“Ibu, ada yang bisa dibantu? Kenapa berdiri di depan pintu gini?” tanya seorang perawat yang baru saja keluar dari ruang rawat sebelahnya.
“Saya bosen di dalam, Suster. Biasanya jam segini anak saya bawa saya keluar sebentar cari angin di teras depan. Tapi anak saya nggak bisa dateng karena ke luar kota, jadi dari tadi saya mondar-mandir aja sendirian,” jawab Nyonya Gina seadanya.
“Oh, bentar ya, Ibu. Saya bawain kursi roda dulu. Nanti saya anterin ke teras depan biar Ibunya nggak bosen banget,” perawat magang itu menjawab ramah. Dia juga tidak tahu kalau Nyonya Gina itu adalah ibu dari Nissa yang merupakan rekan sejawatnya.
Nyonya Gina mengangguk tersenyum dan membiarkan sang perawat pergi untuk kembali datang dengan kursi roda.
“Titin, kamu mau ke mana bawa kursi roda?” Suster Nita yang sedang fokus dengan buku catatan pasien, ikut bertanya pada Suste
Nyonya Gina langsung menoleh lagi pada Nissa yang sudah sangat bingung dengan keadaan, “Kamu bohong sama ibu, ya?”Nyonya Gina berdiri dari kursi roda dan akan melangkah.“Ibu, jangan jalan dulu, infusnya ketarik ini!” Titin mencegah Nyonya Gina dan segera membenarkan posisi botol infus Nyonya Gina untuk dipegangnya sendiri.Nissa hanya menunduk merasa bersalah. Ia tidak mengejar langkah ibunya yang memasuki ruangan rawat Arul.“Mbak Nis, ini gimana?” Titin bertanya bingung.“Kamu balik aja, Tin. Biar aku yang urus ibu aku. Makasih, ya,” Nissa menjawab miris dan segera menyusul langkah ibunya.“Bu, pelan-pelan jalannya. Yang tenang, Bu,” ucap Nissa sembari ingin memegangi tubuh ibunya yang saat ini terdiam, dan tanpa mengatakan apa pun, Nyonya Gina mengempaskan tubuhnya dari pegangan tangan Nissa.
Keadaan berangsur kondusif dan cenderung tenang ketika semua yang terjadi diceritakan pada oleh Nissa dan Arul dengan perlahan. Nyonya Gina yang ditakutkan akan kembali menerima serangan jantung, malah terlihat bisa mengatasi nyeri dan pikirannya sendiri.Hatinya berdamai dengan kondisi anak-anaknya yang memang mengkhawatirkan keadaannya.Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama dan itu dimulai dari pertanyaan Nyonya Gina tentang biaya rumah sakit yang di luar nalar.“Jadi, kamu dapetin uangnya dari mana? Biaya ibu aja udah besar banget, terus Arul juga harus dioperasi kayak gini. Pasti biayanya banyak, kan? Apa tabungan kamu bisa ngatasin semuanya?” Nyonya Gina mulai iba pada putrinya yang harus selalu diandalkan jika itu tentang biaya. Tapi memang di antara mereka bertiga, gaji Nissa sebagai perawat memang yang terbesar daripada penghasilan ibunya yang hanya membuka kios sayur di pagi hari. 
"K-kamu berani ke sini?!" Nyonya Gina yang marah semakin berang mendapati Dimas ada di sana, terlebih saat Dimas menggantikan Nissa untuk ditampar pipinya.Suasana di ruangan rawat Arul semakin tidak kondusif saat Nyonya Gina yang mendengar kabar pernikahan kilat antara Nissa dan Dimas tidak dapat menahan guncangan dan membuatnya kembali menerima serangan jantung.Nyonya Gina nyaris tergeletak di lantai saat apabila Dimas tidak menangkap tubuh lemasnya lebih dulu."Ibu?!" Arul dan Nissa terlonjak bersamaan seketika."Nissa, panggil dokter sekarang!" ujar Dimas setengah membentak agar Nissa lekas tersadar dari keterkagetannya.Kurang dari empat puluh menit kemudian...Nyonya Gina yang sudah menerima penanganan cepat, kembali dibaringkan di ranjang rawatnya. Tapi atas permintaan Nissa dan Arul, akhirnya Nyonya Gina ditempatkan di ruangan yang sama dengan putran
Setelah keluar dari ruangan, Nissa langsung memprotes Dimas, "Kenapa kamu bawa aku keluar, Mas? Aku masih mau ngomong sama ibu aku!""Nggak ada yang selesai kalau keadaannya begini, Yang. Tenangin diri kamu dulu dan biarin Tante Gina tenang juga. Apa kamu mau jantung ibu kamu beraksi lebih lagi? Enggak, kan, Yang?"Mendengar penjelasan singkat Dimas, Nissa mulai menunduk.Dimas menariknya lembut agar istrinya itu menunjukkan semua kesusahan padanya. Ia memeluk Nissa erat."Aku takut ibu nggak mau maafin aku. Orang tuaku cuma ibu, Dimas..." sambil memeluk Dimas, Nissa berucap sambil menangis.Dimas mengelus kepala Nissa lembut, "Ada waktunya, Yang. Kamu yang sabar, ya?""Tapi karena ibu kamu udah tau kabar kita nikah, yang jelas aku yang bakalan ngomong ke Tante. Kamu nggak usah takut karena aku nggak bakalan buat kamu kecewa,""Dan terlep
“Dia bilang pakai sisia duitnya dan minjem temennya,” jawab Nyonya Gina lagi."Dia cuma perawat kecil, temennya cuma Mbak Novellin aja. Kalaupun minjem uang Mbak Novellin, apa duit temennya itu sebanyak ini? Operasi aku aja udah ngabisin puluhan juta, Bu?""Atau dari si dokter brengsek itu? Nggak yakin aku, Bu. Lagian aku juga denger dari Dokter Fandy kalau Mbak Nissa udah putus sama si brengsek itu,""Satu satunya pikiran yang masuk akal, ya, cuma Bang Dimas. Kalau Ibu tanya keyakinan aku ke Bang Dimas, sejuta persen pun aku berani bilang kalau nggak ada laki-laki yang sayang ke kakak aku melebihi Bang Dimas, Bu,""Dan mungkin aja ngelihat kesulitan Mbak Nissa soal kita, itu semua nggak tutup kemungkinan kalau Bang Dimas lah yang biayaain semua persoalan kita di sini demi Mbak Nissa,""Aku rasa, sekalipun Mbak Nissa nikah terpaksa karena Bang Dimas, aku yakin kalau B
Matahari tampak gembira memancarkan sinarnya, seolah hari ini semuanya akan baik-baik saja. Setidaknya itulah yang Nissa di setiap udara dan hangatnya pagi yang ia rasakan, saat merentangkan tangannya di teras kamarnya.[Tok Tok Tok]Ketukan pintu terdengar, disusul panggilan Adimas, “Yang, kamu udah bangun, kan? Sarapan dulu, yuk!”“Hmm, iya! Aku turun sekarang,” sahut Nissa dengan senyum.Sambutan uluran tangan Dimas begitu lembut menariknya berjalan dengan langkah sejajar menuju ruang makan rumah mereka. Ketika sampai di sana, bola mata Nissa bergetar haru melihat pemandangan meja makan yang indah. Tidak mewah tapi istimewa.Hanya dua piring roti lapis isi daging dengan dua gelas susu segar di atas meja. Tak lupa di tengahnya juga ada sebuah vas bunga kecil berisi mawar segar untuk mempercantik meja makan mereka.Senyum Nissa semaki
“Punya kamu, dong. Aku kan udah punya,” Dimas menjawab renyah, seakan mobil putih berpita merah muda yang masih sangat mulus itu hanyalah mobil mainan.Ya, pagi ini begitu heboh bagi Nissa karena di halaman rumah mereka terparkir sebuah mobil lain selain mobil super mahal milik Dimas.Mobil jenis Handa S660 yang tengah dibekali mesin bertenaga 660cc turbo itu memang tidak semahal mobil super mewah Dimas, tapi untuk mobil berukuran kecil dengan bobot kurang dari 900kg itu, sudah termasuk top di kelasnya. Akan tetapi, bagi Nissa itu sungguh sangat berlebihan.“Gila- ops!” Nissa langsung menyahut spontan lalu refleks menutup mulutnya, “Dimas, kamu nggak gila, kan? Jangan bercanda kelewatan gitu bisa nggak, sih?” sambungnya memprotes.“Bagian mana sih yang kamu bilang bercanda, Yang? Aku nggak bohong, ini mobil kamu. Pengirimannya mundur sehari dari jadwal. Harus
Singkat cerita, tatapan-tatapan penuh cinta di pagi hari berakhir sementara. Nissa memang membawa Dimas dengan mobil barunya, tapi bukan ke kantor besar Sagala, melainkan minta diantarkan ke Polsek Sektor 9. Tentu saja karena Dimas ingin menemui Jay sahabatnya.“Kamu yang bawa mobil aja deh ke tempatnya Jay. Kamu turunin aku di depan rumah sakit aja. Nggak enak banget kalau perawat biasa kayak aku gini bawa mobil mewah ke rumah sakit. Bikin netizen rusuh aja nanti,” Nissa mencoba bicara dengan lembut agar Dimas mengerti.“Memangnya salah, ya, kalau perawat punya mobil sendiri? Kamu kan di sana kerja, dibayar, bukan kerja suka rela. Ada dong duitnya. Lagian kamu juga istrinya Wakil Presdir Sagala, aku yang malah malu karena beliin mobil murah gini buat istri aku, Yang,” dengan mudah Dimas mematahkan protes sang istri.‘Ck, percuma,’ decak kesal Nissa dalam hati, tapi ia tetap tidak berh
Hari membosankan di rumah sakit berakhir, hingga tibalah semuanya di hari ini. Tepatnya di hotel bertaraf Internasional milik keluarga Sunny. Saat ini sedang diadakan acara yang meriah tapi itu hanya dihadiri orang-orang tertentu saja, bahkan tidak ada peliput media di sana. Pasalnya, hari ini merupakan hari bahagia Adimas dan Nissa yang sejak awal memang belum mengadakan resepsi pernikahan mereka.Para tamu yang datang tidak hanya dari kalangan pebisnis terdekat saja. Ada juga beberapa petinggi keamanan negara seperti kakek dan keluarga Rama lainnya. Dan juga, beberapa orang dengan penampilan serba hitam yang merupakan kerabat Sunny dan itu jelas bukan orang sembarangan.Tempat resepsi pernikahan dan juga para tamu undangan yang terbuat khusus ini juga atas saran dari Sunny. Itu karena setelah Nissa mengungkapkan apa yang ia dengar dari Akbar tentang identitasnya memiliki ayah yang tidak biasa. Setelah berdiskusi dengan keluarganya, Sunny menyarankan pada Adimas agar istrinya itu ber
Setelah tiba di rumah sakit, Dimas harus menjalani operasi perut dan dirawat intensif. Tiga hari pasca operasi ia dinyatakan koma, tapi syukurlah pada akhirnya ia kembali membuka mata dan bangun. Tepat satu minggu, barulah ia dibolehkan untuk berpindah ke ruang rawat biasa.Selain Jay dan Nyonya Risti, hanya Rama yang terlihat berbolak-balik berada di depan ruangannya. Dan ketika sudah dinyatakan pulih dan bisa dijenguk, Dimas melihat wajah Rama ketika menjenguknya dan itu membuat Dimas tersenyum.Rama yang saat ini sudah lebih baik dan duduk di atas kursi rodanya, duduk di samping ranjang pasien Dimas. "Lo nggak apa-apa, Ram?" tanya Dimas dengan nada pelan, bahkan senyumnya juga terlihat dipaksakan.“Nggak terbalik nih pertanyaannya? Yang lagi rebahan siapa, bro?” Rama menjawab dengan candaan, “Gimana keadaan Lo, Mas? Gue senang lihat Lo bangun. Gue takut karena udah semingguan ini Lo koma dan lemah terus.” Sambungnya mulai berucap sedih.“Gue masih kuat bercanda sama Lo, kok. Tapi
Rama dan Dimas tergeletak tidak berdaya. Keduanya meregang sakit yang tiada tara. Sementara itu Akbar yang sudah bangkit, mendekati mereka dan menambah sakitnya.Seperti manusia tanpa hati, Akbar menendang tubuh Dimas dan Rama berkali-kali seolah keduanya hanyalah sekarung sampah yang wajar ditendang keras untuk menjauh.“Nissa punya aku. Nissa milik aku. Kalian harus mati!” kalimat ini terus Akbar gumamkan dengan ekspresi senyuman yang mengerikan. Ya, itu adalah kepribadian jahatnya yang jelas muncul saat ini.Sambil tertawa dan terus menggumamkan kepemilikannya atas Nissa, Akbar tidak sedikitpun menaruh ampun pada Rama dan Dimas yang setengah mati menahan kesakitan.Ia berhenti menghajar dua pria malang itu untuk memeriksa isi senjata api di tangannya.“Hmm, pas banget pelurunya tinggal dua. Cukup buat bunuh Lo berdua, haha!” tawanya mengejek, “Tapi sebenarnya nggak pakai peluru Lo juga, sebentar lagi Lo pada mati.”“Tapi kayaknya gue nggak mau ambil resiko kalau nanti Lo berdua jad
Di area pergudangan penyimpanan barang bekas perkapalan yang sudah tidak dioperasikan lagi. Di sanalah semua orang berkumpul setelah mengikuti arah laju mobil yang membawa Akbar dan Nissa.Dengan petunjuk yang Jay berikan, Dimas dan Rama tiba di tempat tersebut.“Apa nggak berlebih banget ngepung Akbar sampai beginian?” Rama bertanya dengan ekspresi rumit, “Harusnya kita tanya dulu baik-baik, kan? Karena selama ini gue pribadi nggak punya masalah sama Akbar.” Sambungnya mengutarakan kebimbangan.“Kalau Lo cuma mau tanya doing, ngapain Lo yang heboh pakai acara minta bantuan militer juga?” Dimas mengomentari, “Lagian ngapain dia kabur waktu anggota Jay mau periksa mereka sesuai protokol keamanan? Kalau nggak punya salah, si brengsek itu ngapain lari sampai ke sini?” Dimas memberikan penilaian tepat.“Gue mau turun sekarang!” sambungnya dan langsung turun dari Lamborghini Rama, menuju kerumunan petugas keamanan gabungan di depan sana.“Jay, gimana?” Dimas langsung bertanya pada Jay saat
Akbar baru saja membantu Nissa untuk berpindah langkah dengan hati-hati. Tidak lupa juga ia membenahi jaket tebal dan penutup kepala Nissa agar tidak terkena angin pelabuhan yang berhembus kencang.“Terima kasih.” Nissa berucap singkat dan mulai berjalan. Tapi langkahnya terhenti dan ia menoleh pada Akbar yang diam di belakangnya, “kamu kenapa?” tanyanya.“Ngapain kamu balik lihat aku? Aku cuma pengen lihat punggung kamu waktu jalan. Sama kayak yang kamu lakuin ke aku tiap kali kamu tinggalin aku. Aku mau mastiin perasaan aku kali ini. Kenapa rasanya beda banget kayak gini.” Akbar menjawab dengan senyumnya yang putus asa. Entah mengapa ia merasa kacau dan bimbang, padahal ia sudah membawa Nissa sampai ke daratan ini.Nissa hanya tertegun tidak mengerti. Hatinya juga kacau saat ini. Melangkahkan kakinya lagi di daratan Pulau Jawa itu membuatnya bimbang. Ia ingin sekali kabur dan meminta tolong untuk dijauhkan dari Akbar dan kembali ke Dimas, tapi mengingat kondisinya yang tidak memungk
‘Adimas, aku baru saja mendapatkan informasi tentang kapal asing yang terdaftar dengan nama Akbar Lesmana memasuki perairan Teluk Jakarta. Diduga kapal tersebut akan menuju Tanjung Priok.’‘Anak buahku mengkonfirmasi kapal tersebut berisi kurang dari sepuluh awak di antaranya terdapat seorang wanita mengandung. Anak buahku tidak mengenal wanita itu karena wajahnya ditutupi topi berpenutup. Tapi itu sangat mencurigakan.’‘Laporan anak buahku kali ini mereka anggap penting karena sebelumnya Akbar Lesmana tidak pernah membawa wanita keluar pulau, tapi ini malah membawa wanita dengan perut yang besar. Kusarankan kau segera ke sana bagaimana pun caranya. Aku juga akan memerintahkan pasukanku yang berada di sana untuk mengintai pria berbahaya itu.’Itu adalah beberapa pesan dari Sunny, sahabat Adimas yang memiliki koneksi tidak terbatas. Selama ini para anak buah yang ditugaskannya mengintai Akbar Lesmana yang dicurigai berkaitan dengan hilangnya Nissa, tidak mendapatkan informasi apapun ka
8 bulan terlalu begitu cepat. Keadaan sudah tentu sangat banyak mengalami perubahan, baik itu di kota yang ditinggalkan Nissa, atau pulau yang ditempatinya saat ini. Yang tidak berubah hanyalah prinsip Akbar yang tetap memenjarakannya di sana.Seiring berjalannya hari dan perkembangan kehamilan Nissa, Akbar mengisi rumah mereka dengan berbagai alat kesehatan yang canggih. Seperti yang diharapkan, Nissa tidak perlu keluar pulau untuk memeriksakan kandungannya. Karena ia sudah bisa melakukan pemeriksaan ultrasonografi atau USG dengan bantuan Dokter Riza.Sementara itu yang terjadi di kota sana sungguh tidak mungkin dibayangkan oleh Nissa. Meskipun Akbar bolak-balik keluar masuk pulau, tapi ia tidak pernah menyampaikan apapun yang terjadi selama delapan bulan terakhir.Banyak hal yang sudah terjadi di sana seperti, kabar meninggalnya Nyonya Gina karena tidak sanggup menahan beban kerinduan dan kekhawatiran yang besar pada putrinya. Nyonya Gina meninggal tepat setelah empat bulan pencari
Setelah mencoba berdamai dengan keadaan yang tidak bisa ditawar pada Akbar, Nissa menyerah melawan, sekalipun rindu pada rumah dan orang-orang tersayang begitu besar, dan kemarahannya pada Akbar tidak terelakkan.Namun, yang membuatnya tidak ingin berdebat lagi adalah alasan keselamatan orang-orang yang ia sayang, ketika nanti identitas Nissa ditemukan pihak yang memburunya, bukan tidak mungkin keselamatan Dimas dan yang lain akan terancam.Nissa mulai membiasakan hidup sehat untuk bayinya. Ia berhenti mencoba lari dari penjara alam yang dibuatkan Akbar padanya. Ia tidak lagi mencoba berenang dan mengalahkan ombak tengah pantai. Jika pagi, Nissa berjalan sendirian mengelilingi pantai dan setelah lelah, ia duduk di pinggir pantai, menatap kosong ke arah laut yang batasnya tidak terlihat. Jika sudah lelah, ia masuk dan berdiam di meja belajarnya, menulis buku harian yang mungkin suatu saat akan dibaca anaknya.Sedangkan Akbar membiarkan hal itu. Semua yang dilakukan Nissa atau pun yang
Di dalam kamar Nissa, tampak Dokter Riza tengah menambahkan cairan berwarna kuning ke dalam botol infus Nissa. Di sampingnya, ada Akbar hanya diam tidak berkata-kata.Nissa yang masih lemah untuk berdebat juga hanya diam, tidak ingin bertanya pada Akbar tentang orang tuanya dulu. Tapi sekarang hati dan pikirannya merasa ingin terpuaskan dengan berbagai informasi tentang keadaannya sendiri.Saat Dokter Riza terlihat akan pergi, tangannya tertahan oleh Nissa yang memandangnya dengan sedih lalu berkata, “Tolong jelaskan tentang kandungan saya, Dokter.”Akbar yang mengerti terlihat menghela napas berat. Ia pun berpindah duduk, sedikit menggeser agar Dokter Riza duduk di sebelah Nissa.“Maafkan saya karena tidak memberitahukan semua ini pada anda sejak awal. Seperti yang saya sampaikan ke Tuan Akbar sebelumnya, hasil pemeriksaan darah menunjukkan kalau anda positif mengandung, Mbak Nissa.” Dokter Riza menerangkan keadaan yang sebenarnya, “Kira-kira kalau boleh tau, hari pertama haid terakh