Empat orang di dalam lapau sama menelan ludah. Tiga pria berbadan besar itu dikalahkan semudah itu saja oleh ketiga orang lainnya. Bahkan, mereka tidak melihat sama sekali bagaimana caranya di pria kedua sampai terjengkang seperti itu dengan kening yang benjut besar.
Apa dan bagaimana bisa demikian, tidak satu pun dari keempat orang tersebut tahu. Mereka hanya melihat di tangan pemuda berpakaian serbaputih itu sudah tidak ada lagi potongan jagung bakar yang sebelumnya ia pegang.
“Selagi guru-guruku sedang berbaik hati,” ujar Darna Dalun tanpa memandang tiga bandit hutan yang mengerang-erang di tanah itu. “Lebih baik secepatnya kalian berambus[1] dari sini!”
Setelah mengetahui mereka telah salah mengincar mangsa, ketiga bandit itu pun segera meninggalkan lapau tersebut. Pria ketiga dan pria kedua memapah pria pertama yang mengalami luka lebih parah, seinci di atas kemaluannya, bahkan luka bolong berjumlah lima itu masih mengucur
Sang rembulan di horizon timur terlihat cukup indah, meski dengan kehadiran setengahnya saja dari wujud keindahan itu, tapi itu sudah cukup untuk memberi ketenangan bagi makhluk yang mendambakan kedamaian.Burung-burung hantu itu contohnya. Mereka bersahut-sahutan dari satu sudut rimba ke sudut rimba lainnya. Seolah ketenangan malam di bawah siraman cahaya lembut sang rembulan adalah sebuah pertanda bagi mereka untuk beranak pinak.Buyung Kacinduaan masih duduk memeluk lutut di atas salah satu batu besar di tepian sungai sisi timur. Duduk melamun seraya menatap kelembutan rona sang rembulan.Di belakang sang bocah, pada batu yang lebih besar dan lebih tinggi, Inyiak Tuo Bamato Biru berbaring di atas batu tersebut. Tatapannya juga tertuju kepada sang ratu malam di ujung ketinggian sana, namun lebih seringnya, tatapannya itu tertuju ke punggung sang bocah di hadapannya.Gemericik aliran air sungai lebar namun dangkal itu menambah denting da
“Kau tahu apa yang indah dari sang rembulan?”Buyung Kacinduaan terkesiap, ia memutar kepalanya ke kiri dan ke kanan, lalu ke belakang dan terhenti pada sosok harimau putih itu yang masih melenguh pendek dan halus.‘Tidak,’ gumam sang bocah dalam hati. ‘Jelas bukan Inyiak Balang yang berucap barusan itu!’Kembali tatapan Buyung tertuju ke arah sang rembulan separo.“Kau tahu apa yang indah dari sang rembulan?”Tiba-tiba wajah sang bocah tenggelam dalam kesedihan. Benar, bisik hati kecilnya. Itu suara ayahnya. Suara Sialang Babega yang seperti terputar ulang di dalam bilik ingatan sang bocah.“Aku tidak tahu, Ayah. Yang aku tahu, bulan sangat indah, apalagi dengan bentuk bulat sempurna seperti sekarang itu.”Sialang Babega tertawa pelan seraya mengusap kepala Buyung Kacinduaan.“Keindahan rembulan ada pada ketenangannya, Buyung.”“Ketenangan?&rd
Darna Dalun beserta Rumada dan Daro telah jauh meninggalkan lapau sebelumnya itu, seperti janji mereka sebelumnya, Darna memberikan koin lebih kepada si pemilik lapau. Meskipun pemilik lapau itu tidak tahu menahu siapa ketiga orang tersebut, tapi itu tidak penting baginya, yang terpenting ia mendapatkan ganti rugi atas makanan yang ditinggalkan dan tidak dibayar oleh para bandit hutan sebelumnya itu.Dan kini rombongan Darna tengah menyusuri sisi selatan Danau Maninjau menuju ke arah barat. Darna dengan menunggang kuda coklat milik mendiang Rimau Buluah, Rumada dan Daro pula dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh mereka. Tujuan mereka masih sama, mencari keberadaan Datuak Sani dan mendapatkan kepingan ketiga Teratai Abadi.Permukaan Danau Maninjau di malam hari seperti kali ini terlihat mengagumkan. Riak-riak kecil yang disebabkan embusan angin malam atau pula sesuatu di bawah permukaannya yang berlarian, berkilauan memantulkan cahaya lembut
Kokok ayam hutan yang melengking panjang menembus kelebatan hutan itu sendiri membangunkan Darna Dalun, kicau burung di pagi hari itu sama sekali tidak dipandang indah oleh Darna. Tidak pula udara pagi yang sangat segar di kawasan itu mampu mengubah raut sinis di wajah pemuda itu kini.Ia turun dari batu besar itu, Rumada dan Daro pun baru saja terbangun. Darna mencuci wajah dan kepalanya di tepian danau.“Apakah kau akan berkata lagi untuk kita harus mengisi perut terlebih dahulu sebelum menemui orang tua itu?”Rumada dan Daro yang akan mendekati tepian danau saling pandang sebelum akhirnya tatapan mereka tertuju kepada Darna.“Tidak,” sahut Rumada. “Itu tidak perlu. Kecuali kau memang mau mengisi perutmu.”“Bagus,” sahut Darna datar saja. Ia lantas mendekati kuda yang terpaut tidak jauh dari batu besar tersebut. “Lebih cepat, lebih baik.”“Apa yang terjadi p
“Kau yakin,” ujar Darna Dalun dari atas punggung kuda kepada Rumada, “orang tua yang satu ini yang bernama Datuak Sani?”“Tentu saja,” sahut Rumada. “Tidak ada orang tua berusia 70 tahun yang masih menggunakan minyak akar bahar[1] agar rambutnya menjadi rapi. Dia satu-satunya.”Si orang tua yang memang adalah Datuak Sani terkekeh mengangguk-angguk. “Matamu jeli juga ternyata.”“Jadi kau mengakui bahwa kau adalah Datuak Sani?” tanya Daro, sekali lagi.“Apa kalian melupakan etika?” sahut Datuak Sani. “Datang tampak wajah pulang tampak punggung, hemm? Atau, memang seperti inilah orang-orang muda zaman sekarang?”“Aku hanya berkata sekali saja,” ujar Darna dari atas kudanya. “Berikan pada kami kepingan ketiga Teratai Abadi, dan kami akan langsung pergi dari sini.”Datuak Sani tertawa sembari menggeleng-gelengkan kepa
Dalam posisi Darna Dalun dan Datuak Sani yang seperti itu, Rumada dan Daro tidak tinggal diam, keduanya langsung menyerang.Daro dari arah samping kiri dengan cakar Kuku Api mengincar rusuk Datuak Sani, manakala Rumada pula dari samping kanan dengan tebasan satu goloknya ke arah pinggang lawan.Hanya saja, untuk seorang pendekar tua sekelas Datuak Sani, semua pergerakan tersebut telah masuk dalam perhitungannya. Ia menyalurkan tenaga dalamnya ke kaki kanan lalu menghantamkan kaki kanannya itu dengan cepat ke arah datangnya tebasan golok.Tebasan Rumada terhenti, bahkan goloknya yang tajam itu seolah menyentuh sesuatu yang lembut namun juga kuat, telapak kaki si pria tua memerah menahan golok Rumada.Dan bersamaan dengan tendangan kaki kanannya itu, Datuak Sani mengentakkan tangan kirinya menyongsong sepuluh cakar dari Daro dalam bentuk cakaran juga.Lima cakar bahkan mampu menahan sepuluh cakar wanita tersebut. Bahkan, itu dilakukan Datuak Sani tan
Dari dalam rumah, di balik jendela berdaun ganda yang sedikit renggang, Arum menyaksikan semua pertarungan di depan rumah mereka tersebut. Tiga orang mengeroyok ayahnya, namun tak satu jua dari mereka yang mampu melukai sang ayah.Gadis manis itu terlihat sedikit bengis ketika mengernyitkan keningnya.‘Dasar orang-orang tidak tahu diri!’ umpatnya di dalam hati. ‘Apakah kalian tidak mengukur terlebih dahulu dalamnya lautan? Tingginya langit? Ayahku sayang pasti akan membunuh kalian semua!’Tapi kenyataannya, Datuak Sani hanya berdiri saja di dekat lio-nya itu, Rantai Narako yang melilit tangannya kembali terurai, berputar-putar dan menjela ke tanah dengan mengeluarkan suara berdesis seperti tersiram air.Dan sepertinya, keinginan Arum tidak akan terjadi.Sementara itu, Rumada pun membantu memapah Darna Dalun bersama Daro.“Ke—kenapa?” ujar Darna dengan wajah merah dan keringat sebesar butir-butir jagu
Pagi yang sama di mana Buyung Kacinduaan terbangun dengan tubuh mengejang di dalam gua itu. Memang, tubuh bocah tujuh tahun itu tidak mengelinjang-gelinjang seperti yang sudah-sudah, namun tentu, bila dibiarkan begitu saja hanya akan menjadikan bocah itu semakin tersiksa.Sang harimau putih mengawasi tubuh yang mengejang di lantai gua, tatapannya terfokus pada dada sang bocah.Makhluk buas yang didewakan oleh masyarakat itu seolah mampu melihat hingga ke lapisan dalam tubuh tersebut.Satu-satunya penjelasan mengapa tubuh itu kembali mengejang adalah kenyataan bahwa di dalam tubuhnya itu telah bersarang racun dari serangga legendaris Sipasan Api, juga racun dari cacing-cacing bercahaya.Namun sesungguhnya, alasan terbesar sang harimau putih meminta Buyung Kacinduaan menelan cacing-cacing bercahaya itu hanyalah demi mengobati luka-luka dalam bocah tersebut yang tidak disadari oleh bocah itu sendiri.Dan kini, siapa yang bisa menduga
Berulang kali Mantiko Sati menemukan bahwa sang istri selalu menoleh ke arah belakang. ‘Ya, tentu saja ini adalah sesuatu yang berat bagi Pandan Sahalai,’ pikirnya.“Apakah engkau menyesal?”Puti Pandan Sahalai sedikit terkejut dengan pertanyaan suaminya itu. Ia tersenyum, lalu merapatkan duduknya dan menyandarkan kepalanya ke bahu sang suami.Tatapan keduanya saling bertemu.“Kalau engkau memang merasa keberatan dengan semua ini,” ujar Mantiko Sati. “Lebih baik kita kembali lagi saja.”“Tidak,” ucap Puti Pandan Sahalai. “Aku sudah berjanji padamu, Suamiku. Ke mana pun engkau pergi, maka aku akan menyertaimu.”Mantiko Sati tersenyum, ia memberanikan diri mengecup kening sang istri. Kembali tatapan mereka saling bertemu. Senyum keduanya semakin lebar, saling memuji hanya dengan tatapan yang saling menjelajah wajah masing-masing.Dan kemudian, dua b
Balai Pertemuan adalah sebuah ruangan besar yang ada di lantai terbawah di Istana Minanga. Berada di tengah-tengah, dan sekaligus merupakan ruangan paling luas di antara ruangan lainnya.Pagi itu, semua unsur yang menjadi penyokong keutuhan istana itu sendiri telah hadir di ruangan tersebut, duduk rapi di sisi kiri dan kanan, masing-masing membelakangi dinding. Sembilan Cadiak Pandai—yang sesungguhnya sekarang hanya tersisa delapan orang saja, sebab yang seorang telah dibunuh oleh Angku Mudo Bakaluang Perak ketika yang seorang itu hendak menemui si Kuciang Ameh di penjara bawah tanah.Lalu, ada Tujuh Hulubalang Kerajaan. Di antara mereka semua, hanya Datuk Rao saja yang ditemani istrinya, yakni Gadih Cimpago yang merupakan istri ketiga sang datuk. Gadih Cimpago sendiri sebelumnya juga masih berada di dalam istana tersebut.Hadir pula Datuak Nan Ampek yang merupakan perwakilan dari empat penjuru negeri Minanga. Para pemuka adat, pemimpin be
Sang ratu tiba-tiba turun dari ranjangnya, ia lantas mendekati Mantiko Sati. Dengan gerak tubuh yang memang masih terlihat lemah, Ratu Mudo berjongkok di hadapan sang pemuda, lantas membawa sang pemuda untuk kembali berdiri.Ibu Suri dan si Kuciang Ameh saling pandang dalam senyuman. Ya, sepertinya kekhawatiran sang Ibu Suri sendiri tidak terjadi.“Berdirilah, Sati,” ujar sang ratu seraya menangkup bahu sang pemuda. “Tidak pantas engkau berlutut di hadapanku.”“Paduko, s—saya…”Sang pemuda merasakan betapa jantungnya berdetak lebih cepat. Memandangi wajah jelita itu dari jarak yang sangat dekat bukanlah hal yang mudah. Terlalu membuat jengah wajah sang pemuda sendiri. Belum lagi aroma wangi yang begitu lembut dan membuai dari tubuh sang ratu. Semua itu memanggang khayalan sang pemuda dengan lebih membara lagi.“Dan,” Ratu Mudo menjulurkan tangannya, mengusap pipi sang pemuda. “Mulai
“Lalu, bagaimana keputusanmu, Sati?”Sekali lagi, Mantiko Sati memandangi wajah indah di hadapannya itu. Ia menghela napas panjang-panjang.‘Datuk Masuga benar,’ pikirnya. ‘Siapa laki-laki di dunia ini yang tidak tergoda pada kecantikan Ratu Mudo? Siapa laki-laki di dunia ini yang tak hendak menjadikan Paduko Ratu sebagai istrinya?’Tidak ada!“Entahlah,” sang pemuda rupawan mendesah halus. “Mungkin Bundo Kanduang benar, semua ini adalah takdir.”Semua orang tersenyum dan saling pandang terhadap satu sama lain, terutama sang Ratu Mudo sendiri yang sesungguhnya memang sudah terpikat pada pemuda tersebut.Selama ini, sang ratu memang berada di bawah pengaruh Teluh Pengikat Jiwa yang seolah merenggut kepribadian yang sesungguhnya dari sang ratu. Hanya saja, selama itu pula ia sesungguhnya masih bisa mengingat dengan baik—meski tidak seluruhnya—bahwa ia menaruh
Dengan masih berlutut di hadapan sang ratu, Mantiko Sati berkata, “Sebelum saya menanggapi tentang hukuman ke atas diri saya itu,” ujarnya, “izinkan saya bertanya beberapa hal terlebih dahulu.”“Silakan,” kata Ibu Suri. “Kami pasti akan menjawab semua pertanyaanmu, Buyung.”“Apakah tidak aneh,” kata sang pemuda, “seorang dari keluarga kerajaan mengambil orang biasa—seperti saya, sebagai pasangan hidupnya?”“Bagaimana menurutmu, Pandan?” tanya si Kuciang Ameh.Sang ratu tersenyum. “Kurasa tidak ada yang aneh di sana.”“Tapi, tidakkah masyarakat luas akan mengolok-olok hal ini nantinya?” ungkap Mantiko Sati. “Seorang ratu menikahi laki-laki biasa?”“Yaa, mungkin saja hal demikian akan berlaku di tengah-tengah masyarakat,” jawab sang ratu. “Tapi, kupikir itu bukan satu persoalan. Lagi pula, semua rakyat
“Sekarang engkau tahu bukan apa yang aku maksudkan?” ujar sang ratu.“Sungguh,” Mantiko Sati masih menekur dengan wajah merah menegang. “H—hamba terpaksa melakukan hal memalukan seperti itu, Paduko.”“Beritahu aku,” kata Ibu Suri. “Apa sebenarnya yang sudah terjadi?” ia melirik pula pada si Kuciang Ameh yang ia pikir pasti mengetahui sesuatu.Si Kuciang Ameh menyentuh bahu sang kakak, ia memberikan isyarat dengan gerakan matanya agar sang kakak tenang dan mendengar saja apa yang akan dilakukan sang Ratu Mudo terhadap Mantiko Sati.“Sepertinya hukumanmu semakin bertambah, Sati,” ujar Ratu Mudo. “Sudah kukatakan kau tidak perlu berhamba-hamba di hadapanku, bukan?”“I—iya, benar. Maaf,” sang pemuda masih saja menunduk dan tidak berani berdiri, tetap dalam posisi berlutut. “Akan tetapi, sungguh, saya terpaksa melakukan semua itu. Tidak ada
“Ermm, nama asli hamba, Buyung Kacinduaan, Paduko,” kembali Mantiko Sati menundukkan kepalanya.“Aku tahu,” kata Ratu Mudo. “Mak Enek Masuga sudah menjelaskan semuanya kepadaku. Juga, tentang namamu, silsilah keluargamu. Tapi, apa kau keberatan jika aku memanggilmu dengan nama Sati saja?”“T—tidak,” Mantiko Sati menggeleng cepat, persis seperti seorang bocah yang sedang dimarahi ibunya. “Sama sekali h—hamba tidak keberatan, Paduko.”“Uni lihat sendiri, kan?” ujar si Kuciang Ameh, lalu tertawa-tawa sembari menutupi mulutnya dan menggeleng-gelengkan kepala. “Persis seperti Sialang Babega.”Memang seperti itulah yang dilihat oleh Ibu Suri, hanya saja, ia tak hendak membuat sang pemuda berlama-lama dalam kondisi tegang dan gugup seperti itu.“Hentikan Masuga!” ucap Ibu Suri sedikit lantang. “Kau lihat wajah pemuda ini, merah seperti udang d
Tepat ketika sang rembulan berada di titik tertingginya, dua orang dayang mendatangi kamar di mana Mantiko Sati beristirahat. Mereka mengetuk-ngetuk pintu kamar tersebut, dan itu mengejutkan sang pemuda yang sudah terlelap sebelumnya.Setelah dipersilakan masuk, barulah kedua dayang muda mendorong pelan pintu berdaun ganda dan penuh ukiran tersebut.“Ada apa?” tanya sang pemuda setelah ia bangkit dan duduk di sisi pembaringan. “Apakah ada hal buruk yang telah terjadi?”Kedua dayang saling pandang. Masing-masing seolah meminta yang lainnya untuk menyampaikan berita yang mereka punya kepada si pemuda belia.Ya, lantaran wajah nan rupawan itu yang membuat kedua dayang muda menjadi salah tingkah. Mantiko Sati menyadari hal ini, itu bisa terlihat dari gerik tubuh keduanya yang gugup, dan wajah mereka yang memerah. Padahal, Mantiko Sati tidak sedang telanjang, ia memakai pakaian utuh.“Kamu saja!” bisi
Makan malam kali ini mungkin adalah makan malam pertama yang berlangsung dengan penuh keceriaan dan keakraban dalam kebersamaan.Sebagaimana budaya leluhur Minangkabau yakni Minanga itu sendiri, semua makanan itu dihidangkan di lantai, setiap orang pun duduk di lantai beralaskan ambal atau permadani. Dan terkhusus bagi sang Ibu Suri, ia duduk beralaskan sebuah bantal persegi.Bundo Kanduang, si Kuciang Ameh, Sembilan Cadiak Pandai, Enam Hulubalang Kerajaan, Gadih Cimpago, Mantiko Sati, si Kumbang Janti yang ditemani oleh anaknya, si Talago.Semua mereka bersantap dengan duduk bersila di lantai ruang tengah lantai dua dengan dilayani oleh sejumlah dayang yang hilir-mudik menyajikan berbagai jenis lauk-pauk dan sayur-mayur.Hanya si Kumbang Janti seorang yang duduk di kursi disebabkan kondisi kedua kaki dan tangannya yang belum sembuh. Ia disuapi oleh sang anak. Hampir semua mata memandang kagum pada si Talago yang begitu telaten menyuapi a