Mak Encum tubuhnya langsung terasa lemas, menggelosor begitu saja di atas rerumputan bagai badannya tak lagi bertulang. Dia sudah menduga jika suatu hari nanti hubungan gelap putranya dengan sang nyai pasti akan terbongkar juga.
Tangisannya sudah tidak lagi berarti, tidak bisa untuk menghentikan peristiwa yang sudah terjadi. Yang paling si emak sesali, mengapa putranya tidak mau mendengar dan mengikuti nasehatnya, agar jangan lagi melanjutkan hubungan gelapnya dengan Nyai Sumi.
Mak Encum sangat tahu, putranya itu hanya dimanfaatkan oleh sang majikan perempuan untuk melayani hasrat birahi sang nyai yang tidak terkendali.
Sejak dari pertama sang nyai masuk ke rumah Juragan Karta, bahkan hingga saat ini, Mak Encum adalah saksi dari aksi petualangan hasrat sang nyai dalam mencari mangsa untuk melampiaskan hasrat kelainan se*sualnya. Dan ternyata apesnya Nyai Sumi saat sedang bersama putranya si emak.
Sekali lagi, pemandangan yang sangat menyakitkan hatinya terpampang jelas di depan mata tuanya, saat sang putra semata wayangnya diseret-seret secara paksa dalam keadaan tel*njang dan tak sadarkan diri.
Tubuh putranya yang masih dalam keadaan bugil diseret oleh kedua centeng melewati lapangan rumput yang berbatu dan akar-akar pohon besar dalam keadaan menghadap ke langit. Sehingga kemalu*nnya dipertontonkan kepada para babu yang ikut melihat peristiwa penggerebekan itu.
Tidak ada daya upaya dan kemampuan bagi dirinya untuk bisa membebaskan putranya dari perlakukan majikannya Juragan Karta. Syarif memang dalam posisi yang bersalah, apalagi itu dilakukan kepada istri dari orang yang memiliki harta dan kuasa.
Suara Nyai Sumi yang memohon-mohon meminta pengampunan kepada suaminya Juragan Karta terus terdengar sepanjang jalan. Tubuh polosnya ditarik-tarik oleh para babu untuk dipaksa agar terus berjalan.
Tidak ada rasa iba sedikit pun di hati Juragan Karta. Selain untuk memberikan hukuman, perlakuannya terhadap Sumi pun pastinya akan disaksikan oleh sang pujaan hatinya, Asih Sukesih. Dia sudah bisa membuktikan janjinya kepada Asih, jika dirinya berani membuang Sumi dari rumahnya tanpa membawa apapun, bahkan pakaian yang melekat di tubuh.
Juragan Karta sengaja memperlakukan Sumi sekeji itu untuk membuktikan kesungguhan cintanya kepada Asih. Jika dia sangat serius untuk mengambil Asih menjadi pendampingnya menggantikan posisi Sumi.
Suara teriakan juga jerit kesakitan Sumi dan Syarif di waktu malam yang sunyi saat sang juragan sedang mengamuk, ternyata mampu membuat warga berkumpul di halaman rumah sang juragan.
Kabar burung cepat menyebar hingga ke pelosok desa yang jaraknya jauh dari rumah sang juragan, membuat banyak warga berdatangan tanpa diundang, karena rasa penasaran atas apa yang sedang terjadi di rumah orang yang paling kaya dan paling berpengaruh di Desa Kemangi ini.
Puluhan obor menyala yang dibawa oleh warga memenuhi halaman rumah Juragan Karta yang luasnya hampir seluas lapangan sepak bola. Nyala puluhan api obor meliuk-liuk mengikuti arah angin berhembus. Bisik-bisik dan suara orang mengobrol terdengar sangat riuh. Mereka saling mengeluarkan pendapat, menduga-duga, tentang peristiwa apa yang sudah terjadi di rumah sang juragan.
Suara keriuhan warga mendadak menjadi henig dan sunyi, saat dua orang centeng muncul dari halaman samping rumah besar milik dari Juragan Karta sembari menyeret tubuh pria dewasa tanpa busana.
Seluruh tubuh dan wajahnya yang menghadap ke atas membuat warga langsung cepat mengenalinya, walaupun ada banyak bercakan darah menempel pada tubuh dan kepala pemuda telanjang tersebut.
"Eta, teh, lamun si Syarif bukan?"
"Iya, itu si Syarif, putranya Mak Encum."
Suara riuh kembali terdengar, semuanya bertanya-tanya apa yang sudah dilakukan oleh remaja berumur belasan tahun tersebut sampai sang juragan memperlakukan dan mempermalukannya seperti itu. Hampir semua mulut yang ada di situ mengeluarkan suara, dengan pendapatnya masing-masing. Kebanyakan wanita mengasihani setelah melihat kondisi Syarif.
Asih dan Narti yang sedari awal sudah berada di antara kerumunan warga di halaman rumah sang juragan juga menjadi bertanya-tanya. Apa yang sudah dilakukan oleh Syarif terhadap Juragan Karta. Kenapa remaja itu ikut dilibatkan, padahal tujuan mereka berdua ke rumah ini adalah untuk menyaksikan terusirnya Sumi dari kediaman Karta.
Kuro dan Sarkim menghempaskan begitu saja tubuh telanjang Syarif di tengah-tengah lapangan. Puluhan obor yang dibawa warga mulai mendekati, hampir membuat sebuah lingkaran. Sebagian warga hanya ingin memastikan, apakah Syarif masih hidup atau sudah meninggal. Suara riuh terus saja terdengar, bahkan semakin ramai.
"Ammpunnn, Kang ... ampunnn ... jangan perlakukan Sumi seperti ini, Kang?"
Sumiarsih terlihat melakukan perlawanan sengit kepada para babu perempuan yang memeganginya tepat di samping rumah besar ini. Dia memberontak, memukul, bahkan menendangi babu-babu itu, yang bersusah payah terus berupaya agar sang nyai tidak terlepas dari tangan mereka.
Dia tidak mau dipermalukan dalam kondisi seperti ini dan menjadi tontonan warga sekampungnya. Setelah dari kejauhan Sumi mulai melihat banyak menyala puluhan api obor yang meliuk-liuk dari warga yang berkerumun.
Juragan Karta memperhatikan Sumi yang mengamuk dengan wajah yang geram karena amarah. Tangannya mengepal keras, lantas menghampiri Sumi yang masih meronta-ronta mengamuk meminta dilepaskan.
"Dasar perempuan su*dall ....!"
PELET DARAH KOTORPart 8Seperti tidak lagi punya rasa kasihan terhadap Sumi, Karta langsung menjambak rambut istrinya tersebut, memaksa menyeretnya ke halaman depan rumah yang sudah berkumpul banyak warga desa. Tubuh Sumi langsung tertarik dengan badan membungkuk. Sumi berteriak kesakitan. Berkali-kali meminta pengampunan dan minta dilepaskan, tetapi Karta seperti tidak menghiraukan. Sumi benar-benar diperlakukan dengan tidak manusiawi oleh suaminya sendiri. Teriakan meminta tolong Sumi pun dianggap percuma. Karena, tidak ada satu orang warga pun yang berani berurusan dengan Juragan Karta. Sama saja dengan mencari perkara. Suara riuh semakin ramai terdengar, setelah semua warga yang datang berkumpul juga melihat Nyai Sumi datang dengan rambut panjangnya yang dijambak oleh suaminya sendiri, juga tanpa busana. Sebagian besar warga yang kaum lelaki tidak menyia-nyiakan hal ini. Perempuan primadona istri sang juragan, yang selalu menjadi bahan hayalan dipertontonkan dengan keadaan ya
PELET DARAH KOTORPart 9Baru saja Juragan Karta hendak kembali memberikan pelajaran kepada mulut kurang ajar Sumi, seorang lelaki tua mendekatinya, sembari membawa dua lembar kain jarik yang dilipat rapih. Bapak tua itu adalah kepala dusun di Desa Ini, Ki Sukron. Juragan Karta yang melihat Ki Sukron mendatanginya dengan membawa kain, langsung membentak keras laki-laki tua itu."Buat apa kau bawa kain itu, Ki! Bukannya sudah aku larang untuk memberikan penutup apapun kepada dua orang manusia sialan ini!"Sebelum Ki Sukron menjawab, terlihat oleh semua warga yang berkumpul, jika Sumi kembali terjatuh setelah tadi bersusah payah untuk bangun. Tubuhnya terasa lemas, kepalanya pun masih terasa pusing akibat terkena hantaman balok suaminya sendiri, badannya pun mengigil kedinginan. Dia merasa sudah tidak sanggup lagi diperlakukan sekeji ini. Udara Desa Kemangi sepertinya memang sedang tidak bersahabat malam ini, teramat dingin sekali. Ditambah lagi badannya Sumi yang basah terkena air k
Part 10"Kamu mau tidak kain ini, Sum?"Halaman rumah Juragan Karta yang sudah dipenuhi banyak warga mendadak hening dan sunyi, tidak ada satu pun yang bersuara, bahkan suara jangkrik pun tak lagi terdengar.Mereka semua seperti sedang menyaksikan pertunjukan peran antara dua tokoh utama, Asih Sukesih dan Sumiarsih. Dua orang perempuan yang dulunya dianggap beda kasta. Antara seorang ratu dan budak. Penghina dan yang selalu dihina. Kelakuan Sumi sang istri juragan, memang bagi sebagian warga sering dianggap sangat keterlaluan. Mulutnya jahat dan pedas, juga sering kali menghina orang. Sebenarnya, sudah cukup banyak masyarakat yang merasakan sakit hati terhadap ucapan Nyai Sumi, atau perlakuannya yang sering meremehkan dan merendahkan. Namun, keberadaan suaminya Karta membuat warga yang sakit hati atas ucapan Sumi berpikir ribuan kali jika harus berurusan dengan mereka. "Kamu beneran mau kain ini atau tidak, Sum?" Asih kembali mengulang tawarannya, karena Sumi hanya menatap ke arahn
Bagian 11"Juragan tidak ingin menari bersama saya?" Ajakan menari dari Asih Sukesih tidak perlu diulang dua kali. Juragan Karta langsung menyambutnya dengan suka cita. Turun ke tengah arena, langsung nandak bersama Asih dengan penuh semangat. Keanehan yang tidak mungkin terjadi ternyata bisa terjadi. Juragan Karta yang sebagian orang tahu sangat membenci dan sering menghina Asih, kini terlihat berbeda 180 derajat. Dari sikap dan gerakannya saat menari jaipong, Juragan Karta terus saja memepet Asih, seolah olah tidak ingin perawan setengah tua itu jauh darinya. Dan tidak ada yang tahu mengapa Juragan Karta bisa dikenakan seperti itu, selain hanya Asih dan Narti. Satu per satu warga yang tadinya ikut berjaipong, mulai mundur meninggalkan arena. Menyisakan hanya Juragan Karta dan Asih Sukesih saja. Saking asyiknya mereka berdua seperti tidak sadar, sedang menjadi tontonan hampir seluruh warga Desa Kemangi. Dalam gigil, Sumi masih bisa melihat semuanya. Menyaksikan bagaimana suaminy
Part 12Sabetan arit dari salah satu pemuda yang memang niatnya ingin mematikan karena dihantamkan ke arah kepalanya, dengan mudah berhasil Ikhsan hindari. Amarah remaja itu semakin meluap, kali ini sabetan arit dia arahkan ke leher dari Ikhsan, itu pun dengan mudah bisa Ikhsan elakkan. Jika dari gerakannya, pemuda di hadapannya ini sama sekali tidak memiliki ilmu bela diri, keberaniannya hanya karena membawa senjata tajam. Dua orang kawannya ikut mengurung Ikhsan, semua menatapnya dengan penuh kemarahan. Cukup kiranya bagi Ikhsan untuk bermain-main, dengan gerakan cepat yang tak terduga, Ikhsan langsung menerjang dengan tendangannya yang keras, menghantam dada pemuda yang pertama kali menyerangnya hingga jatuh terjungkal. Matanya melotot, mulutnya termagap-magap karena kesulitan bernafas. Satu orang lagi yang masih terkesima, kembali jatuh dengan hidung dan mulutnya langsung mengeluarkan darah. Pukulan keras Ikhsan menghajarnya dengan tanpa ampun, dan langsung berteriak kesakitan.
Bagian 13Kedua perempuan yang salah satunya masih anak-anak terlihat celingak-celinguk, ada kesan ketakutan yang terlihat dari gerak-gerik mereka. Di tangan mereka terlihat seperti membawa bungkusan dari daun pisang, dan sepertinya kedua perempuan itu adalah yang selama ini selalu membawakan makanan untuk Nyai Sumi. Ikhsan keluar dari tempat persembunyiannya dengan membawa air dan beberapa buah-buahan hutan. Kedatangan Ikhsan cukup mengejutkan keduanya. Dua perempuan itu cepat-cepat ingin pergi dengan raut wajah yang ketakutan, seperti maling yang tertangkap basah. "Tenang, tenang, nggak usah takut. Abdi bukan orang jahat," ucap Ikhsan mencoba menenangkan mereka berdua. Perempuan yang lebih tua memberanikan diri bertanya kepada Ikhsan. "U-ubi dan singkong yang dimakan Nyai Sumi dipersembahkan dari, Akang?" Ikhsan mengangguk. "A-Akang, bukannya anak buah Juragan Karta'kan?" tanyanya lagi. "Bukan, abdi nte kenal Juragan Karta. Tadi kebetulan abdi lewat hutan, dan melihat ada pon
Part 14"Maaf Yayi, apa perintah Yayi buat abdi?" tanya Ikhsan, setelah selesai bertanya wajahnya kembali menunduk. "Temui teman Yayi di Desa Kemangi? Maneh tahu Desa itu?" "Hanya pernah dengar, Yayi. Tapi Insya Allah pasti ketemu jika Allah mengijinkan.""Iya, San. Butuh waktu dua hari setengah bila ditempuh jalan kaki lewat jalan biasa. Tapi bisa lebih cepat jika lewat jalan pintas."Jalan pintas, Yayi?""Maneh bisa lewat Bukit Gumintang, turun bukit langsung Hutan Cipelang. Jika lewat jalan biasa, ya maneh harus memutari bukit dan hutan dulu, makanya lebih lama."Hanya tinggal mengikuti jalan setapak saja jika di Hutan Cipelang nanti, San?""Baik, Yayi, siap dipatuhi.""Setelah sampai Desa Kemangi, temui orang yang bernama Ki Sukron, tapi, San--" Ucapan Kyai Maksum berhenti, seperti ragu-ragu untuk melanjutkan. "Tetapi, kenapa, Yayi?""Ini tidak mudah, San. Ini tidak mudah, akan banyak hambatan nantinya yang akan kamu temui di sana.""Insya Allah, Yayi, semua akan mudah jika ada
Bagian 15Ikhsan memberikan satu dari dua sarung yang dia punya kepada Nyai Sumi, dan meminta Nengsih untuk mengganti kain jarik yang banyak terdapat sobekan dengan pemberian sarungnya. Nengsih juga yang mengelap wajah dan tubuh Sumi dengan kain basah. Agar tidak menjadi penyakit karena kotoran yang terlalu lama menempel di tubuhnya. Nyai Sumi tidak melawan, tidak juga berbicara, hanya diam saja saat Nengsih membersihkan tubuhnya. Matanya menatap Ikhsan dan Nengsih dengan tatapan kosong, saat keduanya memberitahu akan meninggalkan gubuk ini dan kembali membiarkan Nyai Sumi sendiri. Semuanya sudah disiapkan, dari persediaan minum dan makanan. Ikhsan hanya berharap tidak ada lagi orang-orang seperti yang kemarin, yang akan mengganggu Nyai Sumi hanya untuk melampiaskan hasrat birahinya. Bukannya Ikhsan tidak berani melepaskan Sumi saat ini juga, tapi dia belum tau seluk beluk dan watak warga desa Kemangi. Dia hanya berjanji sesekali akan datang untuk membawakan makanan, dan membicaraka
Part 30"Nartii ...! Bikinin soto nya tiga!"Narti dan Asih saling berpandangan, seperti tidak percaya jika secepat itu sudah ada pelanggan yang datang ke warung soto miliknya. "Nartii! Ini dagang nggak, sih?" Terdengar teriakan dari ruangan warung bagian depan. "Iya, Kang! Sebentarr!" jawab Narti cepat. Wajahnya terlihat cerah. "Ayuk, Sih ada pelanggan," ajak Narti meminta Asih membantunya melayani pelanggan. "Urang di dapur saja, Sih. Nanti jika Juragan Karta melihat urang, malah tidak jadi makan di sini," jelas Asih kepada Narti. "Terus, ini kuah sotonya bawa ke depan tidak?""Tidak usah, Nar. Biar di sini saja. Masa urang nanti ngangkang di depan banyak orang?"Narti tertawa kecil mendengar ucapan Asih, dan memang benar. Rahasia dagangnya ini jangan sampai diketahui oleh orang lain selain hanya dia dan Asih. "Nartii ...! Maneh pingsan di dalam!" Si pelanggan yang Narti tahu itu suara dari Kang Kosim memanggilnya kembali. Dan Kosim ini boleh dibilang mungkin jarang sekali mak
Part 29Pagi-pagi sekali, dengan ditemani oleh Asih, Narti berangkat ke pasar dadakan yang berada di Desa Sekarwangi. Untuk ke desa itu, mereka harus melewati Desa Cipandayan terlebih dahulu, baru setelah itu desa tujuan mereka untuk berbelanja kebutuhan berdagang warung soto milik Narti. Asih memang sengaja memilih menginap di rumah Narti semalam, selain karena Narti minta ditemani untuk pergi ke pasar, hari ini juga untuk yang pertama kali mereka mencoba penglaris dagang yang diberikan oleh Nyi Warsih. Selain untuk membuat agar dagangan Narti menjadi laris, penglaris dan pengharum aroma masakan ini juga bertujuan agar Juragan Karta mau mampir dan makan di warung soto santan milik Narti. Keduanya sangat bersemangat sekali. Ingin secepatnya membuktikan keampuhan penglaris dari Nyi Warsinah. Apakah benar bisa membuat dagangan Narti menjadi laris dan diserbu pembeli. Karena memang sebenarnya, warung soto milik Narti ini tidak bisa dibilang rame-rame amat, bahkan cenderung sepi pemina
Part 28Tubuh Asih sampai bergetar dan menggigil saat ada sesuatu seperti hembus angin yang tidak terlihat oleh kasat mata memasuki kemaluannya. Badannya terasa dingin, namun perlahan-lahan mulai hilang dengan sendirinya, dan sekarang justru area sekitar kehormatannya terasa hangat. Tidak ada sedikit pun rasa sakit pada area itu.Sepertinya, malam mulai memasuki waktu subuh, ketika Nyi Warsih dan Narti kembali datang untuk menjemput Asih Sukesih di lobang pohon tempat ritual berlangsung. Tidak banyak percakapan atau pun pertanyaan dari dukun tua tersebut, karena mereka langsung kembali lagi ke goa tempat di mana dukun perempuan tua itu tinggal."Gimana Sih, serem nggak ditinggal sendiri?" bisik Narti saat mereka berjalan bersisian dan sudah hampir sampai goa, sementara Nyi Warsih dengan langkah terseok-seok melangkah lebih dulu."Urang nteu berani buka mata, Nar. Merem wae ngikutin perintah dari Nyai Warsih," jawab Asih juga dengan sedikit berbisik."Tidak terjadi apa-apa gitu, Sih?"
Part 27Setelah Asih melepaskan celana dalamnya seperti yang diminta oleh Nyi Warsih, mereka bertiga segera keluar goa mengikuti langkah sang dukun pemuja penghuni alam kegelapan. Berjalan perlahan menyusuri kegelapan malam Hutan Cipelang dengan hanya membawa dua buah obor. Menerobos rumput ilalang lebih masuk lagi ke dalam hutan, dan berhenti tepat di sebuah pohon yang sangat tinggi dan besar. Suara-suara hewan hutan sesekali terdengar, diselingi suara gemerisik ranting-ranting pohon yang terkena hembusan angin malam. Bagi Narti dan Asih suasana terasa sangat mencekam. Isi dalam hutan ini masih sangat asing bagi mereka, tapi tidak buat Nyi Warsih. Nyi Warsih lantas memutari pohon besar tersebut, diikuti oleh Narti dan Asih, yang langsung terkejut setelah melihat batang pohon itu berlobang besar pada bagian bawah, mirip seperti pintu bulat yang terbuka lebar. Sesaat Nyi Warsih mengucapkan mantra-mantra dengan matanya yang terpejam, yang tidak dimengerti oleh Asih dan Narti. Seseka
Part 26"Gimana, Neng Asih. Maneh jadi nteu, ngejalankeun ritual Iyeu?" Nyi Warsih langsung bertanya kepada Asih apakah sudah siap untuk menjalankan ritual ini, yang dinilai oleh si dukun perempuan itu terlihat ragu-ragu, saat dia meminta untuk menjalani ritual pelet darah kotor. "Jika ragu-ragu lebih baik tidak usah, karena nanti kemungkinan akan gagal di tengah jalan. Buang-buang waktu. Lagipula, malam ini malam yang paling bagus waktunya untuk menjalankan ritual ini karena bertepatan dengan malam bulan purnama. Coba maneh lihat sendiri," ucap Nyi Warsinah sambil menunjuk ke dalam lorong goa sisi sebelah kiri. Narti dan Asih sesaat saling bertatapan, keduanya turun dari altar batu, lalu mulai mengikuti perintah sang nyai memasuki lorong gua sebelah kiri, dan benar saja, ternyata terdapat lobang pada langit-langit goa sehingga bisa langsung melihat angkasa raya. Dan ucapan Nyi Warsinah ternyata benar adanya. Malam ini terlihat jelas di atas langit nan luas, jika penampakan bulan te
Part 25"Siapa lagi pelakunya, Nyi Warsih, selain bapaknya si jalang Sumi?" tanya Asih dengan tatapan mata yang penuh dendam dan kemarahan."Sepertinya Juragan Karta, Sih. Karena 'kan bapaknya si Sumi setelah menghianati bapakmu, dia kerjasama dengan Karta," ucap Narti, mencoba menebak menurut pemikirannya. "Benar itu Nyi, Karta si orang lain itu selain Darto bapaknya si Sumi?""Yang urang lihat bukan si Karta, tetapi si Ruslan, tangan kanannya. Urang nteu ngerti, apa Karta tau atau tidak peristiwa itu," jelas Nyi Warsinah. "Jadi si Ruslan dan Darto pelakunya. Kasihan almarhum bapak, menjadi korban fitnah mereka, bahkan dibunuh juga oleh mereka," ucap Asih dengan nada geram. "Juragan Karta sepertinya tau, Sih. Karena Ruslan itu orang kepercayaannya. Siapa tau dia hanya diperintahkan oleh Karta untuk menghabisi nyawa ibumu itu," ujar Narti lagi. "Siapa yang ingin kalian buat mati, Neng Asih. Sumi anak si Darto atau si Karta. "Sumi pastinya, biar matinya tragis seperti si Dadang da
Part 24"Pertolongan naon, Narti. Harta? Pesugihan?""Menghabisi nyawa seseorang, Nyi. Seperti saat Nyi Warsih menghukum suami saya, Dadang."Nyi Warsinah menatap tajam, selesai Narti berucap seperti itu. "Ikut aing," ucapnya, berbalik badan lantas berjalan menembus kegelapan. Nyi Warsinah tidak membawa obor, tetapi seperti tidak menemui kesulitan menapaki jalan yang gelap. Narti dan Asih dengan masing-masing membawa obor mengikuti di belakangnya. Menembus di antara dua pohon yang sangat besar, menyibak rerumputan dan akar-akar pohon yang menjuntai, akhirnya mereka sampai di goa tempat Nyi Warsinah tinggal. Goa yang gelap gulita tanpa ada penerangan sedikit pun. Goa itu mulai terlihat sedikit terang setelah Asih dan Narti, dengan masing-masing membawa obor mulai masuk ke dalam goa. Pintu masuk goa yang tertutup ilalang dan akar-akar pohon, sekilas tidak ada yang mengira ada lobang gua di tempat itu. Goa berlobang di luar kecil sebagai pintu masuk, ternyata besar di bagian dalam.
Bagian 23Mata Asih membulat sempurna mendengar pengakuan dari sahabatnya, Asih. Dia seperti tidak percaya jika kematian Dadang akibat santet yang dilakukan oleh Nyi Warsinah. "Maneh benaran, Nar?" Narti mengangguk, matanya menyiratkan kemarahan dan kebencian. "Nyi Warsinah menawarkan kepada urang, ingin dibuat seperti apa Dadang, urang bilang ingin dia mati. Urang sakit hati, Sih. Urang hampir setiap hari dihajar dan disiksa fisik serta batin urang. Urang hanya dijadikan sebagai sapi perahan. Mematikan suami urang adalah cara yang tepat agar urang terlepas dari penderitaan.Urang tidak menyesal, Sih. "Berarti maneh tau, Nar, saat-saat Dadang meregang nyawa?" Narti mengangguk cepat, kemarahan di sorot matanya masih terlihat jelas. “Nyi Warsinah lantas menyuruh urang pulang, setelah selesai menjalani ritual, hampir dua hari urang di hutan bersama Nyi Warsih. Waktu urang bilang takut kalau pulang akan disiksa suami urang lagi, Nyi Warsih bilang Dadang hanya tinggal menunggu mati. "
Sumi kembali tertawa terbahak-bahak. Bahagia sekali dia nampaknya sudah membuat Asih menderita. Sumi pun pergi berlalu dengan diikuti oleh dua centeng suaminya. Kembali berkeliling menagih warga yang sudah berhutang riba kepadanya. Sumi sudah tidak lagi terlihat, dengan langkah terpincang-pincang Narti mulai menghampiri Asih yang terduduk di galangan. Dia sibuk membersihkan wajah dan tubuhnya dengan genangan air. Matanya terlihat berkaca-kaca. Tubuhnya memang merasakan sakit akibat perbuatan Asih, tapi luka yang menggores dalam dan berdarah justru ada di dalam hatinya. Sudah terlalu sangat menyakitkan perbuatan maupun perkataan Sumi terhadapnya. "Sih, Asih! Maneh tidak kenapa-napa 'kan? ucap Narti dengan nada panik, saat sudah ada di dekat sahabatnya itu. Entah kenapa, hari ini Asih merasakan jika dirinya sedang cengeng sekali. Biasanya, dia tidak pernah menangis saat dizholimi Sumi, tetapi tidak hari ini, hatinya merasa nelangsa sekali."Sabar, ya, Sih. Si Dazzal itu pasti akan me