Setelah pertemuan kembali di malam itu dengan Gadih Cimpago, Mantiko Sati tidak lagi memiliki kesempatan untuk sekadar bercakap-cakap dengan wanita muda tersebut. Ia hanya bisa melihat dari kejauhan saja. Entah di saat Gadih Cimpago turun ke dek bawah itu, atau sekadar duduk di beranda atas bersama suaminya.
Sang pemuda memaklumi hal ini. Dengan semua apa yang telah disampaikan Gadih Cimpago kepada dirinya, sudah cukup jelas bagi Mantiko Sati bahwa Gadih Cimpago benar-benar menjalankan ‘tugasnya’ sebagai seorang istri dari seorang Datuk Hulubalang Kerajaan, meskipun itu hanyalah sebagai istri ketiga.
Sungguh, sang pemuda tidak tahu lagi harus menyebut apa tentang wanita muda cantik yang satu itu. Dia memiliki kemampuan meringankan tubuh yang bahkan beberapa tingkat di atas Mantiko Sati, dia memiliki tenaga dalam yang jelas sangat besar, dia memiliki silat dan kesaktian.
Dengan kata lain, Gadih Cimpago memiliki ‘senjata’ untuk mempertahankan h
Mantiko Sati baru menghentikan langkah tepat di depan gerbang selatan itu sebab ada antrean beberapa orang yang hendak memasuki Kota Raja.Paling tidak, sang pemuda melihat empat orang penjaga gerbang yang bersenjatakan tombak dan pedang yang berjaga di sana. Dan keempat penjaga itu memeriksa satu per satu setiap orang yang hendak melewati gerbang itu.Hanya saja, keempat penjaga itu terlihat seperti para penjilat ketika memeriksa satu dua orang yang mungkin saja adalah para pemangku jabatan tinggi di Kota Raja atau bahkan di istana. Itu terlihat dari pakaian mereka yang sangat mewah, dan kereta kuda yang mereka gunakan.Sementara jika kepada mereka yang hanya berjalan kaki dengan membawa satu dua barang, para penjaga itu justru terlihat begitu garang. Bahkan, para penjaga tersebut tidak segan-segan meminta sejumlah uang dan orang-orang terpaksa memberik agar mereka bisa masuk ke Kota Raja.‘Rasuah, rasuah, dan rasuah,’ gumam Mantiko Sati di d
‘Ini benar-benar di luar dugaanku,’ gumam Mantiko Sati sembari melangkahkan kakinya ke arah barat sebab ia melihat sedikit ada keramaian di sana. ‘Dahulu, ayah pernah berkata: Siapa pun rakyat Minanga, akan memiliki hak dan kebebasan guna mengunjungi istana. Tapi, kenapa sekarang menjadi seperti ini?’Dan sesungguhnya hal ini pun tidak perlu dirasa heran oleh sang pemuda sendiri. Dengan pemerintahan yang dipegang oleh Ratu Mudo yang keburukannya sudah mengumandang ke semua penjuru, tentulah hal semacam ini adalah salah satu dari apa yang dikeluhkan oleh rakyat banyak selama ini.‘Benar-benar menyedihkan!’Keramaian yang dituju oleh Mantiko Sati itu ternyata adalah sebuah kedai makan. Malam seperti sekarang ini pun kedai itu ramai oleh pengunjung.‘Tentu saja!’ dengus sang pemuda di dalam hati.Di dalam kedai yang besar itu, ia juga menemukan sejumlah gadis-gadis yang berpakaian seronok. Para gadis yan
Tidak berapa lama kedua gadis yang tadi kembali lagi dengan membawakan berbagai makanan bagi Mantiko Sati. Mereka menghidangkan makanan itu dengan gerak tubuh yang sengaja memancing berahi siapa saja yang melihat. Tentu, tujuannya agar Mantiko Sati bersedia mengeluarkan uang lebih untuk bersenang-senang dengan keduanya.Hanya saja, pemuda rupawan itu bukanlah seperti kebanyakan orang-orang yang ada di dalam kedai tersebut sekarang ini.Jadi, ya… sang pemuda hanya berfokus untuk mengisi perutnya saja meski kedua gadis seperti tidak menyerah untuk merayunya. Lagi, dan lagi.Padahal, Mantiko Sati berniat untuk mencari informasi lainnya dengan menguping pembicaraan orang-orang di sana. Sayangnya, semua menjadi sia-sia sebab dua gadis itu pantang menyerah untuk dapat menaklukkan berahi di pemuda yang seperti sengaja menahan nafsunya sendiri.“Santai saja, Tuan Muda,” ujar si gadis kedua.“Benar,” sahut si gadis pertama, &l
Sebab tak bisa memecahkan kalimat berbunyi: Sungai besar di sisi selatan, Mantiko Sati memutuskan untuk menyelidiki saja gapura kecil yang ada di pekarangan belakang, bangunan kecil di mana keenam pengawal istana tadi menghilang.Setelah memastikan lagi kondisi di sekitar, sang pemuda pun melompat. Dalam sekali lompatan saja, ia sudah berada di sisi dalam dari tembok istana. Dengan cepat pula ia merapatkan punggungnya ke dinding, menyembunyikan diri di dalam bayang-bayang tembok itu sendiri sembari mengawasi kembali kondisi di sekitar.Sepasang mata yang mengintai pergerakan Mantiko Sati sepertinya menyipit, lalu terdengar suara desahan halus dari mulut yang tertutup cadar lebar.Kembali kepada Mantiko Sati yang bergerak berhati-hati menuju bangunan dengan gapura kecil di sisi kiri. Ia mengintip ke bagian dalam dari celah-celah unik di dinding bangunan kecil itu.‘Benar!’ gumam sang pemuda di dalam hati. ‘Dengan adanya anak tangga lebar
“Hei,” kembali terdengar suara teriakan. “Kalian berdua, mengapa lama sekali? Jawab kami!”Hening, dan tentu saja tiada jawaban sebab kedua rekan mereka itu kini dalam kondisi tak sadarkan diri.Mantiko Sati kembali melesat, bergerak cepat seperti seekor harimau yang berlari kencang di tengah kegelapan.Beberapa wajah yang berada di dekat jeruji penjara masing-masing terkesiap begitu bayangan hitam melintas cepat di depan mata mereka. Dan tidak seorang pun dari mereka mengetahi apakah itu bayangan manusia atau justru bayangan makhluk buas.Wajah-wajah di dalam penjara itu tentu penasaran mengapa penerangan di lorong yang selama ini tidak pernah dipadamkan dan kini tiba-tiba padam semuanya.Sesuatu yang besar pasti sedang terjadi di sini, pikir beberapa di antara mereka. Pemikiran para tahanan itu bukanlah sekadar tebak-tebakan saja, tidak. Sebagian besar dari mereka sebelumnya adalah pemangku jabatan di istana, mereka orang-
Mantiko Sati semakin gelisah menunggu di depan pintu besar, dan dua pengawal di sisi dalam sepertinya belum hendak membuka pintu tersebut.Kondisi ini memaksa sang pemuda untuk memutar otak. Bagaimana kalau menghasut para tahanan saja? Pikirnya.‘Tidak, tidak, tidak,’ gumam Mantiko Sati dalam hati seolah sedang berperang terhadap dirinya sendiri. ‘Itu sama saja memancing keributan yang berujung dengan para pengawal yang akan mendatangi lorong ini guna menenangkan para tahanan.’Hanya saja, semakin lama menunggu, Mantiko Sati semakin gelisah dan khawatir. Khawatir bila keempat pengawal yang telah ia bekuk dan dalam keadaan tak sadarkan diri itu akan siuman pada saat-saat genting nanti.Tentu saja, hal itu sama dengan kegagalan. Hal yang akan memaksanya berlaku lebih kejam bila lebih banyak lagi pengawal yang akan memasuki lorong itu. Dan ia sendiri, belum pasti akan selamat karenanya.‘Apa yang harus aku lakukan?’
“Siapa kau sebenarnya, Anak Muda?” tanya Masuga di tengah langkah mereka meninggalkan ruangan khusus itu. “Aku merasakan kekuatan yang besar di dalam dirimu. Dan, dan siapa yang memintamu membebaskanku?”Sang pemuda rupawan tersenyum. “Yang meminta saya membebaskan Datuk adalah rakyat banyak.”“Rakyat?” ulang Masuga.“Rakyat menaruh harapan yang besar terhadap Datuk,” ucap Mantiko Sati.“Kau lihat keadaanku!” ucap Masuga. “Kalian hanya terlalu memandang tinggi diriku.”“Tapi saya percaya pada rakyat banyak,” kata sang pemuda. “Juga, Datuk Janti.”“J—Janti?”“Si Kumbang Janti.”“D—dia, dia masih hidup?”“Yaa,” sang pemuda tersenyum. “Kondisi Datuk Janti baik-baik saja.”“Kau!” Masuga menunjuk-nunjuk pemuda itu. “Siapa ka
Para pengawal itu kembali bersiaga, menghunus senjata masing-masing ke arah Mantiko Sati dan Masuga.“Ini pemberontakan!” ucap salah seorang pengawal. “Kalian yang di belakang, salah seorang segeralah memanggil bantuan!”Lantaran yang mereka hadapi bukanlah pemuda biasa, dan di sana ditambah pula dengan sosok si Kuciang Ameh sendiri—meskipun sampai pada saat itu ia belum bertindak sedikit pun—tentu saja para pengawal tidak ingin mengabaikan hal tersebut begitu saja. Tidak ada yang tidak tahu seperti apa kesaktian yang dimiliki si Kuciang Ameh.Seorang yang berada di urutan paling belakang bergegas meninggalkan rekannya guna memanggil bantuan. Tentu, bantuan di sini yang mereka maksudkan adalah para pendekar yang menjadi pemimpin bagi para pengawal itu sendiri.Pengawal yang seorang itu baru saja akan menaiki jejeran anak tangga lebar sebelum ia terperangah sebab ada satu sosok yang tiba-tiba saja telah berdiri di sana m
Berulang kali Mantiko Sati menemukan bahwa sang istri selalu menoleh ke arah belakang. ‘Ya, tentu saja ini adalah sesuatu yang berat bagi Pandan Sahalai,’ pikirnya.“Apakah engkau menyesal?”Puti Pandan Sahalai sedikit terkejut dengan pertanyaan suaminya itu. Ia tersenyum, lalu merapatkan duduknya dan menyandarkan kepalanya ke bahu sang suami.Tatapan keduanya saling bertemu.“Kalau engkau memang merasa keberatan dengan semua ini,” ujar Mantiko Sati. “Lebih baik kita kembali lagi saja.”“Tidak,” ucap Puti Pandan Sahalai. “Aku sudah berjanji padamu, Suamiku. Ke mana pun engkau pergi, maka aku akan menyertaimu.”Mantiko Sati tersenyum, ia memberanikan diri mengecup kening sang istri. Kembali tatapan mereka saling bertemu. Senyum keduanya semakin lebar, saling memuji hanya dengan tatapan yang saling menjelajah wajah masing-masing.Dan kemudian, dua b
Balai Pertemuan adalah sebuah ruangan besar yang ada di lantai terbawah di Istana Minanga. Berada di tengah-tengah, dan sekaligus merupakan ruangan paling luas di antara ruangan lainnya.Pagi itu, semua unsur yang menjadi penyokong keutuhan istana itu sendiri telah hadir di ruangan tersebut, duduk rapi di sisi kiri dan kanan, masing-masing membelakangi dinding. Sembilan Cadiak Pandai—yang sesungguhnya sekarang hanya tersisa delapan orang saja, sebab yang seorang telah dibunuh oleh Angku Mudo Bakaluang Perak ketika yang seorang itu hendak menemui si Kuciang Ameh di penjara bawah tanah.Lalu, ada Tujuh Hulubalang Kerajaan. Di antara mereka semua, hanya Datuk Rao saja yang ditemani istrinya, yakni Gadih Cimpago yang merupakan istri ketiga sang datuk. Gadih Cimpago sendiri sebelumnya juga masih berada di dalam istana tersebut.Hadir pula Datuak Nan Ampek yang merupakan perwakilan dari empat penjuru negeri Minanga. Para pemuka adat, pemimpin be
Sang ratu tiba-tiba turun dari ranjangnya, ia lantas mendekati Mantiko Sati. Dengan gerak tubuh yang memang masih terlihat lemah, Ratu Mudo berjongkok di hadapan sang pemuda, lantas membawa sang pemuda untuk kembali berdiri.Ibu Suri dan si Kuciang Ameh saling pandang dalam senyuman. Ya, sepertinya kekhawatiran sang Ibu Suri sendiri tidak terjadi.“Berdirilah, Sati,” ujar sang ratu seraya menangkup bahu sang pemuda. “Tidak pantas engkau berlutut di hadapanku.”“Paduko, s—saya…”Sang pemuda merasakan betapa jantungnya berdetak lebih cepat. Memandangi wajah jelita itu dari jarak yang sangat dekat bukanlah hal yang mudah. Terlalu membuat jengah wajah sang pemuda sendiri. Belum lagi aroma wangi yang begitu lembut dan membuai dari tubuh sang ratu. Semua itu memanggang khayalan sang pemuda dengan lebih membara lagi.“Dan,” Ratu Mudo menjulurkan tangannya, mengusap pipi sang pemuda. “Mulai
“Lalu, bagaimana keputusanmu, Sati?”Sekali lagi, Mantiko Sati memandangi wajah indah di hadapannya itu. Ia menghela napas panjang-panjang.‘Datuk Masuga benar,’ pikirnya. ‘Siapa laki-laki di dunia ini yang tidak tergoda pada kecantikan Ratu Mudo? Siapa laki-laki di dunia ini yang tak hendak menjadikan Paduko Ratu sebagai istrinya?’Tidak ada!“Entahlah,” sang pemuda rupawan mendesah halus. “Mungkin Bundo Kanduang benar, semua ini adalah takdir.”Semua orang tersenyum dan saling pandang terhadap satu sama lain, terutama sang Ratu Mudo sendiri yang sesungguhnya memang sudah terpikat pada pemuda tersebut.Selama ini, sang ratu memang berada di bawah pengaruh Teluh Pengikat Jiwa yang seolah merenggut kepribadian yang sesungguhnya dari sang ratu. Hanya saja, selama itu pula ia sesungguhnya masih bisa mengingat dengan baik—meski tidak seluruhnya—bahwa ia menaruh
Dengan masih berlutut di hadapan sang ratu, Mantiko Sati berkata, “Sebelum saya menanggapi tentang hukuman ke atas diri saya itu,” ujarnya, “izinkan saya bertanya beberapa hal terlebih dahulu.”“Silakan,” kata Ibu Suri. “Kami pasti akan menjawab semua pertanyaanmu, Buyung.”“Apakah tidak aneh,” kata sang pemuda, “seorang dari keluarga kerajaan mengambil orang biasa—seperti saya, sebagai pasangan hidupnya?”“Bagaimana menurutmu, Pandan?” tanya si Kuciang Ameh.Sang ratu tersenyum. “Kurasa tidak ada yang aneh di sana.”“Tapi, tidakkah masyarakat luas akan mengolok-olok hal ini nantinya?” ungkap Mantiko Sati. “Seorang ratu menikahi laki-laki biasa?”“Yaa, mungkin saja hal demikian akan berlaku di tengah-tengah masyarakat,” jawab sang ratu. “Tapi, kupikir itu bukan satu persoalan. Lagi pula, semua rakyat
“Sekarang engkau tahu bukan apa yang aku maksudkan?” ujar sang ratu.“Sungguh,” Mantiko Sati masih menekur dengan wajah merah menegang. “H—hamba terpaksa melakukan hal memalukan seperti itu, Paduko.”“Beritahu aku,” kata Ibu Suri. “Apa sebenarnya yang sudah terjadi?” ia melirik pula pada si Kuciang Ameh yang ia pikir pasti mengetahui sesuatu.Si Kuciang Ameh menyentuh bahu sang kakak, ia memberikan isyarat dengan gerakan matanya agar sang kakak tenang dan mendengar saja apa yang akan dilakukan sang Ratu Mudo terhadap Mantiko Sati.“Sepertinya hukumanmu semakin bertambah, Sati,” ujar Ratu Mudo. “Sudah kukatakan kau tidak perlu berhamba-hamba di hadapanku, bukan?”“I—iya, benar. Maaf,” sang pemuda masih saja menunduk dan tidak berani berdiri, tetap dalam posisi berlutut. “Akan tetapi, sungguh, saya terpaksa melakukan semua itu. Tidak ada
“Ermm, nama asli hamba, Buyung Kacinduaan, Paduko,” kembali Mantiko Sati menundukkan kepalanya.“Aku tahu,” kata Ratu Mudo. “Mak Enek Masuga sudah menjelaskan semuanya kepadaku. Juga, tentang namamu, silsilah keluargamu. Tapi, apa kau keberatan jika aku memanggilmu dengan nama Sati saja?”“T—tidak,” Mantiko Sati menggeleng cepat, persis seperti seorang bocah yang sedang dimarahi ibunya. “Sama sekali h—hamba tidak keberatan, Paduko.”“Uni lihat sendiri, kan?” ujar si Kuciang Ameh, lalu tertawa-tawa sembari menutupi mulutnya dan menggeleng-gelengkan kepala. “Persis seperti Sialang Babega.”Memang seperti itulah yang dilihat oleh Ibu Suri, hanya saja, ia tak hendak membuat sang pemuda berlama-lama dalam kondisi tegang dan gugup seperti itu.“Hentikan Masuga!” ucap Ibu Suri sedikit lantang. “Kau lihat wajah pemuda ini, merah seperti udang d
Tepat ketika sang rembulan berada di titik tertingginya, dua orang dayang mendatangi kamar di mana Mantiko Sati beristirahat. Mereka mengetuk-ngetuk pintu kamar tersebut, dan itu mengejutkan sang pemuda yang sudah terlelap sebelumnya.Setelah dipersilakan masuk, barulah kedua dayang muda mendorong pelan pintu berdaun ganda dan penuh ukiran tersebut.“Ada apa?” tanya sang pemuda setelah ia bangkit dan duduk di sisi pembaringan. “Apakah ada hal buruk yang telah terjadi?”Kedua dayang saling pandang. Masing-masing seolah meminta yang lainnya untuk menyampaikan berita yang mereka punya kepada si pemuda belia.Ya, lantaran wajah nan rupawan itu yang membuat kedua dayang muda menjadi salah tingkah. Mantiko Sati menyadari hal ini, itu bisa terlihat dari gerik tubuh keduanya yang gugup, dan wajah mereka yang memerah. Padahal, Mantiko Sati tidak sedang telanjang, ia memakai pakaian utuh.“Kamu saja!” bisi
Makan malam kali ini mungkin adalah makan malam pertama yang berlangsung dengan penuh keceriaan dan keakraban dalam kebersamaan.Sebagaimana budaya leluhur Minangkabau yakni Minanga itu sendiri, semua makanan itu dihidangkan di lantai, setiap orang pun duduk di lantai beralaskan ambal atau permadani. Dan terkhusus bagi sang Ibu Suri, ia duduk beralaskan sebuah bantal persegi.Bundo Kanduang, si Kuciang Ameh, Sembilan Cadiak Pandai, Enam Hulubalang Kerajaan, Gadih Cimpago, Mantiko Sati, si Kumbang Janti yang ditemani oleh anaknya, si Talago.Semua mereka bersantap dengan duduk bersila di lantai ruang tengah lantai dua dengan dilayani oleh sejumlah dayang yang hilir-mudik menyajikan berbagai jenis lauk-pauk dan sayur-mayur.Hanya si Kumbang Janti seorang yang duduk di kursi disebabkan kondisi kedua kaki dan tangannya yang belum sembuh. Ia disuapi oleh sang anak. Hampir semua mata memandang kagum pada si Talago yang begitu telaten menyuapi a