Pov Nafisah
@Mas Aska.[Mas pulang jam berapa?][Hari ini lembur? ]Sudah 30 menit pesan yang ku kirim ke Mas Aska tidak juga dibalasnya. Apa dia begitu sibuknya sampai-sampai membaca pesanku saja tidak ada waktu. Sejak tadi sudah centang dua tapi tak kunjung berubah biru.Sudah dua lebih dari bulan setiap hari Mas Aska selalu pulang malam. Tidak seperti bulan-bulan sebelumnya. Biasanya jika memang harus lembur hanya hari senin sampai jumat saja. Tapi dua bulan ini hari sabtu dia juga pulang malam, bahkan terkadang hari minggu juga masuk kerja.Meski begitu jatah bulanan yang dia berikan tetap sama, tidak ada tambahan uang lembur. Kalau di tanya, pasti jawabnya "Yang lembur kan aku, kok kamu yang minta tambahan?"Terkadang aku merasa ada yang aneh dengan sikap Mas Aska. Entah sejak kapan dia mengganti password ponselnya? Sudah lebih dari sebulan ini aku tidak bisa membuka ponselnya. Saat aku meminta kode password ponselnya, kata Mas Aska sekarang ingin pakai mode sidik jari.Kalau sudah begitu aku bisa apa? Mau tidak mau aku harus menerimanya. Kalau memaksa pada akhirnya hanya akan ribut.Alasan demi alasan membuatku jadi berpikir buruk. Jujur saja, sebagai istri aku mulai mencurigai perangai berbeda suamiku itu.Belum lagi setiap kali pulang kerja, aku seperti mencium parfum asing dari kemeja kerja Mas Aska. Aroma khas parfum perempuan. Aromanya sama dengan aroma yang sering tercium ketika aku mengambil tas kerja atau barang Mas Aska yang ketinggalan di dalam mobil.Sepertinya memang ada yang harus aku konfirmasi apalagi tadi siang saat aku menjemput Azqiara pulang sekolah, tanpa sengaja aku bertemu dengan Dika teman kerja Mas Aska. Katanya, Dia baru pulang kerja sekalian jemput putrinya yang pulang sekolah.Aku sempat tanya apakah Mas Aska lembur? "Tidak ada karyawan yang lembur bulan ini." Itu jawaban Dika yang seolah membenarkan firasat yang aku rasakan."Bunda,, jadi pergi nggak?" tanya Azqiara yang langsung membuyarkan pemikiran-pemikiran burukku terhadap Mas Aska. "Aku sudah siap dari tadi,,," sambungnya dengan wajah masam sambil menautkan jari jemarinya."Ahh,,, iya..iya.... Maaf ya Bunda ambil tas sebentar. Kamu tunggu di ruang tamu ya!" Aku segera beranjak dan mengambil tas juga kunci motor dari meja rias.Segera aku berjalan keluar menyusul Azqiara yang sudah berjalan lebih dulu. Langkahku langsung terhenti ketika aku sampai di ruang tamu, nampak Azqiara duduk dengan wajah sedih."Loh kok cemberut? Katanya mau ikut Bunda belanja bulanan. Nanti di belikan eskrim sama cat air seperti yang Qiara minta kemarin!" Aku berlutut didepan Azqiara.Bukan aku tidak tahu penyebab wajah masam gadis kecil ini. Hanya saja untuk sekarang tidak perlu di bahas aku takut kemalaman pulangnya. Mataku kurang awas jika mengendarai motor di malam hari."Ayah gak ikut lagi ya, Bun? Kata Bunda kalau hari sabtu Ayah pulangnya cepet. Tapi kok sudah jam setengah lima tapi belum pulang. Aku kan pengen jalan-jalan sama Ayah Bun," gerutunya dengan wajah sedih.Kuhela nafas panjang. Ya, Aska Rahardian dialah alasan dari kesedihan dan wajah muram putri kecilku sejak dua bulan yang lalu. Ayah yang biasanya perhatian dan punya banyak waktu untuk putri semata wayang kami mendadak sibuk dan asing untuk putrinya sendiri.Aku sengaja menunda untuk belanja bulanan sampai hampir satu minggu karena menunggu Mas Aska punya waktu. Kupikir hari ini dia akan pulang sore jadi punya waktu untuk mengantar belanja sekalian jalan-jalan untuk menyenangkan Azqiara mumpung besok hari minggu.Namun sampai jam lima dia belum juga ada kabar. Pesan yang kukirim juga belum dibalasnya. Padahal Dika yang satu bagian dengannya sudah pulang sejak tadi siang.Aku memaksa tersenyum lalu mencubit pipinya pelan. "Ya Alloh lucunya putri Bunda kalau lagi ngambek.... tambah cantik... bibirnya jadi kayak ikan gitu..." Candaku mencoba mengalihkan kekesalan Qiara.Pipi AZQIARA terlihat menggembung karena menahan tawa. Tak menunggu lama aku meggelitiki perutnya gemas."Ha ha ha...... Geli Bunda.." tawa gadis kecil ini pun pecah sambil berguling di sofa ruang tamu."Sudah-sudah ayo berangkat yuk, takut pulangnya kemalaman. Kalau Qiara nurut dan pintar nanti Bunda belikan es krim sama mainan juga cat air, gimana Mau?""Mau mau Bunda," Azqiara bersorak sambil loncat-loncat kegiatan.Ya... itung-itung buat nyenengin anak, lagian tadi aku dapat uang yang lumayan dari kerja bantu-bantu di catering temanku.Sepanjang perjalanan kami nikmati sambil bernyanyi dan sesekali berganti sesi curhat di perjalanan. Ya, inilah kebiasaan kami setiap pulang sekolah atau dalam perjalanan. Selalu ku sempatkan mendengar cerita Qiara tentang hal-hal yang terjadi di sekolah dan di tempat ngajinya.Sesampainya di supermarket di pusat kota kami langsung menuju ke lantai dua, khusus kebutuhan sehari-hari. Azqiara yang awalnya sedih mulai bisa tertawa sambil membantu memilih barang-barang yang hendak kami beli.Aku selalu menjaga sikap dan biacaraku didepan Azqiara karena anak ini sangat peniru. Cara bicara dan ekspresi wajahnya begitu mirip denganku. Sehingga tak ada satu orang pun yang meragukan dia adalah putriku."Bunda,, itu kan Ayah." Suara Azqiara namun tak terlalu aku hiraukan, aku masih sibuk memilih beberapa produk sabun yang ingin aku beli. Untuk menanggapi aku hanya mengangguk sambil bergumam saja.Tidak mungkin Mas Aska di sini, dia kan lagi kerja. Pasti Azqiara salah lihat."Ayah kok gandengan sama wanita sih, Bun? Dia siapa?"Seketika aku menoleh pada putriku lalu mengikuti arah padangnya.Degh...."Mas Aska?!"🍂🍂🍂"Ayah kok gandengan sama Tante Vania? Terus siap anak itu kok bisa sama Ayah?"Suara bernada kesal Azqiara seketika membuatku menoleh pada gadis kecil yang merenggut dengan kesal. Segera ku ikuti arah pandangan putriku itu. "Mas Aska,," Bukankah itu Vania, mantan pacar Mas Aska. Seorang janda beranak satu. Sekitar enam bulan atau lima bulan yang lalu kami tidak sengaja bertemu. Waktu itu di cerita katanya baru pindah ke kota ini. Setelah itu sempat bertemu dua atau tidak tiga kali jika tidak salah ingat. Setiap bertemu wanita itu selalu mengeluh jika sering tersesat karena belum hafal daerah di kota ini. Tak ada saudara dan jauh dari orang tua tapi demi menghidupi putranya terpaksa menerima pemindahan dari bank tempatnya bekerja dulu ke kota ini. Cara bergandengan mereka bukan lagi seperti seorang mantan pacar. Sepertinya selama ini aku sudah ditipu oleh sepasang mantan yang sedang bernostalgia itu. Aku meletakkan kembali ke atas rak swalayan sebuah sabun yang sempat ku pegang. Ta
Setelah pertengkaran itu Mas Aska tak lagi pulang malam. Sudah sebulan ini dia tepat pukul lima sore dia sudah sampai di rumah. Setiap hari sabtu dan minggu Mas Asaka juga mengajak kami pergi keluar sekedar cari makan atau beli eskrim. Sepertinya Mas Aska sudah tidak lagi berhubungan dengan wanita itu. Meski saat pertengkaran itu di tidak menjawab permintaanku tapi dengan sikapnya sekarang aku merasa sangat lega, ternyata kami masih menjadi prioritas dan pemilik hati Mas Aska. Hari ini adalah ulang tahun pernikahan kami yang ke delapan. Kemarin aku sudah memesan sebuah kue ulang tahun untuk merayakan hari jadi pernikahan kami dan sore ini aku akan mengambilnya setelah mengantar putriku mengaji. Sebuah toko roti yang ada di pusat kota tempatku memesan kue. Roti dan kue di toko itu sangat cocok di lidah Mas Aska dan Azqiara. Ya meski harganya cukup mahal tapi kalau sudah suka pasti tetap jadi pilihan. Lalu lintas sore ini cukup ramai, mungkin karena berbarengan dengan jam pulang kerj
"Nafisah.... Nafisah.... " Mas Aska mengejarku sampai di parkiran."Apa lagi?" kembali aku menepis tangannya yang mnecekal lenganku. "Kamu jangan emosi kayak gitu! Aku cuma menemaninya makan saja. Tadi aku.... "Aku mengambil kue yang aku taruh di atas jok motorku dan aku serahkan pada Mas Aska. "Temani dia makan sekalian ini buat hidangan penutup." Mas Aska terdiam, pandangannya tertuju pada kotak putih yang ada di tangannya. "Maaf aku.....""Lupa? Lupakan saja semuanya," Aku memotong kalimatnya. Dari jauh kulihat Vania berlari mendatangi kami. Segera aku memundurkan motorku. "Minggir!" Aku mendorong Mas Aska yang berdiri di depan motor ku."Tinggalkan motornya, biar nanti aku ambil. Kamu Pulang sama aku saja!" katanya sambil memegangi stir motorku dengan satu tangan. Aku tak menjawab, aku sudah sangat malas berbicara dengannya. Apalagi melihat wanita itu sudah semakin dekat. "Nafisah, biar aku jelasin," ucap Vania dengan wajah melas yang membuatku muak. "Aku sangat membencimu,
Aku sudah tak punya kesabaran lagi, tanpa menunggu jawaban aku beranjak pergi meninggalkannya sendirian. Aku harus menjemput Azqiara yang tadi aku titipkan di rumah Mbak Sheza, istri Mas Zamar. Tak sekalipun kudengar Mas Aska memanggilku sekedar untuk menenangkan aku. Sampai aku menyalakan motor, Mas Aska pun tak menyusulku. Kuhembuskan nafas berat. Sadar.... Nafisha.... Sadarlah kamu bukanlah orangnya. Mungkin lebih baik jika malam ini aku menginap di rumah Mas Zamar untuk menenangkan diri. Aku merasa sangat kesal dengan Mas Aska. Kecewa bercampur marah menggunung di dalam dadaku sampai membuatku merasa sesak. Dalam keadaan emosi tidak baik jika kami terus bersama. Lebih baik aku yang pergi untuk mengenangkan diri dan memiliki apa yang harus aku lakukan setelah ini. Untuk saat ini itu keputusan yang terbaik, aku butuh waktu untuk menenangkan dan membuat rencana selanjutnya. Jika nanti Mas Zamar bertanya alasanku menginap aku akan mengatakan Mas Aska sedang tugas di luar kota. T
Setelah menginap satu malam, pagi ini aku memutuskan untuk pulang. Aku pulang dengan mengendarai motor matic bersama Azqiara tanpa dijemput Mas Aska. Jangankan menjemput, menelpon atau sekedar mengirim pesan saja tidak. Padahal aku bersama putri kami. Segitu tak berharganya kami di matamu, Mas. Itulah sebabnya aku tidak akan melepaskan Azqiara apapun nanti jalan yang kita tempuh. Kuhela nafas panjang. Memang apa yang kamu harapkan Nafisa? Kamu tahu cintanya bukan untukmu, bagaimana bisa kamu mengharapkan perhatiannya. Rasanya aku sedang menertawai kebod*han yang selama ini aku lakukan. Seharusnya dulu kamu mencari tahu dulu tentang masa lalu Mas Aska, cinta masa lalunya sudah selesai apa belum? Supaya kamu tidak menyesal dikemudian hari, seperti saat ini. Ah percuma menyesal, nasi sudah menjadi bubur. Kini yang harus aku lakukan adalah memikirkan bagaimana caranya kami hidup tanpa Mas Aska? Aku harus belajar lebih mandiri lagi. Mulai sekarang aku harus serius menekuni dunia liter
Kak Sakha, seseorang yang memilik tempat tersendiri di album putih Abu-Abuku. Kenapa dunia tiba-tiba begitu sempit? Sudah lebih dari sepuluh tahun kami tidak bertemu. Shaka Shaifulloh, dulu dia sekolah dia termasuk cowok pintar tapi agak bandel. Dia bukan salah satu dari cowok-cowok populer yang aktif di OSiS, yang jadi rebutan siswi-siswi di sekolah. Juga bukan preman sekolah yang suka bikin onar. Dia Shaka cowok berwajah manis dengan kulit sawo mateng khas pribumi. Sikapnya yang cuek dan sedikit angkuh membuatnya juga salah satu cowok incaran di sekolah dulu. "Apa kabar? Masih ingat kan sama aku?" ujarnya dengan senyum yang MasyaAllah...... masih tetap memikat seperti dulu. Astaghfirullah....... Ya Alloh ampuni aku. Aku menggelengkan kepalaku kuat, kutepuk keningku beberapa kali untuk menghilangkan pikiran kotor yang sempat mampir di otakku. "Bunda kenapa?" Azqiara memegang ujung kemeja yang aku pakai. "A..... Bunda gak papa kok. Cuma emm...... bunda baru ingat cuciannya tadi
Aku memutuskan untuk mengajak Azqiara pulang setelah insiden videocall yang berujung kesedihan di wajah putri kecilku. Sepanjang jalan Azqiara kecil hanya diam saja. Tak satupun ucapanku ditanggapinya dengan kata-kata. Hanya gelengan dan anggukan saja yang diperlihatkan oleh gadis kecilku ini. Kuhela nafas beberapa kali untuk menghalau rasa marah dan sakit hati yang sudah memenuhi hatiku. Lihat Mas, apa yang akan aku lakukan setelah ini. Jika memang janda dan anaknya itu lebih kamu prioritaskan maka dengan berbesar hati aku dan Azqiara akan mundur. Sesampainya di rumah ternyata Mas Aska belum juga pulang padahal tadi dia sempat mengirim pesan jika dia akan segera pulang dan menjelaskan kejadian tadi. Tapi nyatanya, hatinya lebih berat meninggalkan wanita itu ketimbang menjaga perasaan putrinya sendiri. "Sayang mandi dulunya, mumpung masih sore." Kataku sambil menuntun Azqiara ke kamar mandi yang ada di dalam kamar utama. Sembari menunggu Azqiara selesai mandi, aku pindahkan baju
Sudah beberapa hari kami pisah ranjang. Dan sikap Mas Aska tetap sama, acuh dan tak mersa bersalah sedikitpun. Setiap hari pulang malam dan semakin tak peduli dengan putrinya. Aku juga sering mendengar dia berbicara lewat sambungan telpon dengan wanita itu. Biarlah, meski aku masih sangat mencintainya tapi aku sudah menyerah untuk menjadi satu-satunya wanita di hatinya.Pagi ini setelah mengantarkan Azqiara ke sekolah aku segera menuju rumah Tiara. Semalam sahabatku itu memberitahu jika hari ini ada pesanan kue basah yang harus dikirim sebelum jam 2 siang. Sudah dua tahun ini aku berkerja di catering milik sahabatku itu. Awalnya hanya sekedar bantu-bantu sebagai bentuk dukungan kepada teman yang sedang merintis usaha. Di awal-awal membuka usaha, Tiara tidak punya cukup uang untuk membayar karyawan. Di samping masalah keuangan yang belum stabil juga karena pesanan yang masih sedikit. Melihat itu hatiku tergerak untuk membantunya."Kamu hanya perlu membayarku dengan sepiring nasi untu
[Kha, Nafisah mengalami kontraksi. Sepertinya akan melahirkan. Sekarang kami dalam perjalanan menuju ke rumah sakit Harapan Bunda. Kamu cepatlah menyusul.]Pesan dari Sezha yang seketika membuat Shaka panik. Dengan tangan gemetaran dia membereskan buku-bukunya. "Karena saya ada keperluan, tolong kalian kerjakan tugas harian halaman selanjutnya."Segera dia berlari keluar kelas setelah mengucapkan salam. Ruang guru yang ditujunya. Meminta tolong pada piket untuk menggantikan dirinya tiga jam ke depan. "Ada apa?" Geri yang baru masuk ruang guru langsung mengerutkan keningnya. Ada yang tak biasa dengan rekan kerjanya yang satu ini. "Istriku akan melahirkan," jawab Shaka tanpa menoleh ke lawan bicaranya. Yang nnya sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam ransel miliknya. "Katanya masih seminggu lagi, kok jadi sekarang. Dokter gak kompeten," gerutu Shaka sambil bergumam. Geri yang berdiri tak jauh darinya hanya mengulas senyum tipis, seolah melihat dirinya sendiri setahun yang lalu.
Kabar bahagia tidak hanya datang dari keluarga kecil Shaka dan Nafisah. Dari luar pulau pun terdengar kabar yang tak kalah menggembirakan. Kabar dari dua sejoli yang terikat karena keterpaksaan. Arsya dan Kirana sudah mendaftarkan pernikahan mereka ke KUA setempat. Ternyata dalam hitungan bulan cinta itu akhirnya tumbuh di hati keduanya. Pernikahan yang terjadi karena keterpaksaan itu pun kini sudah sah di mata hukum dan agama. "Kehamilan Nafisah benar-benar membawa banyak keberkahan. Banyak berita bahagia setelah hadirnya calon anakmu itu, Kha." komentar Zamar sesat setelah Shaka memberitahu tentang keadaan perkebunan yang semakin baik juga tentang hubungan Arsya dengan Kirana. "Alhamdulillah, Mas benar. Banyak hal baik setelah kehadirannya. Aku benar-benar bersyukur atas anugrah yang Alloh berikan." Shaka pun tak henti-hentinya mengucap syukur atas anugrah yang tidak pernah ia sangka akan diberikan dalam waktu secepat ini. Saat menikahi Nafisah, pria itu tak pernah berani walau
"Kayaknya kamu hamil deh, Naf." Seorang wanita cantik dengan hijab hijau toska berjalan masuk dengan seorang anak kecil di sebelahnya. "Mbak Sezha." Nafisah sedikit kaget melihat kakak iparnya yang tiba-tiba muncul. "Pintu gerbangnya gak dikunci. Nutupnya juga gak bener, jadi kami bisa langsung masuk." Sezha langsung menjelaskan tanpa ditanya. "Tapi aku sudah menguncinya kok," sahut Aydan dengan menepuk dadanya. "Terima kasih Aydan." Shaka mengacungkan dua jempolnya. "Sepertinya istri kamu itu hamil, Ka." Ujar Sezha mengulangi ucapannya tadi. "Beneran, Mbak" tanya Shaka dengan mata berbinar. "Dilihat dari tanda-tandanya sih gitu." Wanita berkulit putih bersih itu meletakkan tasnya diatas meja. Setelahnya memanggil Qiara yang sejak tadi memegangi tangan Bundanya. "Main sama Kak Aydan, ya. Bunda gak papa, sayang...." bujuk Sezha pada gadis kecil yang menampilkan raut wajah sedih. "Tadi Bunda muntah-muntah," jawab Qiara. Mata gadis kecil itu sudah mengembun. Nafisah mengurai s
"Hidup tak selamanya tentang kebahagiaan. Namun terkadang hidup itu tentang menghadapi masalah dengan senyuman dan semangat. Hidup tidak akan lebih baik tanpa masalah tapi akan lebih bijak setelah mengalami banyak ujian."Hari terus bergulir tanpa terasa sudah lima bulan berlalu setelah kembali Shaka dan Nafisah ke Jakarta. Hari-hari mereka lalui selayaknya pasangan pada umumnya. Kadang bermesraan tak jarnah juga berdebat yang diakhiri dengan pengakuan salah dari Shaka. Seminggu sekali Aska akan menjemput Qiara untuk menginap di apartemen laki-laki itu dan satu bulan sekali berkunjung ke rumah kakek dan neneknya yang ada di luar kota. Namun tentu saja mengikuti jadwal kegiatan Qiara yang semakin besar semakin padat dengan Olimpiade dan eskul sekolahnya. "Ya Alloh.... Kak Shaka, kan sudah dibilangin kalah habis mandi handuknya jangan ditaruh di kasur. Tuh.... ada jemuran kecil di balkon," omel Nafisah begitu masuk kamar. Wanita itu baru saja dari kamar putrinya, memastikan gadis kec
Sudah di putuskan, Shaka dan Nafisah akan kembali ke Jakarta segera setelah kepulangan Arsya bersama Kirana. Tak mau menunggu lama satu haribsetalah kepulangan Arsya, suami Nafisah itu pun segera pamit. Sebelum pergi Shaka menyerahkan segala urusan perkebunan kembali pada Arsya. Tak lupa Shaka juga menceritakan tentang tawaran keluarga Gracia yang bersedia menanggung segala kerugian atas perbuatan Gracia dan Hartama yang sengaja berniat merusak citra baik hasil perkebunan milik mereka. "Aku sudah melaporkannya dan wanita itu sudah beberapa kali dipanggil ke kantor polisi namun masih sebagai saksi. Untuk kelanjutannya terserah kamu," ujar Shaka di malam sebelum keberangkatannya. "Silahkan, kamu putuskan sendiri apa yang menurutmu baik untuk perkebunan ini. Mulai hari perkebunan ini sepenuhnya tanggung jawabmu dan aku tidak akan ikut campur lagi. Tapi, jika boleh aku memberi saran, jangan pernah membukakan pintu untuk kucing yang pernah mencuri ikan di rumahmu." Tak bisa di pungkiri
Kak Shaka berdiri membelakangi pintu dengan tatapan mengarah keluar jendela. Pelan aku mendekatinya. Kulihat rahangnya mengeras dengan otot-otot leher menonjol, ekspresi marah yang jarang sekali kulihat. "Mereka sudah pergi," beritahuku namun sampai beberapa menit tak mendapat respon darinya. Mungkin Kak Shaka merasa kesal padaku. Kurasa dia merasa aku membela Gracia. "Gracia meminta maaf. Dia menyesal sudah membuat kekacauan dan merugikan banyak pihak. Katanya dia akan menggangu rugi semuanya." Kusampaikan pesan dari Gracia. Sempat tak percaya namun itulah kebenarannya. Wanita sombong itu benar-benar meminta maaf. Entah tikus atau tidak, yang pasti dia tidak mau keluarga besarnya ikut menanggung hasil perbuatannya. Aku beralih ke sofa tak jauh dari jendela. Dari posisiku saat ini terlihat jelas ekspresi wajah Kak Shaka. Wajahnya memerah dengan dada naik turun. "Semua yang terjadi tentu tak bisa dikembalikan seperti sedia kala. Tapi dengan marah dan menyimpan dendam juga tak bisa
Pov Nafisah."Kesepakatan?" Tak hanya Kak Shaka, aku pun sempat tertegun beberapa saat ketika mendengar ucapan Gracia. Wanita berpakaiannya seksi itu dengan gamblang mengutarakan tujuannya datang menemui kami. Tak ada basa-basi bahkan tanpa membiarkan kami duduk atau sekedar bersalaman. Begitu tak sopannya wanita itu sebagai tamu. Dari ekor mataku, kulihat Kak Shaka tersenyum tipis. Genggamannya yang sempat terlepas kembali ia kaitkan jemarinya pada jemariku. Tangannya terasa dingin, sedingin tatapannya pada ketiga orang tamu yang datang hari ini. "Kesepakatan katamu?" Ulang Kak Shaka lalu tersenyum remeh. "Iya, sebuah kesepakatan yang menguntungkan untukmu." Gracia dengan percaya dirinya. "Ck.... percaya diri sekali," gumam Kak Shaka masih dengan senyum tipisnya. Namun sedetik kemudian tatapan itu berubah sinis tat kala netra hitamnya mengarah pada pria paruh baya yang berdiri tepat di samping Gracia. Pria itu tampak sudah berumur lebih dari 60 tahun, dengan beberapa uban tersel
Nafisah menghela nafas panjang, berbagai pikiran berkecamuk dalam pikirannya. "Menurut Kak Shaka, apa seharusnya aku menyerahkan Qiara pada keluarga aslinya?" Shaka tersentak, tubuhnya kaku karena kaget mendengar ucapan istrinya itu. Matanya melebar dengan bibir terbuka. "Hah....."Entah pikiran dari mana tiba-tiba saja Nafisah ingin menyerahkan Qiara pada keluarga mantan suaminya. Apa dia sudah lupa sekeras apa dirinya memperjuangkan hak asuh gadis kecil itu. "Bukan aku tak sayang lagi padanya. Hanya saja....." Nafisah menunduk tak ingin melanjutkan kalimatnya. Tak ingin suasana menjadi tak nyaman. Helaan nafas terdengar dari mulut Shaka. Meski Nafisah tak mau melanjutkan kalimatnya namun Shaka tahu betul semua masalah karena kehadirannya di sisi Nafisah. "Maaf, jika situasinya jadi memburuk. Aku tak pernah berpikir wanita itu akan muncul lagi. Setelah sekian lama menghilang dan kata-kata Shaka yang membuatku yakin dia tidak akan muncul lagi untuk mengganggu kita." Pelan, Shaka m
Apa yang dilakukan Gracia sangat berdampak pada kepercayaan perusahaan yng selama ini menggantungkan bahan utama produksinya dari perkebunannya milik Shaka. Kwalitas yang buruk membuat banyak perusahaan komplain. Tak sedikit juga yang memutuskan untuk tidak lagi melanjutkan kerja sama dikarenakan selama ini keluhannya tidak pernah mendapatkan respon. Dan itu semua ulah Bimo juga beberapa karyawan yang tidak puas dengan gaji mereka sehingga dengan sadar menerimanya uang dari Gracia dan mengkhianati kepercayaan Arsya. Saat ini Shaka sedang berusaha memperbaiki keadaan. Pemasukan yang menipis dan banyaknya komplain mengharuskannya membayar ganti rugi. Tak mengapa jika hanya minta ganti rugi dan tetap melanjutkan hubungan kerja sama. Rugi sedikit asalkan tetap berjalan, itu sudah merupakan keberuntungan bagi Shaka. Sudah seminggu ini Shaka berkeliling dari perusahaan satu ke perusahaan yang lain untuk meminta maaf dan meminta kesempatan kedua untuk tetap menjadi pemasok kelapa sawit bag