Setelah beberapa saat berpakaian dan merapikan rambut seadanya, Nissa keluar dari kamar dan menuruni tangga untuk menuju ke dapur. Ia penasaran dengan aroma sesuatu yang dimasak yang menusuk hidungnya hingga membuat perutnya meronta.
Dari depan pintu dapur, Nissa mendapati ada Dimas yang sudah bersiap dengan pakaian kantornya, tapi malah mengenakan apron di sana.
‘Gantengnya kok jadi makin nggak manusiawi gini sih, Dimas?’ gumamnya dalam hati sambil tersenyum.
“Mau berdiri di situ aja?” suara Dimas membuyarkan lamunan Nissa. Ia jadi melangkah maju mendekatinya.
“Kamu mau ke kantor tapi kenapa repot masak? Kenapa nggak panggil aku aja buat bikin sarapan kamu?” Nissa langsung bertanya, tapi ia melupakan sesuatu.
Dimas hanya menatapnya dengan tak acuh, “Kamu kan lebih milih tidur di kamar mandi,” jawabnya cuek dan jelas menyindir.
Nissa tercekat dan tidak bisa membantah. Tapi ia tidak ingin membah
"Ya, aku ngerti, kok. Lagian kenapa mau panggil ART? Aku bisa kok ngurusin rumah ini. Masalah kebersihan, kita bisa barengan bersihin rumah. Kalau sama-sama capek, baju kita bisa dianter ke Loundry aja. Beres, kan?" Nissa yang mengerti dan paham tabiat Dimas langsung menjelaskan pemikirannya.Dimas tersenyum senang, Nissa ternyata mengerti yang ia pikirkan."Jangan karena kamu takut aku yang nggak enak, terus kamu ngabaikan nggak nyamannya kamu sendiri. Itu salah, Dimas. Aku tau kamu masih nggak bisa nyaman sama orang asing selain orang yang kamu anggap akrab sama kamu. Jadi soal ART di sini, abaikan aja. Aku bisa ngurus rumah sendiri,""Lagian rumah ini bakalan sekotor apaan sih kalau isinya cuma kita berdua? Lagian waktu kita juga bakalan lebih banyak di luar. Kamu di kantor, aku di rumah sakit,"Dimas tersenyum sambil mengelus pipi Nissa, "Makasih, Yang. Kamu masih ingat yang begituan soal aku. Aku cuma nggak mau kamu ngerasa berat tinggal di sini, jad
“Gini aja, Ma. Kalau Mama bisa cariin aku perempuan yang sesuai sama kemauan aku. Aku bakalan ikut aturan Mama buat nikahin perempuan yang sesuai sama maunya aku itu,”[Kamu serius? Sebentar, Dimas. Mama cari buku catatan dulu!][Nah, udah. Coba bilang kamu mau perempuan kayak apaan. Biar mama cariin buat kamu kalau kamu nggak suka yang spek kayak Maya!]Nyonya Risti terdengar antusias pada ucapan Dimas.“Coba Mama cari perempuan yang rambutnya panjang sebahu tapi suka dikuncir kuda. Aku juga nggak suka perempuan yang suka dandan, aku maunya yang natural. Kalaupun dandan tapi nggak menor. Pakaiannya juga santai, suka pakai kaos atau hoody aja kalau keluar rumah. Pakai sandal teplek atau nggak cuma pakai sepatu olahraga, bukan pakai heels dan jalannya suka jinjit-jinjit,”“Aku juga suka sama perempuan yang kalau ngomong nggak dibuat-buat sok manis. Aku suka yang to the point,”“Kalau Mama bisa cari perempuan yang kayak aku mau dan dia bisa buat aku jatuh cinta, aku bakalan nikahin pere
“Aku tanya ke Mbak Nissa-nya langsung, kok. Nggak jadi gibahan dong, hehe,” Suster Nita juga terkekeh, “Mbak Nissa apa udah jadian sama Dokter Fandy? Yang buat aku kepo sekarang ini, ya karena perhatian Dokter Fandy ke adiknya Mbak Nissa itu nggak biasa banget loh, Mbak!”“Semua orang di rumah sakit ini, kan, udah pada tau kalau Dokter Fandy itu suka Mbak Nissa, jadi aku nggak mau banyak nebak dan jatuhnya malah fitnah, aku milih tanya ke Mbak Nissa-nya langsung dong!”Nissa tersenyum simpul, “Yang bilang aku jadian sama Dokter Fandy itu siapa, sih, Mbak Nita yang cantik? Kayak aku udah kebagusan banget bisa jadian sama Dokter Fandy. Hoax itu, Mbak!” Nissa menjelaskan.“Aku ke ruangan adik aku dulu ya, Mbak? Nanti kalau aku ketemu sama Dokter Fandy, aku minta beliau ketemu sama Mbak Nita buat jawab keponya Mbak Nita. Hitung-hitung ngurangi gibahan sama hoax, kan?” Nissa kembali berucap sambil terkekeh.“Ikh, Mbak Nissa bercandanya nggak asik. Nggak mungkin aku tanya langsung ke Dokter
"Bang Dimas itu sebenarnya pacar Mbak Nissa waktu SMA, tapi dia pergi ke Amerika dan tinggalin mbak aku sendirian selepas kelulusan," dengan polosnya Arul mengatakan siapa Dimas untuk Nissa."Jadi, kenapa laki-laki itu langsung tegasin kalau dia tunangan Nissa? Harusnya dia nggak begitu dong. Belum tentu Nissa mau sama dia lagi, kan?" ada penyesalan di hati Dokter Fandy karena saat itu dirinya memilih pergi tanpa mendengar ucapan Nissa dulu tentang Dimas."Mau bilang apa lagi, Dokter? Walaupun mbak aku marah dan nolak Bang Dimas, pasti Bang Dimas-nya sendiri nggak mungkin nyerah. Walau kelihatannya mbak aku nolak, tapi aku mau Dokter tau kalau sebenarnya mbak aku itu cuma cinta sama Bang Dimas aja,""Nggak ada cowok lain yang bisa gantiin Bang Dimas di hati mbak aku, Dokter. Jadi mohon maaf, kalau aku harus bilang kalau harapan Dokter Fandy itu percuma aja. Mbak aku cuma cinta sama Bang Dimas, Dokter,"
“Aku juga nggak tau dan nggak mau kayak gini, Mbak. Sakit, tau!” Arul menjawab tidak berdaya. Ia mencoba tidak menangis seperti Nissa atau kakaknya itu akan lebih menangis lagi.“Makanya jangan sok kamu! Iya, kamu memang nggak ngebut, tapi seenggaknya kalau mau jalan itu doa dulu, bukan sok jadi kayak pembalap!”“Jangan begini lagi, Rul, mbak takut banget...” Nissa kembali menangis dan memeluk adiknya dari samping dengan sangat hati-hati.“Mbak, kira-kira ibu bakalan gimana, ya, kalau lihat aku dibungkus kayak mummy gini? Aku jadi takut mikirin jantung ibu yang bakalan syok lagi,”Pertanyaan Arul membuat Nissa terdiam, dan bangkit dari pelukan sang adik, “Mbak juga bingung mau bilangin ke ibu gimana? Nggak mungkin aku diam dan terus bohongin ibu kalau kamu itu ikutan ujian di luar kota. Durhaka banget aku, kan?” Nissa bertanya miris.
“Ibu, ada yang bisa dibantu? Kenapa berdiri di depan pintu gini?” tanya seorang perawat yang baru saja keluar dari ruang rawat sebelahnya.“Saya bosen di dalam, Suster. Biasanya jam segini anak saya bawa saya keluar sebentar cari angin di teras depan. Tapi anak saya nggak bisa dateng karena ke luar kota, jadi dari tadi saya mondar-mandir aja sendirian,” jawab Nyonya Gina seadanya.“Oh, bentar ya, Ibu. Saya bawain kursi roda dulu. Nanti saya anterin ke teras depan biar Ibunya nggak bosen banget,” perawat magang itu menjawab ramah. Dia juga tidak tahu kalau Nyonya Gina itu adalah ibu dari Nissa yang merupakan rekan sejawatnya.Nyonya Gina mengangguk tersenyum dan membiarkan sang perawat pergi untuk kembali datang dengan kursi roda.“Titin, kamu mau ke mana bawa kursi roda?” Suster Nita yang sedang fokus dengan buku catatan pasien, ikut bertanya pada Suste
Nyonya Gina langsung menoleh lagi pada Nissa yang sudah sangat bingung dengan keadaan, “Kamu bohong sama ibu, ya?”Nyonya Gina berdiri dari kursi roda dan akan melangkah.“Ibu, jangan jalan dulu, infusnya ketarik ini!” Titin mencegah Nyonya Gina dan segera membenarkan posisi botol infus Nyonya Gina untuk dipegangnya sendiri.Nissa hanya menunduk merasa bersalah. Ia tidak mengejar langkah ibunya yang memasuki ruangan rawat Arul.“Mbak Nis, ini gimana?” Titin bertanya bingung.“Kamu balik aja, Tin. Biar aku yang urus ibu aku. Makasih, ya,” Nissa menjawab miris dan segera menyusul langkah ibunya.“Bu, pelan-pelan jalannya. Yang tenang, Bu,” ucap Nissa sembari ingin memegangi tubuh ibunya yang saat ini terdiam, dan tanpa mengatakan apa pun, Nyonya Gina mengempaskan tubuhnya dari pegangan tangan Nissa.
Keadaan berangsur kondusif dan cenderung tenang ketika semua yang terjadi diceritakan pada oleh Nissa dan Arul dengan perlahan. Nyonya Gina yang ditakutkan akan kembali menerima serangan jantung, malah terlihat bisa mengatasi nyeri dan pikirannya sendiri.Hatinya berdamai dengan kondisi anak-anaknya yang memang mengkhawatirkan keadaannya.Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama dan itu dimulai dari pertanyaan Nyonya Gina tentang biaya rumah sakit yang di luar nalar.“Jadi, kamu dapetin uangnya dari mana? Biaya ibu aja udah besar banget, terus Arul juga harus dioperasi kayak gini. Pasti biayanya banyak, kan? Apa tabungan kamu bisa ngatasin semuanya?” Nyonya Gina mulai iba pada putrinya yang harus selalu diandalkan jika itu tentang biaya. Tapi memang di antara mereka bertiga, gaji Nissa sebagai perawat memang yang terbesar daripada penghasilan ibunya yang hanya membuka kios sayur di pagi hari. 
Hari membosankan di rumah sakit berakhir, hingga tibalah semuanya di hari ini. Tepatnya di hotel bertaraf Internasional milik keluarga Sunny. Saat ini sedang diadakan acara yang meriah tapi itu hanya dihadiri orang-orang tertentu saja, bahkan tidak ada peliput media di sana. Pasalnya, hari ini merupakan hari bahagia Adimas dan Nissa yang sejak awal memang belum mengadakan resepsi pernikahan mereka.Para tamu yang datang tidak hanya dari kalangan pebisnis terdekat saja. Ada juga beberapa petinggi keamanan negara seperti kakek dan keluarga Rama lainnya. Dan juga, beberapa orang dengan penampilan serba hitam yang merupakan kerabat Sunny dan itu jelas bukan orang sembarangan.Tempat resepsi pernikahan dan juga para tamu undangan yang terbuat khusus ini juga atas saran dari Sunny. Itu karena setelah Nissa mengungkapkan apa yang ia dengar dari Akbar tentang identitasnya memiliki ayah yang tidak biasa. Setelah berdiskusi dengan keluarganya, Sunny menyarankan pada Adimas agar istrinya itu ber
Setelah tiba di rumah sakit, Dimas harus menjalani operasi perut dan dirawat intensif. Tiga hari pasca operasi ia dinyatakan koma, tapi syukurlah pada akhirnya ia kembali membuka mata dan bangun. Tepat satu minggu, barulah ia dibolehkan untuk berpindah ke ruang rawat biasa.Selain Jay dan Nyonya Risti, hanya Rama yang terlihat berbolak-balik berada di depan ruangannya. Dan ketika sudah dinyatakan pulih dan bisa dijenguk, Dimas melihat wajah Rama ketika menjenguknya dan itu membuat Dimas tersenyum.Rama yang saat ini sudah lebih baik dan duduk di atas kursi rodanya, duduk di samping ranjang pasien Dimas. "Lo nggak apa-apa, Ram?" tanya Dimas dengan nada pelan, bahkan senyumnya juga terlihat dipaksakan.“Nggak terbalik nih pertanyaannya? Yang lagi rebahan siapa, bro?” Rama menjawab dengan candaan, “Gimana keadaan Lo, Mas? Gue senang lihat Lo bangun. Gue takut karena udah semingguan ini Lo koma dan lemah terus.” Sambungnya mulai berucap sedih.“Gue masih kuat bercanda sama Lo, kok. Tapi
Rama dan Dimas tergeletak tidak berdaya. Keduanya meregang sakit yang tiada tara. Sementara itu Akbar yang sudah bangkit, mendekati mereka dan menambah sakitnya.Seperti manusia tanpa hati, Akbar menendang tubuh Dimas dan Rama berkali-kali seolah keduanya hanyalah sekarung sampah yang wajar ditendang keras untuk menjauh.“Nissa punya aku. Nissa milik aku. Kalian harus mati!” kalimat ini terus Akbar gumamkan dengan ekspresi senyuman yang mengerikan. Ya, itu adalah kepribadian jahatnya yang jelas muncul saat ini.Sambil tertawa dan terus menggumamkan kepemilikannya atas Nissa, Akbar tidak sedikitpun menaruh ampun pada Rama dan Dimas yang setengah mati menahan kesakitan.Ia berhenti menghajar dua pria malang itu untuk memeriksa isi senjata api di tangannya.“Hmm, pas banget pelurunya tinggal dua. Cukup buat bunuh Lo berdua, haha!” tawanya mengejek, “Tapi sebenarnya nggak pakai peluru Lo juga, sebentar lagi Lo pada mati.”“Tapi kayaknya gue nggak mau ambil resiko kalau nanti Lo berdua jad
Di area pergudangan penyimpanan barang bekas perkapalan yang sudah tidak dioperasikan lagi. Di sanalah semua orang berkumpul setelah mengikuti arah laju mobil yang membawa Akbar dan Nissa.Dengan petunjuk yang Jay berikan, Dimas dan Rama tiba di tempat tersebut.“Apa nggak berlebih banget ngepung Akbar sampai beginian?” Rama bertanya dengan ekspresi rumit, “Harusnya kita tanya dulu baik-baik, kan? Karena selama ini gue pribadi nggak punya masalah sama Akbar.” Sambungnya mengutarakan kebimbangan.“Kalau Lo cuma mau tanya doing, ngapain Lo yang heboh pakai acara minta bantuan militer juga?” Dimas mengomentari, “Lagian ngapain dia kabur waktu anggota Jay mau periksa mereka sesuai protokol keamanan? Kalau nggak punya salah, si brengsek itu ngapain lari sampai ke sini?” Dimas memberikan penilaian tepat.“Gue mau turun sekarang!” sambungnya dan langsung turun dari Lamborghini Rama, menuju kerumunan petugas keamanan gabungan di depan sana.“Jay, gimana?” Dimas langsung bertanya pada Jay saat
Akbar baru saja membantu Nissa untuk berpindah langkah dengan hati-hati. Tidak lupa juga ia membenahi jaket tebal dan penutup kepala Nissa agar tidak terkena angin pelabuhan yang berhembus kencang.“Terima kasih.” Nissa berucap singkat dan mulai berjalan. Tapi langkahnya terhenti dan ia menoleh pada Akbar yang diam di belakangnya, “kamu kenapa?” tanyanya.“Ngapain kamu balik lihat aku? Aku cuma pengen lihat punggung kamu waktu jalan. Sama kayak yang kamu lakuin ke aku tiap kali kamu tinggalin aku. Aku mau mastiin perasaan aku kali ini. Kenapa rasanya beda banget kayak gini.” Akbar menjawab dengan senyumnya yang putus asa. Entah mengapa ia merasa kacau dan bimbang, padahal ia sudah membawa Nissa sampai ke daratan ini.Nissa hanya tertegun tidak mengerti. Hatinya juga kacau saat ini. Melangkahkan kakinya lagi di daratan Pulau Jawa itu membuatnya bimbang. Ia ingin sekali kabur dan meminta tolong untuk dijauhkan dari Akbar dan kembali ke Dimas, tapi mengingat kondisinya yang tidak memungk
‘Adimas, aku baru saja mendapatkan informasi tentang kapal asing yang terdaftar dengan nama Akbar Lesmana memasuki perairan Teluk Jakarta. Diduga kapal tersebut akan menuju Tanjung Priok.’‘Anak buahku mengkonfirmasi kapal tersebut berisi kurang dari sepuluh awak di antaranya terdapat seorang wanita mengandung. Anak buahku tidak mengenal wanita itu karena wajahnya ditutupi topi berpenutup. Tapi itu sangat mencurigakan.’‘Laporan anak buahku kali ini mereka anggap penting karena sebelumnya Akbar Lesmana tidak pernah membawa wanita keluar pulau, tapi ini malah membawa wanita dengan perut yang besar. Kusarankan kau segera ke sana bagaimana pun caranya. Aku juga akan memerintahkan pasukanku yang berada di sana untuk mengintai pria berbahaya itu.’Itu adalah beberapa pesan dari Sunny, sahabat Adimas yang memiliki koneksi tidak terbatas. Selama ini para anak buah yang ditugaskannya mengintai Akbar Lesmana yang dicurigai berkaitan dengan hilangnya Nissa, tidak mendapatkan informasi apapun ka
8 bulan terlalu begitu cepat. Keadaan sudah tentu sangat banyak mengalami perubahan, baik itu di kota yang ditinggalkan Nissa, atau pulau yang ditempatinya saat ini. Yang tidak berubah hanyalah prinsip Akbar yang tetap memenjarakannya di sana.Seiring berjalannya hari dan perkembangan kehamilan Nissa, Akbar mengisi rumah mereka dengan berbagai alat kesehatan yang canggih. Seperti yang diharapkan, Nissa tidak perlu keluar pulau untuk memeriksakan kandungannya. Karena ia sudah bisa melakukan pemeriksaan ultrasonografi atau USG dengan bantuan Dokter Riza.Sementara itu yang terjadi di kota sana sungguh tidak mungkin dibayangkan oleh Nissa. Meskipun Akbar bolak-balik keluar masuk pulau, tapi ia tidak pernah menyampaikan apapun yang terjadi selama delapan bulan terakhir.Banyak hal yang sudah terjadi di sana seperti, kabar meninggalnya Nyonya Gina karena tidak sanggup menahan beban kerinduan dan kekhawatiran yang besar pada putrinya. Nyonya Gina meninggal tepat setelah empat bulan pencari
Setelah mencoba berdamai dengan keadaan yang tidak bisa ditawar pada Akbar, Nissa menyerah melawan, sekalipun rindu pada rumah dan orang-orang tersayang begitu besar, dan kemarahannya pada Akbar tidak terelakkan.Namun, yang membuatnya tidak ingin berdebat lagi adalah alasan keselamatan orang-orang yang ia sayang, ketika nanti identitas Nissa ditemukan pihak yang memburunya, bukan tidak mungkin keselamatan Dimas dan yang lain akan terancam.Nissa mulai membiasakan hidup sehat untuk bayinya. Ia berhenti mencoba lari dari penjara alam yang dibuatkan Akbar padanya. Ia tidak lagi mencoba berenang dan mengalahkan ombak tengah pantai. Jika pagi, Nissa berjalan sendirian mengelilingi pantai dan setelah lelah, ia duduk di pinggir pantai, menatap kosong ke arah laut yang batasnya tidak terlihat. Jika sudah lelah, ia masuk dan berdiam di meja belajarnya, menulis buku harian yang mungkin suatu saat akan dibaca anaknya.Sedangkan Akbar membiarkan hal itu. Semua yang dilakukan Nissa atau pun yang
Di dalam kamar Nissa, tampak Dokter Riza tengah menambahkan cairan berwarna kuning ke dalam botol infus Nissa. Di sampingnya, ada Akbar hanya diam tidak berkata-kata.Nissa yang masih lemah untuk berdebat juga hanya diam, tidak ingin bertanya pada Akbar tentang orang tuanya dulu. Tapi sekarang hati dan pikirannya merasa ingin terpuaskan dengan berbagai informasi tentang keadaannya sendiri.Saat Dokter Riza terlihat akan pergi, tangannya tertahan oleh Nissa yang memandangnya dengan sedih lalu berkata, “Tolong jelaskan tentang kandungan saya, Dokter.”Akbar yang mengerti terlihat menghela napas berat. Ia pun berpindah duduk, sedikit menggeser agar Dokter Riza duduk di sebelah Nissa.“Maafkan saya karena tidak memberitahukan semua ini pada anda sejak awal. Seperti yang saya sampaikan ke Tuan Akbar sebelumnya, hasil pemeriksaan darah menunjukkan kalau anda positif mengandung, Mbak Nissa.” Dokter Riza menerangkan keadaan yang sebenarnya, “Kira-kira kalau boleh tau, hari pertama haid terakh