikit gemetar. Namun, di dalam hatinya, perasaan itu
Di Jakarta, Sera menghela napas panjang di dalam mobilnya, menatap ke luar jendela sebelum akhirnya memutuskan untuk menjemput Anna dari sekolah. Hari itu, ia berencana mengajak putri sulungnya makan di salah satu restoran cepat saji dengan ikon ayam terkenal. Namun, semangat Anna yang biasanya ceria semakin membuncah saat ia tiba-tiba meminta izin untuk membawa Abel ikut serta. "Abel harus ikut, Mama! Dia belum pernah makan di sana," kata Anna dengan mata berbinar. Sera tersenyum, tapi hatinya sedikit ragu. Ia tahu situasi antara keluarganya dan Lukas, ayah Abel, masih terasa rumit. "Anna, kalau Abel mau ikut, dia harus pamit dulu sama Papanya, ya. Mama nggak mau nanti dibilang bawa-bawa Abel tanpa izin," ujar Sera dengan lembut, sambil menepuk kepala putrinya. Anna mengangguk dengan penuh keyakinan. "Iya, Ma! Aku akan bilang sama Abel.”Sera mengamati Anna yang berlari mendekat ke arah wanita bernama Nana dan Abel. Tak lama, wanita itu mengeluarkan ponsel dan tampak berbicara
“Tentu. Tante gak berpikir aku benar-benar lahir dari batu kan? Apa kabar Mamaku? Namanya Mama Ellinor ‘kan?”Sera menahan napas. Suara Abel begitu tenang, tetapi pertanyaannya membawa beban yang berat. Anak sekecil itu, dengan nada bicara yang begitu datar, tampak jauh lebih dewasa daripada umurnya. "Ya... Mama kamu namanya Elli," jawab Sera akhirnya, memilih untuk jujur. "Dan dia baik-baik saja." Abel mengangguk kecil, pandangannya tetap pada Sera. "Kenapa dia nggak datang? Kenapa dia nggak pernah cari aku?"Pertanyaan itu membuat Sera merasa seolah ditusuk. Darimana sebenarnya dia tahu tentang ibu kandungnya. Lukas? Jika Lukas yang membawanya pergi, kenapa dia tidak menceritakan semuanya atau mengubur semuanya sekalian? Sera menjadi posisi yang serba salah saat ini.Ia mencoba menata kata-katanya dengan hati-hati. "Mama kamu... sangat sayang sama kamu, Abel. Tapi kadang, ada situasi yang membuat orang dewasa sulit bertindak seperti yang mereka inginkan. Dia nggak pernah berhen
"Abel?" Elli mengulang, suaranya bergetar. Wajahnya di layar menunjukkan keterkejutan yang tak bisa disembunyikan. "Kamu bilang... Abel?"Sera segera mencoba menenangkan suasana. "Anna, sayang, kenapa nggak kamu temani Abel dulu? Mama lagi bicara sama Tante Elli."Namun, sebelum Anna pergi, Nana muncul di waktu yang tepat. "Abel, ayo ikut aku sebentar. Kita lihat-lihat menu yang lain." Suara Nana terdengar lembut namun tegas, dan ia menggandeng tangan Abel menuju meja pemesanan.Sera menarik napas panjang, menunggu hingga Abel cukup jauh sebelum kembali ke panggilan video. "Kak, aku bisa jelasin—"Elli menghentikan Sera dengan lambaian tangan. Air matanya sudah mengalir di pipi. "Dia Abelku, Ra? Ra… Abel... dia sama kamu?" tanyanya, suaranya terdengar serak.Sera mengangguk pelan, wajahnya penuh rasa bersalah. "Iya, Kak. Tapi ini bukan rencana aku. Aku nggak tahu dia akan muncul di hidupku seperti ini."Setelah memastikan Abel cukup jauh bersama Nana, Sera menghela napas panjang dan m
Malam itu, Nana sedang membereskan mainan Abel di ruang tengah saat suara pintu yang terbuka membuyarkan konsentrasinya.Lukas muncul di ambang pintu dengan wajah memerah, penampilan berantakan, dan bau alkohol yang menyengat. Nana langsung menoleh, raut bingung dan khawatir tergambar di wajahnya."Mas Lukas, baik-baik saja?" tanyanya hati-hati.Lukas hanya menatapnya sekilas tanpa menjawab. Matanya merah, entah karena lelah, emosi, atau efek alkohol. Ia berjalan gontai menuju sofa, lalu menjatuhkan diri dengan kasar.Nana mendekat, mencoba memastikan kondisinya. "Mas perlu istirahat. Mungkin saya bisa ambilkan air atau—"Namun, Lukas memotong dengan suara serak, "Apa yang mau kamu bilang tadi di pesan? Kamu bilang mau bahas Abel?"Nana terdiam sesaat, mengumpulkan keberanian untuk menceritakan apa yang terjadi. "Mas Lukas, saya rasa Abel sedang sedih. Dia berubah sejak mendengar Bu Sera berbicara dengan seorang wanita lewat video call. Setelah itu, dia jadi murung, banyak diam, bahka
Pagi itu, sinar matahari menerobos jendela rumah Lukas, menciptakan bayangan lembut di ruang makan. Namun, suasana di dalamnya terasa jauh dari kata hangat. Abel duduk di meja makan, memainkan sendoknya tanpa banyak bicara. Meski wajahnya masih menyiratkan kesedihan, ada semangat kecil yang muncul saat ia bersiap untuk pergi ke sekolah. "Abel, kamu sudah siap? Jangan lupa buku PRnya, ya," suara Nana terdengar dari dapur. Namun, tidak seperti biasanya, ia tidak mendekat untuk memastikan. Nana sibuk memotong apel dengan tangan sedikit gemetar. Pikiran tentang kejadian malam sebelumnya terus berputar di kepalanya. Ia mencoba mengalihkan perhatian dengan mempersiapkan bekal Abel, tapi hatinya tetap bergejolak setiap kali mendengar langkah kaki Lukas mendekat. Di ruang makan, Lukas duduk diam di sofa, masih terlihat sedikit lelah. Ia memandangi Abel dengan tatapan kosong, seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ciuman semalam terulang di pikirannya, dan itu membuatnya merasa b
Kai memandang Lukas dengan pandangan penuh arti. "Lo banyak berubah, Luke," katanya pelan, tapi nadanya serius. "Gue ngeliat lo sekarang, jauh beda dari anak muda keras kepala yang gue kenal dulu." Lukas mendengus, memasukkan tangannya ke dalam saku celana. "Semua orang berubah. Lo nggak mungkin berharap gue tetap jadi keponakan lo yang nggak tau apa-apa dan otaknya gampang dipermainin. Langsung aja, apa yang sebenernya lo mau omongin?" Kai menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya membuka mulut. "Gue cuma mau hubungan kita baik, Luke. Demi Abel, demi Anna. Anak-anak itu udah cukup pusing tanpa harus ikut drama orang dewasa." Lukas tertawa kecil, tapi nada tawanya dingin dan sinis. "Hubungan baik, ya? Lo yakin mau nyebut itu? Lo tau, gue aja bingung apa posisi Abel di keluarga lo. Dia harus manggil lo kakek? Karena lo technically om gue. Atau dia harus manggil lo om? Karena lo suami dari tantenya? Hubungan kita udah rumit dari awal ‘kan, ‘Om’ Kai." tekan Lukas.Kai tetap tenan
Sera tertegun saat mendengar suara Mamanya, Fara, dari seberang telepon. "Elli sedang merajuk," kata Fara dengan nada cemas. "Dia ingin pulang ke Indonesia. Katanya, hanya sebentar, untuk bertemu Abel. Setelah itu, dia berjanji tidak akan mengusik anak itu lagi. Tapi Raquel... Dia keberatan. Elli kan sedang hamil, dan kondisinya tidak pernah kuat setiap kali hamil."Sera menghela napas panjang, mencoba mencerna situasi yang tiba-tiba ini. "Terus, Ma? Kak Raquel nggak ngijinin Kak Elli pulang 'kan?"Fara terdengar ragu sebelum menjawab, "Lebih dari itu, Sayang. Elli sudah mulai bertingkah. Dia bahkan bilang akan menggugurkan bayi itu kalau keinginannya tidak dituruti. Dia sudah berhenti minum vitamin kehamilan. Raquel bingung setengah mati. Tapi Elli nggak mau mendengar. Dia hanya ingin satu hal katanya… ketemu Abel."Sera menutup matanya, Sera merasa bersalah karena memberitahu keberadaan Abel di saat yang sepertinya kurang tepat. Ia tahu betapa Elli merindukan Abel. Selama ini, Sera
Langit biru cerah diiringi sinar matahari yang hangat menyinari taman besar tempat pernikahan Anna dan Eric berlangsung. Di tengah suasana yang dipenuhi tawa dan kebahagiaan, keluarga dan sahabat berkumpul untuk merayakan awal baru bagi dua hati yang akhirnya bersatu. Anna tampak anggun dalam gaun putih yang sederhana namun memikat, rambutnya ditata rapi dengan aksen bunga kecil. Eric, dengan setelan jas hitamnya, berdiri di samping Anna dengan senyum yang tidak pernah lepas sejak prosesi dimulai. Sera, dengan Kai di sampingnya, memandangi putri sulung mereka dengan mata berkaca-kaca. Dua anak laki-laki mereka, Raiden dan Leon, tampak gagah dalam setelan formal mereka. Leon bahkan sempat bercanda dengan Anna sebelum prosesi dimulai, mengingatkan kakaknya untuk tetap ceria di hari bahagianya. “Raiden, Leon, kalian akan menjaga Mama dan Papa ‘kan kalau Kak Anna sudah menikah,” ujar Sera dengan suara lembut. “Tenang aja, Ma,” jawab Leon sambil tersenyum lebar, sementara Raiden
Restoran kecil di pinggir kota itu dipenuhi dengan suasana yang hangat dan tenang. Cahaya lilin di setiap meja memantulkan bayangan lembut pada dinding bata ekspos. Anna duduk di meja pojok, matanya memperhatikan ke arah jendela besar yang menghadap ke taman kecil di luar. Eric, dengan kemeja putih sederhana, duduk di depannya. Ada ketegangan yang tak biasa di wajahnya, meskipun senyumnya tetap menghiasi bibir.“Bang Eric serius pilih tempat ini?” tanya Anna sambil tersenyum. “Aku pikir kamu bakal pilih restoran mewah atau semacamnya.”Eric mengusap belakang lehernya, tampak gugup. “Saya hanya ingin suasananya nyaman. Lagipula, Saya ingin lebih fokus dengan kamu, bukan dengan tempatnya.”Anna tersenyum lebih lebar. Dia selalu menyukai sisi Eric yang apa adanya.“Jadi gimana hari ini? Suka di antar Papa?”“Antara suka dan gak suka.”“Kenapa?”“Suka karena akhirnya gak ada yang berani ngomongin dan gak suka karena aku masih ingin ngeliat betapa irinya orang dengan hidup orang lain. Kay
Anna berdiri di depan lobi kantor, menunggu mobil jemputannya seperti biasa. Sore itu, ia mengenakan blazer pastel yang membalut tubuhnya dengan rapi, rambutnya tergerai lembut. Namun, lamunannya terhenti ketika mendengar suara yang familiar. “Ann!” Ia menoleh dan melihat Eric melambaikan tangan dari mobilnya yang terparkir tak jauh dari pintu lobi. Tanpa ragu, Anna berjalan mendekat. “Masuk, saya antar,” ajak Eric sambil membuka pintu penumpang untuknya. Anna, yang belakangan merasa semakin nyaman dengan Eric, kali ini tidak menolak. Ia tersenyum kecil dan masuk ke dalam mobil, merasa hangat dengan perhatian pria itu. Namun, tanpa mereka sadari, beberapa orang yang berdiri di dekat pintu mulai berbisik-bisik. “Anak itu beneran murahan ya, tiap hari sama cowok beda-beda,” gumam salah satu dari mereka. Kai, yang kebetulan sedang menunggu Sera di lobi kantor, mendengar celaan itu. Matanya menyipit, menatap tajam ke arah sekelompok orang tersebut. “Pantas saja dia dekat s
Malam itu, kediaman keluarga Adnan tampak hidup dengan cahaya lampu-lampu kristal yang memantul indah di dinding-dinding mewah. Mischa berdiri di depan pintu masuk dengan gaun panjang yang membungkus tubuhnya. Udara malam di Jakarta memang tidak sedingin Inggris, namun rasa dingin di hatinya masih terasa menyesakkan.Eric berdiri di sampingnya, menatap adiknya dengan pandangan lembut. “Kita masuk, Mischa. Kamu nggak perlu takut,” ucap Eric sambil menyentuh bahunya ringan.Mischa menarik napas panjang. Ia mengangguk pelan, melangkahkan kakinya memasuki rumah besar itu. Interior megah di dalam mengingatkannya pada rumah masa kecil mereka di Inggris. Sebuah tempat yang pernah penuh tawa sebelum semuanya berubah menjadi kehancuran. Bayangan masa lalu melintas cepat di benaknya, membuat dadanya terasa sesak.Eric tampaknya menangkap kegelisahan itu. Ia menoleh ke adiknya, menatapnya dengan penuh perhatian. “Kamu baik-baik aja, Mish?” tanyanya pelan.Mischa menatap Eric dan memaksakan sen
Malam itu, di sebuah kafe kecil yang tersembunyi di sudut kota, Mischa duduk sambil mencuri dengar percakapan Eric di telepon. Sebagai adik kandung Eric, Mischa selalu punya kebiasaan memperhatikan tingkah kakaknya, dan malam ini tak ada bedanya. Eric, dengan kopi di tangan, terlihat santai, tapi sorot matanya menunjukkan senyum lebar yang jarang terlihat.“Anna, saya cuma ingin memastikan kamu tahu,” kata Eric sambil tersenyum kecil. “Saya serius soal ini. Saya nggak main-main.”Mischa mengernyitkan dahi, mencoba mencerna maksud kata-kata Eric. Telepon itu berlangsung beberapa menit lagi sebelum akhirnya Eric meletakkan ponselnya di meja dan menyandarkan tubuhnya ke kursi.“Jadi,” kata Mischa akhirnya, memecah keheningan. “Apa ini Anna yang sama dengan Anna sepupu Khalif?”Eric menatap adiknya dengan ekspresi tak terduga. “Kamu nguping, ya?”Mischa mengangkat bahu santai. “Nggak perlu nguping. Kamu terlalu jelas kalau lagi ngobrol soal dia. Kamu benar-benar suka sama Anna? Annalie A
Pagi itu, Anna berjalan dengan langkah cepat menuju pantry kantor. Matanya sedikit mengantuk karena malam sebelumnya ia terjaga hingga larut, menyelesaikan laporan magangnya. Setelah menuangkan kopi ke dalam gelas, ia berdiri di dekat jendela, menikmati pemandangan kota Jakarta yang sibuk. "Ann!" suara ceria Erica membuyarkan lamunannya. Anna menoleh, melihat sahabatnya itu berjalan ke arahnya dengan senyum lebar, membawa setumpuk dokumen di tangannya. “Pagi,” sapa Anna sambil menyeruput kopinya. “Lo sibuk banget kayaknya?” “Banget!” jawab Erica sambil menaruh dokumen-dokumen itu di meja dekat pantry. “Kepala Divisi lagi cuti, jadi semua tugasnya dilempar ke bawah. Gue pusing banget, Ann.” Anna menaikkan alisnya. “Kepala Divisi? Pak Eric?” “Iya, siapa lagi?” Erica menghela napas panjang sambil membuka kotak bekalnya. “Dia udah izin cuti seminggu, tapi nggak bilang mau ke mana. Katanya sih, urusan pribadi.”Anna terdiam, gelas kopinya berhenti di tengah jalan menuju bibirny
Eric membuka pintu apartemennya dan disambut oleh suasana yang sunyi. Apartemen itu kecil, hanya terdiri dari satu kamar tidur, ruang tengah yang menyatu dengan dapur, dan balkon kecil yang menghadap ke hiruk-pikuk kota Jakarta. Meski ukurannya tak sebanding dengan rumah-rumah besar yang pernah ia tinggali di Inggris, Eric telah berusaha menyulap ruang sederhana ini menjadi tempat yang nyaman. Langkahnya membawa Eric ke dapur kecil di sudut ruangan. Ia membuka lemari pendingin, mengambil sebotol air dingin, lalu menuangnya ke dalam gelas. Pandangannya sesaat tertuju pada meja makan kecil di sudut dapur yang sering ia gunakan untuk membaca atau bekerja. Tapi malam ini, meja itu terasa kosong, seperti mencerminkan perasaannya yang sama. Eric berjalan ke ruang tengah, meletakkan gelas airnya di atas meja kopi. Ia merosot ke sofa, melemparkan dasinya ke sandaran kursi. "Hidup di sini memang berbeda," gumamnya, menatap langit-langit. Di Inggris, ia tinggal di rumah yang luas dengan
Anna berdiri di depan lobi kantor, tangan memegang ponsel sambil menunggu mobil jemputannya datang. Sore itu, gedung sudah mulai lengang, sebagian besar karyawan sudah meninggalkan kantor. Ia sengaja ingin pulang sendiri hari ini, ingin menikmati waktu tanpa terlalu banyak interaksi. Namun, suasana hening itu terpecah oleh suara yang akrab. “Ann,” panggil seseorang dari belakang. Anna menoleh dan melihat Eric berdiri tak jauh darinya. Pria itu tampak rapi seperti biasa, dengan dasi yang sedikit longgar dan jaket di lengannya. Ada senyum tipis di wajahnya, meskipun matanya tampak lelah. “Kamu belum pulang?” tanya Eric sambil mendekat. Anna mengangguk kecil. “Iya, lagi nunggu mobil. Bapak nggak lembur?” Eric menyelipkan tangan ke dalam saku celananya, menatap Anna dengan tenang. “Saya pulang lebih awal hari ini. Mau makan di luar, tapi rasanya nggak enak makan sendiri. Mau menemani saya?” Anna terkejut dengan tawaran itu. “Makan? Kenapa nggak ajak Kak Khalif aja? Dia kayakn
Pagi itu, Anna turun dari kamarnya dengan rambut yang masih setengah basah, menandakan ia baru saja selesai mandi terburu-buru. Ketika memasuki ruang tamu, langkahnya terhenti saat melihat Khalif sedang berbincang akrab dengan Eric. Eric duduk santai di sofa dengan segelas kopi di tangannya. Khalif, yang duduk di sebelahnya, terlihat santai namun mata jenakanya langsung menangkap kehadiran Anna. “Selamat pagi, Ann,” sapa Khalif dengan senyum lebar. “Lo mau berangkat? Udah jam berapa nih? Kalau nggak berangkat sekarang, nanti telat loh.” Anna mengerutkan kening, bingung. “Iya, tapi masih nunggu Abel, Kak.” Khalif berdiri, menepuk bahu Eric dengan nada penuh kelakar. “Berangkat sama Eric aja, Ann. Kalian kan satu kantor. Jadi kalian bisa barengan.” Eric memandang ragu Khalif, “Gue kira Anna setiap pagi berangkat dengan Om Kai?” Khalif tertawa kecil, “Gue kira juga gitu awalnya, tapi nggak ada yang tahu Anna itu anak Om Kai. Selama ini dia terus-terusan berangkat bareng sama