"Aku harap kamu mengizinkan aku untuk antar jemput Qiara. Aku juga ingin satu hari dalam satu bulan aku bisa membawa Qiara untuk jalan-jalan. Dan itu juga berlaku untukmu jika hak asuh itu jatuh padaku. Dan untuk masalah status Qiara harus kita perjelas." Tak langsung menjawab aku merenungkan sejenak setiap kata yang Mas Aska ucapkan. Hampir semua yang dia katakan aku juga setuju. Namun permintaan terakhirnya sedikit ambigu. "Maksud memperjelas status Qiara itu seperti apa?" tanyaku menatap pria yang kini duduk sambil menyandarkan punggungnya. "Merubah semua identitas Qiara sesuai dengan akta aslinya. Mulai dari rapot, ijazah dan juga kartu keluarga. Semua yang mencantumkan nama kita sebagai orang tua Qiara harus diganti dengan nama almarhum kakakku." "Loh, kalau dirubah semua berarti Qiara tidak masuk dalam kartu keluargaku dong?" protesku. "Qiara akan ikut kartu keluarga Papa dan Mama." "Gak bisa," "Kali ini Aska benar." Mas Zamar menyahut. "Mereka lebih berhak atas Qiara. Ka
"Aku bersumpah, sekalipun aku tidak pernah menyukai Tiara. Tidak dulu tidak juga sekarang," jelas Kak Shaka tanpa kuminta dengan mimik panik. Pria yang sejak tadi menggenggam tanganku itu semakin mengeratkan genggamannya. Ada yang menghangat didalam sana melihatnya begitu takut jika aku akan salah faham. "Ck..... sebenar apa sih yang kamu inginkan, Aska?Kompak aku dan Kak Shaka menoleh. "Kenapa membahas hal yang tidak penting?" Mas Zamar yang bicara, rautnya sudah memperlihatkan rasa kesal yang sudah menumpuk hingga membuat wajahnya yang tampan jadi menyeramkan. "Jangan salah faham Mas, saya hanya ingin Nafisah berhati-hati saja. Nafisah sangat polos, takutnya dia kembali terluka." "Terima kasih untuk perhatianmu. Setelah semua yang terjadi InsyaAllah Nafisah sudah bisa menjaga diri. pengkhianatan yang di alamainya jauh lebih buruk dari sekedar dikhianati teman." Mas Zamar sepertinya belum bisa berdamai dengan Mas Aska, kata-katanya penuh sindiran. Siapapun yang melihat ekspresi M
Sesuai jadwal hari ini sidang adalah sidang putusan. Setelah hampir satu bulan bergelut dengan masalah sidang kini akhirnya akan segera berakhir dengan keputusan yang kami aku harap terbaik untuk semua.Tadi pagi aku sudah menelpon Mbaak Sezha dan meminta tolong untuk nanti menjemput Qiara dan membawanya pulang ke rumahnya sampai aku datang menjemput setelah pulang dari pengadilan. Kak Shaka tetap berangkat mengajar tapi dia akan meminta izin keluar dan akan kembali setelah jam makan siang. Awalnya aku sudah menolaknya ikut ke pengadilan. Namun seperti biasa, pri bertubuh jakung itu sangat keras kepala. "Kewajiban seorang guru tidak bisa aku tinggalkan tapi menjadi kekuatan untuk istriku juga sebuah kewajiban. Aku akan melakukan keduanya dengan baik." Katanya untuk semalam ketika aku menolaknya untuk menemaniku datang ke sidang terakhir. "Besok aku akan tukar jam dengan Rico, jadi bisa tetap menemanimu tanpa mengabaikan tugasku sebagai guru." Aku pun setuju setelah mendengar penjel
Seperti niatku kemarin, hari ini dengan dibantu mbak Sezha aku sibuk di dapur membuat kue dan nasi kuning untuk dibagikan ke tetangga dan untuk dibagikan ke anak yatim yang ada di panti asuhan dekat sekolah Qiara. "Naf, yang buat tetangga berapa kotak?" tanya Mbak Sezha yang sibuk menghitung kotakan nasi dan sbak box yang baru selesai di isinya. Aku menghentikan kegiatanku mengisi amplop yang akan diserahkan ke panti asuhan. Kuarahkan pandanganku pada kotakan yang sudah di susun rapi oleh Mabk Sezha itu. "Dua puluh dua Mbak," "Loh satu gang ini cuma 22?" "Iya, yang sudah ditempatin cuma 22 aja, sisanya masih kosong.""Oh.." Tak terasa sambil berbincang pekerjaan pun selesai. Bersama Mbak Sezha aku membagikan makanan pada tetangga satu gang, termasuk Vania yang kebetulan baru pulang. Tanpa berkata apa-apa aku menyerahkan makanan yang kubawa pada wanita yang masih mengenakan setelan kerja. Kemeja dengan blazer dan sepan selutut. Fashionable itulah Vania, pantas saja Mas Aska kepin
Dengan kaki yang gemetaran aku berjalan keluar gerbang. Qiara berpegangan erat pada leherku, takut jatuh. Rasa mual semakin menjadi, perut serasa diaduk-aduk dan kepalaku pusing. Terpaksa aku berhenti dan menurunkan Qiara. "Huek.... huek...." Sambi berpegangan pagar aku berjongkok memuntahkan isi perutku. "Naf.... Kamu gak papa?" Mbak Sezha menyusul bersama Aydan. Tak kuhiraukan, mataku menjelajah ke jalanan mencari taksi atau ojek online yang biasanya mangkal di warung kopi dan pinggir jalan. Namun nihil, tak ada satu pun, mungkin karena ini di pinggiran kota makanya tak banyak ojek online yang mangkal. Segerakan kubuka aplikasi taksi online, mencari yang posisi terdekat setelahnya aku memesan satu. "Kamu kamu gak papa kan?" Aku mengangguk pertanyaan Mbak Sezha meski tak menoleh. "Dek," panggil Kak Shaka. Kulirik pria itu, entah dari mana saja dia, kenapa baru muncul. "Kita pulang, ya!" ucapnya perlahan mengangkat tangannya hendak menyentuhku.Melihat tangan dan wajah itu memb
"Apakah tanggung jawab itu akan membuatku kehilangan kamu?" "Apa kamu tidak bisa menerimaku jika benar remaja itu anakku?" Aku terdiam. Sulit sekali untuk menjawab. Jujur masa lalu itu seperti tinta hitam yang menetes di atas kain putih. Meski sudah berulang kali dicuci bekas nodanya tetap ada. "Aku memang salah, Dek. Tapi aku sudah bertobat. Tolong beri aku kesempatan," pintanya memelas.Jujur, hatiku terenyuh, tak tega melihatnya semelas itu. Namun kecewa itu masih begitu dalam. Bertemu kembali dengan wanita itu seperti mengulik luka lama yang belum sepenuhnya sembuh."Dek, Aku mohon...." Tangannya menyentuh kulit punggung tanganku dan reflek aku tepis kasar. Tanpa kuduga, Kak Shaka berjingkat kaget sampai terduduk di lantai. "Aku salah, tolong maafkan aku, jangan.... jangan menyakiti dirimu sendiri!!!!....." ucapnya dengan tangan dan kaki yang gemetaran. Tatapan matanya kosong seperti orang kerasukan. Dengan wajah pucat pria itu beringsut mundur sampai menabrak dinding. "Pukul
Keesokan harinya kami kembali ke panti asuhan untuk mendapatkan informasi tentang Gracia. Pada ibu kepala yayasan kami bertanya. Entah kebetulan atau tidak tapi dari beliau kami mendapatkan informasi jika sudah sejak bertahun yang lalu keluarga Gracia telah menjadi penyumbang tetap panti itu. Tak hanya itu, katanya Gracia juga sudah beberapa kali mengadopsi anak dari panti asuhan itu untuk disekolahkan keluar negeri. Dan dari wanita setengah baya itu juga kami mendapatkan nomor telepon Gracia. "Kami teman satu sekolah. Kemarin kamu tidak sempat meminta nomor telponnya," Alasan yang kami berikan. "Oh,.... baiklah. Ini silahkan tulis nomornya." Wanita itu mengulurkan ponselnya ke depan kami untuk menunjukkan nomer wanita itu. Dua hari setelahnya, Kak Shaka menghubungi Gracia dan meminta waktu untuk bertemu. Skak pulang dari mengajar Kak Shaka terus membujukku untuk menemui wanita itu. Tapi sekali lagi aku menolak. "Takutnya kamu nanti malah salah faham lo, Dek. Kalau aku sendiri ya
"Bagaimana jika benar dia anakmu?" Sontak aku mengangkat wajahku, seperti tersengat listrik, aku juga cukup terkejut. Meski sudah menyiapkan diri namun tetap saja ada yang tercubit didalam sana. Mataku tak lepas dari sosok pria yang saat ini sedang tersenyum sinis. "Aku tidak percaya." Suara Kak Shaka tegas namun tetap tenang dengan satu alisnya terangkat. "Kamu bertanya, ya aku jawab. Kenapa sekarang kamu malah tak percaya?" balas Gracia, entah seperti apa ekspresi wajahnya karena duduknya membelakangi ku. "Kita sudah sama-sama dewasa. Jadi tak perlu mengarang cerita seperti dulu." Kembali Kak Shaka membuka suara. "Dulu memang aku berbohong, tapi sekarang aku jujur.""Kalau begitu kita tes DNA," tantang Kak Shaka. "Jika aku tak mau?""Artinya kamu bohong," Gracia tertawa, seolah ucapan Kak Shaka adalah lelucon. Hampir lima menit sampai wanita itu baru berhenti tertawa. "Aneh sekali, kamu sendiri yang meminta bertemu dan bertanya tentang anak itu. Dijawab tak percaya malah min