Angku Mudo Bakaluang Perak menyipitkan pandangannya, menatap pada Siladiang Kamba yang tak lagi bernyawa. Tatapan tajam itu kini tertuju pada pemuda rupawan di depan sana. Ia menggeram kencang, kertakan rahangnya terdengar menggidikkan.
“Luar biasa!” ucap Angku Mudo. “Kau bahkan mampu menembus pertahanan Tempurung Kura-Kura milik guruku. Hebat!”
“Aku tidak butuh pujianmu!” sahut Mantio Sati yang kembali berdiri tegak.
Bahkan, kini semua orang dapat melihat seperti ada lidah api berwarna biru yang menyelimuti kedua tangan Mantiko Sati dari ujung-ujung jari hingga kebatas siku, meskipun terlihat sangat tipis.
Si Kuciang Ameh semakin terkesima dengan kesaktian yang dimiliki oleh Mantiko Sati yang ia kenal hanya dengan nama aslinya saja, Buyung Kacinduaan.
‘Jika kekuatan sebesar itu dimiliki pemuda belia seperti dia,’ pikir si Kuciang Ameh, ‘tidak bisa tidak, ucapan Buyung sebelum ini pastilah sebua
Gerakan Angku Mudo Bakaluang Perak ternyata tak berhenti selepas berhasil menghantam punggung Mantiko Sati dengan punggung tangannya.Suara berkerincing kembali terdengar seiring Angku Mudo memutar kedua tangannya sedemikian rupa, lantas satu kepalan tangan ia lepaskan.Mantiko Sati yang baru saja menjejak tanah langsung menyilangkan dua tangan di depan dadanya.Dugh!Splaas!Untuk kedua kalinya si pemuda rupawan terlempar. Berjumpalitan ke belakang, lalu menjejak tanah dengan setengah berlutut.Semua pandangan kini hanya tertuju pada pertarungan antara Angku Mudo Bakaluang Perak dan Mantiko Sati. Tentu saja, hampir keseluruhan dari mereka berharap si pemuda rupawan itu mampu mengalahkan Angku Mudo. Dan andai dia tidak mati dalam pertarungan itu, maka hukuman berat akan menanti Angku Mudo, hukuman yang telah direncanakan oleh Ibu Suri.Mantiko Sati mengernyit, belum habis rasa kebas di punggungnya, kini pergelangan kedua tanganya pula
Mantiko Sati tiba-tiba tersedak, ia meremas dadanya sendiri. Meski tak sampai muntah, namun dari sudut bibirnya mengalir darah kental.“Ya, ya, ya…” Angku Mudo Bakaluang Perak terkekeh-kekeh seraya bertolak pinggang. “Itulah akibatnya yang akan kau dapat dengan meledakkan tenaga dalammu sendiri. Kau memang terbebas dari kehilangan tanganmu, tapi kau tentu tahu pasti dengan imbas balik dari perbuatanmu itu bukan?”“Aku tidak butuh ceramah darimu!” dengus Mantiko Sati sembari mengusap mulutnya.Sang pemuda merasakan aliran tenaga dalam di dalam dirinya sangat kacau dan pernapasannya sedikit tak beraturan.Angku Mudo Bakaluang Perak tertawa lebih keras. “Kalau kuserang sekarang, kau pasti tidak akan bertahan, Buyung. Dan orang-orang mungkin akan menganggap aku terlalu kejam pada pemuda belia sepertimu. Baiklah! Anggap aku sedang berbaik hati. Sampai kau bisa menetralisir aliran tenaga dalammu yang sekarang sed
“Kemarilah, Buyung!” Angku Mudo Bakaluang Perak menyeringai. “Kemarilah!”Ia membuka kuda-kuda kakinya, lantas mengentakkan dua tangan ke bawah diiringi suara gemerincing dari sabuk perak di kedua tangannya.Meskipun benar Mantiko Sati dalam pengaruh amarah yang sangat-sangat besar di dalam dirinya, namun hal yang tadi sempat terpikirkan olehnya masihlah tetap ia pegang sebagai kunci untuk mengalahkan Tinju Perak Manggaga milik Angku Mudo.“Matilah, Darna…!”Syu—syu!“Kau tidak pernah belajar dari kesalahan!” Angku Mudo menyeringai.Mantiko Sati telah melesatkan dua pukulan sekaligus, mengincar dada Angku Mudo dalam jurus Tinju Harimau Mengaum.Angku Mudo pun menghantamkan dua tinjunya sekaligus demi menyongsong serangan lawannya. Bahkan, angin pukulan lawannya itu saja sudah terasa perih di wajahnya padahal tinju itu sendiri belumlah sampai.Akan tetapi, Angku Mudo j
Sekali lagi, Angku Mudo Bakaluang Perak menghantamkan tinju tangan kanannya, cahaya putih kembali berkelabat.Mantiko Sati telah terlebih dahulu menjatuhkan tubuhnya, ia mengincar lutut Angku Mudo dengan tendangan selagi tubuhnya meluncur di atas permukaan tanah.Angku Mudo melontarkan tubuhnya ke depan, seperti lompatan seekor harimau, berguling sekali di tanah, dan kemudian bangkit dengan cepat.Begitu juga dengan Mantiko Sati, ketika tendangannya tidak mengenai sasaran, dua kakinya membuka lebar ke atas, berputar sekaligus melentingkan tubuhnya satu langkah ke belakang.Keduanya sama-sama langsung menerjang ketika kaki menjejak tanah.Angku Mudo melancarkan satu tinju, Mantiko Sati memiringkan kepalanya sementara kedua matanya tetap terpejam.Tinju musuh lewat kurang dari sejengkal di samping pipi kirinya, Mantiko Sati melancarkan serangan cakar ke arah dada lawannya.Dengan menekuk tangan kirinya, Angku Mudo dapat menepis serangan
Hekh!Bola mata Angku Mudo Bakaluang Perak membesar seiring lenguhan pendek sebab ia merasakan dadanya seperti dihantam batu gunung yang besar. Hanya sepersekian detik saja, sebelum akhirnya daya ledakan besar itu menghempaskan tubuhnya jauh lebih tinggi lagi. Bahkan, semburan darah begitu banyak keluar dari mulutnya.Tring—tring…!Dua sabuk yang melilit kedua tangan Angku Mudo terputus-putus dan berhamburan seiring tubuh pria tersebut terpental dengan berputar-putar tak terkendali.Demikian juga dengan Mantiko Sati sendiri, tubuhnya yang sempat terangkat sejengkal di atas tanah, kembali terhempas dengan kencang ke bumi didorong kuatnya ledakan tenaga dalam tersebut.Bahkan, di posisi di mana Mantiko Sati terhempas, permukaan tanah terlihat mencekung, melesak ke dalam seperti kubangan dangkal akibat dari kerasnya hempasan tenaga dalam tersebut.Dentuman kencang itu juga menggetarkan kawasan di sekitar halaman belakang istana.
“Sudahlah, Masuga,” ujar Ibu Suri seraya mengusap bahu sang adik. “Dia pemuda yang baik, dan anak keturunan dari Sialang Babega, aku rasa, para dewa dan dewi di Suwarga pasti tidak akan membiarkan dia dalam kondisi ini lebih lama lagi.”Si Kuciang Ameh menghela napas dalam-dalam. “Aku juga berharap yang sama, Uni.”“Untuk sekarang,” kata si nujum. “Lebih baik biarkan dia beristirahat. Besok pagi, saya akan kembali lagi memeriksa kondisinya. Datuk Masuga, Bundo Kanduang, patik mohon diri.”Sang nujum kembali menundukkan kepalanya sebelum akhirnya berlalu dari kamar tersebut.Sekali lagi, si Kuciang Ameh dan Ibu Suri memandang pada Mantiko Sati yang terlelap hening seperti tidur dalam kedamaian, dan kemudian mereka pun keluar dari dalam ruangan itu.Setidaknya, ada dua Pengawal Istana yang berjaga di depan pintu masuk kamar tersebut. Keduanya sama menundukkan kepala begitu sang Ibu Suri dan
“Tidak, Datuk,” ucap Gadih Cimpago yang mencoba tersenyum meski terlihat begitu lemah. “Saya hanya membantu apa yang diinginkan rakyat banyak. Lagi pula, Mantiko Sati lah yang paling banyak berandil di sini.”“Aah,” si Kuciang Ameh tersenyum. “Benar juga, engkau mengenal dia dengan nama Mantiko Sati. Tapi, jangan membuang jasamu sendiri, Gadih.”“Terima kasih, Datuk.”Si Kuciang Ameh kembali tersenyum sembari menyentuh bahu Datuk Rao. “Istirahatlah.”“Terima kasih, Datuk Masuga,” ucap Datuk Rao yang sejatinya sepuluh tahun lebih tua dari si Kuciang Ameh sendiri.“Uni-Uni,” ucap si Kuciang Ameh pula pada istri pertama dan kedua Datuk Rao. “Saya berundur diri dulu.”“Datuk,” balas keduanya dengan sama menundukkan kepala.Setelah itu, si Kuciang Ameh pun berlalu dari kamar tersebut. Membiarkan Gadih Cimpago untuk mendap
Malam ini bulan muncul di cakrawala dengan wujud sepurnanya. Sangat indah yang cahaya lembutnya itu seolah mampu menerangi sekaligus memberikan harapan yang sangat baik bagi penghuni Bumi.Namun keheningan yang memikat itu seolah tidak menjadikan langkah seseorang untuk berhenti barang sejenak dan menikmati kelembutan di atas sana terlebih dahulu.Tidak.Pria sepantaran 40 tahun dengan berpakaian panghulu mewah itu mengendap-endap di sepanjang lorong di dalam istana. Sesekali ia berhenti, merapatkan punggungnya ke dinding demi mengawasi kondisi di sekitar kalau-kalau ada yang melihat dirinya.Setelah yakin kondisi sepi dan aman bagi dirinya, pria itu kembali melangkah menuju ke satu kamar.Tidak terlihat dua pengawal yang biasanya berjaga di sana. Tapi, hal ini justru dianggap sebuah keberuntungan bagi pria tersebut. Ia menyeringai, kembali ia mengawasi keadaan sebelum melangkahkan lagi kakinya dengan perlahan.Pria 40 tahun
Berulang kali Mantiko Sati menemukan bahwa sang istri selalu menoleh ke arah belakang. ‘Ya, tentu saja ini adalah sesuatu yang berat bagi Pandan Sahalai,’ pikirnya.“Apakah engkau menyesal?”Puti Pandan Sahalai sedikit terkejut dengan pertanyaan suaminya itu. Ia tersenyum, lalu merapatkan duduknya dan menyandarkan kepalanya ke bahu sang suami.Tatapan keduanya saling bertemu.“Kalau engkau memang merasa keberatan dengan semua ini,” ujar Mantiko Sati. “Lebih baik kita kembali lagi saja.”“Tidak,” ucap Puti Pandan Sahalai. “Aku sudah berjanji padamu, Suamiku. Ke mana pun engkau pergi, maka aku akan menyertaimu.”Mantiko Sati tersenyum, ia memberanikan diri mengecup kening sang istri. Kembali tatapan mereka saling bertemu. Senyum keduanya semakin lebar, saling memuji hanya dengan tatapan yang saling menjelajah wajah masing-masing.Dan kemudian, dua b
Balai Pertemuan adalah sebuah ruangan besar yang ada di lantai terbawah di Istana Minanga. Berada di tengah-tengah, dan sekaligus merupakan ruangan paling luas di antara ruangan lainnya.Pagi itu, semua unsur yang menjadi penyokong keutuhan istana itu sendiri telah hadir di ruangan tersebut, duduk rapi di sisi kiri dan kanan, masing-masing membelakangi dinding. Sembilan Cadiak Pandai—yang sesungguhnya sekarang hanya tersisa delapan orang saja, sebab yang seorang telah dibunuh oleh Angku Mudo Bakaluang Perak ketika yang seorang itu hendak menemui si Kuciang Ameh di penjara bawah tanah.Lalu, ada Tujuh Hulubalang Kerajaan. Di antara mereka semua, hanya Datuk Rao saja yang ditemani istrinya, yakni Gadih Cimpago yang merupakan istri ketiga sang datuk. Gadih Cimpago sendiri sebelumnya juga masih berada di dalam istana tersebut.Hadir pula Datuak Nan Ampek yang merupakan perwakilan dari empat penjuru negeri Minanga. Para pemuka adat, pemimpin be
Sang ratu tiba-tiba turun dari ranjangnya, ia lantas mendekati Mantiko Sati. Dengan gerak tubuh yang memang masih terlihat lemah, Ratu Mudo berjongkok di hadapan sang pemuda, lantas membawa sang pemuda untuk kembali berdiri.Ibu Suri dan si Kuciang Ameh saling pandang dalam senyuman. Ya, sepertinya kekhawatiran sang Ibu Suri sendiri tidak terjadi.“Berdirilah, Sati,” ujar sang ratu seraya menangkup bahu sang pemuda. “Tidak pantas engkau berlutut di hadapanku.”“Paduko, s—saya…”Sang pemuda merasakan betapa jantungnya berdetak lebih cepat. Memandangi wajah jelita itu dari jarak yang sangat dekat bukanlah hal yang mudah. Terlalu membuat jengah wajah sang pemuda sendiri. Belum lagi aroma wangi yang begitu lembut dan membuai dari tubuh sang ratu. Semua itu memanggang khayalan sang pemuda dengan lebih membara lagi.“Dan,” Ratu Mudo menjulurkan tangannya, mengusap pipi sang pemuda. “Mulai
“Lalu, bagaimana keputusanmu, Sati?”Sekali lagi, Mantiko Sati memandangi wajah indah di hadapannya itu. Ia menghela napas panjang-panjang.‘Datuk Masuga benar,’ pikirnya. ‘Siapa laki-laki di dunia ini yang tidak tergoda pada kecantikan Ratu Mudo? Siapa laki-laki di dunia ini yang tak hendak menjadikan Paduko Ratu sebagai istrinya?’Tidak ada!“Entahlah,” sang pemuda rupawan mendesah halus. “Mungkin Bundo Kanduang benar, semua ini adalah takdir.”Semua orang tersenyum dan saling pandang terhadap satu sama lain, terutama sang Ratu Mudo sendiri yang sesungguhnya memang sudah terpikat pada pemuda tersebut.Selama ini, sang ratu memang berada di bawah pengaruh Teluh Pengikat Jiwa yang seolah merenggut kepribadian yang sesungguhnya dari sang ratu. Hanya saja, selama itu pula ia sesungguhnya masih bisa mengingat dengan baik—meski tidak seluruhnya—bahwa ia menaruh
Dengan masih berlutut di hadapan sang ratu, Mantiko Sati berkata, “Sebelum saya menanggapi tentang hukuman ke atas diri saya itu,” ujarnya, “izinkan saya bertanya beberapa hal terlebih dahulu.”“Silakan,” kata Ibu Suri. “Kami pasti akan menjawab semua pertanyaanmu, Buyung.”“Apakah tidak aneh,” kata sang pemuda, “seorang dari keluarga kerajaan mengambil orang biasa—seperti saya, sebagai pasangan hidupnya?”“Bagaimana menurutmu, Pandan?” tanya si Kuciang Ameh.Sang ratu tersenyum. “Kurasa tidak ada yang aneh di sana.”“Tapi, tidakkah masyarakat luas akan mengolok-olok hal ini nantinya?” ungkap Mantiko Sati. “Seorang ratu menikahi laki-laki biasa?”“Yaa, mungkin saja hal demikian akan berlaku di tengah-tengah masyarakat,” jawab sang ratu. “Tapi, kupikir itu bukan satu persoalan. Lagi pula, semua rakyat
“Sekarang engkau tahu bukan apa yang aku maksudkan?” ujar sang ratu.“Sungguh,” Mantiko Sati masih menekur dengan wajah merah menegang. “H—hamba terpaksa melakukan hal memalukan seperti itu, Paduko.”“Beritahu aku,” kata Ibu Suri. “Apa sebenarnya yang sudah terjadi?” ia melirik pula pada si Kuciang Ameh yang ia pikir pasti mengetahui sesuatu.Si Kuciang Ameh menyentuh bahu sang kakak, ia memberikan isyarat dengan gerakan matanya agar sang kakak tenang dan mendengar saja apa yang akan dilakukan sang Ratu Mudo terhadap Mantiko Sati.“Sepertinya hukumanmu semakin bertambah, Sati,” ujar Ratu Mudo. “Sudah kukatakan kau tidak perlu berhamba-hamba di hadapanku, bukan?”“I—iya, benar. Maaf,” sang pemuda masih saja menunduk dan tidak berani berdiri, tetap dalam posisi berlutut. “Akan tetapi, sungguh, saya terpaksa melakukan semua itu. Tidak ada
“Ermm, nama asli hamba, Buyung Kacinduaan, Paduko,” kembali Mantiko Sati menundukkan kepalanya.“Aku tahu,” kata Ratu Mudo. “Mak Enek Masuga sudah menjelaskan semuanya kepadaku. Juga, tentang namamu, silsilah keluargamu. Tapi, apa kau keberatan jika aku memanggilmu dengan nama Sati saja?”“T—tidak,” Mantiko Sati menggeleng cepat, persis seperti seorang bocah yang sedang dimarahi ibunya. “Sama sekali h—hamba tidak keberatan, Paduko.”“Uni lihat sendiri, kan?” ujar si Kuciang Ameh, lalu tertawa-tawa sembari menutupi mulutnya dan menggeleng-gelengkan kepala. “Persis seperti Sialang Babega.”Memang seperti itulah yang dilihat oleh Ibu Suri, hanya saja, ia tak hendak membuat sang pemuda berlama-lama dalam kondisi tegang dan gugup seperti itu.“Hentikan Masuga!” ucap Ibu Suri sedikit lantang. “Kau lihat wajah pemuda ini, merah seperti udang d
Tepat ketika sang rembulan berada di titik tertingginya, dua orang dayang mendatangi kamar di mana Mantiko Sati beristirahat. Mereka mengetuk-ngetuk pintu kamar tersebut, dan itu mengejutkan sang pemuda yang sudah terlelap sebelumnya.Setelah dipersilakan masuk, barulah kedua dayang muda mendorong pelan pintu berdaun ganda dan penuh ukiran tersebut.“Ada apa?” tanya sang pemuda setelah ia bangkit dan duduk di sisi pembaringan. “Apakah ada hal buruk yang telah terjadi?”Kedua dayang saling pandang. Masing-masing seolah meminta yang lainnya untuk menyampaikan berita yang mereka punya kepada si pemuda belia.Ya, lantaran wajah nan rupawan itu yang membuat kedua dayang muda menjadi salah tingkah. Mantiko Sati menyadari hal ini, itu bisa terlihat dari gerik tubuh keduanya yang gugup, dan wajah mereka yang memerah. Padahal, Mantiko Sati tidak sedang telanjang, ia memakai pakaian utuh.“Kamu saja!” bisi
Makan malam kali ini mungkin adalah makan malam pertama yang berlangsung dengan penuh keceriaan dan keakraban dalam kebersamaan.Sebagaimana budaya leluhur Minangkabau yakni Minanga itu sendiri, semua makanan itu dihidangkan di lantai, setiap orang pun duduk di lantai beralaskan ambal atau permadani. Dan terkhusus bagi sang Ibu Suri, ia duduk beralaskan sebuah bantal persegi.Bundo Kanduang, si Kuciang Ameh, Sembilan Cadiak Pandai, Enam Hulubalang Kerajaan, Gadih Cimpago, Mantiko Sati, si Kumbang Janti yang ditemani oleh anaknya, si Talago.Semua mereka bersantap dengan duduk bersila di lantai ruang tengah lantai dua dengan dilayani oleh sejumlah dayang yang hilir-mudik menyajikan berbagai jenis lauk-pauk dan sayur-mayur.Hanya si Kumbang Janti seorang yang duduk di kursi disebabkan kondisi kedua kaki dan tangannya yang belum sembuh. Ia disuapi oleh sang anak. Hampir semua mata memandang kagum pada si Talago yang begitu telaten menyuapi a