"Apakah tanggung jawab itu akan membuatku kehilangan kamu?" "Apa kamu tidak bisa menerimaku jika benar remaja itu anakku?" Aku terdiam. Sulit sekali untuk menjawab. Jujur masa lalu itu seperti tinta hitam yang menetes di atas kain putih. Meski sudah berulang kali dicuci bekas nodanya tetap ada. "Aku memang salah, Dek. Tapi aku sudah bertobat. Tolong beri aku kesempatan," pintanya memelas.Jujur, hatiku terenyuh, tak tega melihatnya semelas itu. Namun kecewa itu masih begitu dalam. Bertemu kembali dengan wanita itu seperti mengulik luka lama yang belum sepenuhnya sembuh."Dek, Aku mohon...." Tangannya menyentuh kulit punggung tanganku dan reflek aku tepis kasar. Tanpa kuduga, Kak Shaka berjingkat kaget sampai terduduk di lantai. "Aku salah, tolong maafkan aku, jangan.... jangan menyakiti dirimu sendiri!!!!....." ucapnya dengan tangan dan kaki yang gemetaran. Tatapan matanya kosong seperti orang kerasukan. Dengan wajah pucat pria itu beringsut mundur sampai menabrak dinding. "Pukul
Keesokan harinya kami kembali ke panti asuhan untuk mendapatkan informasi tentang Gracia. Pada ibu kepala yayasan kami bertanya. Entah kebetulan atau tidak tapi dari beliau kami mendapatkan informasi jika sudah sejak bertahun yang lalu keluarga Gracia telah menjadi penyumbang tetap panti itu. Tak hanya itu, katanya Gracia juga sudah beberapa kali mengadopsi anak dari panti asuhan itu untuk disekolahkan keluar negeri. Dan dari wanita setengah baya itu juga kami mendapatkan nomor telepon Gracia. "Kami teman satu sekolah. Kemarin kamu tidak sempat meminta nomor telponnya," Alasan yang kami berikan. "Oh,.... baiklah. Ini silahkan tulis nomornya." Wanita itu mengulurkan ponselnya ke depan kami untuk menunjukkan nomer wanita itu. Dua hari setelahnya, Kak Shaka menghubungi Gracia dan meminta waktu untuk bertemu. Skak pulang dari mengajar Kak Shaka terus membujukku untuk menemui wanita itu. Tapi sekali lagi aku menolak. "Takutnya kamu nanti malah salah faham lo, Dek. Kalau aku sendiri ya
"Bagaimana jika benar dia anakmu?" Sontak aku mengangkat wajahku, seperti tersengat listrik, aku juga cukup terkejut. Meski sudah menyiapkan diri namun tetap saja ada yang tercubit didalam sana. Mataku tak lepas dari sosok pria yang saat ini sedang tersenyum sinis. "Aku tidak percaya." Suara Kak Shaka tegas namun tetap tenang dengan satu alisnya terangkat. "Kamu bertanya, ya aku jawab. Kenapa sekarang kamu malah tak percaya?" balas Gracia, entah seperti apa ekspresi wajahnya karena duduknya membelakangi ku. "Kita sudah sama-sama dewasa. Jadi tak perlu mengarang cerita seperti dulu." Kembali Kak Shaka membuka suara. "Dulu memang aku berbohong, tapi sekarang aku jujur.""Kalau begitu kita tes DNA," tantang Kak Shaka. "Jika aku tak mau?""Artinya kamu bohong," Gracia tertawa, seolah ucapan Kak Shaka adalah lelucon. Hampir lima menit sampai wanita itu baru berhenti tertawa. "Aneh sekali, kamu sendiri yang meminta bertemu dan bertanya tentang anak itu. Dijawab tak percaya malah min
"Gracia sengaja menyuruh Tiara untuk membawamu ke rumahnya supaya kamu melihat perbuatan nista itu.""Selama ini Tiara menjual informasi tentang kamu ke Gracia." Ibarat petir semua penjelasan Kak Shaka mengejutkanku dan membuatku tercengang. "Sejak awal Tiara tidak menganggap kamu sahabat, Dek. Wanita itu hanya memanfaatkan kamu." Tak mampu untuk berbicara, aku hanya mengerjap. "Dia musuh yang berkedok sahabat. Dia iri dengan semua yang kamu miliki." Kembali kata demi kata yang keluar dari mulut Kak Shaka membuat lidahku kelu. Sakit, jangan ditanya! Hatiku sakit sekali mendengar semua penjelasan itu. Nyesek dan perih hatiku mendapati fakta yang tidak pernah sekalipun aku pikirkan. "Dia juga pernah menemuiku sebelum kita menikah. Bukan mengkhawatirkan kamu, tapi dia memintaku untuk membatalkan niatku untuk menikahimu." Tidak, itu tidak benar. Aku tidak percaya Tiara setega itu padaku. Kami sahabat bagaimana bisa dia mengkhianati aku hanya demi uang. "Aku mendapatkan semua info it
Sampai rumah, mengunci pagar dan pintu rumah. Masuk kamar dan langsung menumpahkan segala rasa sakit hatiku. Entah berapa lama ku menangis sampai ketiduran. Pukul dua siang aku terbangun. Beruntungnya hari ini Qiara dijemput Mas Aska. "Besok aku pulang setengah dua belas. Biar aku saja yang menjemput Qiara sekalian mengajaknya ke rumah Papa dan Mama, tentu saja jika kamu mengizinkan." Permintaan Mas Aska semalam. Tentu saja aku mengizinkan, seperti kesepakatan kami. Dan aku bersyukur akhirnya kami bisa berdamai, meski Mas Zamar masih belum bisa memaafkan Mas Aska. Kakakku itu masih sakit hati dengan pengkhianatan Mas Aska. Dengan sedikit malas aku beranjak bangun dan turun ke bawah. Sebentar lagi Kak Shaka pulang, tidak pantas aku sebagian istri malah enak-enak tiduran dikamar. Kubuatkan secangkir kopi dan pisang goreng untuk cemilan. Dua puluh menit berkutat dengan kompor dan penggorengan, jadilah sepiring pisang goreng hangat lengkap dengan secangkir kopi. Selesai aku di dapur a
"Minum obatnya," Perintah Kak Shaka memberiku sebutir paracetamol yang baru dibelinya di apotek setengah jam yang lalu. Karena aku menolak dibawa ke dokter, Kak Shaka terpaksa menurut tapi tetap meminta meminum obat yang dibelinya. Pria itu langsung pergi ke apotek untuk membeli obat perdana panas. "Tadi aku sekalian beli obat, batuk, pilek dan obat sakit gigi untuk persediaan. Maaf, karena sudah lama hidup sendiri jadi aku kurang memperhatikan persedian obat di rumah ini." Katanya menyesal. Tadi dia sempat kebingungan karena kotak obatnya hanya berisi alkohol dan betadine saja. Tak ada satu pun obat untuk keadaan darurat. "Tadi sempat beli juga minyak kayu putih dan plester juga Vikcs Vaporub." Sambungnya sembari mengeluarkan isi kantong plastik yang dibawanya. Aku sedikit mengangkat kepalaku untuk melihat apa saja yang dibelinya. Cukup kaget, entah berapa item yang sudah dibelinya. Ada banyak barang yang tidak dia sebutkan. "Banyak banget, Kak." Entah berapa rupiah yang dikelu
"Jangan terus, memikirkan orang lain?" ucap Kak Shaka yang membuatku terlonjak kaget. Pria itu berjalan keluar dari kamar mandi. Wajahnya nampak segar sehabis mandi. Tadi sebelum mandi dia memintaku untuk tidur setelah minum obat. Sejak tadi aku sudah berusaha untuk memejamkan mata tapi entah rasanya begitu sulitnya untuk tidur. Tak menjawab aku hanya menghela nafas. Merunduk, Satu-satunya halnyang bisa kulakukan. "Tiara itu orang lain. Meski Adek menganggapnya tapi dia tidak. Jadi berhenti memikirkan orang itu." Katanya lagi dan tiba-tiba sudah berada di depanku. Naik keatas ranjang, duduk bersandar di sebelahku. "Sebenarnya apa yang sudah Tiara lakukan sampai kamu jadi sakit begini?" tanya dengan tangan merangkul dan menarikku dalam pelukannya. "Dia bilang aku yang egois, sok polos, sombong dan egois. Dan dia juga bilang kalau dia..,.. " Aku mendongak untuk melihat wajah Kak Shaka. "Menyukai Kakak," sambungku dan pria itu malah mengecup hidungku sontak saja aku mengerjab karena
Seperti yang direncanakan resepsi pernikahan kami akan di selenggarakan di sebuah gedung di pusat kota. Tidak banyak tamu yang di undang. Hanya berkisar di angka dua ratusan. Tapi demi kenyamanan Kak Shaka memilih untuk mengadakan resepsinya di gedung saja. Awalnya aku kira suamiku itu tidak punya banyak teman di kota ini, tapi ternyata aku salah. Seratus lebih undangan merupakan jatah tamu yang Kak Shaka minta. Teman sekolah, teman kerja dan keluarga jauhnya juga datang. Tak seperti saat akad nikah, kali ini Mas Arsya Kakak kandung suamiku akan datang juga dengan dengan kerabat dari luar pulau. Tidak hanya tiket pesawat hotel juga ditanggung oleh Kak Shaka. Aku tak berani bertanya berapa banyak uang yang dia keluarkan. Disamping itu uang pribadinya, aku juga merasa tak punya hak untuk ikut campur. Untuk tamu dangan dari pihakku hanya kisaran puluhan. Ya, karena ini merupakan pernikahan kedua ku. Ada sedikit rasa malu untuk mengundang kedua kalinya. Jadi hanya kerabat dekat dan te
[Kha, Nafisah mengalami kontraksi. Sepertinya akan melahirkan. Sekarang kami dalam perjalanan menuju ke rumah sakit Harapan Bunda. Kamu cepatlah menyusul.]Pesan dari Sezha yang seketika membuat Shaka panik. Dengan tangan gemetaran dia membereskan buku-bukunya. "Karena saya ada keperluan, tolong kalian kerjakan tugas harian halaman selanjutnya."Segera dia berlari keluar kelas setelah mengucapkan salam. Ruang guru yang ditujunya. Meminta tolong pada piket untuk menggantikan dirinya tiga jam ke depan. "Ada apa?" Geri yang baru masuk ruang guru langsung mengerutkan keningnya. Ada yang tak biasa dengan rekan kerjanya yang satu ini. "Istriku akan melahirkan," jawab Shaka tanpa menoleh ke lawan bicaranya. Yang nnya sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam ransel miliknya. "Katanya masih seminggu lagi, kok jadi sekarang. Dokter gak kompeten," gerutu Shaka sambil bergumam. Geri yang berdiri tak jauh darinya hanya mengulas senyum tipis, seolah melihat dirinya sendiri setahun yang lalu.
Kabar bahagia tidak hanya datang dari keluarga kecil Shaka dan Nafisah. Dari luar pulau pun terdengar kabar yang tak kalah menggembirakan. Kabar dari dua sejoli yang terikat karena keterpaksaan. Arsya dan Kirana sudah mendaftarkan pernikahan mereka ke KUA setempat. Ternyata dalam hitungan bulan cinta itu akhirnya tumbuh di hati keduanya. Pernikahan yang terjadi karena keterpaksaan itu pun kini sudah sah di mata hukum dan agama. "Kehamilan Nafisah benar-benar membawa banyak keberkahan. Banyak berita bahagia setelah hadirnya calon anakmu itu, Kha." komentar Zamar sesat setelah Shaka memberitahu tentang keadaan perkebunan yang semakin baik juga tentang hubungan Arsya dengan Kirana. "Alhamdulillah, Mas benar. Banyak hal baik setelah kehadirannya. Aku benar-benar bersyukur atas anugrah yang Alloh berikan." Shaka pun tak henti-hentinya mengucap syukur atas anugrah yang tidak pernah ia sangka akan diberikan dalam waktu secepat ini. Saat menikahi Nafisah, pria itu tak pernah berani walau
"Kayaknya kamu hamil deh, Naf." Seorang wanita cantik dengan hijab hijau toska berjalan masuk dengan seorang anak kecil di sebelahnya. "Mbak Sezha." Nafisah sedikit kaget melihat kakak iparnya yang tiba-tiba muncul. "Pintu gerbangnya gak dikunci. Nutupnya juga gak bener, jadi kami bisa langsung masuk." Sezha langsung menjelaskan tanpa ditanya. "Tapi aku sudah menguncinya kok," sahut Aydan dengan menepuk dadanya. "Terima kasih Aydan." Shaka mengacungkan dua jempolnya. "Sepertinya istri kamu itu hamil, Ka." Ujar Sezha mengulangi ucapannya tadi. "Beneran, Mbak" tanya Shaka dengan mata berbinar. "Dilihat dari tanda-tandanya sih gitu." Wanita berkulit putih bersih itu meletakkan tasnya diatas meja. Setelahnya memanggil Qiara yang sejak tadi memegangi tangan Bundanya. "Main sama Kak Aydan, ya. Bunda gak papa, sayang...." bujuk Sezha pada gadis kecil yang menampilkan raut wajah sedih. "Tadi Bunda muntah-muntah," jawab Qiara. Mata gadis kecil itu sudah mengembun. Nafisah mengurai s
"Hidup tak selamanya tentang kebahagiaan. Namun terkadang hidup itu tentang menghadapi masalah dengan senyuman dan semangat. Hidup tidak akan lebih baik tanpa masalah tapi akan lebih bijak setelah mengalami banyak ujian."Hari terus bergulir tanpa terasa sudah lima bulan berlalu setelah kembali Shaka dan Nafisah ke Jakarta. Hari-hari mereka lalui selayaknya pasangan pada umumnya. Kadang bermesraan tak jarnah juga berdebat yang diakhiri dengan pengakuan salah dari Shaka. Seminggu sekali Aska akan menjemput Qiara untuk menginap di apartemen laki-laki itu dan satu bulan sekali berkunjung ke rumah kakek dan neneknya yang ada di luar kota. Namun tentu saja mengikuti jadwal kegiatan Qiara yang semakin besar semakin padat dengan Olimpiade dan eskul sekolahnya. "Ya Alloh.... Kak Shaka, kan sudah dibilangin kalah habis mandi handuknya jangan ditaruh di kasur. Tuh.... ada jemuran kecil di balkon," omel Nafisah begitu masuk kamar. Wanita itu baru saja dari kamar putrinya, memastikan gadis kec
Sudah di putuskan, Shaka dan Nafisah akan kembali ke Jakarta segera setelah kepulangan Arsya bersama Kirana. Tak mau menunggu lama satu haribsetalah kepulangan Arsya, suami Nafisah itu pun segera pamit. Sebelum pergi Shaka menyerahkan segala urusan perkebunan kembali pada Arsya. Tak lupa Shaka juga menceritakan tentang tawaran keluarga Gracia yang bersedia menanggung segala kerugian atas perbuatan Gracia dan Hartama yang sengaja berniat merusak citra baik hasil perkebunan milik mereka. "Aku sudah melaporkannya dan wanita itu sudah beberapa kali dipanggil ke kantor polisi namun masih sebagai saksi. Untuk kelanjutannya terserah kamu," ujar Shaka di malam sebelum keberangkatannya. "Silahkan, kamu putuskan sendiri apa yang menurutmu baik untuk perkebunan ini. Mulai hari perkebunan ini sepenuhnya tanggung jawabmu dan aku tidak akan ikut campur lagi. Tapi, jika boleh aku memberi saran, jangan pernah membukakan pintu untuk kucing yang pernah mencuri ikan di rumahmu." Tak bisa di pungkiri
Kak Shaka berdiri membelakangi pintu dengan tatapan mengarah keluar jendela. Pelan aku mendekatinya. Kulihat rahangnya mengeras dengan otot-otot leher menonjol, ekspresi marah yang jarang sekali kulihat. "Mereka sudah pergi," beritahuku namun sampai beberapa menit tak mendapat respon darinya. Mungkin Kak Shaka merasa kesal padaku. Kurasa dia merasa aku membela Gracia. "Gracia meminta maaf. Dia menyesal sudah membuat kekacauan dan merugikan banyak pihak. Katanya dia akan menggangu rugi semuanya." Kusampaikan pesan dari Gracia. Sempat tak percaya namun itulah kebenarannya. Wanita sombong itu benar-benar meminta maaf. Entah tikus atau tidak, yang pasti dia tidak mau keluarga besarnya ikut menanggung hasil perbuatannya. Aku beralih ke sofa tak jauh dari jendela. Dari posisiku saat ini terlihat jelas ekspresi wajah Kak Shaka. Wajahnya memerah dengan dada naik turun. "Semua yang terjadi tentu tak bisa dikembalikan seperti sedia kala. Tapi dengan marah dan menyimpan dendam juga tak bisa
Pov Nafisah."Kesepakatan?" Tak hanya Kak Shaka, aku pun sempat tertegun beberapa saat ketika mendengar ucapan Gracia. Wanita berpakaiannya seksi itu dengan gamblang mengutarakan tujuannya datang menemui kami. Tak ada basa-basi bahkan tanpa membiarkan kami duduk atau sekedar bersalaman. Begitu tak sopannya wanita itu sebagai tamu. Dari ekor mataku, kulihat Kak Shaka tersenyum tipis. Genggamannya yang sempat terlepas kembali ia kaitkan jemarinya pada jemariku. Tangannya terasa dingin, sedingin tatapannya pada ketiga orang tamu yang datang hari ini. "Kesepakatan katamu?" Ulang Kak Shaka lalu tersenyum remeh. "Iya, sebuah kesepakatan yang menguntungkan untukmu." Gracia dengan percaya dirinya. "Ck.... percaya diri sekali," gumam Kak Shaka masih dengan senyum tipisnya. Namun sedetik kemudian tatapan itu berubah sinis tat kala netra hitamnya mengarah pada pria paruh baya yang berdiri tepat di samping Gracia. Pria itu tampak sudah berumur lebih dari 60 tahun, dengan beberapa uban tersel
Nafisah menghela nafas panjang, berbagai pikiran berkecamuk dalam pikirannya. "Menurut Kak Shaka, apa seharusnya aku menyerahkan Qiara pada keluarga aslinya?" Shaka tersentak, tubuhnya kaku karena kaget mendengar ucapan istrinya itu. Matanya melebar dengan bibir terbuka. "Hah....."Entah pikiran dari mana tiba-tiba saja Nafisah ingin menyerahkan Qiara pada keluarga mantan suaminya. Apa dia sudah lupa sekeras apa dirinya memperjuangkan hak asuh gadis kecil itu. "Bukan aku tak sayang lagi padanya. Hanya saja....." Nafisah menunduk tak ingin melanjutkan kalimatnya. Tak ingin suasana menjadi tak nyaman. Helaan nafas terdengar dari mulut Shaka. Meski Nafisah tak mau melanjutkan kalimatnya namun Shaka tahu betul semua masalah karena kehadirannya di sisi Nafisah. "Maaf, jika situasinya jadi memburuk. Aku tak pernah berpikir wanita itu akan muncul lagi. Setelah sekian lama menghilang dan kata-kata Shaka yang membuatku yakin dia tidak akan muncul lagi untuk mengganggu kita." Pelan, Shaka m
Apa yang dilakukan Gracia sangat berdampak pada kepercayaan perusahaan yng selama ini menggantungkan bahan utama produksinya dari perkebunannya milik Shaka. Kwalitas yang buruk membuat banyak perusahaan komplain. Tak sedikit juga yang memutuskan untuk tidak lagi melanjutkan kerja sama dikarenakan selama ini keluhannya tidak pernah mendapatkan respon. Dan itu semua ulah Bimo juga beberapa karyawan yang tidak puas dengan gaji mereka sehingga dengan sadar menerimanya uang dari Gracia dan mengkhianati kepercayaan Arsya. Saat ini Shaka sedang berusaha memperbaiki keadaan. Pemasukan yang menipis dan banyaknya komplain mengharuskannya membayar ganti rugi. Tak mengapa jika hanya minta ganti rugi dan tetap melanjutkan hubungan kerja sama. Rugi sedikit asalkan tetap berjalan, itu sudah merupakan keberuntungan bagi Shaka. Sudah seminggu ini Shaka berkeliling dari perusahaan satu ke perusahaan yang lain untuk meminta maaf dan meminta kesempatan kedua untuk tetap menjadi pemasok kelapa sawit bag