Part 16"Tahan ...! Tahann ...!" Dari kejauhan, nampak seorang laki-laki tua dengan berlari tergopoh-gopoh, berteriak-teriak meminta agar perkelahian jangan sampai terjadi. Kedua centeng itu menoleh ke belakang, pria tua itu semakin mendekati."Tahan! Bahrun, Markum, ini saudara abdi, baru kali ini ke desa kita," jelasnya, dengan napas terengah-engah. Nampak sekali kelelahan. Ikhsan menduga, jika pria tua ini yang dimaksud oleh gurunya, kepala kampung Desa Kemangi, Ki Sukron. "Tapi anak muda ini kurang ajar, Ki, masa tangan aing dipukul," jawab si jangkung kurus yang ternyata bernama Markum. Tangannya masih memegang golok telanjang, begitupun dengan Bahrun. Ikhsan yang ingin menjawab tuduhan si Markum diberikan kode oleh Ki Sukron, agar diam saja. "Jika begitu, abdi mewakili saudara abdi meminta maaf kepada kalian berdua. Mohon dimaklumi, belum paham adat-istiadat di kampung kita," jawab Ki Sukron dengan merendahkan dirinya. Meminta kepada Ikhsan agar ikut sedikit membungkukkan ba
Part 17"Eh, maaf, tadi nanya apa, Ki?" tanya Asih, yang sedikit tergagap karena mata dan pikirannya hanya menatap Ikhsan, membuat pertanyaan Ki Sukron jadi kurang terdengar. Dan kepala Dusun itu bukannya tidak tahu, jika gadis idaman Juragan Karta itu sedang sibuk memperhatikan Ikhsan. "Neng Asih sedang apa berada di luar malam-malam begini?" ucap Ki Sukron mengulangi lagi pertanyaannya. "Oh, itu, Ki. Sedang menunggu Narti. Tadi siang bilang ingin datang ke rumah. Sengaja menunggu di depan, gerah di dalam, Ki?" jawab Asih Sukesih, tapi terlihat jika ujung matanya mencuri-curi pandang terhadap Ikhsan yang hanya menunduk saja. "Ini siapa, Ki?" Asih mulai bertanya tentang Ikhsan, tatapannya pun kembali memperhatikan pemuda itu. Ikhsan langsung mengangkat wajah mendengar Asih menanyakan tentang dirinya. Sesaat, mereka saling bertatapan. Ikhsan langsung tersenyum, sementara Asih sendiri justru terlihat salah tingkah. Raut wajahnya nampak malu-malu. "Oh, ini saudara Aki, Neng Asih. Bar
PELET DARAH KOTORPart 18Selepas sholat maghrib, Ki Sukron menjamu Ikhsan dengan makanan yang sederhana dan seadanya saja, sambil berkali-kali kepala Dusun itu meminta maaf karena tidak bisa menyediakan yang lebih dari itu, karena kedatangan Ikhsan yang terbilang mendadak. Aki Sukron tinggal bersama istrinya, Nyai Darmi dan putri bungsunya, Hartini, gadis remaja berusia 17 tahunan. Anak pertama dan kedua dari si Aki, dua-duanya lelaki. Mereka memilih untuk meninggalkan Desa Kemangi dengan pergi merantau, dan justru itu yang menjadi kerisauan sepasang suami-istri sepuh tersebut, karena semenjak pergi meninggalkan desa, belum pernah sekali pun mereka pulang. Hartini, si bungsu yang beranjak remaja, sesekali mencuri pandang terhadap Ikhsan. Murid dari Kyai Maksum ini memang seperti memiliki kharisma yang tidak semua lelaki punya. Pembawaannya yang tenang, terkesan berwibawa. Juga didukung oleh paras wajahnya yang tampan. Ustadz Ikhsan ini secara diam-diam, adalah Ustadz idaman para
PELET DARAH KOTORPart 19"Ki, Juragan Karta itu apakah warga asli Desa Kemangi juga?"Ki Sukron belum sempat menjawab, tiba-tiba anak gadisnya yang masih remaja, keluar dari ruangan dalam. Suara kriet karena pijakan kaki jelas terdengar. Mayoritas rumah di desa ini memang terbuat dari kayu, dan untuk alas panggungnya dibuat dari batang bambu yang dipotong tipis kemudian dianyam, biasa disebut dengan bilik.Hartini melempar senyum kepada Ikhsan, sambil meletakkan piring kaleng yang berisi tales kukus dengan taburan kelapa yang diparut. Gadis remaja itu terlihat sudah berganti baju, berbeda dengan yang tadi dia pakai saat Ikhsan baru datang. "Dicicipi tales, nya, Aa," ucap gadis itu dengan suara yang lembut. Ki Sukron sang bapak terlihat menggeleng-gelengkan kepala, melihat tingkah menggoda putri bungsunya terhadap tamunya. "Sumuhun, Neng," jawab Ikhsan, tersenyum tipis saja. Ki Sukron mulai menjawab pertanyaan Ikhsan setelah Hartini masuk kembali ke ruangan dalam."Juragan Karta seb
Part 20"Sampurasun, Akii?" Keduanya menoleh cepat ke arah asal suara, dan Ki Sukron yang menyebutkan nama tamunya tersebut. "N-Neng A-asih ...?"Terlihat oleh Ki Sukron dan Ikhsan, Asih datang dengan salah seorang babu yang bekerja di rumahnya, bukan dengan Narti yang tadi ada bersamanya. "Abdi, Aki Sukron," jawab Asih, menjawab sapaan dari si kepala Dusun desa mereka. Ki Sukron lantas turun dari panggung bambu, sementara Ikhsan sendiri tetap duduk bersila di tempatnya semula. "Aya naon, Neng, malam-malam berkunjung ke rumah gubuk, Aki?" Asih menoleh ke arah babunya yang berdiri sedikit di belakangnya, dan si babu melangkah maju sambil memberikan rantang yang bersusun tiga kepada Aki Sukron."Iye, Aki, kebetulan tadi si bibik di imah buat combro, katimus, sama surabi. Aki 'kan sedang ada saudaranya yang datang, Kang Ikhsan. Biar dicicipi bareng-bareng di sini," ucap Asih menjelaskan maksud kedatangannya. Ikhsan yang mendengar namanya disebut, apalagi sambil dibawakan kue-kue, di
Part 21 Kembali ke percakapan antara Ikhsan dan Aki Sukron, setelah menyerahkan rantang bawaan Asih ke istrinya, yang sebagian dihidangkan pula untuk Ikhsan. Rejeki tak terduga menurut kepala dusun tersebut, karena memang sebenarnya Asih belum pernah melakukannya. Percakapan mereka sekarang beralih membahas soal hukuman yang diterima oleh Nyai Sumi. "Ki, hukuman pasung dan dibuang ke dalam hutan, memang sebelumnya pernah terjadi di Desa Kemangi? Atau baru Nyai Sumi yang dijatuhi hukuman seperti itu?" Ki Sukron terdiam sejenak, mencoba kembali mengingat-ingat soal peristiwa lama di desa yang dipimpinnya selama hampir 20 tahun ini. Bisa dibilang dan Aki Sukron sendiri mengakui jika jabatannya itu hanya seperti formalitas belaka, karena sesungguhnya yang paling berkuasa di desa ini adalah Juragan Karta dengan para centeng-centengnya. Nyi Darmi, istri dari Ki Sukron dan putrinya Hartini secara tiba-tiba keluar dari dalam rumah panggung. Suara kriet dari alas panggung yang terinjak-i
Sumi kembali tertawa terbahak-bahak. Bahagia sekali dia nampaknya sudah membuat Asih menderita. Sumi pun pergi berlalu dengan diikuti oleh dua centeng suaminya. Kembali berkeliling menagih warga yang sudah berhutang riba kepadanya. Sumi sudah tidak lagi terlihat, dengan langkah terpincang-pincang Narti mulai menghampiri Asih yang terduduk di galangan. Dia sibuk membersihkan wajah dan tubuhnya dengan genangan air. Matanya terlihat berkaca-kaca. Tubuhnya memang merasakan sakit akibat perbuatan Asih, tapi luka yang menggores dalam dan berdarah justru ada di dalam hatinya. Sudah terlalu sangat menyakitkan perbuatan maupun perkataan Sumi terhadapnya. "Sih, Asih! Maneh tidak kenapa-napa 'kan? ucap Narti dengan nada panik, saat sudah ada di dekat sahabatnya itu. Entah kenapa, hari ini Asih merasakan jika dirinya sedang cengeng sekali. Biasanya, dia tidak pernah menangis saat dizholimi Sumi, tetapi tidak hari ini, hatinya merasa nelangsa sekali."Sabar, ya, Sih. Si Dazzal itu pasti akan me
Bagian 23Mata Asih membulat sempurna mendengar pengakuan dari sahabatnya, Asih. Dia seperti tidak percaya jika kematian Dadang akibat santet yang dilakukan oleh Nyi Warsinah. "Maneh benaran, Nar?" Narti mengangguk, matanya menyiratkan kemarahan dan kebencian. "Nyi Warsinah menawarkan kepada urang, ingin dibuat seperti apa Dadang, urang bilang ingin dia mati. Urang sakit hati, Sih. Urang hampir setiap hari dihajar dan disiksa fisik serta batin urang. Urang hanya dijadikan sebagai sapi perahan. Mematikan suami urang adalah cara yang tepat agar urang terlepas dari penderitaan.Urang tidak menyesal, Sih. "Berarti maneh tau, Nar, saat-saat Dadang meregang nyawa?" Narti mengangguk cepat, kemarahan di sorot matanya masih terlihat jelas. “Nyi Warsinah lantas menyuruh urang pulang, setelah selesai menjalani ritual, hampir dua hari urang di hutan bersama Nyi Warsih. Waktu urang bilang takut kalau pulang akan disiksa suami urang lagi, Nyi Warsih bilang Dadang hanya tinggal menunggu mati. "