“Uda, tenanglah,” ujar Upik Andam. “Kepingan itu ada, Upik simpan di tempat yang aman.”
Masuga meraih satu tangan sang gadis. “Di mana, Upik. Di mana kepingan itu sekarang? Tolong, berikan padaku.”
“Eeng…” Upik Andam terlihat gugup. “Ta—tapi, Uda.”
“Upik, tolong,” kata Masuga dengan semakin kencang menggengam tangan sang gadis. “Berikan kepadaku, biar aku bisa merasa tenang.”
Digenggam seperti itu saja tangannya oleh Masuga, Upik Andam sudah merasakan dadanya begitu sesak dengan wajah yang memerah. Dan ia semakin merasa sesak jika harus mengeluarkan kepingan yang diminta Masuga sekarang juga.
“Upik?” ujar Masuga yang melihat kegugupan di wajah sang gadis. “Tolong Uda, Pik. Kepingan itu mandat dari Raja Minanga. Kalau Uda sampai kehilangan itu, entah apa yang akan terjadi pada Uda ini.”
Upik Andam menelan ludah, wajahnya semakin terlihat tegang dan semakin merah. Lalu, lirikan mata sang gadis tertuju ke arah dadanya. Lebih tepatnya, ses
Di sisi barat daya Gunung Singgalang, di tengah-tengah jalan tanah yang biasa digunakan oleh mereka yang menunggang kuda, di antara dua sisi hutan yang begitu rimbun. Empat orang terlibat perkelahian. Tiga melawan satu.Sosok yang di tengah-tengah itu terluka di banyak sisi tubuhnya, pakaiannya pun telah banyak yang robek. Namun, sepertinya ia tetap terus bertahan untuk bisa melawan tiga orang yang mengeroyoknya.Tiga pengeroyok itu tidak lain adalah Rumada alias Siladiang Kamba, Daro alias Sijundai Bakuku Api, dan seorang pria yang memakai pakaian serbaputih begitu juga dengan tudung kepalanya yang dari kulit hewan sejenis cerpelai. Sedangkan orang yang dikeroyok itu adalah salah satu Hulubalang Kerajaan Minanga.“Kau sudah tua, Rimau Buluah,” ujar Rumada sembari menunjuk sosok di tengah-tengah dengan ujung goloknya. “Kenapa tidak menyerah baik-baik, dan katakan saja pada kami, siapa pemegang tanda khusus ketiga, hemm?”
Si Rimau Buluh menggeram kencang, namun ia tidak dapat melakukan apa-apa lagi selain berlutut seperti itu di tanah. Dua tangannya terkulai sebab remuk di dalam, dua kakinya pun telah tidak bisa ia gerakkan sebab urat-urat besar di bagian belakang lututnya telah putus.Kondisi pria setengah abad itu benar-benar menyedihkan dengan darah yang masih menetes ke bumi dari luka-luka di sekujur badannya. Ia juga mengenakan pakaian panghulu layaknya si Kuciang Ameh, namun pakaian berwarna biru itu sudah tidak berbentuk lagi.“Kini kau tahu,” ujar si orang muda kepada Rimau Buluah. “Di atas langit masih ada langit. Kau memandangku sebagai orang yang lebih muda dan mungkin dengan senang kau jatuhkan. Tapi, sayang seribu kali sayang, kau salah mengukur kemampuan orang, Rimau Buluah.”Rimau Buluah mendengus, antara tertawa dan jeritan yang menyatu, lalu lelehan darah juga muncul di sudut bibirnya.“Kalau kau mau membunuhku,” ujar Ri
“Biar kuberi tahu padamu satu rahasia, Rimau Buluah,” ujar Darna Dalun, dan kembali berdiri, menjauh dua langkah dari si Hulubalang Kerajaan itu. “Agar kau tidak mati penasaran.”Darna berbalik, tersenyum menanggapi tatapan yang masih mampu memberikan kesan membunuh yang kuat itu meski air mata masih bergulir dari sana.“Kepingan pertama dan kepingan kedua,” ujar Darna kemudian. “Kami sudah mendapatkannya.”“Ka—kau,” ujar si Rimau Buluah di tengah linangan air matanya. “Kau hanya membual saja, Darna. Kalau aku, aku sudah tua, tentu kalian mampu mengalahkanku. Tapi tidak dengan Simpai Gilo[1] dan Sialang Babega!”Darna menyeringai, ia lalu memandang pada Daro. “Perlihatkan padanya!”Daro pun mengeluarkan dua kepingan dari pecahan Teratai Abadi, tentu saja, satu kepingan adalah palsu sebab mereka tidak mendapat kepingan kedua yang dimiliki Sialang Bab
“Bagaimana dengan kuda itu?” Darna Dalun melirik ke arah kuda coklat yang sedang berada di bawah sebuah pohon.Kuda itu adalah kuda tunggangan si Rimau Buluah sebelumnya.“Tinggalkan saja,” sahut Rumada.“Tidak,” kata Daro. “Kurasa lebih baik dibawa saja.” Dan saat melihat tatapan tidak menyenangkan dari mata suaminya itu, Daro kembali berkata, “Kalian laki-laki memang tidak bisa berpikir panjang.”“Jelaskan maksudmu itu,” ujar Rumada pula sementara itu Darna Dalun hanya menyeringai saja, ini bukan hal asing lagi baginya menyaksikan dua orang gurunya itu saling bertengkar. “Perempuan!”“Apakah kalian akan merampok saja kedai-kedai makan ketika kita kelaparan nanti di tengah perjalanan, hemm?”Rumada terkekeh dan mengangguk-angguk, sekarang ia paham apa yang dimaksudkan oleh istrinya itu.“Paling tidak,” kata Daro. “Kita bi
Langkah-langkah yang gontai itu setapak demi setapak akhirnya memasuki aliran air sungai. Tanpa diminta oleh sang harimau putih sekalipun, Buyung Kacinduaan perlahan-lahan duduk di aliran air. Ya, meski baru sebatas perutnya, namun Buyung sudah merasakan kesegaran yang luar biasa.Benar, luar biasa.Buyung sedikit terkesiap sembari memandangi sang harimau putih yang berbaring di tengah-tengah aliran, hanya bagian leher dan kepalanya itu saja yang berada di atas permukaan air. Makhluk buas itu melenguh dua kali, lenguhan kedua sedikit lebih panjang.Sang bocah menelan ludah. ‘Mungkinkah Inyiak Balang tahu bahwa tubuhku memang sedang terasa panas saat ini? Panas dan begitu lemas?’Buyung beringsut mendekati sang harimau putih. Dan ketika ketinggian air mencapai lehernya, ia memang merasakan sensasi kesegaran yang lebih, seolah-olah aliran pelan dari sungai dangkal itu mampu menghanyutkan rasa panas sekaligus rasa lemas yang ia rasakan.&l
Rumada menghentikan ucapannya, Daro sengaja menyentuh tangannya sebab wanita dan pria si pemilik lapau mendatangi mereka dengan membawa beberapa makanan untuk mereka.“Mari, silakan Uni, Uda,” ujar sang wanita seraya menghidangkan ke atas meja itu beberapa piring tembikar.Satu piring berisi jagung bakar, satu piring berisi singkong rebus, satu piring berisi irisan-irisan daging rusa bakar, dan semangkuk sambal hijau. Sementara yang pria menghidangkan tiga cangkir bambu ke hadapan masing-masing orang tersebut. Ketiga cangkir itu masih mengepulkan uap tipis.Lalu, tiga mangkuk yang dibikin dari batok kelapa, dan satu cerek air. Cerek yang terbuat dari loyang. Pria itu menuangkan air dari cerek ke dalam batok kelapa yang dimaksudkan sebagai pencuci tangan tamu-tamunya itu.“Mari, Uni, Uda, silakan dinikmati,” ujar sang pria pula.“Apakah ini daging rusa?” tanya Daro sebab irisan daging itu berwarna agak gelap.
Empat orang di dalam lapau sama menelan ludah. Tiga pria berbadan besar itu dikalahkan semudah itu saja oleh ketiga orang lainnya. Bahkan, mereka tidak melihat sama sekali bagaimana caranya di pria kedua sampai terjengkang seperti itu dengan kening yang benjut besar.Apa dan bagaimana bisa demikian, tidak satu pun dari keempat orang tersebut tahu. Mereka hanya melihat di tangan pemuda berpakaian serbaputih itu sudah tidak ada lagi potongan jagung bakar yang sebelumnya ia pegang.“Selagi guru-guruku sedang berbaik hati,” ujar Darna Dalun tanpa memandang tiga bandit hutan yang mengerang-erang di tanah itu. “Lebih baik secepatnya kalian berambus[1] dari sini!”Setelah mengetahui mereka telah salah mengincar mangsa, ketiga bandit itu pun segera meninggalkan lapau tersebut. Pria ketiga dan pria kedua memapah pria pertama yang mengalami luka lebih parah, seinci di atas kemaluannya, bahkan luka bolong berjumlah lima itu masih mengucur
Sang rembulan di horizon timur terlihat cukup indah, meski dengan kehadiran setengahnya saja dari wujud keindahan itu, tapi itu sudah cukup untuk memberi ketenangan bagi makhluk yang mendambakan kedamaian.Burung-burung hantu itu contohnya. Mereka bersahut-sahutan dari satu sudut rimba ke sudut rimba lainnya. Seolah ketenangan malam di bawah siraman cahaya lembut sang rembulan adalah sebuah pertanda bagi mereka untuk beranak pinak.Buyung Kacinduaan masih duduk memeluk lutut di atas salah satu batu besar di tepian sungai sisi timur. Duduk melamun seraya menatap kelembutan rona sang rembulan.Di belakang sang bocah, pada batu yang lebih besar dan lebih tinggi, Inyiak Tuo Bamato Biru berbaring di atas batu tersebut. Tatapannya juga tertuju kepada sang ratu malam di ujung ketinggian sana, namun lebih seringnya, tatapannya itu tertuju ke punggung sang bocah di hadapannya.Gemericik aliran air sungai lebar namun dangkal itu menambah denting da
Berulang kali Mantiko Sati menemukan bahwa sang istri selalu menoleh ke arah belakang. ‘Ya, tentu saja ini adalah sesuatu yang berat bagi Pandan Sahalai,’ pikirnya.“Apakah engkau menyesal?”Puti Pandan Sahalai sedikit terkejut dengan pertanyaan suaminya itu. Ia tersenyum, lalu merapatkan duduknya dan menyandarkan kepalanya ke bahu sang suami.Tatapan keduanya saling bertemu.“Kalau engkau memang merasa keberatan dengan semua ini,” ujar Mantiko Sati. “Lebih baik kita kembali lagi saja.”“Tidak,” ucap Puti Pandan Sahalai. “Aku sudah berjanji padamu, Suamiku. Ke mana pun engkau pergi, maka aku akan menyertaimu.”Mantiko Sati tersenyum, ia memberanikan diri mengecup kening sang istri. Kembali tatapan mereka saling bertemu. Senyum keduanya semakin lebar, saling memuji hanya dengan tatapan yang saling menjelajah wajah masing-masing.Dan kemudian, dua b
Balai Pertemuan adalah sebuah ruangan besar yang ada di lantai terbawah di Istana Minanga. Berada di tengah-tengah, dan sekaligus merupakan ruangan paling luas di antara ruangan lainnya.Pagi itu, semua unsur yang menjadi penyokong keutuhan istana itu sendiri telah hadir di ruangan tersebut, duduk rapi di sisi kiri dan kanan, masing-masing membelakangi dinding. Sembilan Cadiak Pandai—yang sesungguhnya sekarang hanya tersisa delapan orang saja, sebab yang seorang telah dibunuh oleh Angku Mudo Bakaluang Perak ketika yang seorang itu hendak menemui si Kuciang Ameh di penjara bawah tanah.Lalu, ada Tujuh Hulubalang Kerajaan. Di antara mereka semua, hanya Datuk Rao saja yang ditemani istrinya, yakni Gadih Cimpago yang merupakan istri ketiga sang datuk. Gadih Cimpago sendiri sebelumnya juga masih berada di dalam istana tersebut.Hadir pula Datuak Nan Ampek yang merupakan perwakilan dari empat penjuru negeri Minanga. Para pemuka adat, pemimpin be
Sang ratu tiba-tiba turun dari ranjangnya, ia lantas mendekati Mantiko Sati. Dengan gerak tubuh yang memang masih terlihat lemah, Ratu Mudo berjongkok di hadapan sang pemuda, lantas membawa sang pemuda untuk kembali berdiri.Ibu Suri dan si Kuciang Ameh saling pandang dalam senyuman. Ya, sepertinya kekhawatiran sang Ibu Suri sendiri tidak terjadi.“Berdirilah, Sati,” ujar sang ratu seraya menangkup bahu sang pemuda. “Tidak pantas engkau berlutut di hadapanku.”“Paduko, s—saya…”Sang pemuda merasakan betapa jantungnya berdetak lebih cepat. Memandangi wajah jelita itu dari jarak yang sangat dekat bukanlah hal yang mudah. Terlalu membuat jengah wajah sang pemuda sendiri. Belum lagi aroma wangi yang begitu lembut dan membuai dari tubuh sang ratu. Semua itu memanggang khayalan sang pemuda dengan lebih membara lagi.“Dan,” Ratu Mudo menjulurkan tangannya, mengusap pipi sang pemuda. “Mulai
“Lalu, bagaimana keputusanmu, Sati?”Sekali lagi, Mantiko Sati memandangi wajah indah di hadapannya itu. Ia menghela napas panjang-panjang.‘Datuk Masuga benar,’ pikirnya. ‘Siapa laki-laki di dunia ini yang tidak tergoda pada kecantikan Ratu Mudo? Siapa laki-laki di dunia ini yang tak hendak menjadikan Paduko Ratu sebagai istrinya?’Tidak ada!“Entahlah,” sang pemuda rupawan mendesah halus. “Mungkin Bundo Kanduang benar, semua ini adalah takdir.”Semua orang tersenyum dan saling pandang terhadap satu sama lain, terutama sang Ratu Mudo sendiri yang sesungguhnya memang sudah terpikat pada pemuda tersebut.Selama ini, sang ratu memang berada di bawah pengaruh Teluh Pengikat Jiwa yang seolah merenggut kepribadian yang sesungguhnya dari sang ratu. Hanya saja, selama itu pula ia sesungguhnya masih bisa mengingat dengan baik—meski tidak seluruhnya—bahwa ia menaruh
Dengan masih berlutut di hadapan sang ratu, Mantiko Sati berkata, “Sebelum saya menanggapi tentang hukuman ke atas diri saya itu,” ujarnya, “izinkan saya bertanya beberapa hal terlebih dahulu.”“Silakan,” kata Ibu Suri. “Kami pasti akan menjawab semua pertanyaanmu, Buyung.”“Apakah tidak aneh,” kata sang pemuda, “seorang dari keluarga kerajaan mengambil orang biasa—seperti saya, sebagai pasangan hidupnya?”“Bagaimana menurutmu, Pandan?” tanya si Kuciang Ameh.Sang ratu tersenyum. “Kurasa tidak ada yang aneh di sana.”“Tapi, tidakkah masyarakat luas akan mengolok-olok hal ini nantinya?” ungkap Mantiko Sati. “Seorang ratu menikahi laki-laki biasa?”“Yaa, mungkin saja hal demikian akan berlaku di tengah-tengah masyarakat,” jawab sang ratu. “Tapi, kupikir itu bukan satu persoalan. Lagi pula, semua rakyat
“Sekarang engkau tahu bukan apa yang aku maksudkan?” ujar sang ratu.“Sungguh,” Mantiko Sati masih menekur dengan wajah merah menegang. “H—hamba terpaksa melakukan hal memalukan seperti itu, Paduko.”“Beritahu aku,” kata Ibu Suri. “Apa sebenarnya yang sudah terjadi?” ia melirik pula pada si Kuciang Ameh yang ia pikir pasti mengetahui sesuatu.Si Kuciang Ameh menyentuh bahu sang kakak, ia memberikan isyarat dengan gerakan matanya agar sang kakak tenang dan mendengar saja apa yang akan dilakukan sang Ratu Mudo terhadap Mantiko Sati.“Sepertinya hukumanmu semakin bertambah, Sati,” ujar Ratu Mudo. “Sudah kukatakan kau tidak perlu berhamba-hamba di hadapanku, bukan?”“I—iya, benar. Maaf,” sang pemuda masih saja menunduk dan tidak berani berdiri, tetap dalam posisi berlutut. “Akan tetapi, sungguh, saya terpaksa melakukan semua itu. Tidak ada
“Ermm, nama asli hamba, Buyung Kacinduaan, Paduko,” kembali Mantiko Sati menundukkan kepalanya.“Aku tahu,” kata Ratu Mudo. “Mak Enek Masuga sudah menjelaskan semuanya kepadaku. Juga, tentang namamu, silsilah keluargamu. Tapi, apa kau keberatan jika aku memanggilmu dengan nama Sati saja?”“T—tidak,” Mantiko Sati menggeleng cepat, persis seperti seorang bocah yang sedang dimarahi ibunya. “Sama sekali h—hamba tidak keberatan, Paduko.”“Uni lihat sendiri, kan?” ujar si Kuciang Ameh, lalu tertawa-tawa sembari menutupi mulutnya dan menggeleng-gelengkan kepala. “Persis seperti Sialang Babega.”Memang seperti itulah yang dilihat oleh Ibu Suri, hanya saja, ia tak hendak membuat sang pemuda berlama-lama dalam kondisi tegang dan gugup seperti itu.“Hentikan Masuga!” ucap Ibu Suri sedikit lantang. “Kau lihat wajah pemuda ini, merah seperti udang d
Tepat ketika sang rembulan berada di titik tertingginya, dua orang dayang mendatangi kamar di mana Mantiko Sati beristirahat. Mereka mengetuk-ngetuk pintu kamar tersebut, dan itu mengejutkan sang pemuda yang sudah terlelap sebelumnya.Setelah dipersilakan masuk, barulah kedua dayang muda mendorong pelan pintu berdaun ganda dan penuh ukiran tersebut.“Ada apa?” tanya sang pemuda setelah ia bangkit dan duduk di sisi pembaringan. “Apakah ada hal buruk yang telah terjadi?”Kedua dayang saling pandang. Masing-masing seolah meminta yang lainnya untuk menyampaikan berita yang mereka punya kepada si pemuda belia.Ya, lantaran wajah nan rupawan itu yang membuat kedua dayang muda menjadi salah tingkah. Mantiko Sati menyadari hal ini, itu bisa terlihat dari gerik tubuh keduanya yang gugup, dan wajah mereka yang memerah. Padahal, Mantiko Sati tidak sedang telanjang, ia memakai pakaian utuh.“Kamu saja!” bisi
Makan malam kali ini mungkin adalah makan malam pertama yang berlangsung dengan penuh keceriaan dan keakraban dalam kebersamaan.Sebagaimana budaya leluhur Minangkabau yakni Minanga itu sendiri, semua makanan itu dihidangkan di lantai, setiap orang pun duduk di lantai beralaskan ambal atau permadani. Dan terkhusus bagi sang Ibu Suri, ia duduk beralaskan sebuah bantal persegi.Bundo Kanduang, si Kuciang Ameh, Sembilan Cadiak Pandai, Enam Hulubalang Kerajaan, Gadih Cimpago, Mantiko Sati, si Kumbang Janti yang ditemani oleh anaknya, si Talago.Semua mereka bersantap dengan duduk bersila di lantai ruang tengah lantai dua dengan dilayani oleh sejumlah dayang yang hilir-mudik menyajikan berbagai jenis lauk-pauk dan sayur-mayur.Hanya si Kumbang Janti seorang yang duduk di kursi disebabkan kondisi kedua kaki dan tangannya yang belum sembuh. Ia disuapi oleh sang anak. Hampir semua mata memandang kagum pada si Talago yang begitu telaten menyuapi a